BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Mukjizat Al Quran
PENDAHULUAN
Makalah Mukjizat Al Quran
Mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan.makalah ini membahas tentang mukjizat al-quran Diantara kemurahan Allah terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa kemasa mengutus seorang rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah dan mengajak manusia untuk beribadah kepada-Nya semata. Setiap rasul yang diutus selain membawa kitab yang didalamnya mengandung kabar gembira dan peringatan, juga Allah bekali mereka dengan berbagai mukjizat untuk membantu mereka dalam berbagai kesulitan dan tantangan dari masyarakat yang menolak risalahnya sesuai dengan tingkat dan pola pikir masyarakatnya.
Nabi Muhammad Saw., diutus ketika masyarakat Arab ahli dalam bahasa dan sastra. Dimana-mana diadakan musabaqah (perlombaan) dalam menyusun syair atau khutbah, petuah dan nasehat. Syair-syair yang dinilai indah, digantung dika’bah sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus untuk dapat dinikmati oleh yang melihat dan membacanya. Penyair mendapat kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat Arab.
Pada saat turunnya al-Quran sebenarnya orang-orang Arab adalah masyarakat yang paling mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al-Quran serta ketidak mampuan mereka untuk menyususun seumpamanya. Namun diantara mereka tidak mengakuinya, bahkan suatu kali mereka menyatakan bahwa al-Quran adalah syair, al-Quran adalah sihir ulung atau pendukunan. Karenanya al-Quran datang menantang mereka untuk menyusun semacam al-Quran, ternyata mereka tidak mampu menyusun seperti susunan al-Quran yang indah dan bersastra tinggi, maka jelaslah kemukjizatan al-Quran. Untuk mengkaji lebih lanjut tentang mukjizat al-Qur an, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian mukjizat, macam-macam mukjizat, bentuk dan tahapan tantangan al-Quran, aspek-aspek kemukjizatan al-Quran, paham ash-sharfah, dan penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mukjizat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa kata mukjizat diartikan sebagai kejadian (peristiwa) yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.[2] Kata mukjizat terambil dari bahasa Arab أعجز (a’jaza) yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.[3] Sedangkan kata أعجز (a’jaza) itu sendiri berasal dari kata عجز (‘ajaza) yang berarti tidak mempunyai kekuatan (lemah).[4] Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka dinamaiمعجزة (mu’jizat). Tambahan ta marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[5]
Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.[6] Dalam al-Quran, kata ‘ajaza dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 26 kali dalam 21 surat dan 25 ayat.[7]. Dalam Kamus al-Mu’jam al-Washith, mukjizat diartikan:
أمر خارق للعادة يظهره الله على يد نبي تابدا لنبوته
“Sesuatu (hal atau urusan) yang menyalahi adat kebiasaan yang ditampakkan Allah diatas kekuasaan seorang nabi untuk memperkuat kenabiannya.” [8]
Imam Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa mukjizat itu adalah: [9]
أمر خارق للعادة, مقرون بالتحدى, سالم من المعارضة
“Suatu hal atau peristiwa luar biasa yang disertai tantangan dan selamat (tidak ada yang sanggup) menjawab tantangan tersebut.”Sedangkan menurut Manna al-Qattan, I’jaz (kemukjizatan) adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari qudrah (potensi, power, kemampuan). Apabila kemukjizatan muncul, maka nampaklah kemampuan mu’jiz (sesuatu yang melemahkan. Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembahasan ini ialah menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab dalam melawan mukjizat yang kekal yakni al-Quran.[10]
Maka mukjizat adalah sebuah peristiwa, urusan, perkara yang luar biasa yang dibarengi dengan tantangan dan tidak bisa dikalahkan. Al-Quran menantang orang-orang Arab, mereka tidak kuasa melawan meskipun mereka merupakan orang-orang yang fasih, hal ini tiada lain karena al-Quran adalah mukjizat.[11] Berdasarkan defenisi diatas maka dapat dikemukakan tiga unsur pokok mukjizat, yaitu:
1. Mukjizat harus menyalahi tradisi atau adat kebiasaan.
2. Mukjizat harus dibarengi dengan perlawanan, dan
3. Mukjizat tidak terkalahkan.[12]
Sedangkan menurut M. Qurais Shihab ada empat unsur yang harus menyertai sesuatu sehingga ia dinamakan mukjizat. Keeempat unsur itu adalah:
1. Hal atau peristiwa yang luar biasa.
Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya.
2. Terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi.
Apabila hal-hal yang luar biasa terjadi bukan dari seseorang yang mengaku nabi, ia tidak dinamai mukjizat.
3. Mengandung tantangan terhadap yang meragukan kenabian.
Tantangan ini harus berbarengan dengan pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelumnya.
4. Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal yang serupa, maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti.[13]
B. Macam-Macam Mukjizat
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat hissiyah (material indrawi), dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah (rasional).[14] Mukjizat nabi-nabi terdahulu semuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya, seperti perahu nabi Nuh yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat; tidak terbakarnya nabi Ibrahim dalam kobaran api; tongkat nabi Musa yang berobah menjadi ular; penyembuhan yang dilakukan nabi Isa atas izin Allah dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi tempat nabi tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Berbeda dengan mukjizat nabi Muhammad Saw, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.[15]
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan nabi Muhammad Saw., yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para nabi sebelum nabi Muhammad Saw., amat membutuhkan bukti kebenaran yang harus sesuai dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi. Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui nabi Muhammad Saw. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang badar hingga menutupi pandangan mereka, dan lain-lain merupakan hal-hal luar biasa yang telah terjadi.[16]
Namun demikian dapat disimpulkan, Pertama, Bahwa mukjizat itu luar biasa dalam mengatasi segala persoalan manusia, tiada yang kuasa membuatnya, selain Allah menentukan ketentuan tersebut. Kedua, bahwa antara mukjizat nabi yang satu dengan lainnya adalah sama fungsinya, yaitu untuk memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya.[17]
C. Bentuk dan Tahapan Tantangan al Quran
Tantangan yang datang dari al-Quran terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1. Tantangan umum
Tantangan ini ditujukan kepada semua golongan, baik kaum filosof, cendikiawan, ulama, dan hukama, serta semua manusia tanpa kecuali, orang Arab atau orang Ajam, orang putih atau orang hitam, mukmin atau kafir. Hal ini dijelaskan Allah dalam al-Quran surat al-Isra’ ayat 88.
2. Tantangan khusus
Tantangan ini ditujukan khusus kepada orang-orang Arab, terutama bagi orang-orang kafir Quraisy. Tantangan bertanding khusus ini terbagi atas dua macam, yaitu :
1. Tantangan yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu tantangan dengan seluruh al-Quran mengenai hukum-hukumnya, keindahan bahasanya, balaghahnya dan kejelasannya. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Thuur ayat 34.
2. Tantangan yang bersifat juz’i (sebagian), yaitu tantangan untuk mendatangkan sepuluh surat atau satu surat saja yang menyerupai surat-surat al-Quran. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Hud ayat 13 dan surat al-Baqarah ayat 23.[18] Adapun tahapan-tahapan tantangan al-Quran adalah sebagai berikut:
Pertama, Allah menantang untuk membuat semacam “keseluruhan al-Quran”, sebagaimana dipahami dari surat al-Thuur ayat 34,
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (الطور: 34)
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Quran itu jika mereka termasuk orang-orang yang benar.” (Al-Thuur : 34).
Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa ketika ayat ini turun untuk menantang orang-orang kafir Quraisy yang meragukan dan menolak kebenaran al-Quran, maka mereka berdalih “kami tidak mengetahui sejarah umat terdahulu” (yang merupakan sebagian kandungan al-Quran).
Adapun yang dimaksud dengan kalimat بحديث (bihadiitsin) dalam ayat diatas adalah tandingan al-Quran, namun ternyata mereka tidak mampu mendatangkan sesuatu yang menyamai al-Quran.
Kedua, Allah meringankan tantangan, yaitu menantang untuk membuat sepuluh surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana dinyatakan Allah Swt., dalam surat Hud ayat 13,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (هود:13)
“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Hud : 13).
Kata مفتريات (muftarayaat) yang diterjemahkan dengan “dibuat-buat” dalam ayat diatas adalah tudingan orang-orang kafir Quraisy terhadap nabi Muhammad Saw., bahwa al-Quran itu dibuat-buat, oleh karenanya Allah menantang, kalaupun al-Quran itu dibuat-buat (bohong), jikalau mereka mampu menyusun redaksi seindah dan seteliti al-Quran maka itu sudah cukup untuk mengakui kebenaran dugaan mereka, tetapi tantangan kedua inipun tidak sanggup mereka layani.
