BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam lahir pada abad ke- 6 Masehi di semenanjung Arabia. Pada awal kehadirannya, Islam mengalami hambatan kultural karena lahir di tengah masyarakat pengembara (nomaden) dan tidak berperadaban. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyebaran agama Islam sangat menarik minat para ahli sejarah. Dalam jangka waktu yang sangat singkat, sekitar 23 tahun, Islam telah dianut oleh penduduk yang mendiami ½ wilayah dunia. Pada akhir abad ke-20 agama besar ini menjadi agama yang dipeluk oleh lebih dari 1 milyar manusia yang tersebar di seluruh dunia, terutama di Asia dan Afrika.
Islam yang diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup dirangkaikan petunjuk Tuhan untuk membimbing kehidupan manusia, mengklaim dirinya sebagai agama yang paling sempurna. Peradaban Islam dipahami sebagai akumulasi terpadu antara normanitas Islam dan historitas manusia di muka bumi yang selalu berubah-ubah. Maka setiap zaman akan selalu terjadi reinterpretasi dan reaktualisasi atas ajaran Islam yang disesuaikan dengan tingkat pemikiran manusia zaman ini. Nasib agama Islam di zaman modren ini sangat ditentukan sejauh mana kemampuan umat Islam merespon secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah yang terjadi di era modren ini.1
A. Ketegangan Agama dalam Islam
Pada semua agama yang hidup pasti terdapat ketegangan. Penyebabnya terletak pada kesadaran beragama itu sendiri, sejalan dengan garis yang memisahkan antara Tuhan yang disembah dan umat yang menyembahnya, atau antara perasaan kesucian dan perasaan berdosa. Semua agama menyatakan bahwa Tuhan berbeda dengan sesuatu yang lain. Tetapi pada saat yang sama, umat yang menyembahnya menyadari akan dekatnya Tuhan, dan ketidakmungkinan untuk memisahkan antara ide tentang Tuhan dan pengalaman spritual dirinya sendiri.2 Namun dalam kehidupan para pemeluk agama-agama tersebut timbul ketegangan, karena umat yang beragama yang maju pemikirannya dan memiliki pengetahuan yang mendalam dapat melakukan pemaduan antara ketegangan ini.
Dalam Islam pun terdapat ketegangan seperti ini. Dalam AlQuran, transendensi Allah dinyatakan berkali-kali secara mutlak sehingga kelihatan tidak memberi peluang sama sekali kepada ajaran imanensi. Namun demikian transendensi Tuhan yang tidak dapat dibayangkan ini tidak mengecualikan sifat-sifat cinta dan “kehalusan” (al-lu¯f) yang dimilikiNya, dan karena itu Allah ada bersama-sama sedemikian rupa dalam kehidupan spritual manusia sehingga dikatakan dalam Alquran bahwa Allah “lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri.3 Para ahli teologi yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah para pemikir yang secara tiba-tiba diperkenalkan dengan filsfat Yunani. Lalu mereka pelajari dan mulai melakukan sistematisasi ayat-ayat Alquran sesuai dengan ajaran-ajaran Aristoteles dan para pengikut Neo-Platonisme. Itulah tantangan yang sebenarnya pada waktu itu.4
B. Agama dan Kehidupan Modern
Berbicara tentang peranan agama dalam kehidupan modern, biasanya dihubungkan dengan konotasi modernitas yang mengalami-atau malah menderita-ekses. Ekses itu adalah akibat dominasi ilmu dan teknologi yang, menurut Ashadi Siregar hanya mampu melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan–suatu pernyataan bersifat karikatural. Kepentingan serta urusan ilmu dan teknologi ialah obyektivitas.
