Makalah hadis Al-Jarh Wa Al-Tadil
Oleh: Sanusi
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
Hadis sebagai pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal ihwal nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran. Hadis sampai kepada kita melalui jalan perawi. Dengan begitu para perawi merupakan pusat utama dalam rangkan mengetahui kesahihan hadis. Untuk itu maka dikenal ilmu al-jarh wa al-ta’dil sebagai suatu lmu yang dipakai untuk menetapkan apakah periwayatan sorang perawi dapat diterima atau ditolak. Pada kesempatan ini penulis mencoba memapakan lebih jauh tentang ilmu al-jarh wa al-ta’dil denngan menjabarkannya mulai dari pengertiannya, dalil disyari’atknnya, lafaz-lafaz yang dipergunakan, syarat-syaratnya prosedur penetapannya, cara mengatahui keadilan perawi sampai kepada pertentangannnya antara Al- Jarh Wa Al-Tadil
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al- Jarh Wa Al-Tadil
Al-jar secara etimologis merupakan bentuk masdar dari kata جرح - يجرح yang berarti melukai. Keadaan luka dapat diartikan luka secara fisik maupun non fisik seperti luka oleh kata-kata kasar seseorang.[1]
Secara terminologis berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang mengkibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. At-tarj³h berarti mensifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang membawa konsekuensi penilainnya lemah atas riwayatnya/tidak diterima.[2]
Adapun al-‘adl secara terminologis berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, orang adil berarti yang diterima keaksiannya. Ta’dil pada diri seseprang berarti menilainya positif. Al-‘adl secara terminologis berarti orange yang tdak meiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya seingga kesaksiannya bias diterima.
Dengan begitu maka ilmu al-jar wa al-ta’dil berarti :
[3]العلم الذي في احوال الرواة من حيث قبول روايا تهم او ردها
Dalam kitab jar wa ta’dil karangan ‘Abdul Manjur Muhammad ‘Abdul Latif didefenisikan sebagai berikut :
علم يبحث فيه عن جرح الرواة و تغد يلهم بأ لفا ظ مخصوصة عن مراتب تلك الالفاظ[4]
Berdasarkan defenisi defenisi diatas, maka secara umum dapat dikatakan ilmu jar¥ hwa ta’d³l berarti ilmu yang memberikan kritikan terhadap adanya aib atau memberikan pujian adil kepada perawi.
C. Dalil disyari’atkannya Al- Jarh Wa Al-Tadil
Dalil yang menjadi disyari’atkannya al-jarh wa al-ta’dil adalah firman Allah SWT yang terdapat pada Alquran surah al-Hujurat ayat 6 :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Selain itu juga surah al-Baqarah ayat 282 :
Artinya : Dan periksalah dengan dua orang saksi dari orang-orang lealaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seoarang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Yang dimaksud saksii yang diridhoi adalah orang yang kita ridai agama dan kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadis tidak diterima kecuali dari orang-orang £iqat.
Berkenaan dengan al-jarh, Rasulullah saw. bersabda :
بئس أخو العشيرة
Artinya : seburuk-buruk saudara adalah dia.
Dan yang berkenaan dengan ta’dil beliau bersabda :
نعم عبد الله خالد ابن الوا ليد من سيف الله
Sebaik-baiknya hamba Allah adalahKhalid bin al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah.[5]
D. Lafaz-lafaz Yang Dipergunakan dalam Al- Jarh Wa Al-Tadil
Lafaz-lafaz yang digunakan untuk mentajrih dan menta’dil rawi itu bertingkat-tingkat.[6] Dalam menentukan jumlah peringkat yang berlaku pada al-jarh wa al-ta’dil, ulama kritik berbeda pendapat. Ibn Abi yatim ar-Raji (w. 327 H) menyatakan ada empat peringkat untuk al-jarh dan untuk al-ta’dil. Al-wahabi (w. 718 H), al-Iraqi (w. 806 H), dan Faid al-Harawi (w. 837 H) menetapkan lima peringkat. Ibnu hajar al-Asqalani (w. 852 H) yang disetujui oleh Jalal ad-Din as-Suyuti (w. 911 H) menetapkan enam peringkat untuk al-jarh wa al-ta’dil tersebut.[7]
Dari ketiga pendapat mengenai peringkat-peringkat lafaz al-jarh wa al-ta’dil di atas, peringkat yang dikemukan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani yang banyak diikui oleh ulma berikutnya, sebab klasifikasi yang dikemukakan tersebut lebih terperinci. Selanjutnya akan dijelaskan peringkat-peringkat lafaz Al- Jarh Wa Al-Tadil tersebut.
Adapun peringkat lafaz ta’dil :
1. Kata-kata yang menunjukkan intensitas maksimal (mubalaghah), Al-Tadil dengan bentuk af’al at-ta’dil dan sejenisnya.
contohnya :
اوثق الناس, اضبط الناس
2. Kata-kata yang menunjukkan sifat adil, dengan kata yang menyiratkan kedhabitan, contohnya :
ثبت متقن
3. Kata- kata yang menunjukkan kesiqatannya. Contohanya :
فلان لايسأل عنه
4. Kata-kata yang mengukuhkan kualitas siqat dengan salah satu sifat diantara sekian sifat adil dan siqat, baik kata yang sama atau kata yang berarti, contohnya :
ثقة مأ مون
5. Kata-kata yang menunjukkan sifat adil, tetapi menggunakan kata yang tidak menyiratkan kedhabitan, contohnya :
صدوق
6. Kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tajrh, contohnya :
شيخ, ليس ببعيد من الصواب, يلح,صدوق ان شأ الله
Dalam menggunakan lafaz ta’dil di atas para ulama menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafaz ta’dil di atas. Kemudian untuk peringkat kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kenabian seorang periwayat hadis, adalah baru dapat diterima jika hadisnya ada perawi lain sebagai penguatnya.
