Makalah Tafsir Ijmali
BAB I
PENDAHULUAN
Alquran datang ke hadapan kaum Arab kala itu dengan format dan uslub yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya serta keindahan gaya bahasa yang tak tertandingi oleh para tokoh dan pakar bahasa waktu itu. Kitab suci ini telah menantang para pujangga dan tokoh-tokoh penyair Arab untuk membuat tandingan bagi Al-Quran, mulai dari terberat/membuat satu saja:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(38)
Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."(Q.S. Yunus : 38), bahkan yang kurang dari satu surah:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(23)
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.(Q.S Al Baqarah : 23). Namun tidak satupun dari tantangan tersebut dapat mereka yakini, malah mereka mengatakan, “ sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar dalah tukang sihir yang nyata”:
أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ أَنْ أَنْذِرِ النَّاسَ وَبَشِّرِ الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ الْكَافِرُونَ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ(2)
Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka". Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata."( Q.S Yunus; 2). Di lain kesempatan mereka mengatakan bahwa Alquranhanyalah mitos belaka. Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Furqan : 5 “dan mereka berkata : dongeng-dongeng orang terdahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah kepadanya dongeng itu setiap pagi dan petang”.
Bangsa Arab pada waktu Alquran diturunkan dapat mengetahui kemukjizatan Alquran melalui fitrah (kemapuan yang dibawa sejak lahir) yang mereka miliki[1], tanpa melalui penilitian terlebih dahulu. Hal ini dapt dimaklumi karena nalar bahasa mereka pada masa itu tinggi, dan belum banyak berbaur dengan bangsa non Arab. Diantara bukti konkrit yang dicatat sejarah adalah pernyataan Al-Muhgirah (salah seorang tokoh Quraisy), yang sangat takjub setelah mendengar keindahan bahasa Alquran. Bahkan diantara mereka (musyrikin Quraisy) ada yang langsung sujud setelah mendengar bacaan ayat: “Fashda’ bima tukmar wa ‘a’ridh ‘anil musyrikin”. Ketika ditanya,”apakah kamu telah masuk Islam? Orang tersebut menjawab: “tidak, tapi saya telah mendengar perkataan yang sangat menabjubkan”.[2]
Alquran laksana samudera yang keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah sirna ditelan masa, sehingga muncullah bermacam-macam tafsir dengan metode yang beraneka ragam pula. Perkembangan sejarah Alquran telah mengalami kemajuan pesat, baik pada keberadaan dan eksisitensi Alquran itu sendiri, maupun kajian-kajian yang berhubungan dengannya. Lebih dari seratus cabang ilmu pengetahuan yang bersumber dari Alquran, dan salah satunya adalah tafsir Alquran al Karim.
Dalam makalah sederhana ini, akan dikemukakan insya Allah, salah satu metode penafsiran yang sering kita dengar, yakni metode penafsiran ijmali, serta selanjutnya akan dibahas bagaimana penafsiran dengan metode ini serta kelebihan dan kekurangan metode ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Penafsiran Alquran
Kata metode dalam kamus besar bahasa Indonesia diadopsi dari kata methodos dalam bahasa Yunani. Kata tersebut terdiri dari dua kata yakni metha, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah.[3] Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai sesuatu yang ditentukan.[4]
Dalam hal ini, metode merupakan salah satu sarana terpenting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, studi tafsir Alquran tidak terlepas dari metode penafsiran, yakni cara sistematis untuk mencapai pemahaman yang benar tentang maksud Allah di dalam Alquran, baik yang didasarkan pada pemakaian sumber-sumber penafsirannya, sistem penjelasan tafsiran-tafsirannya, keluasan kejelasan tafsiranny maupun yang didasarkan pada sasaran dan sistematika ayat yang ditafsirkannya.
