Makalah Pengaruh Globalisasi Dan Pentingnya Pendidikan Agama Di Sekolah
Oleh : I Ketut Sudarsana
BAB I
PENDAHULUAN
Pelajaran Agama serta pesan-pesan moral yang disampaikan oleh guru di depan kelas, tidak mampu menjiwai setiap gerak langkah siswa dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini tentunya, disebabkan oleh keringnya pembelajaran yang dirasakan siswa, materi-materi pelajaran agama dianggap sebagai pelajaran tambahan yang harus dihapal, kemudian ditagih disaat ujian. Setelah ujian selesai, materi itupun segera menghilang tanpa bekas. Yang lebih parah lagi, di sekolah selama ini terkesan sebagai lembaga pengekangan, tidak ubahnya seperti penjara, dimana anak-anak didik dikekang dengan aturan yang serba ketat dan materi pelajaran yang begitu padat. Hampir tidak ada gagasan ataupun ide yang berasal dari siswa dapat berkembang dan menjadi perhatian. Dampaknya, ketika anak-anak selesai ujian nasional, mereka ramai- ramai mencoret baju, berteriak dijalanan dan ngebut-ngebutan. Seolah-olah mereka sudah bebas dan lepas dari semua pengekangan.
Inilah sebenarnya cerminan pendidikan Indonesia dewasa ini. Apabila situasi ini dibiarkan, maka bisa jadi masyarakat akan menjadi masyarakat yang rusak, masyarakat yang tidak memiliki nilai-nilai budaya yang harus dijunjung tinggi, masyarakat yang melupakan jati dirinya sendiri. Masyarakat yang cerdas dari sisi keilmuan, namun tidak memiliki kemampuan untuk mengerti dan memahami orang lain bahkan masyarakat yang tidak tahu dari mana asalnya. Di sini akan terlihat masyarakat pada kondisi yang sangat memperihatinkan, karena jauh dari nilai-nilai agama dan budaya yang ada. Untuk itu, peranan guru sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai spiritual dan moralitas sedini mungkin, tentunya melalui pembelajaran yang memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada siswa untuk mampu memahami diri dan orang lain disekitarnya serta mampu memahami dan menjiwai ajaran- ajaran agama yang sifatnya doktrinal secara baik dan benar. Guru hendaknya mampu berperan sebagai pembimbing untuk menuntun siswa memulai proses belajar, memimpin siswa agar hasil proses belajar sesuai dengan tujuan pengajaran, serta sebagai fasilitator dalam mempersiapkan kondisi yang memungkinkan siswa untuk melakukan kegiatan belajar.
Hal ini dapat dilakukan oleh para guru mulai dari pemilihan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi pendidikan Agama, serta karakteristik pembelajar, dan pemilihan strategi yang tepat dalam menimplementasikan pembelajaran Agama di Kelas. Terdapat semacam sinyalemen, bahwa harapan tumbuhnya sifat kreatif dan antisipatif para guru Agama dalam praktek pembelajaran untuk pemahaman siswa dewasa ini masih belum optimal. Hal ini, tampak terjadi mulai dari bangku pendidikan formal yang paling rendah hingga perguruan tinggi. Semua ini diduga sebagai salah satu faktor penyebab rendahnya kualitas dan kuantitas proses dan produk pembelajaran Agama. Kualitas proses pembelajaran Agama dapat dilihat dari pelaksanaan pembelajaran yang tidak lebih dari kegiatan pembelajaran yang bersifat rutinitas, dimana materi pembelajaran tidak sampai menyentuh kesadaran siswa, melainkan hanya sekadar sebagai syarat kelulusan ujian sekolah yang materi ajarannya harus dihafal sesuai dengan buku teks.
Hasil pembelajaran ini, jelas tidak memberikan arti apa-apa dalam pembangunan moral dan mental siswa sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan pembelajaran. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, faktor proses merupakan inti dari proses pendidikan formal di sekolah yang di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen pengajaran. Komponen-komponen itu dapat dikelompokkan dalam tiga kategori utama yaitu: guru, isi materi, dan siswa. Interaksi antara ketiga komponen utama tersebut melibatkan sarana dan prasarana seperti: model dan metode pembelajaran yang digunakan, media, dan penataan lingkungan tempat belajar, sehingga tercipta situasi belajar mengajar yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan
Abad ke-21 adalah era globalisasi dengan ciri-ciri adanya saling keterbukaan dan ketergantungan antarnegara. Akibat saling keterbukaan dan ketergantungan ditambah dengan arus informasi yang sangat cepat maka kompetisi antarnegara pun akan semakin ketat terutama pada bidang ekonomi. Bagi Indonesia globalisasi ini tidak hanya memiliki dimensi domestik akan tetapi juga dimensi global. Dari segi dimensi domestik globalisasi ini memberi peluang positip terutama untuk mengadopsi dan menerapkan inovasi yang datang dari luar untuk meningkatkan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat. Di samping itu dari segi keuntungan domestik, pengaruh globalisasi ini dapat mendidik masyarakat untuk memiliki pola pikir kosmopolitan dan pola tindak kompetitif, suka bekerja keras, mau belajar untuk meningkatkan keterampilan dan prestasi kerja. Dari segi global, hidup di dalam dunia lebih yang terbuka, dunia yang tanpa batas. Perdagangan bebas serta makin meningkatnya kerjasama regional memerlukan manusia-manusia yang berkualitas tinggi. Kehidupan global merupakan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan bagi SDM Indonesia yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja di luar negeri. Di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi SDM yang berkualitas bagi kebutuhan domestik maupun global.