Peringkat lafaz tajr :
1. Kata-kata yang menunjukkan mubalagh±h dalam hal jar. Contohnya :
اكذب الناس
2. Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pendusta, pemalsu atau sejenisnya, contohnya : كذاب
3. Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai sebagai pendusta, pemalsu ataau yang sejenisnya, contohnya : يسرق الحديث
4. Kata-kata yang menunjukkan penilaian ke«a’³fan yang sangat, contohnya:ضعيف جدا
Bila para perawi terkena atau memiliki jar¥ dari satu hingga peringkat keempat, maka para ulama tidak menjadikan hadisnya sebagai hujah. Kemudian terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam pada hadisnya, maka hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar, hal ini karena tingkat kedha’ifannya adalah ringan. Untuk melihat peringkat-peringkat lafaz al-jar¥ wa al-ta’d³l dari beberapa ulama hadis diatas, maka dapat dilihat pada table berikut :[8]
E. Prosedur Penetapan Al- Jarh Wa Al-Tadil
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ulama ahli Al- Jarh Wa Al-Tadil yang digunakan sebagai prosedur penetapan Al- Jarh Wa Al-Tadil, yaitu :
Jujur daan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan sifat positif maupun negative perawi. Sebagai contoh perkataan Muhammad ibn Sirin: “Sungguh engkau berbuat zalim kepadamu, bila engkau hanya menyebutkan keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikannya”.
Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataan ulama tentang al-jar¥ wa al-ta’d³l kita bisa menemukan kecermatan mereka dalam meneliti dan kedalaman pengetahuan mereka tentang seluk beluk perawi yang kritik.
Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih. Dari ungkapan-ungkapan imam-imamAl- Jarh Wa Al-Tadil kita bisa melihat bahwa mereka tidak menyebutkan sebab-sebab ta’dil mereka terhadap perawi. Karena sebab-sebab ta’dil sangat banyak, sehingga sulit bagi seseorang untuk menyebut seluruhnya. Berbeda dengan al-jarh, yang umumnya mereka menjelaskan sebabnya, seperti sering lupa, menerima secara lisan saja, sering salah, kacau hafalannya, tidak kuat hafalannya, dusta, fasik dan lain-lain. Karena dianggap cukup menyebut atau sebabb untuk mngkritik sifat adilnya atau daya hafalannya. Mayoritas ulama menerapkan prinsip semacam ini. Karena jarh hanya diperbolehkan demi kepentingan membedakan antara yang tsiqah dan yang dha’if.
F. Cara Mengetahui Keadilan Seorang Rawi
Keadilan seorang rawi dapat mengetahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :
Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang adil. Seperti dikenalnya sebagai orang yang adil dikalangan ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan dan lain-lain.[9]
Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil dikalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya. Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). “Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’d³lkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a. seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Oleh karena itu jumlah tersebut tidak menjadi syarat untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian pendapat kebanyakan muhaddisin, berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
b. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.[10]
Selain dari ketetapan keadilan seorang rawi, ketetapan tentang kecacatannya juga dapat ditempuh dengan 2 jalan :
- berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam ke’aibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasiq atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkannya kecacatannya.
- Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.[11
G. Pertentangan Antara Al- Jarh Wa Al-Tadil
Kadang-kadang pernyataan–pernyataan tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrihkannya, sedang sebagian lain menta’dilkannya. Jika hal demikian tersebut terjadi maka sebagai solusinya ada beberapa pendapat ulama yang dapat dipegang:
Mendahulukan jarh daripada ta’dil.
الجرح مقدك على التعديل إذا كان مبينا
Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang menta’dil jauh lebih banyak. Karena banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan perawi – perawi yang bersangkutan. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab menta’dil walaupun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitakan apa yang bisa menggah pernyataan yang mentajrih.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ul al-adil. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998.
- Ash-Shiddieqy, Habsi. Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis. Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997.
- Dahlan, Abdul Aziz et.al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : Ichtiar Van Hoeve, Jilid III, 1996.
- Isma’il, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
- ________________. Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta : Bulan Bintang, 1995.
- Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalah al-Hadis. Bandung : Al-Ma’arif, 1995.
________________
[1] Ibnu Man§r, Lis±n Al-‘Arab (Beirut : D±r al-Fikr, 1990), Jld. III,h. 422.
[2] Mu¥ammad ‘Ajj±j al-Kha¯ib, U¡l al-¦ad³£ (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), h. 233
[3] Ibid
[4] Abdul Mujur Mu¥ammad Abdul La¯³f, Ilmu Jar¥ Wa Ta’d³l (Kairo : D±r al-Sal±fiyah, 1988),h. 17. Lihat juga Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 134.
[5] Lihat ‘Ajj±j al-Kha¯ib, U¡l al-¦ad³£ , h. 234-235.
[6] Dalam istilah al-jar¥ wa al-ta’d³l tingkatan ini dikenal dengan sebutan Mar±tib alf±§ al-jar¥ wa al-ta’d³l.
[7] Jal±l al-D³n ‘Abd Ra¥m±n as-Suy¯³, Ta«r³b ar-R±w³, (Beirut : D±r-al-Fikr, 1993), h. 226-227.
[8] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis ;Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), h,198 dan 202
[9] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadis (Bandung : Al-Ma’arif, 1995), hal. 270.
[10] Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : Ichtiar Van Hoeve, Jilid III, 1996) hal. 805.
[11] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadis, h. 270 – 271.