Pernyataan segaligus definisi diatas, secara implisit, memberikan indikasi bahwa metode mengandung seperangkat kaedah dan aturan yang harus diperhatikan oleh mufassir agar terhindar dari kesalahan dan penyimpangan dalam menafsirkan Alquran.[5] Sebelum memulai pembahasan tafsir ijmali, penulis terlebih dahulu mengemukakan pengertian tafsir, dan definisi ijmali.
Secara etimologi tafsir adalah menjelaskan dan menerangkan serta menyatakan. Dan menurut istilah banyak pendapat ulama dalam mendefinisikannya diantaranya adalah;
1. Al-Kilbiy dalam at Tashiel menyatakan:
التفسير: شرح القرآن وبيان معناه ولإفضاح بما يقتضيه بنصه او اشارته او نجواه.[6]
Tafsir ialah: Mensyarahkan Alquran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan najuannya.2. Zarkasiy dalam al Burhan mendefinisikan tafsir dengan
التفسير: بيان معاني القرآن واستخراج احكامه و حكمه.[7]
Tafsir adalah menerangkan makna-makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.3. al Jurjaniy berkata:
التفسير في الاصل الكشف والاظهار, وفي الشرعي توضيخ معني الاية, شأنها وقصّتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ او يدل عليه دلالة ظاهرة.[8]
Tafsir pada asalnya adalah membuka dan menzahirkan. Pada istilah syara’ ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara jelas.B. Tafsir Ijmali
Kata Ijmali secara bahasa adalah global. Dengan demikian tafsir ijmaliy adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan cara mengemukakan maknanya secara global.[9] Al-Tafsir al-Ijmaliy ini menempuh cara penafsiran ayat-ayat Alquran berdasarkan susunan ayat-ayat yang ada di dalam mushaf Usmaniy. Seorang mufassir memaparkan ayat demi ayat, surat demi surat secara teratur dengan penjelasan sederhana sehingga memungkinkan seorang pembaca dapat memahaminya, baik pembaca tersebut orang-orang yang istimewa, seperti tinggi ilmu pengetahuannya atau orang lain yang awam. Tujuan asasi penafsiran dengan metode ini adalah menggunakan bahasa yang dipergunakan oleh jumhur untuk mendekatkan makna supaya dapat dipahami pembaca. Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran mufassir menggunakan hadist Nabi, atsar salaf shalih, kejadian sejarah, kisah-kisah yang termaktub di dalam Alquran dan juga menyebutkan sebab-sebab diturunkan ayat jika ada.[10]
Seorang mufassir di dalam tafsirnya menggunakan kata dari bahasa Arab yang mirip bahkan tekadang sama dengan lafaz Alquran, sehingga pembaca akan merasakan bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari lafaz-lafaznya. Satu sisi karya ini dinilai betul-betul sebagai karya tafsir, dan pada sisi lainnya benar-benar memiliki hubungan erat dengan susunan bahasa Alquran. cara penafsiran dengan uslub yang demikian, akan dapat memudahkan seorang pembaca untuk memahaminya. Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis dengan sesuai metode ini adalah;
1. Tafsir Alquran al Karim oleh Muhammad Farid Wajdi.
2. Tafsir Alquran ak Karim, oleh Jalaluddin as Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.
3. Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
4. Tafsir al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.
5. Tafsir Alquran al Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barmiq.[11]
C. Keistimewaan dan kelemahannya
Dalam menganalisa tafsir ijmali, muncul beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan kegunaan kedua metode penafsiran ini, diantaranya adalah apa keistimewaan dan kelemahan metode tafsir ini, dan bagaimana pula contohnya. Dalam bagian ini akan dibahas insya Allah mengenai keistimewaan dan juga kelemahan tafsir ini. Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia, selalu saja memliki kelemahan dan keistimewaan. Demikian halnya juga dengan metode ijmali ini. Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal yang negatif, akan tetapi rujukan dalam ciri-ciri metode ini. Metode ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Alqur'an memiliki beberaa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara keistinmewaan ini adalah;
a. Praktis dan Mudah di pahami
Sesuai dengan sebutannya, tafsir ijmali ini merupakan penafsiran yang dalam menafsirkan suatu ayat tidak terbelit-belit, ringkas dan mudah dipahami oleh pembacanya. Selain itu juga pesan-pesan yang terkandung dalam tafsir ini, sangat mudah ditangkap oleh pembaca.