Tampubolon, (2001:7-11) mengemukakan bahwa dengan perkembangan masyarakat industri dan pancaindustri, Indonesia berada di bawah pengaruh empat proses perkembangan sosial yang mendasar dalam abad ke-21, bahkan sesungguhnya sudah mulai dalam tiga dekade terakhir abad ke-20. Globalisasi diartikan sebagai proses saling berhubungan yang mendunia antarindividu, bangsa dan negara, serta berbagai organisasi kemasyarakatan, terutama perusahaan. Proses ini dibantu berbagai alat komunikasi dan transportasi yang berteknologi canggih, dibarengi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi serta nilai-nilai sosial-budaya yang saling mempengaruhi.
Perubahan mendasar akibat globalisasi ialah keterbukaan yang mengimplikasikan demokrasi dan kebebasan. Persaingan dalam bidang ekonomi akan semakin keras. Demikian juga, industrialisasi yang menuntut rasionalitas, efektivitas dan efisiensi dalam semua segi kehidupan, termasuk penggunaan waktu. Semuanya harus diperhitungkan secara rasional, walaupun diakui bahwa rasionalitas dapat berbenturan dengan nilai-nilai tradisi yang emosional, termasuk nilai-nilai keagamaan. Dominasi rasio berkembang pesat melalui pendidikan. Dominasi rasio ini menyebabkan melemahnya kehidupan beragama, sebagaimana dapat dilihat dari berkembangnya sekularisme di dunia Barat yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara.
J. Soedjati Djiwandono dalam makalahnya mengenai "Globalisasi dan Pendidikan Nilai" ( dalam Sindhunata, 2001:105) mengemukakan bahwa Negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia kini bukan saja saling terbuka satu sama lain, tapi juga saling tergantung satu sama lain, kalaupun ketergantungan itu akan senantiasa bersifat asimetris, artinya satu negara lebih tergantung pada negara lain daripada sebaliknya. Karena saling ketergantungan dan keterbukaan ini tidak simetris, pengaruh globalisasi atas berbagai negara juga berbeda kadarnya. Negara-negara berkembang akan cenderung lebih terbuka pada pengaruh globalisasi dari pada negara-negara industri maju, karena ketergantungan kelompok negara-negara pertama pada kelompok negara kedua yang memiliki kemampuan ekonomi, sumber daya manusia, dan teknologi. Demikian juga negara-negara maju akan bertindak sebagai pelaku atau subjek, sedangkan kelompok negara berkembang lebih sebagai sasaran atau objek globalisasi.
Dalam konteks pengertian globalisasi di atas, dapat diprediksi dampaknya terhadap kelompok negara-negara berkembang sebagai berikut: (1) kelompok negara-negara maju akan lebih dominan pengaruhnya terhadap kelompok negara-negara berkembang terutama pada bidang politik dan ekonomi; (2) kelompok negara-negara berkembang tetap pada posisi yang lemah dalam berkompetisi, walaupun secara teori kompetisi itu dilakukan dalam konteks kerjasama; (3) terjadi perubahan dalam cara kehidupan masyarakat terutama generasi muda yang tinggal di kota-kota; (4) semakin mudahnya komunikasi internasional, masyarakat dapat mengetahui inovasi global tentang perkembangan ilmu dan teknologi, sebaliknya dapat membawa pengaruh negatif pada kehidupan generasi muda. Contohnya adalah masalah Narkoba yang sudah melanda generasi muda Indonesia termasuk siswa SLTP/SLTA dan mahasiswa perguruan tinggi.
Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang kehidupan global di atas, diperlukan paradigma baru pendidikan. H.A.R. Tilar (2000:19-23) mengemukakan pokok-pokok paradigma baru pendidikan sebagai berikut: (1) pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis; (2) masyarakat demokratis memerlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis; (3) pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global; (4) pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis; (5) di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi di dalam rangka kerjasama; (6) pendidikan harus mampu mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat, dan (7) yang paling penting, pendidikan harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi warga negara Indonesia.