Dengan sendirinya obyektivitasme itu akan sering berbenturan dengan subyektivitasme, sehingga, sebagaimana halnya dengan mesin yang tanpa perasaan, mengingkari perseorangan (depersonalization) berarti mengurangi arti kemanusiaan (dehumanization) dan mengakibatkan ketidaksanggupan seseorang mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau mengalami apa yang dinamakan keterasingan (alienation). Ilmu dan teknologi bersangkutan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan nilainya, sehingga disebut saja profan atau duniawi. Dan keprofanan berada dalam posisi antagonis dengan kesakralan atau rasa kesucian tersebut tadi.5 Namun tidak bisa disangkal bahwa agama akan tetap berperan. Sebab, manusia selalu concerned tentang nasibnya – artinya, tentang kedudukan dan peranannya di dalam alam raya, bagaimana ia mempertahankan kedudukan itu, dan bagaimana pula ia memenuhi peranan tersebut.
Semua masyarakat manusia mengembangkan jenis alat-alat tertentu untuk mengatasi masalah ini–alat-alat untuk mengerahkan ide-ide dan emosi-emosinya serta untuk membina sikap-sikap batin, pola-pola kepercayaan dan perilaku dalam hubungannya dengan konepsi mereka tentang nasib mereka. Jadi agama benar-benar merupakan sesuatu yang vital, tidak hanya bagi perseorangan, tapi juga untuk masyarakat, maka ia dituntut untuk memiliki tiga hal. Ia harus merupakan suatu way of life yang dapat dirasakan secara mendalam oleh pribadi–apa yang hendak dilakukan oleh seseorang dalam kesendiriannya sebagai suatu way of life bersama yang didasarkan pada pendekatan spritual dan emosional tertentu, kepercayaan-kepercayaan tertentu, pedoman-pedoman tertentu dalam bidang nilai, dan sikap-sikap tertentu dalam menghadapi nasib manusia. Dan sebagaimana sekarang ini pun telah ada masyarakat-masyarakat agama atau jama’ah-jama’ah, maka demikian pula agama di masa mendatang memerlukan organisasi sendiri sebagi rangkanya. Dan ini lah yang sering hilang di masa lalu akibat pertentangan antara dasar-dasar pemikiran relegius dan ilmiah– masyarakat agama dan kehidupan individu orang–orang agama harus mempunyai suatu hubungan organis dengan masyarakat secara keseluruhan dalam hal yang berkenaan dengan pikiran, moral, dan perasaan.
Hal itu berarti bahwa keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita sering lupa bahwa dunia ini sebenarnya senantiasa berkembang. Sedangkan dalam setiap perkembangan, tentu berarti terdapat perubahan. Maka, keagamaan harus mampu menampung perubahan masyarakat (social ahange ).6
C. Islam dan Modernisasi
Sebelum pemakalah mengulas lebi lanjut tentang Islam dan Modernisasi ini, terlebih dahulu pemakalah jelaskan apa itu Islam dan apa pula Modernisasi. Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-isl±man, yang berarti “patuh, tunduk, menyerah.7 Sedangkan Islam menurut istilah adalah tunduk dan patuh kepada apa yang telah dibawa oleh Nabi saw.8 Adapun Modernisasi, menurut Nurcholis Madjid adalah rasionalisasi, yaitu usaha untuk merasionalkan atau membuat masuk akal, bukan Westernisasi.9 Nurcholis Madjid sebagai seorang sarjana muslim yang dididik di dalam ilmu-ilmu keislaman, berusaha untuk memberi “jawaban Islam” terhadap masalah modernisasi. Inti jawabannya tercakup dalam kesimpulan sikapnya:
“Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah Westernisasi, sebab kita menolak Westernisme. Dan Westernisme yang kita maksudkan itu ialah suatu total way of life, di mana factor yang paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya”.10
Selanjutnya ia juga menjelaskan kenapa ia menolak sekularisme, karena kaitannya dengan atheisme. Atheisme adalah puncak sekularisme, sekularisme itulah sumber segala imoralitas.11 Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi.
Dengan begitu, berarti modernisasi adalah proses perombakan cara berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan.