b Bebas dari penafsiran Israiliyat
Peluang masuknya penafsiran Israiliyat dalam metode penafsiran ini dapatdihindarkan, bahkan dapat dikatakan sangat jarang sekali ditemukan. Hal ini disebabkan uraiannya yang singkat hanya mengemukakan tafsir dari kata-kata dalam suatu ayat dengan ringkas dan padat.
c Akrab dengan bahasa Alquran
Uraiannya yang singkat dan padat mengakibatkan tidak dijumpainya penafsiran ayat-ayat Alquran yang keluar dari kosa kata ayat tersebut. Metode ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan, sehingga bagi pembacanya merasa dirinya sedang membaca Alquran dan bukan membaca suatu tafsir.
Adapun kelemahan yang dimiliki metode penafsiran ini diantaranya adalah;
a Menjadikan petunjuk Alquran bersifat parsial.
Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Alquran tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Menurut Subhi Saleh kandungan ayat-ayat Alquran mempunyai keistimewaan dalam hal kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita pasti menemukan pada bagian lain, baik yang bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci. [12]
b Terlalu dangkal dan berwawasan sempit
Tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian atau pembahasan yang memuaskan beekenaan dengan pemahaman suatu ayat. Ini boleh disebut suatu kelemahan yang harus disadari para mufassir yang akan menggunakan metode ijmali ini.
D. Contoh dan Korelasi
Contoh dalam penafsiran Ijmaliy ini dapat kita lihat pada tafsir al Jalalain, yang hanya membutuhkan beberapa baris saja saat menafsirkan lima ayat pertama di dalam surat al Baqarah. Al Jalalain saat menafsirkan Firman Allah QS al-Baqarah 1 memaparkan “الم” misalnya dia berkata Allah Yang Maha Tahu maksudnya. Demikian pula halnya saat menafsirkan Firman Allah “الكتاب” hanya menyatakan yang dibaca oleh Muhammad SAW. “لا ريب فيه” berfungsi sebagai predikat dan subjeknya adalah “ذالك”. “هدى” berfurngsi sebagai predikta kedua bagi “ذالك” yang mengandung arti memberi petunjuk bagi orang yang bertaqwa.[13]
Berbeda halnya dengan imam Qurthubiy dalam tafsirnya al Jami’ Liahkamil Qur’an, yang membutuhkan tiga halaman dalam menjelaskan atau menafsirkan Firman Allah QS Al Baqarah 1. Imam memulai penafsiran ayat ini dengan mengemukakan pentakwilan huruf-huruf muqattha’ah di dalam Alquran. didalamnya ada beberapa pendapat diantaranya yang dikemukakan ‘Amir as Sya’biy dan Sufyan at Tsauriy beserta sekelompok muhaddistin yang menyatakan huruf-huruf muqattha’ah adalah bentuk rahasia-rahasia Allah, yang hanya Allah Mengetahuinya dan kita tidak perlu untuk membahas dan membicarakannya. Dalam pendapat ini Qurthubiy memaparkan beberapa perkataan sahabat yang berkenaan dengan masalah ini, diantaranya perkataan Abu Laist ats Tsamarqadiy dari Umar, Ustman dan Ibnu Mas’ud yang berkata: “ Huruf -huruf muqattha’ah tidak perlu untuk ditafsirkan.