Globalisasi yang membawa gaya hidup modern cendrung memudarkan nilai-nilai lokal. Hal ini tentunya bertentangan dengan kenyataan hidup bahwa manusia itu pertama dibesarkan di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaannya sendiri. Globalisasi haruslah bertumpu dari lokalisme yaitu bertumpu kepada nilai-nilai lokal yang relevan dengan perubahan zaman. Nilai-nilai lokal sebagai modal pertama dari hal baru yang disodorkan oleh budaya global. Tanpa kuatnya nilai-nilai lokal yang hidup dalam seorang individu, tidak mungkin ia memasuki dunia global dengan kekuatan-kekuatannya yang sangat hebat, sehingga dengan demikian pribadi itu akan hanyut dibawa arus globalisasi tanpa tepi. Globalisasi tidak dengan sendirinya membawa nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu hanya nilai-nilai global yang ikut memelihara dan mengembangkan nilai-nilai lokal yang perlu disimak untuk diserap didalam proses pendidikan suatu masyarakat atau bangsa (Tilaar, 2005;28)
Konflik-konflik sosial, tindakan-tindakan diskriminasi, perilaku yang exklusif dan primordial muncul karena belum semua masyarakat merasa, menghayati dan bangga sebagai insan Indonesia. Dan di sinilah para pemimpin formal dan informal pada semua aspek kehidupan harus menjadi teladan. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan aktualisasi pendidikan nasional yang baru dengan prinsip-prinsip : (1) partisipasi masyarakat di dalam mengelola pendidikan (community based education); (2) demokratisasi proses pendidikan; (3) sumber daya pendidikan yang profesional; dan (4) sumber daya penunjang yang memadai.
Paradigma baru pendidikan di atas mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak lagi dipikulkan kepada sekolah, akan tetapi dikembalikan kepada masyarakat dalam arti sekolah dan masyarakat sama-sama memikul tanggung jawab. Dalam paradigma baru ini, masyarakat yang selama ini pasif terhadap pendidikan, tiba-tiba ditantang menjadi penanggung jawab pendidikan. Tanggung jawab ini tidak hanya sekedar memberikan sumbangan untuk pembangunan gedung sekolah dan membayar uang sekolah, akan tetapi yang lebih penting masyarakat ditantang untuk turut serta menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, termasuk meningkatkan mutu pendidikan dan memikirkan kesejahteraan tenaga pendidik agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah karena banyak kendala yang mempengaruhi, antara lain: (1) bagi masyarakat hal ini merupakan masalah baru sehingga perlu proses sosialisasi; (2) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota propinsi, kotamadya dan kabupaten, masalahnya lebih sederhana karena tingkat pendidikan dan ekonomi relatif baik, sehingga tidak sulit menyeleksi orang-orang yang akan duduk pada posisi tanggung jawab ini; (3) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota kecamatan dan desa masalahnya menjadi rumit karena tingkat pendidikan masyarakatnya rendah dengan kondisi kehidupan miskin.
B. Paradigma Pendidikan Agama di Sekolah
Pendidikan agama di sekolah masih diandaikan hanya sebatas teologi dan doktrin agama. Padahal ilmu-ilmu agama telah berkembang luas melampaui batas-batas teologi dan doktrin. Kajian sosial mengenai perilaku umat beragama juga adalah kajian agama. Dengan demikian, pengajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar-standar ilmiah. Dengan begitu, para siswa akan memiliki pengetahuan agama secara objektif dan tidak berdasar kepada pengetahuan dan iman subjektif belaka.
Salah satu isu utama yang mencuat di seputar kontroversi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional baru-baru ini adalah masalah pendidikan agama di sekolah. Ada sejumlah tokoh yang berpendapat bahwa keberagamaan, sebagai urusan privat, sebaiknya menjadi wilayah keluarga dan masyarakat. Undang-undang tidak perlu mengaturnya agar negara tidak mengintervensi wilayah privat. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sekolah umum tidak perlu melakukan pengajaran agama karena masalah keimanan dan ketakwaaan merupakan wilayah pengajaran keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini Tilaar (2005;14) berpandangan bahwa semakin banyak pihak yang peduli dan mengupayakan pembentukan manusia Indonesia menjadi religius, beriman, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur semakin baiklah adanya. Negara, dalam kasus ini tidaklah masuk ke urusan privat melainkan ke urusan sosial, yakni sebatas menjagai tegaknya social fairness dalam pelaksanaan pengajaran agama di sekolah, demi keharmonisan kehidupan bersama antar umat beragama. Kalau siswa diajar agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh guru yang seagama (inilah yang diatur oleh negara melalui Undang-Undang tersebut), kiranya rasa keadilan masyarakat tidak perlu terusik. Lagi pula, dengan cara demikian sekolah-sekolah swasta bermisi keagamaan akan lebih terdorong untuk melakukan "promosi" agama tidak secara vulgar di kelas dengan mengajarkan suatu agama pada siswa beragama lain, melainkan melalui cara-cara yang cantik dan elegan yakni melalui kecemerlangan budi-pekerti agamis yang ditampilkan oleh penganutnya atau oleh budaya sekolahnya.