Ketiga, Allah meringankan lagi tantangan, yaitu tantangan untuk membuat satu surat saja yang menyamai al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt., dalam surat Yunus ayat 38,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (يونس: 38)
“Atau patutkah mereka berkata, “Dia (Muhammad) membuat-buatnya?”, Katakanlah (kalau benar tuduhan kamu itu), maka buatlah satu surah semacamnya dan panggillah siapapun yang dapat kamu panggil selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (Yunus : 38).
Tiga tahapan tantangan tersebut semuanya disampaikan ketika nabi Muhammad Saw., masih berada di Mekkah.
Keempat, Ketika nabi sudah hijrah ke Madinah Allah menantang kembali dengan tantangan yang lebih ringan lagi yaitu membuat satu surat yang hampir sama dengan al-Quran, sebagaimana dapat dipahami dalam surat al-Baqarah ayat 23,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة: 23)
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat yang seumpamanya dan panggillah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah : 23).
Ayat 23 yang terdapat dalam surat al-Baqarah ini mirip redaksinya dengan ayat 38 dalam surat Yunus. Perbedaannya antara lain pada kalimat (fa’tuu bisuuratin mitslihi dan fa’tuu bisuuratin min mitslihi). Kata من (min) disini diartikan “lebih kurang”, sehingga dengan demikian tantangan ini lebih rendah daripada tantangan sebelumnya yang menuntut membuat satu surah tanpa menggunakan kata من(min) atau “lebih kurang”.
Memang sejak semula Allah telah menegaskan bahwa siapapun dan kapanpun al-Quran tetap menjadi mukjizat dan tidak dapat ditandingi. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 88,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا(الإسراء: 88)
“Katakanlah (hai Muhammad): Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu sebagian yang lain.” (al-Isra’ : 88).
Dengan demikian jelaslah bahwa tahap demi tahap tantangan al-Quran, ternyata tidak seorangpun sanggup untuk memenuhi tantangan tersebut, terutama orang-orang Arab kafir Quraisy yang dengan terang-tarangan tidak menerima kebenaran al-Quran. Dengan demikian jelaslah mukjizat al-Quran yang benar-benar diwahyukan Allah untuk nabinya Muhammad Saw., yang ummi.
D. Aspek-Aspek Kemukjizatan Al Quran
Para ulama sepakat bahwasanya al-Quran tidaklah melemahkan manusia untuk mendatangkan sepadan al-Quran hanya karena satu aspek saja, akan tetapi karena beberapa aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah (semantik) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu, sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.[19] Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau segi kemukjizatan al-Quran. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah sesuatu yang terkandung dalam al-Quran itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku kalimatnya.
b. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran itu terkandung dalam lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah, karena nilai sastra yang terkandung dalam al-Quran itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
c. Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena al-Quran terhindar dari adanya pertentangan, dan mengandung arti yang lembut dan memuat hal-hal ghaib diluar kemampuan manusia dan diluar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya.
d. Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi kemukjizatan al-Quran adalah keistimewaan-keistimewaan yang nampak dan keindahan-keindahan yang terkandung dalam al-Quran, baik dalam permulaan, tujuan maupun dalam menutup setiap surat.[20]
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya al-Jami’i Ahkamil Quran menyebutkan sepuluh segi kemukjizatan al-Quran, sementara al-Zarkani dalam kitabnya Manahilul Irfan mencatat empat belas segi kemukjizatan al-Quran.[21] Perbedaan pendapat ulama diatas diketahui sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Jadi bukan berbeda dalam menentukan batasan-batasan kemukjizatan al-Quran, karena aspek-aspek kemukjizatan al-Quran tidak hanya terbatas pada aspek-aspek tertentu yang mereka sebutkan.[22] Adapun aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah:
1. Susunan bahasanya yang indah, berbeda dengan susunan bahasa Arab.
2. Uslubnya (susunannya) yang menakjubkan, jauh berbeda dengan segala bentuk susunan bahasa Arab.
3. Keagungan yang tidak mungkin bagi makhluk untuk mendatangkan sesamanya.
4. Syariat yang sangat rinci dan sempurna melebihi setiap undang-undang buatan manusia.
5. Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
6. Tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
7. Al-Quran memenuhi setiap janji dan ancaman yang dikabarkannya.
8. Luasnya ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya.
9. Kesanggupannya dalam memenuhi segala kebutuhan manusia.
10. Berpengaruh terhadap hati para pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya.[23]
Uraian singkat tentang aspek-aspek kemukjizatan al-Quran adalah sebagai berikut:
1. Susunan bahasanya yang indah
Susunan gaya bahasa dalam al-Quran tidak bisa disamakan oleh apapun, karena al-Quran bukan susunan syair dan bukan pula susunan prosa, namun ketika al-Quran dibaca maka ketika itu terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Cendikiawaan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran, menulis: “Al-Quran mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”.[24]
2. Uslubnya yang menakjubkan
Al-Quran muncul dengan uslub yang sangat baik dan indah, mengagumkan orang-orang Arab karena keserasian dan keindahannya, keharmonisan susunannya. Didalamnya terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akn terdapat dalam ucapan manusia.