Kemudian pada pendapat lainnya, imam memaparkan pendapat yang mengharuskan orang mukmin untuk membahas dan membicarakan tentang huruf-huruf muqattha’ah, untuk mengambil faedah-faedah yang tersirat di dalamnya. Dalam pendapat ini terdapat berbagai perbedaan pendapat lain diantaranya menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah merupakan Asma Allah. Pendapat lainnya menyatakan huruf-huruf muqattha’ah ini adalah isyarat dari huruf hijaiyah yang hanya Allah mengetahui maksud yang tersirat di dalamnya. Pendapat selanjutnya adalah pendapat sekelompok ulama yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini adalah diambil dari Asma Allah yang sebagian dari kata-katanya dihapus. Misalnya huruf alif diambil dari kata Allah, huruf laam diambil dari kata Jibril, dan huruf miim diambil dari kata Muhammad. Dan juga ada yang berpendapat lain bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini diambil dari dari Asma Allah kesemuanya. Huruf aliif dari Allah, huruf laam dari Asma Allah Latif, dan huruf miim diambil dari Asma Allah Majiid.[14]
Kemudian pada selanjutnya imam memaparkan pendapat lain mengenai huruf-huruf muqattha’ah ini yaitu yang dikemukakan oleh Zaid bin Aslam yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini adalah nama-nama surat di dalam Alquran. selanjutnya al Kalbiy mengatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini adalah bentuk sumpah Allah. Juga dalam pendapat-pendapat diatas imam Qurthubiy juga memaparkan beberapa perbedaan dan perdebatan ulama dalam ikhtilaf ini.[15]
Kemudian imam membahas kata dzalika dan kata kitab. Dalam masalah ini imam memaparkan penafsirkan dzalika dengaan isyarat kepada Alquran, yang dilakukan oleh Abu Ubaidah dan Akramah. Contohnya adalah Firman Allah lainnya
تلك ايات الله نتلوها عليك بالحق
ذالكم حكم الله يحكم بينكم
تلك حجتنا آتيناها ابراهيم
Megenai kata Kitab, terdapat beberapa pendapat dalam penafsirannya, diantaranya;Dzalika kitab yakni kitab yang telah Aku tulis atas makhluk-makhluk, dengan berbagai bentuk kesedihan, kegembiraan, ajal rezeki yang tidak ada keraguan di dalamnya. Ada juga yang berpendapat dzalikal kitabu adalah suatu isyarat kepada Lauhul Mahfuz.
Yang lainnya berpendapat dzalikal kitabu adalah Kitab yang dijanjikan Allah kepada Nabi-Nya yang tidak akan terhapus oleh air. Juga ada yang berpendapat maksudnya adalah isyarat kepada apa yang termaktub di dalam Taurat dan Injil, serta juga ada yang berpendapat kata tersebut maksudnya adalah suatu isyarat akan apa yang telah diturunkan Allah di Makkah atau yang lazim disebut surat-surat Makkiy. Serta beragam pendapat lainnya yang tidak dapat ditulis penulis kesemuanya.
Dalam penafsirkan “فيه هدي للمتقين” juga terdapat beberapa permasalahan, dan pada makalah ini penulis akan memaparkan sebagian dari kesemuanya.
Pertama, hudaa adalah petunjuk yang didapat oleh para Rasul beserta para pengikut mereka. Kedua, ada yang menafsirkan hudaa disini adalah salah satu nama sungai, karena sungai merupakan suatu tempat yang sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, sebagaimana juga hidayah/petunjuk sangat dibutuhkan manusia untuk menemukan kebahagian hidup.
Kemudian imam memaparkan makna taqwa menurut beberapa ulama, diantaranya ada yang menafsirkan taqwa adalah kebaikan, juga ada yang menafsirkan taqwa disini dengan sedikit cakap. Karena kata taqwa asalnya adalah sedikit cakap. Serta berbagai permasalahan lainnya yang diutarakan imam Qurthubiy dalam menafsirkan ayat pertama surat al Baqarah ini.[16]
Dari pemaparan contoh dari kedua bentuk penafsiran ini, dapat dilihat perbedaan mendasar dalam penafsiran ayat Alquran dengan menggunakan metode ijmali dengan perbedaannya dengan metode tafsir tahlili. Tafsir ijmali menggunakan metode yang ringkas dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, yang polanya adalah meletakkan tafsir di dalam rangkaian ayat-ayat seperti penjelasan kata yang kemudian disimpulkan dengan penjelasan yang umum.