Mengingat pentingnya pembangunan karakter siswa, meskipun pendidikan agama sudah dilakukan oleh keluarga dan masyarakat, akan lebih baik kalau juga dilakukan sekolah. Yang menjadi masalah adalah paradigma pendidikan agama seperti apakah yang dikembangkan sekolah-sekolah selama ini. Masih sangat mengecewakannya perilaku moral siswa, juga masih sering terjadinya ketegangan dan keretakan sosial bernuansa agama (seperti yang berlangsung di seputar masalah UU Sisdiknas) serta maraknya fenomena kemerosotan moral masyarakat, menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam pembelajaran pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama di sekolah masih jauh dari signifikansi peranannya dalam membangun moral bangsa. Salah kaprah mengenai pendidikan agama juga menyebabkan menyempitnya ruang lingkup pendidikan agama di sekolah-sekolah.
Pendidikan agama yang menekankan kebenaran mutlak agama sendiri sembari memandang agama lain sebagai salah dan sesat, pastilah membawa siswa pada sikap dan perilaku melecehkan agama lain, intoleran, bahkan potensial memusuhi penganut agama lain. Konflik dan perang atas nama agama, dasar religiusnya adalah sikap ini. Demikian pula pengajaran agama yang terlampau sibuk menekankan ritualisme dan orientasi serba keakhiratan kurang mengaitkan keberagamaan dengan perilaku kongkrit duniawi potensial membawa siswa pada sikap dan perilaku hidup terbelah. Orang dengan sikap ini akan sangat mementingkan kesalehan pribadi (dan biasanya sinis terhadap orang lain yang kurang ritualis), sementara kehidupan sosialnya dalam bekerja, berbisnis, berpolitik, berkuasa, dan lain-lain berlepotan dengan tindak keculasan, kedengkian, kepalsuan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan sebagainya. Dan akhirnya, pendidikan agama yang terlampau menekankan aspek kognitif atau intelektual (terutama hafalan) dan tidak menekankan pembentukan jiwa religius pada siswa, akan mendorong siswa memperlakukan pelajaran agama sebatas untuk keperluan menghadapi ulangan atau ujian, bukan untuk membangun kepribadian.
Mengacu pada Charles Y Glock & Rodney Stark (Religion & Society, 1966), keberagamaan (religious commitment) memiliki lima dimensi. Kesatu, dimensi intelektual (religious knowledge), menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai ajaran-ajaran agamanya. Kedua, dimensi ritualistik (religious practice), menyangkut tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agamanya. Ketiga, dimensi ideologis (religious belief) menyangkut tingkat keyakinan seseorang mengenai kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental atau dogmatik. Keempat, dimensi eksperiensial (religious feeling), menyangkut tingkat intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius seseorang. Kelima, dimensi konsekuensial (religious effect), menyangkut seberapa kuat ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama seseorang memotivasi dan menjadi sumber inspirasi atas perilaku-perilaku duniawinya.
Berdasarkan lima dimensi diatas, maka aspek-aspek pendidikan agama di sekolah haruslah dengan urutan skala prioritas dan garapan materi pendidikan seperti berikut ini ; Pertama, pendidikan agama sebaiknya mengutamakan dimensi konsekuensial keberagamaan. Ajak dan latih siswa untuk mempraktikkan suruhan-suruhan atau nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata duniawi, seperti menjaga kebersihan, bertindak jujur dalam ujian, tolong-menolong untuk kebaikan, menghargai orang lain (termasuk yang lain agama), dan lain-lain sebagai bagian dari ekspresi iman mereka. Latih siswa menyisihkan uang jajan untuk disumbangkan kepada fakir miskin. Ajak siswa mengunjungi penganut agama lain dan buatlah kegiatan bersama untuk membangun sikap penghargaan, toleransi, dan kerjasama antar umat beragama. Ajarkan bahwa agama adalah rahmat bagi kehidupan bersama. Agama harus menjadi faktor perekat, bukan faktor disintegratif; faktor solusi, bukan faktor masalah. Sebab, semua agama mendambakan kehidupan umat manusia yang damai, sejahtera, dan berkualitas. Siswa penting disadarkan bahwa keberagamaan haruslah membuahkan perilaku hidup baik. Tanpa itu, betapapun "rimbunnya" tampilan keberagamaan seseorang, itu bagaikan kerimbunan ilalang belaka.
Kedua, dimensi eksperiensial digarap dengan upaya-upaya menghadirkan Tuhan dalam kesadaran siswa di setiap saat dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan, dan kecanggihan alam semesta ciptaan Tuhan, serta dalam aktivitas keseharian siswa. Dengan begitu, Tuhan tidak hanya dihadirkan pada momen-momen eksklusif ritual saja, melainkan terus menerus dalam setiap langkah kehidupan.