Sedangkan ilmu pengetahuan tidak lain ialah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis.12 Modernisasi juga dapat diartikan dalam kerangka-kerangka tingkat industrialisasi, walaupun hal ini sering diikuti oleh suatu pengamatan bahwa, jika inilah conditio sine qua non, ia bukanlah kebenaran yang menyeluruh.13
Kita kembali kepada permasalahan, apakah Islam harus dimodernkan atau modern diIslamkan? Islam harus menyadari akan toleransi dan pluralitas sebagai nilai-nilai modern dan bahwa keduanya merupakan bagian dari tantangan modernitas, maka apakah pendakwah Islam sanggup merekonstruksi ajaran Islam sehingga mampu memberikan peluang bagi berlangsungnya perubahan dalam berapa orientasi keagamaan dan kulturalnya, seperti yang dianut oleh tanggapanya terhadap tantangan waktu dan tempat, dan adaptasinya terhadap lingkungan temporal dan parsial yang berbeda-beda.
Nurcholis Madjid pernah mengomentari Islam dan tantangan modernitas. Dalam pandangannya Alquran menunjukkan bahwa risalah Islam, karena universalitasnya dapat diadaptasikan dengan lingkungan kultural manapun termasuk lingkungan masyarakat perkotaan modern, kemampuan Islam mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan kebudayaan modern diakui oleh sejumlah ilmuwan sosial. Salah satunya adalah Ernest Gellne yang menegaskan bahwa Islam dapat dimodernisasi, dan upaya modernisasi itu dapat dilakukan serentak dengan upaya pemurniannya. Modernisasi diupayakan berlangsung tanpa merusak keaslian dan otensitasnya sebagai agama wahyu.14
Sebaliknya ada pula yang menolak pemodernan Islam. Sebab modernisasi merupakan pemberontakan radikal dalam melawan agama serta nilai-nilai spritual yang terkandung di dalamnya. Pemberontakan ini menghasilkan gerakan renaissains di Eropa, khususnya filsafat politiknya Machiavelli yang jahat dan hanya menurutkan hawa nafsunya belaka.15 lebih dari itu, ada mengatakan Islam akan hancur kalau tidak mau berdamai dengan hidup modern. Oleh karenanya umat Islam harus menyesuaikan diri dengan pemerintahan sekuler dan menganggap syari’ah sudah ketinggalan zaman dan kosepnya mengenai hukum lebih rendah bila dibandingkan dengan hukum Barat.16
D. Perspektif Islam Terhadap Modernisasi
Agama Islam, bagi kita, merupakan keyakinan. Bagi bangsa Indonesia, secara empiris, Islam merupakan bagian agama terbesar rakyat. Karena itu, sikap-sikap yang diterbitkan atau disangka diterbitkan oleh agama Islam, akan mempunyai pengaruh besar sekali bagi proses perubahan sosial. Bagi perubahan sosial, peranan Islam akan diwujudkan dalam dua sikap: menopang atau merintangi. Hal ini bergantung pada pengikutnya.17
Penting bagi kita untuk memahami betapa lebarnya kesenjangan antara pendidikan dan pendidikan sekuler di Mesir berikut konsekuensi-konsekuensinya yang sangat jauh jangkauannya. Hal ini tidak hanya menempatkan suatu sekolah dalam posisi berlawanan dengan sekolah lainnya dan suatu universitas-universitas lainnya: tetapi juga, lebih dari pada faktor mana pun, mendorong timbulnya perpecahan dikalangan umat muslim, yang terutama tampak di kota-kota besar, yang menempatkan kelompok ortodoks dalam posisi berlawanan dengan kelompok “yang dibaratkan” dalam hampir semua kegiatan social maupun intlektual, dalam cara berpakaian, sikap hidup, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, hiburan, sastra, dan bahkan dalam percakapan mereka.18
Kenyataan tentang adanya kesenjangan dan perlunya diakhiri kesenjangan inilah yang mendorong timbulnya modernisme dalam Islam. Pada saat yang sama, ia menampilkan pengertian-pengertian dilema kejahatan di mana gerakan pembaharuan itu dipaksa masuk. Di satu pihak, dalam upaya menuju formulasi prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam yang modern, para pembaharu itu hanya menjangkau sebagian besar kalangan terpelajar, tidak menyentuh rakyat kebanyakan. Karena itu pengaruh mereka jauh lebih besar dikalangan umat Muslim terpelajar di luar kelompok ahli-ahli agama (ulama).19 Intinya adalah, Islam mengutuk taql³d secara membabi buta (mengikuti pendapat yang tidak kritis) dalam masalah keyakinan dan pengamalan kewajiban-kewajiban agama secara mekanik.