BAB III
PENUTUP
Penafisran ayat-ayat Alquran yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW, mengalami berbagai perkembangan dalam bidang metodologi. Pada awalnya, penafasiran Alquran dilakukan dengan metode riwayat, atau yang kerap dikenal dengan Tafsir bil Ma’tsur. Selanjutnya metode ini mengalami perkembangan, hingga metode yang menggunakan logika, atau yang kerap dikenal dengan tafsir bil Ra’yi. Perkembangan selanjutnya, adalah metode penafsiran penalaran, dimana kitab-kitab tafsir diklasifikasikan kepada salah satu metode penafsiran baik ijmaliy, tahlili, muqarin, maupun maudhu’i. Metode tafsir ijmali merupakan salah satu metode penafsiran yang berusaha untuk mengungkapkan kandungan makna yang tersirat di di dalam Alquran. dengan berbagai keistimewaan dan keterbatasannya, metode ini dapat membantu orang baik itu awam maupun intelektual untuk menggali makna yang tersirat. Namun terlepas dari keistimewaan dan keterbatasannya. Metode penafsiran di atas, pada dasarnya adalah usaha untuk menjelaskan ayat serta hikmat yang tersirat di dalam suatu ayat Alquran. perbedaan bentuk yang banyak, adalah sebagai bentuk kekayaan khazanah dalam bidang tafsir ini. Kesemuanya memiliki kesempurnaan dan keterbatasan, sehingga kesemuanya dapat saling membantu dan juga menutupi satu dengan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Amari, Ali, Haula I’jaz Al-Quran. Majalah Al-Azhar, 1419.
- Al-Farmawiy, Abd al-Hayy Metode Tafsir Maudhui, Terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
- Al-Mahalli, Jalaluddin dan Jalaluddin as Suyuthiy, Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim, juz 1. Semarang: Toha Putra, t.th.
- Al-Qurthubiy, Muhammad bin Ahmad al Anshariy, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, juz 1. Kairo: Darul Ulumil Qur’an, t.th.
- As-Shiddiqiy, M. Hasybiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992.
- Baker, Anton, Metode-metode Filsafat, cet. 1. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
- Salih, Subhi, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, trjmh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.
- Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung: Pustaka Islamika, 2002.
- Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-ilmu Al Qur'an 2 . Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
- Tim Penulis, Al-I’jaz Al-Qur’ani. Baghdad, 1990.
- Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
FOOTNOTE
----------------------------
[1] Lhat, Al-I’jaz Al-Qur’ani, (Kumpulan Makalah Simpoium tentang I’jaz Al-Qur’an di Baghdad, 1990) h.462
[2] Ali Al-Amari, Haula I’jaz Al-Quran (Majalah Al-Azhar, 1419)h .4
[3] Anton Baker, Metode-metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), cet. 1, h. 10.
[4] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 580-581.
[5] Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir (Bandung:Pustaka Islamika, 2002), Cet ke-1, h. 302.
[6] M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h. 178.
[7] Ibid, h. 178.
[8] Ibid, h. 179.
[9] Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Maudhui, Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 29
[10] DR. Zahir bin ‘Iwadh al Ma’iy, Dirasat fi at Tafsir al Maudhu’i lil Qur’an al Karim, h. 17.
[11] Ibid, h. 18, lihat juga: H Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al Qur'an 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 113
[12] Subhi Salih, Mabahis Fi Ulumil Qur’an, trjmh Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, t.th.), h. 299.
[13] Jalaluddin al Mahalli dan Jalaluddin as Suyuthiy, Tafsir Al Qur'an al ‘Azhim, juz 1, (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 2
[14] Muhammad bin Ahmad al Anshariy al Qurthubiy, al Jami’ Liahkamil Qur’an (Kairo: Darul Ulumil Qur’an, t.th.) juz 1, h. 128.
[15] Ibid, h. 129-130.
[16] Ibid, h. 130-131