Ketiga, pengolahan dimensi ideologis dilakukan dengan tetap mengedepankan perlunya sikap kerendahan hati dan kelapangan jiwa. Keyakinan pada kebenaran agama yang dianut siswa tidak boleh menghasilkan fanatisme sempit, arogansi religius, kelumpuhan akal, dan sikap anti-dialog. Perlu disadarkan pada siswa bahwa Tuhan adalah Tuhan alam semesta. Tuhan "berbicara" tidak melulu pada kelompok agama tertentu saja, namun pada semua umat manusia. Kebenaran Ilahi terserak di mana-mana. Tanpa kesadaran ini orang mudah tergoda untuk melakukan rekruitmen penganut agama lain dengan dalih penyelamatan yang berakibat keretakan sosial.
Keempat, pengajaran dan pelatihan tata cara ritus-ritus agama haruslah dilakukan sambil menekankan penyadaran siswa bahwa ritualitas lebih merupakan upaya peneguhan komitmen keber-Tuhanan seseorang, penjernihan rohani, dan penghadiran Tuhan dalam jiwa, sehingga efektivitasnya haruslah berupa perilaku hidup baik. Ritualisme tanpa perilaku hidup baik adalah kebohongan dalam beragama.
Kelima, pengajaran dimensi intelektual di samping menyangkut hal-hal seputar sejarah keagamaan, isi Kitab Suci, dan semacamnya, penting pula mengetengahkan diskursus tentang bagaimana nilai-nilai luhur agamawi dapat diejawantahkan dalam praksis kehidupan nyata di alam sosial Indonesia masa kini dan juga antisipatif terhadap masa depan. Dengan demikian, intelektualisme keagamaan menjadi kontekstual dengan situasi zaman.
C. Pentingnya Pendidikan Agama di Sekolah
Agama bagaikan rel yang menuntun manusia dalam menuju ke-EsaanNya, yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari dimensi manusia sebagai mahluk sosial. Dalam berbagai realitas sosial agama kerap menjadi kambing hitam dari sebuah konflik yang umumnya bukan semata-mata berasal dari perbedaan keyakinan tersebut. Sebut saja konflik yang terjadi dinegeri sendiri seperti Ambon dan Poso atau bahkan yang terjadi di Somalia ataupun Isarel-Palestina. Dan, maraknya kembali aksi-aksi terorisme yang berjubahkan agama membuat kita semakin bertanya tentang peran pendidikan agama di dunia sekolah khususnya sekolah umum. Seakan pendidikan agama tidak mampu menjawab perkembangan dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara cepat. Pendidikan agama disekolah-sekolah umum (non-agama) selama ini hanya dilihat dalam tataran tekstual dan kalau pun secara praktis tidak lebih dari pesraman kilat yang sebenarnya hanya mengisi waktu kosong sekolah dibulan libur dan sebagai ajang bisnis para guru-guru agama. Maka, tidaklah mengherankan agama justru sering kali dijadikan landasan untuk menciptakan konflik.
Pada konteks saat ini, dimana kesetaraan, penghargaan terhadap HAM, dan kesadaran terhadap pluralitas masyarakat menjadi tuntutan, maka pertanyaan yang timbul adalah masih relevankah pengajaran agama pada lembaga pendidikan? Padahal kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa pembelajaran agama di sekolah justru melahirkan individu-individu yang sempit, yang hanya mau menerima kebenaran moral dari agamanya, yang menjadikan agamanya sebagai patokan tertinggi kebenaran dan pada gilirannya tidak mau menerima dimensi-dimensi kebenaran dari agama lain. Kita juga sulit mengelak ketika agama dinyatakan sebagai determinan pemecah-belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling bermusuhan. Penulis melihat bahwa pendidikan agama hanyalah sebuah indoktrinasi yang tidak mengajarkan peserta didik untuk berpikir kritis.
Para pemuka agama dan guru-guru agama seharusnya malu ketika melihat begitu mudahnya kerusuhan massa terjadi begitu isu agama dihembuskan. Masyarakat kita menerima nilai-nilai agama melalui sosialisasi yang dilakukan para pemimpin dan guru-guru agama tanpa melihat konteks yang plural, akibatnya begitu satu agama bersinggungan dengan agama lain gejolak mudah sekali terjadi, bagaimana pemahaman agama hanya menumbuhkan balas dendam bukannya mencintai sesama manusia.