Islam membangunkan akal dari tidurnya dan menyaringkan suaranya untuk menentang prasangka-prasangka orang yang bodoh, sembari menegaskan bahwa manusia tidak dicipta untuk dibelenggu tetapi secara fitri dia harus membimbing dirinya sendiri dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan, yaitu ilmu tentang alam semesta dan pengetahuan tentang hal-hal yang sudah berlalu.
Islam menjauhkan kita dari keterikatan secara eksklusif kepada segala sesuatu. Ia menunjukkan kepada kita bahwa kenyataan yang ada, dari segi waktunya, lebih dulu sampai kepada kita tidak merupakan bukti pengetahuan atau ketinggian akal fikiran, bahwa para nenek moyang dan keturunannya memiliki kemampuan intelektual dan kemampuan-kemampuan alami yang sama.20 Jadi ia melepaskan diri dari semua rantai yang mengikatnya, membebaskannya dari taqlid buta yang telah memperbudaknya, dan mengembalikan kewenangan kepadanya untuk mengambil keputusan sendiri sesuai dengan penilaian dan kebijakannya sendiri, namun demikian, ia wajib berkhidmat dihadapan Allah sendiri dan berhenti pada batas-batas yang ditetapkan agama; tetapi dalam batas-batas ini tidak ada penghalang bagi kegiatannya dan juga tidak ada pembatasan terhadap berbagai macam spekulasi yang dapat dikemukakan atas tanggung jawabnya.21
BAB III
KESIMPULAN
Sebenarnya modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial untuk ditentang kalau masih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam adalah agama universal yang tidak akan membelenggu manusia untuk bersikap maju, akan tetapi harus berpedoman kepada Islam. Dalam Islam yang tidak dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way of life di mana faktor yang paling menonjol adalah sekularisme, sebab sekulraisme selalu berkaitan dengan ateisme dan sekularisme itulah sumber segala imoralitas.
Inti dari modernisasi yang kemudian menjadi esensial dan sejalan dengan ajaran agama Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk menundukkan segala tingkah laku kepada kalkulasi dan pertimbangan akal. Rasionalisasi pada selanjutnya akan mendorong ummat Islam untuk bisa bersikap kritis dan meninggalkan taqlid yang dikecam dalam Islam. Dengan demikian, pada dasarnya modernisasi bukanlah sebuah esensi yang bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam.
‘Abduh, Mu¥ammad. Ris±lah Tau¥³d. Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq. Paris: t.t.p, 1925
Al-Asy’ari, Ab ¦asan. Hu¡n al-¦amidiyah. Mesir: Dar al-Fikr, 1996.
Attir, Mustafa O, dkk. Directions of Changs. Terj. Hartono Hadikusumo. Sosiologi Modernisasi. Cet. I. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989.
Gibb, H.A.R., Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Cet. 5. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan keIndonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan , 1998.
Marcus, Margaret. Islam and Modernism. Terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni. Islam dan Modernisme. Surabaya: Usaha Nasional, 1981.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab – Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Nashir, Haedar. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
==================================================
1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 200
2 H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Cet. 5. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 29
3 Ibid., h. 31
4 Ibid., h. 32
5 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan , 1998), h. 124
6 Ibid., h. 125-126
7 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab - Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 654