3. Keagungannya
Al-Quran mempunyai kemegahan ucapan yang luar biasa yang berada diluar kemampuan manusia untuk menguasainya atau mendatangkan persamaannya. Kandungan al-Quran dapat mempengaruhi jiwa-jiwa pendengarnya dan dapat melembutkan hati-hati yang keras.
4. Syariat yang sangat rinci dan sempurna
Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akidah, hokum-hukum ibadah, norma-norma keutamaan dan sopan santun, undang-undang hukum ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan. Al-Quran juga mengatur kehidupan keluarga, menjunjung nilai-nilai kebebasan, keadilan (demokrasi) dan musyawarah.
5. Berita tentang hal-hal yang gaib
Al-Quran mengungkap sekian banyak ragam hal gaib. Al-Quran mengungkap kejadian masa lampau yang tidak diketahui lagi oleh manusia, karena masanya telah demikian lama, dan mengungkap juga peristiwa masa datang atau masa kini yang belum diketahui manusia.
6. Sejalan dengan ilmu pengetahuan modern
Al-Quran memuat petunjuk yang detail mengenai sebagian ilmu pengetahuan umum yang telah ditemukan terlebih dahulu dalam al-Quran sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern. Tiori al-Quran itu sama sekali tidak bertentangan dengan tiori-tiori ilmu pengetahuan modern, baik itu ilmu alam, arsitek dan fisika, geografi dan kedokteran.
7. Menepati janji
Al-Quran senantiasa menepati janji dalam setiap apa yang telah dikabarkannya serta dalam setiap janji Allah kepada hamba-Nya, baik janji mutlak seperti janji Allah untuk menolong rasul-Nya, maupun janji terbatas yaitu janji yang bersyarat seperti harus memenuhi syarat takwa, sabar, menolong agama Allah, dan sebagainya.
8. Terkandung ilmu pengetahuan yang luas
Al-Quran datang dengan membawa berbagai ilmu pengetahuan tentang akidah, hokum (undang-undang), etika, muamalat, dan berbagai lapangan lain dalam pendidikan dan pengajaran, politik dan ekonomi, filsafat dan sosial.
9. Memenuhi segala kebutuhan manusia
Al-Quran datang dengan membawa petunjuk-petunjuk yang sempurna, fleksibel lagi luwes, dan dapat memenuhi segala kebutuhan manusia pada setiap tempat dan masa.
10. Berkesan dalam hati
Al-Quran dapat menggetarkan hati pengikut dan penantangnya. Seseorang yang sangat memusuhi al-Quran bisa berbalik dibawah lindungannya. Umar bin Khattab, Sa’ad bin Mu’az, dan Usaid bin Hudhair misalnya, mereka adalah orang-orang yang paling kejam terhadap kaum muslimin tetapi disebabkan mendengarkan beberapa ayat al-Quran maka hatinya luluh dan masuk islam.
Filosof Perancis mengatakan “Sesungguhnya Muhammad Saw., membaca al-Quran dengan khusyuk, sopan dan rendah hati, untuk menarik hati manusia agar beriman kepada Allah, dan hal ini melebihi pengaruh yang ditimbulkan semua mukjizat nabi-nabi terdahulu.[25]
E. Paham As-Sharfah
As-Sharfah terambil dari akar kata صرف (Sharafa) yang berarti memalingkan, dalam pengertian bahwa Allah memalingkan manusia dari upaya membuat semacam al-Quran, sehingga seandainya tidak dipalingkan, manusia akan mampu. Dengan kata lain, kemukjizatan al-Quran dianggap oleh paham as-sharfah lahir dari faktor eksternal, bukan dari al-Quran itu sendiri.[26]
Berbicara tentang as-sharfah, Abu Ishaq Ibrahim an-Nazham dari golongan mu’tazilah yang oleh Mustafa Shadiq al-Rafi’i disebut sebagai “syetan yang berargumentasi” mengemukakan bahwa, kemukjizatan al-Quran pada dasarnya bukan terletak pada kehebatan al-Quran itu semata-mata melainkan lebih dikarenakan sharfah (proteksi) dari Allah Swt., terhadap para hambanya, lebih dari itu kata an-Nazham, Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia untuk menandingi al-Quran, akan tetapi juga malahan membelenggu kefasihan lidah mereka.[27]
Sementara al-Murtadha dari golongan Syiah berpendapat bahwa makna as-sharfah itu adalah mencabut, yaitu Allah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki yang dibutuhkan untuk menyusun kalimat serupa al-Quran.[28] Jika kita perhatikan kedua pendapat diatas, mereka menganggap bahwa al-Quran bukan merupakan mukjizat dengan Zat-Nya, tetapi kemukjizatan itu karena dua hal:
1. Penggerak Ilahi yang melemahkan mereka untuk bertanding akhirnya mereka bermalas-malasan.
2. Faktor luar yang melambangkan bakat kefasihan dan kemampuan sastra mereka.[29]
Dalam hal ini Muhammad Abd Azhim al-Zarkani memandang bahwa tuduhan penafian I’jaz al-Quran terhadap aliran Mu’tazilah dan kaum Syi’ah secara keseluruhan hanya disebabkan segelintir tokohnya yang dalam kasus ini an-nazham dan al-Murtadha merupakan tuduhan yang kurang etis mengingat terlalu banyak pengikut Mu’tazilah dan kaum Syi’ah yang pengakuannya tentang kemukjizatan al-Quran yang lebih kurang sama dengan kaum muslimin pada umumnya. Bahkan dari kalangan Ahli Sunnah sekalipun sesunguhnya ada yang membenarkan kemungkinan as-sharfah itu terjadi, diantaranya adalah Abu Ishak al-Isfariyini.[30]
Dalam pada itu Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani mengatakan bahwa, salah satu hal yang membatalkan pendapat tentang shirfah adalah, kalaulah menandingi al-Quran itu mungkin, tetapi mereka dihalangi oleh shirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan shirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apapun atas kalam yang lain.[31] Selain Abu Bakar al-Baqillani, pendapat tentang as-sharfah menurut Muhammad Ali as-Shabuniy juga dikatakan salah dan tidak bisa dipertanggung jawabkan karena tidak sesuai dengan kenyataan. Hal itu menurutnya karena beberapa faktor:
1. Kalau pendapat ini benar, kemukjizatan itu akan berada pada unsur pemalingan dan tidak dalam al-Quran itu sendiri.
2. Kalau pendapat dengan pemalingan ini benar, pasti hal itu unsur melemahkan bukan kemukjizatan. Karena perbuatan itu sama saja halnya kita memotong lidah seseorang kemudian kita paksa dia bicara.
3. Kalau ada penggerak yang melemahakan mereka untuk bertanding, mereka pasti sudah malas dan tidak mungkin menghalang-halangi Nabi untuk berdakwah.
4. Seandainya ada faktor yang timbul secara mendadak, menghalangi mereka berbicara tegas pasti mereka akan mengumumkan hal itu kepada khalayak ramai.
5. Bilamana pemalingan itu betul terjadi, pasti bagi kita sekarang akan bisa menandingi al-Quran, begitu juga bagi mereka yang tekun dalam sastra Arab pada setiap masa, tentu mereka akan bisa menerangkan kedustaan pengakuan kemukjizatan al-Quran.[32]
Semuanya itu (tentang pendapat as-sharfah) menurut hemat penulis adalah tidak benar, yang benar adalah bahwa usaha untuk mendatangkan semisal al-Quran sama sekali tidak akan terlaksana menurut kemampuan makhluk.
BAB III
PENUTUP
Al-Quran adalah mukjizat nabi Muhammad Saw., terbesar yang sifatnya ‘aqliyah sehingga berlaku sepanjang zaman karena dapat dijangkau oleh perkembangan akal manusia. Kemukjizatan al-Quran terletak pada aspek keindahan bahasanya, kabar berita yang dibawanya, keluasan isi materi yang terkandung didalamnya maupun dari segi-segi lainnya, dan tidak ada seorang manusiapun sampai kapanpun dapat menandinginya. Mukjizat al-Quran merupakan hal-hal yang luar biasa yang terdapat didalam al-Quran itu sendiri, bukan datang dari luar al-Quran, karenanya paham as-sharfah tidak dapat diterima. Demikianlah makalah ini disampaikan dalam seminar mata kuliah al-Quran, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan baik literature yang digunakan maupun susunan bahasanya, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan. Hanya kepada Allahlah kita menyerahkan diri.