Pembelajaran agama kerap kali mencerabut individu dari lingkungannya, peserta didik diajarkan bahwa orang seagama adalah saudara, padahal dalam kehidupan sehari-hari peserta didik bukan hanya bergaul dengan orang seagama, bagaimana posisi orang yang tidak seagama? Tentu saja ini hanyalah sebuah contoh kecil dan masih banyak contoh lain yang tidak menunjukkan relevansi pendidikan agama. Membebankan pembelajaran agama pada lembaga pendidikan juga rawan terhadap politisasi agama dimana agama hanya sebagai alat mempertahankan kekuasaan dengan melegitimasi kekuasaan melalui nilai-nilai keagamaan. Saat ini bukan pembenahan pembelajaran agama yang perlu diperhatikan tetapi merekonstruksi tujuan pendidikan secara menyeluruh. Memang, etika dan moral adalah hal penting yang harus menjadi perhatian dalam muatan pendidikan, tentu saja etika yang menghargai pluralitas masyarakat, penghargaan terhadap hak asasi manusia, membentuk berpikir kritis terhadap sistem yang menindas, serta kontekstual dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Kalau mau konsisten dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa maka pendidikan juga harus dibebaskan dari indoktrinasi yang pada akhirnya hanya menghasilkan truth claim serta membunuh pikiran-pikiran cerdas dan kritis.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara cepat dan meluas menghadapkan manusia kembali dengan dirinya sebagai mahluk susila dan mempertanyakan kembali makna dan arti hidupnya. Penghadapan ini berkisar disekitar nilai-nilai konfigurasi nilai-nilai yang dipegangnya, haikatnya bersumber pada agama. Maka, mau tak mau seseorang yang beragama terpaksa merenungkan arti pembangunan dan perubahan-perubahan sosial yang dialaminya serta kelakukan sendiri dalam keadaan baru dari perspektif imannya. Karena iman, manusia mampu untuk membangun dan menjaga hukum keseimbangan antara kehidupan duniawi dan akhirat, sehingga tidak terhanyut dalam pengejaran dunia materialisme yang berlebihan. Iman membuahkan amal menurut kaidah-kaidah syariat agama dan usaha pembangunan sosial pada hakikatnya merupakan perluasan amal untuk menghadapai kemiskinan dan keterbelakangan, bukan hanya pada tingkat individual, melainkan sebagai masalah struktural masyarakat.
Dan, pendidikan agama yang semata-mata hanya menekankan hafalan kaidah-kaidah keagamaan dalam bentuk abstrak steril selain menjadi pelajaran yang sangat menjenuhkan juga akan kurang mempunyai relevansi terhadap usaha pembangunan dan untuk membina anak didik menghadapi masa peralihan secara positif, sebagai manusia susila. Pendidikan agama pada dasarnya berusaha membekali anak didiknya dengan seperangkat nilai, norma, yang diharapkan merupakan pegangan hidup di kemudian hari. Pendidikan agama tidak hanya cukup mengenali akhlak tapi mencoba menghslokai akhlak dalam menghadapi keadaan yang nyata. Dalam menghadapi keadaan yang nyata, tentunya diperlukan juga akal dan ilmu, pengertian rasional tentang proses-proses perubahan sosial, serta impilkasi-impilikasi sosial oleh ilmu pengertahuan modern. Sayangnya, pendidikan agama yang terjadi di negeri ini masih terus berkutat dalam lingkaran pemahaman agama secara tekstual. Dan, bahaya dari pemahaman agama secara tekstual sangatlah nyata. Hal ini terus terjadi dan menjadi bagian dari sejarah serta masa depan manusia. Berbagai kasus kekerasan dengan dalih agama terus ada sepanjang zaman.
Pemahaman agama secara tekstual dan kontekstual merupakan dua cara memahami perintah Tuhan yang mempunyai efek yang luar biasa berbeda. Mengajarkan umat untuk bisa memahami sebuah sloka secara kontekstual dengan tanpa keluar dari koridor-koridor nilai yang terkandung didalamnya memang tidak mudah dan memakan waktu yang lama. Memang sangat lebih mudah untuk mengajarkan umat supaya hafal teksnya saja. Pemahaman hakiki dari sebuah sloka adalah hasil dari perenungan pribadi dengan bantuan penerangan batin dari sumberNya. Peran pemuka agama hanya sebatas mengarahkan dan memberikan panduan supaya pemahaman tersebut tidak lepas dari hakikatnya. Tetapi banyak dari pemuka agama yang mengambil peran sebaliknya. Mereka mendominasi dan memaksakan arti dari sebuah sloka kepada umatnya. Umat hanya boleh patuh secara total, tanpa boleh berpikir secara kritis sedikitpun.
Tugas pendidikan agama tidak terbatas pada individu manusia tetapi juga pada usaha pembangunan sebuah bangsa dan keseluruhannya. Dan, tugas semua pendidikan adalah membina manusia susila, manusia yang berahlak atau dengan kata lain memanusiakan manusia. Pendidikan agama di dalam suatu masa perubahan sosial mempunyai tugas khusus, dalam arti membina anak didik untuk berkelakuan benar dalam situasi yang tidak menentu patokan-patokan moralnya. Karena perubahan atau kehancuran struktur-struktur sosial lama dan tumbuhnya keadaan – keadaan baru, maka lebih dulu diperlukan manusia-manusia yang mempunyai keberanian hidup yang bersedia mampu hidup diatas kaki sendiri dan mencari nafkah sendiri tidak menggantungkan nasibnya pada pemerintah atau birokrasi-birokrasi besar.