8 Abu Hasan al-Asy’ari, ¦u¡n al-¦am³diyah, (Mesir. Dar al-Fikr, 1996), h. 67
9Nurcholis Madjid, Islam kemodernan dan keIndonesiaan, h. 17
10 Ibid., h. 18
11 Ibid.
12 Ibid., h. 172
13 Mustafa O, Attir dkk, Directions of Changes, Terj. Hartono Hadikusumo, Sosiologi Modernisasi, Cet. I. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989), h. 179
14 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 204
15 Margaret Marcus, Islam and Modernisme, terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, Islam dan Modernisme. (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 39
16 Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 3
17 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan, h. 235
18 H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen dalam Islam, h. 73
19 Ibid., h. 74
20 Mu¥ammad ‘Abduh, Ris±lah Tau¥³d, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq (Paris: t.t.p, 1925), 107
21 Ibid., h. 108
Islam yang diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup dirangkaikan petunjuk Tuhan untuk membimbing kehidupan manusia, mengklaim dirinya sebagai agama yang paling sempurna. Peradaban Islam dipahami sebagai akumulasi terpadu antara normanitas Islam dan historitas manusia di muka bumi yang selalu berubah-ubah. Maka setiap zaman akan selalu terjadi reinterpretasi dan reaktualisasi atas ajaran Islam yang disesuaikan dengan tingkat pemikiran manusia zaman ini. Nasib agama Islam di zaman modren ini sangat ditentukan sejauh mana kemampuan umat Islam merespon secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah yang terjadi di era modren ini.1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ketegangan Agama dalam Islam
Pada semua agama yang hidup pasti terdapat ketegangan. Penyebabnya terletak pada kesadaran beragama itu sendiri, sejalan dengan garis yang memisahkan antara Tuhan yang disembah dan umat yang menyembahnya, atau antara perasaan kesucian dan perasaan berdosa. Semua agama menyatakan bahwa Tuhan berbeda dengan sesuatu yang lain. Tetapi pada saat yang sama, umat yang menyembahnya menyadari akan dekatnya Tuhan, dan ketidakmungkinan untuk memisahkan antara ide tentang Tuhan dan pengalaman spritual dirinya sendiri.2 Namun dalam kehidupan para pemeluk agama-agama tersebut timbul ketegangan, karena umat yang beragama yang maju pemikirannya dan memiliki pengetahuan yang mendalam dapat melakukan pemaduan antara ketegangan ini.
Dalam Islam pun terdapat ketegangan seperti ini. Dalam AlQuran, transendensi Allah dinyatakan berkali-kali secara mutlak sehingga kelihatan tidak memberi peluang sama sekali kepada ajaran imanensi. Namun demikian transendensi Tuhan yang tidak dapat dibayangkan ini tidak mengecualikan sifat-sifat cinta dan “kehalusan” (al-lu¯f) yang dimilikiNya, dan karena itu Allah ada bersama-sama sedemikian rupa dalam kehidupan spritual manusia sehingga dikatakan dalam Alquran bahwa Allah “lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri.3 Para ahli teologi yang pertama-tama muncul dalam Islam adalah para pemikir yang secara tiba-tiba diperkenalkan dengan filsfat Yunani. Lalu mereka pelajari dan mulai melakukan sistematisasi ayat-ayat Alquran sesuai dengan ajaran-ajaran Aristoteles dan para pengikut Neo-Platonisme. Itulah tantangan yang sebenarnya pada waktu itu.4
B. Agama dan Kehidupan Modern
Berbicara tentang peranan agama dalam kehidupan modern, biasanya dihubungkan dengan konotasi modernitas yang mengalami-atau malah menderita-ekses. Ekses itu adalah akibat dominasi ilmu dan teknologi yang, menurut Ashadi Siregar hanya mampu melahirkan teknokrat-teknokrat tanpa perasaan–suatu pernyataan bersifat karikatural. Kepentingan serta urusan ilmu dan teknologi ialah obyektivitas.
Dengan sendirinya obyektivitasme itu akan sering berbenturan dengan subyektivitasme, sehingga, sebagaimana halnya dengan mesin yang tanpa perasaan, mengingkari perseorangan (depersonalization) berarti mengurangi arti kemanusiaan (dehumanization) dan mengakibatkan ketidaksanggupan seseorang mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya atau mengalami apa yang dinamakan keterasingan (alienation). Ilmu dan teknologi bersangkutan dengan bidang yang sedemikian rupa sifat dan nilainya, sehingga disebut saja profan atau duniawi. Dan keprofanan berada dalam posisi antagonis dengan kesakralan atau rasa kesucian tersebut tadi.5 Namun tidak bisa disangkal bahwa agama akan tetap berperan. Sebab, manusia selalu concerned tentang nasibnya – artinya, tentang kedudukan dan peranannya di dalam alam raya, bagaimana ia mempertahankan kedudukan itu, dan bagaimana pula ia memenuhi peranan tersebut.
Semua masyarakat manusia mengembangkan jenis alat-alat tertentu untuk mengatasi masalah ini–alat-alat untuk mengerahkan ide-ide dan emosi-emosinya serta untuk membina sikap-sikap batin, pola-pola kepercayaan dan perilaku dalam hubungannya dengan konepsi mereka tentang nasib mereka. Jadi agama benar-benar merupakan sesuatu yang vital, tidak hanya bagi perseorangan, tapi juga untuk masyarakat, maka ia dituntut untuk memiliki tiga hal. Ia harus merupakan suatu way of life yang dapat dirasakan secara mendalam oleh pribadi–apa yang hendak dilakukan oleh seseorang dalam kesendiriannya sebagai suatu way of life bersama yang didasarkan pada pendekatan spritual dan emosional tertentu, kepercayaan-kepercayaan tertentu, pedoman-pedoman tertentu dalam bidang nilai, dan sikap-sikap tertentu dalam menghadapi nasib manusia. Dan sebagaimana sekarang ini pun telah ada masyarakat-masyarakat agama atau jama’ah-jama’ah, maka demikian pula agama di masa mendatang memerlukan organisasi sendiri sebagi rangkanya. Dan ini lah yang sering hilang di masa lalu akibat pertentangan antara dasar-dasar pemikiran relegius dan ilmiah– masyarakat agama dan kehidupan individu orang–orang agama harus mempunyai suatu hubungan organis dengan masyarakat secara keseluruhan dalam hal yang berkenaan dengan pikiran, moral, dan perasaan.
Hal itu berarti bahwa keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita sering lupa bahwa dunia ini sebenarnya senantiasa berkembang. Sedangkan dalam setiap perkembangan, tentu berarti terdapat perubahan. Maka, keagamaan harus mampu menampung perubahan masyarakat (social ahange ).6
C. Islam dan Modernisasi
Sebelum pemakalah mengulas lebi lanjut tentang Islam dan Modernisasi ini, terlebih dahulu pemakalah jelaskan apa itu Islam dan apa pula Modernisasi. Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-isl±man, yang berarti “patuh, tunduk, menyerah.7 Sedangkan Islam menurut istilah adalah tunduk dan patuh kepada apa yang telah dibawa oleh Nabi saw.8 Adapun Modernisasi, menurut Nurcholis Madjid adalah rasionalisasi, yaitu usaha untuk merasionalkan atau membuat masuk akal, bukan Westernisasi.9 Nurcholis Madjid sebagai seorang sarjana muslim yang dididik di dalam ilmu-ilmu keislaman, berusaha untuk memberi “jawaban Islam” terhadap masalah modernisasi. Inti jawabannya tercakup dalam kesimpulan sikapnya:
“Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah Westernisasi, sebab kita menolak Westernisme. Dan Westernisme yang kita maksudkan itu ialah suatu total way of life, di mana factor yang paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya”.10
Selanjutnya ia juga menjelaskan kenapa ia menolak sekularisme, karena kaitannya dengan atheisme. Atheisme adalah puncak sekularisme, sekularisme itulah sumber segala imoralitas.11 Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi.
Dengan begitu, berarti modernisasi adalah proses perombakan cara berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan.
Sedangkan ilmu pengetahuan tidak lain ialah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis.12 Modernisasi juga dapat diartikan dalam kerangka-kerangka tingkat industrialisasi, walaupun hal ini sering diikuti oleh suatu pengamatan bahwa, jika inilah conditio sine qua non, ia bukanlah kebenaran yang menyeluruh.13
Kita kembali kepada permasalahan, apakah Islam harus dimodernkan atau modern diIslamkan? Islam harus menyadari akan toleransi dan pluralitas sebagai nilai-nilai modern dan bahwa keduanya merupakan bagian dari tantangan modernitas, maka apakah pendakwah Islam sanggup merekonstruksi ajaran Islam sehingga mampu memberikan peluang bagi berlangsungnya perubahan dalam berapa orientasi keagamaan dan kulturalnya, seperti yang dianut oleh tanggapanya terhadap tantangan waktu dan tempat, dan adaptasinya terhadap lingkungan temporal dan parsial yang berbeda-beda.