DAFTAR PUSTAKA
- Anis, Ibrahim, et.all., al-Mu’jam al-Washith, Surabaya: t.t.
- Ansari, Ibnu Mansur Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-, Lisan al-Arab, Beirut: al-Dar al-Misriyah, 1990.
- Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Figh, cet. 8, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, Kairo: Dar al-‘Ilm:1978.
- Munawwar, Said Aqil Husain al-, I’jaz al-Quran dan Metodelogi Tafsir, Semarang: Dimas, 1994.
- Qattan, Manna’ al-, Mabahis fi Ulum al-Quran, Beirut: Maktabah Wahbah, 2004.
- Rafi’i, Mustafa Shadiq al-, ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah an-Nabawiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1990.
- Sayuti, Jalaluddin al-, al-Itqan fi Ulum al-Qur an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000.
- Shabuniy, Muhammad Ali al-, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
- Shiddiqiey, T.M. Hasbi al-, Mu’djizat al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
- Shihab, M. Qurais , Mukjizat al-Qur an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, cet II, Bandung: Mizan, 2007.
- Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
- Sya’rawi, Muhammad al-Mutawalli al-, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan Abdullah, Surabaya: Bungkul Indah, 1995.
- Poerwodarminto, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
- Zarkani, Muhammad Abdul ‘Azim al-, Manahilul Irfan fi Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988.
--------------------------------
[1]Makalah disampaikan pada tanggal 19 Maret 2008
[2]WJS Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 395.
[3]M. Qurais Shihab, Mukjizat al-Qur an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, cet II, (Bandung: Mizan, 2007), h. 25.
[4]Ibnu Mansur Jamaluddin Muhammad bin Mukarram al-Ansari, Lisan al-Arab, (Beirut: al-Dar al-Misriyah, 1990), Juz IV, h. 236.
[5]Shihab, Mukjizat…, h. 25.
[6]Said Aqil Husain al-Munawwar, I’jaz al-Quran dan Metodelogi Tafsir, (Semarang: Dimas, 1994), h. 1.
[7]Lihat al-Quran surat al-maidah (5):31, al-An’am (6):134, al-Anfal (8):59, al-Taubah (9):2 dan 3, Yunus (10):53, Hud (11):20, 33 dan 72, an-Nahlu (16):46, al-Hajj (22):51, an-Nur (24):57, al-Syu’ara (26):171, al-Ankabut (29):22, Saba (34):5 dan 38, Fathir (35):44, al-Shaffat (37):135, al-Zumar (39):51, al-Syura (42):31, al-Ahqaf (46):32, al-Zariyat (51):29, al-Qamar (54):20, al-Haqqah (69):7, dan al-Jin (72):12.
[8]Ibrahim Anis, et.all., al-Mu’jam al-Washith, (Surabaya: t.t.), Juz. 2, h. 585.
[9]Jalaluddin al-Sayuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), h. 228.
[10]Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, cet. XIII, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), h. 258.
[11]Ibid., h. 259.
[12]Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 38-40.
[13]Shihab, Mukjizat…, h. 26-27.
[14]ِِِAl-Sayuti, al-Itqan…, h. 228.
[15]Shihab, Mukjizat…, h. 38-39.
[16]Ibid., h. 39-44.
[17]Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rawi, Mukjizat al-Quran, terj. Muhammad Ali dan Abdullah, (Surabaya: Bungkul Indah, 1995), h. 2.
[18]Muhammad Ali al-Shabuniy, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 122.
[19]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Figh, cet. 8, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, (Kairo: Dar al-‘Ilm:1978), h. 30.
[20]Al-Shabuniy, Studi…, h. 136-137.
[21]Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarkani, Manahilul Irfan fi Ulum al-Quran, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), h. 355.
[22]T.M. Hasbi Al-Shiddiqiey, Mu’djizat al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 33.
[23]Al -Shabuniy, Study…, h.137-138.
[24]Shihab, Mukjizat…, h. 123.
[25]Al -Shabuniy, Study…, h. 220.
[26]Shihab, Mukjizat…, h. 159.
[27]Mustafa Shadiq al-Rafi’i, ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah an-Nabawiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1990), h. 144.
[28]Ibid.
[29]Al -Shabuniy, Study…, h. 221.
[30]Al-Zarkani, Manahilul…, h. 480.
[31]Al-Qattan, Mabahis…, h. 261.
[32]Al -Shabuniy, Study…, h. 221-223.