Pembanguan suatu bangsa membutuh pengetahuan tentang kenyataan – kenyataan sosial yang ada dan kemampuan untuk menilai kenyatan-kenyataan sosial berdasarkan kriteria yang ditarik dari suatu sistem nilai. Pendidikan agama dalam membentuk manusia susila tidak dapat dan tidak boleh berjalan sendiri, kalau pendidikan agama ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, ia harus berjalan dan bekerja sama dengan berbagai program mata pelajaran pendidikan non agama. Karena apabila tidak ada sinkronisasi antara mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan non agama, maka pendidikan agama hanya akan menjadi “hiasan kurikulum” belaka, yang berarti pendidikan agama yang hadir di dalam dunia sekolah selama ini tidak untuk membantu terciptanya suatu generasi baru yang lebih mampu dalam mengelola perubahan-perubahan sosial di masyarakat dan pembanguan bangsa pun tidak akan pernah berubah, bangsa ini hanya tinggal menunggu detik-detik kehancurannya.
Seperti yang diutarakan oleh Luthfi Assyaukanie (Kompas 15 Maret 2003) bahwa apa yang menjadi persoalan sebenarnya adalah kita terlalu membesar-besarkan peran pendidikan agama dalam membentuk moral bangsa. Padahal bagaimana korelasi kedua hal tersebut masih belum dapat dibuktikan, bahkan saat ini menunjukkan kenyataan yang berkebalikan. Adalah ironis bahwa Indonesia adalah negara beragama yang menekankan pendidikan agama dalam sistem pendidikannya tetapi masuk dalam kategori negara terkorup. Para pemimpin tak diragukan lagi pehamannya terhadap nilai-nilai agama, tetapi perilaku yang ditunjukkan sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai yang dicita-citakan tersebut.
Kelompok fundamentalis agama menyatakan bahwa kegagalan pengajaran agama membentuk moral di Indonesia adalah karena agama yang disampaikan dalam pendidikan saat ini telah jauh melenceng dari jalan yang benar seperti yang disampaikan oleh Tuhan, karena itu meskipun Indonesia mengklaim diri sebagai bangsa yang agamais tetapi memiliki moral terburuk. Anggapan ini sebenarnya tak lebih dari ungkapan frustasi melihat gagalnya pengajaran agama di lembaga pendidikan. Betapa tidak, berkaca pada negara lain yang lebih sekular, ternyata tata kehidupan mereka lebih tidak korup, lebih bersih dan ber-etika.
Tidaklah berlebihan apa yang diungkapkan oleh Luthfi Assyaukanie bahwa kita tidak bisa membesar-besarkan peran pendidikan agama dalam masalah moralitas dan etika. Masalah moralitas dan etika seharusnya bukan hanya termuat pada pelajaran agama saja tetapi pada semua mata pelajaran, mata pelajaran agama seharusnya menjadi mata pelajaran pilihan yang boleh diambil atau tidak oleh peserta didik. Agama adalah wilayah privat, karena itu pembelajaran agama seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Kalau kita benar-benar ingin mewujudkan tata kehidupan yang demokratis maka mestinya kebebasan yang dimiliki masyarakat bukan hanya kebabasan untuk memilih agama tetapi juga kebebasan untuk tidak memilih agama.
UU sisdiknas yang disahkan oleh DPR bersama pemerintah dalam salah satu pasalnya menyebutkan "setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya...." Seharusnya diubah diperluas dengan menyebutkan bahwa peserta didik berhak untuk memilih mangambil atau tidak palajaran agama di suatu lembaga pendidikan, begitu juga lembaga pendidikan tidak harus menawarkan pelajaran agama. Sudah saatnya lembaga pendidikan mejadi sebuah lembaga yang membebaskan. Membebaskan masyarakat dari sistem yang menindas, membebaskan manusia dari doktrin yang justru mencabut dirinya dari realitas.
Pendidikan mempunyai peran besar sekali untuk menimbulkan perubahan pada diri umat beragama. Melalui pendidikan dapat dibentuk kondisi mental yang lebih kondusif untuk mengembangkan kebangkitan moral-spiritual yang dikehendaki. Demikian pula penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diusahakan melalui pelaksanaan pendidikan yang tepat. Namun harus pula disadari bahwa hasil dari proses pendidikan baru terasa secara sungguh-sungguh setelah berlalunya satu generasi. Pendidikan harus dibarengi dengan terbentuknya Kepemimpinan yang dapat menjalankan proses perubahan tersebut sejak sekarang. Bahkan Kepemimpinan itu sangat penting untuk menimbulkan proses pendidikan yang diperlukan.