Nurcholis Madjid pernah mengomentari Islam dan tantangan modernitas. Dalam pandangannya Alquran menunjukkan bahwa risalah Islam, karena universalitasnya dapat diadaptasikan dengan lingkungan kultural manapun termasuk lingkungan masyarakat perkotaan modern, kemampuan Islam mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan kebudayaan modern diakui oleh sejumlah ilmuwan sosial. Salah satunya adalah Ernest Gellne yang menegaskan bahwa Islam dapat dimodernisasi, dan upaya modernisasi itu dapat dilakukan serentak dengan upaya pemurniannya. Modernisasi diupayakan berlangsung tanpa merusak keaslian dan otensitasnya sebagai agama wahyu.14
Sebaliknya ada pula yang menolak pemodernan Islam. Sebab modernisasi merupakan pemberontakan radikal dalam melawan agama serta nilai-nilai spritual yang terkandung di dalamnya. Pemberontakan ini menghasilkan gerakan renaissains di Eropa, khususnya filsafat politiknya Machiavelli yang jahat dan hanya menurutkan hawa nafsunya belaka.15 lebih dari itu, ada mengatakan Islam akan hancur kalau tidak mau berdamai dengan hidup modern. Oleh karenanya umat Islam harus menyesuaikan diri dengan pemerintahan sekuler dan menganggap syari’ah sudah ketinggalan zaman dan kosepnya mengenai hukum lebih rendah bila dibandingkan dengan hukum Barat.16
D. Perspektif Islam Terhadap Modernisasi
Agama Islam, bagi kita, merupakan keyakinan. Bagi bangsa Indonesia, secara empiris, Islam merupakan bagian agama terbesar rakyat. Karena itu, sikap-sikap yang diterbitkan atau disangka diterbitkan oleh agama Islam, akan mempunyai pengaruh besar sekali bagi proses perubahan sosial. Bagi perubahan sosial, peranan Islam akan diwujudkan dalam dua sikap: menopang atau merintangi. Hal ini bergantung pada pengikutnya.17
Penting bagi kita untuk memahami betapa lebarnya kesenjangan antara pendidikan dan pendidikan sekuler di Mesir berikut konsekuensi-konsekuensinya yang sangat jauh jangkauannya. Hal ini tidak hanya menempatkan suatu sekolah dalam posisi berlawanan dengan sekolah lainnya dan suatu universitas-universitas lainnya: tetapi juga, lebih dari pada faktor mana pun, mendorong timbulnya perpecahan dikalangan umat muslim, yang terutama tampak di kota-kota besar, yang menempatkan kelompok ortodoks dalam posisi berlawanan dengan kelompok “yang dibaratkan” dalam hampir semua kegiatan social maupun intlektual, dalam cara berpakaian, sikap hidup, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, hiburan, sastra, dan bahkan dalam percakapan mereka.18
Kenyataan tentang adanya kesenjangan dan perlunya diakhiri kesenjangan inilah yang mendorong timbulnya modernisme dalam Islam. Pada saat yang sama, ia menampilkan pengertian-pengertian dilema kejahatan di mana gerakan pembaharuan itu dipaksa masuk. Di satu pihak, dalam upaya menuju formulasi prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam yang modern, para pembaharu itu hanya menjangkau sebagian besar kalangan terpelajar, tidak menyentuh rakyat kebanyakan. Karena itu pengaruh mereka jauh lebih besar dikalangan umat Muslim terpelajar di luar kelompok ahli-ahli agama (ulama).19 Intinya adalah, Islam mengutuk taql³d secara membabi buta (mengikuti pendapat yang tidak kritis) dalam masalah keyakinan dan pengamalan kewajiban-kewajiban agama secara mekanik.
Islam membangunkan akal dari tidurnya dan menyaringkan suaranya untuk menentang prasangka-prasangka orang yang bodoh, sembari menegaskan bahwa manusia tidak dicipta untuk dibelenggu tetapi secara fitri dia harus membimbing dirinya sendiri dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan, yaitu ilmu tentang alam semesta dan pengetahuan tentang hal-hal yang sudah berlalu.
Islam menjauhkan kita dari keterikatan secara eksklusif kepada segala sesuatu. Ia menunjukkan kepada kita bahwa kenyataan yang ada, dari segi waktunya, lebih dulu sampai kepada kita tidak merupakan bukti pengetahuan atau ketinggian akal fikiran, bahwa para nenek moyang dan keturunannya memiliki kemampuan intelektual dan kemampuan-kemampuan alami yang sama.20 Jadi ia melepaskan diri dari semua rantai yang mengikatnya, membebaskannya dari taqlid buta yang telah memperbudaknya, dan mengembalikan kewenangan kepadanya untuk mengambil keputusan sendiri sesuai dengan penilaian dan kebijakannya sendiri, namun demikian, ia wajib berkhidmat dihadapan Allah sendiri dan berhenti pada batas-batas yang ditetapkan agama; tetapi dalam batas-batas ini tidak ada penghalang bagi kegiatannya dan juga tidak ada pembatasan terhadap berbagai macam spekulasi yang dapat dikemukakan atas tanggung jawabnya.21
BAB III
KESIMPULAN
Sebenarnya modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial untuk ditentang kalau masih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam adalah agama universal yang tidak akan membelenggu manusia untuk bersikap maju, akan tetapi harus berpedoman kepada Islam. Dalam Islam yang tidak dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way of life di mana faktor yang paling menonjol adalah sekularisme, sebab sekulraisme selalu berkaitan dengan ateisme dan sekularisme itulah sumber segala imoralitas.
Inti dari modernisasi yang kemudian menjadi esensial dan sejalan dengan ajaran agama Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk menundukkan segala tingkah laku kepada kalkulasi dan pertimbangan akal. Rasionalisasi pada selanjutnya akan mendorong ummat Islam untuk bisa bersikap kritis dan meninggalkan taqlid yang dikecam dalam Islam. Dengan demikian, pada dasarnya modernisasi bukanlah sebuah esensi yang bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam.
Daftar Pustaka
‘Abduh, Mu¥ammad. Ris±lah Tau¥³d. Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq. Paris: t.t.p, 1925
Al-Asy’ari, Ab ¦asan. Hu¡n al-¦amidiyah. Mesir: Dar al-Fikr, 1996.
Attir, Mustafa O, dkk. Directions of Changs. Terj. Hartono Hadikusumo. Sosiologi Modernisasi. Cet. I. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989.
Gibb, H.A.R., Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Cet. 5. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan keIndonesiaan. Bandung: Penerbit Mizan , 1998.
Marcus, Margaret. Islam and Modernism. Terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni. Islam dan Modernisme. Surabaya: Usaha Nasional, 1981.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab – Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Nashir, Haedar. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
==================================================
1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 200
2 H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Cet. 5. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 29
3 Ibid., h. 31
4 Ibid., h. 32
5 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan keIndonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan , 1998), h. 124
6 Ibid., h. 125-126
7 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab - Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 654
8 Abu Hasan al-Asy’ari, ¦u¡n al-¦am³diyah, (Mesir. Dar al-Fikr, 1996), h. 67
9Nurcholis Madjid, Islam kemodernan dan keIndonesiaan, h. 17
10 Ibid., h. 18
11 Ibid.
12 Ibid., h. 172
13 Mustafa O, Attir dkk, Directions of Changes, Terj. Hartono Hadikusumo, Sosiologi Modernisasi, Cet. I. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1989), h. 179
14 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 204
15 Margaret Marcus, Islam and Modernisme, terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, Islam dan Modernisme. (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 39
16 Haedar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 3
17 Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan, h. 235
18 H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen dalam Islam, h. 73
19 Ibid., h. 74
20 Mu¥ammad ‘Abduh, Ris±lah Tau¥³d, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq (Paris: t.t.p, 1925), 107
21 Ibid., h. 108