Proses pendidikan meliputi banyak segi, dan setiap kegiatan manusia mengandung unsur pendidikan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan meliputi sistem sekolah dan pendidikan luar sekolah. Dua hal itu harus saling mendukung untuk mencapai hasil yang optimal. Dalam pendidikan luar sekolah yang amat besar perannya adalah pendidikan di lingkungan keluarga. Sebab di lingkungan keluarga manusia lahir dan tumbuh di masa yang paling menentukan bagi pembentukan kepribadiannya. Hal ini terutama terasa dalam globalisasi yang membuat setiap unsur masyarakat makin intensif hubungannya dengan unsur masyarakat lainnya, demikian pula dengan unsur masyarakat luar negeri. Hubungan itu dapat berupa kerjasama atau persaingan yang dalam globalisasi makin intensif kondisinya. Akibatnya adalah bahwa tidak cukup hanya sebagian kecil masyarakat bermutu tinggi untuk mencapai kemajuan satu bangsa atau satu umat. Harus sebanyak mungkin warga masyarakat mempunyai mutu tinggi untuk dapat melakukan kerjasama dan persaingan bangsa dan umat. Hal ini menimbulkan tantangan yang amat berat, yaitu harus ada pendidikan yang besar kuantitasnya sehingga meliputi sebanyak mungkin warga masyarakat, maupun setinggi mungkin kualitasnya untuk seluruh pendidikan yang diselenggarakan. Hal ini merupakan tantangan besar untuk pengadaan dan penyediaan sumberdaya, baik sumberdaya manusia, sumberdaya uang maupun sumberdaya material. Dan karena sumberdaya pada dasarnya adalah langka, maka timbul tantangan kuat terhadap kemampuan manajemen pendidikan di satu pihak dan di pihak lain adanya komitmen yang kuat pada kepemimpinan bangsa untuk pengadaan sumberdaya itu.
Sebagaimana telah dikemukakan, pengaruh dari pendidikan luar sekolah, khususnya pendidikan di lingkungan keluarga, amat besar terhadap seluruh proses pendidikan. Sedemikian besarnya peran orang tua dalam membentuk kepribadian anak, yang sudah mulai dibentuk sejak kecil sebelum masuk sekolah. Sebab itu harus ada usaha yang kuat dan sistematis agar para orang tua memainkan peran itu dengan sebaik-baiknya. Kondisi dan suasana masyarakat serta lingkungan kehidupan pada umumnya berpengaruh kuat terhadap peran orang tua itu.
BAB III
PENUTUP
Memperhatikan hal-hal di atas maka, penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia dewasa ini harus terus ditingkatkan walaupun menghadapi kendala yang cukup sukar dan berat. Pendidikan agama di sekolah masih sangat banyak memerlukan perbaikan. Pendidikan dasar dan menengah hanya mempunyai sekolah bermutu dalam jumlah terbatas, baik yang milik Pemerintah maupun Swasta, sehingga belum cukup menghasilkan lulusan yang memadai untuk pelaksanaan pendidikan agama yang luas dan bermutu. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tidak mustahil ada sejumlah siswa yang bermutu, tetapi mayoritas siswa sebagai calon kader bangsa atau umat masih belum dapat dijamin mutunya untuk mengisi dan menjalankan aneka ragam pekerjaan dan professi yang ada dalam satu masyarakat Abad ke 21.
DAFTAR PUSTAKA
- Ali. M. 2000. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung. Sinar Baru Algesindo Offset.
- Anam, Saipul. 2005. Indra Djati Sidi Dari ITB Untuk Pembaruan Pendidikan. Jakarta: PT. Mizan Publika.
- Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
- Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar. 2004. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoretis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
- Ary, Donald, Lucy Cheser Jacobs & Asghar Razavieh. t.t. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, Penterjemah Arief Furchan, Surabaya: Usaha Nasional.
- Azwar, Saifuddin. 2002. Pengantar Psikologi Intelegensi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
- Darmaningtyas, 2005, Pendidikan Rusak-Rusakan, LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.
- Daud Ibrahim, Marwah, 1994, Teknologi, Emansipasi dan Transendensi (Wacana Peradaban dengan Visi Islami), Mizan, Bandung.
- Dimiyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
- Djamarah, Syaiful Bahri dan Azwan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
- Erich Fromm, dkk. 2006. Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis, Cetakan ke VI, Penerjemah Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Faure, Edgar. et.al. 1972. Belajar Untuk Hidup Dunia Pendidikan Hari Ini dan Hari Esok. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
- F. O‟neil, William, 2001, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Freire, Paulo, 1999, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebsan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Joni, T. Raka. 1986. Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Ditjen Pendidikan Tinggi Depdikbud.
- Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
- Sadia, I Wayan. 1996. “Pengembangan Model Belajar Konstruktivis dalam Pembelajaran IPA di Sekolah Menengah Pertama (SMP)”. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Bandung: Program Pascarsarjana IKIP Bandung.
- Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
- Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sukmadinata,
- Sudjana dan Inda Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.
- Sumantri, Mulyani dan Johar Permana. 1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Proyek pendidikan Guru Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Suparno, Paul. 1977. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
- Tilaar, H.A.R. 2004. Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
- Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Tirta, I Made dan Agus Abdul Gani. 2007. KBK dan Daya Dukungnya. Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Universitas Jember.
- Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan Teori- Aplikasi, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional