Diskursus tentang Islam dan demokrasi telah berakar panjang dalam sejarah Indonesia. Setidaknya sejak tahun 1920-an, bersamaan dengan arus masuk dan pertarungan ragam ideologis dalam ruang publik inteligensia baru Indonesia, upaya untuk mengaitkan perjuangan Islam dan demokrasi mulai bersemi.
ISLAM, INDONESIA DAN DEMOKRASI
Oleh: Yudi Latif
Di ujung pengembaraannya sebagai pemikir Islam, almarhum Nurcholish Madjid justru memungkasi persembahan karyanya dengan risalah tentang kebangsaan-kenegaraan, Indonesia Kita. Tidaklah berarti bahwa idealisasi kesemestaan ummat ditinggalkan. Tetapi pergulatannya dengan ayat-ayat kesejarahan memberinya pemahaman, betapa konsepsi keummatan itu tidaklah kebal terhadap hukum sejarah: bahwa pada suatu orde formasi sejarah tertentu, negara-bangsa (nation-state) tampil sebagai bentuk pelembagaan kekuasaan yang paling dominan di dunia. Dan ketidakrelaan sekelompok orang untuk menerimanya, tidaklah dengan mudah bisa berpindah ke bentuk pelembagaan kekuasaan yang lain (semisal kekhalifahan) semaunya sendiri. Karena hal itu merupakan resultante dari jalinan relasi-relasi kuasa dan perekonomian pada tingkat global, di mana setiap noktah di planet bumi merupakan bagian dari arus besar hukum sejarah.
Jika masanya tiba, formasi sejarah negara-bangsa mungkin saja mencapai kematangannya dan meniscayakan hadirnya bentuk pelembagaan kekuasaan yang lain. Tetapi tak perlu terlampau dihiraukan. Apapun bentuk pelembagaan yang ada, tak peduli imperium ataupun negara, bakti manusia pertama-tama harus diarahkan pada lingkungan geo-politik terdekat. Di mana bumi di pijak di sana langit dijunjung. Seperti kata Edmund Burke, “dedikasi terhadap unit kekuasan terkecil dan terdekat merupakan prioritas utama dari prinsip moralitas publik dan pengbadian kepada kemanusiaan.”
Mencitai Indonesia sebagai negara-bangsa menghadirkan adonan rasa bangga dan kecut. Ditilik dari sudut kebangsaan, “Indonesia”, dalam pandangan Cak Nur, “adalah bangsa yang sukses”. Bayangkan, ada suatu bangsa yang mampu mempertautkan solidaritas kultural yang merangkum tidak kurang dari 250 kelompok etnis dan bahasa, yang tersebar di sekitar 17.500 pulau di sepanjang 81.000 kilometer garis pantai, dengan kemampuan menghadirkan suatu lingua franca bersama yang mampu mengatasi isolasi pergaulan antarsuku.
Terima kasih pada sejarah. Terutama konsekuensi ikutan dari penjajahan Jepang yang telah memberi kesempatan dalam pembentukan bangsa ini untuk bertransformasi dari cetakan Adelsnation (kebangsaan kaum ningkat)—warisan kerajaan—menuju formasi volksnation (kebangsaan kerakyatan). Inilah yang membuat kebanyakan rakyat negeri ini, betapapun terus-menerus dikhianati dan dikorbankan para pemimpinnya, tetap saja mencitai bangsanya.
Patut disyukuri pula adanya kejembaran ummat Islam. Kerelaan (pendukung) budaya mayoritas untuk tidak menerjemahkan diri menjadi budaya politik dominan, seperti kesediaan untuk menerima pelucutan Piagam Jakarta, memberi berkah tersembunyi bagi bangsa ini. Teori-teori terkini tentang kewargaaan multikultural, seperti dari Will Kymnlicka, mengajurkan pencegahan fusi dari budaya mayoritas ke dalam budaya politik dominan sebagai prasyarat bagi multikulturalisme yang kuat. Inilah yang membuat Indonesia memiliki budaya toleransi yang kuat.
Meski begitu, ditilik dari sudut kenegaraan, Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang belum berhasil. Menjadi negara setidaknya harus memiliki kedaulatan ke dalam dan ke luar. Kedaulatan ke dalam ditunjukkan oleh kemampuan negara untuk memelihara hukum dan ketertiban. Sedangkan keluar ditandai kemampuan untuk melindungi kepentingan bangsa dalam pergaulan antarbangsa dalam posisi terhormat. Nyatanya, kedua hal itu tak terpenuhi oleh Negara ini.
Negara tanpa kedaulatan adalah negara yang lemah. Negara seperti ini cenderung bersosok tambun; berpretensi untuk mengatur hal-hal tetek-bengek bahkan urusan busana warga negara, namun tak memiliki otoritas yang efektif untuk mengatur hal-hal esensial yang menentukan hajat hidup orang banyak. Padahal, demokrasi memang bersifat anathema terhadap rezim otoriter, namun tak mungkin bisa tegak tanpa otoritas.
Oleh karena itu, demokrasi mengandaikan adanya semangat kewargaan yang inklusif dalam menegakkan good governance. Demokrasi, dalam pandangan Cak Nur, merupakan suatu proses belajar menumbuhkan budaya demokrasi, juga mengandaikan adanya upaya berkesinambungan untuk memperbaiki tata kelola negara (governance). Islam dalam pandangannya bersifat kompatibel dengan demokrasi dan diharapkan bisa memberi kerangka nilai yang positif bagi penumbuhan solidaritas nasional dan kewargaan yang yang inklusif. Islam beserta agama-agama lainnya juga diharapkan bisa menjadi sandaran penguatan nilai-nilai etis bagi perbaikan tata kelola negara. Tulisan berikut akan menyoroti persoalan demokrasi dalam konteks keislaman dan keindonesian, dengan memperlihatakan ideal-ideal dan realitasnya dalam sejarah Indonesia.
Islam dan Demokrasi
Secara historis, Islam di Indonesia dianggap dibangun di atas landasan kedamaian dan toleransi. Meskipun doktrin serta mazhad radikal selalu ada, pengaruh mereka relatif terbatas dan dilunakkan oleh dinamika kekuatan sentripetal dan sentrifugal wacana internal Islam. Sepanjang sejarah dan dalam beragam bentuknya, pasang surut pemikiran Islam di negeri ini relatif telah membentuk elemen radikal yang cukup moderat, yang secara pragmatis mengakui keberadaan sistem pluralistik yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. “Modus serangan Indonesia (khususnya orang Jawa),” menurut Clifford Geertz (1971:16) “... adalah sikap adaptif, menyerap, pragmatis, bertahap, agak kompromistis, setengah menyetujui, dan cenderung menghindar. Islamisme yang dihasilkan pun tidak berpretensi untuk memurnikan, melainkan untuk keutuhan.”
Keragaman internal dalam Islam menyulitkan terbentuknya representasi Islam yang monolitik serta memberi mekanisme bawaan bagi moderasi Islam. Dengan kondisi seperti itu terbuka lebar kemungkinan untuk mentransendensikan perbedaan-perbedaan religio-kultural, memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi tatanan yang beradab.
Diskursus tentang Islam dan demokrasi telah berakar panjang dalam sejarah Indonesia. Setidaknya sejak tahun 1920-an, bersamaan dengan arus masuk dan pertarungan ragam ideologis dalam ruang publik inteligensia baru Indonesia, upaya untuk mengaitkan perjuangan Islam dan demokrasi mulai bersemi.
Tjokroaminoto bersama para sejawat modernisnya di SI/PSII—sebagai orang-orang berpendidikan modern yang terbuka terhadap pemikiran politik Barat kontemporer—percaya bahwa demokrasi dan prinsip-prinsip demokrasi haruslah menjadi dasar bagi perjuangan Islam. ‘Jika kita, kaum Muslim, benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran-ajaran Islam,’ katanya, ‘kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati’ (Tjokroaminoto 1952: 155). Juga dikatakan bahwa dalam Tafsir Program-Asas Partai Syarikat Islam Indoenesia (yang dirumuskan pada tahun 1931): ‘Dalam negara Indonesia merdeka, yang menjadi tujuan perjuangan PSII, pemerintahannya haruslah berwatak demokratis sebagaimana yang ditegaskan dalam Qur’an (QS Asj-Sjurá XLII: 38)’.
Jejak-jejak kepercayaan terhadap demokrasi sebagai dasar perjuangan Islam tidaklah surut bersama kemunculan generasi inteligensia Muslim selanjutnya. Bahkan Mohammad Natsir, yang sering dinisbatkan sebagai intelektual Islamis yang memperjuangkan negara Islam, tak pernah mendikotomikan Islam dan demokrasi. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri (1950-1951), Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam. Dia percaya bahwa konsep negara Islam tidak bisa dicapai melalui kekuatan bersenjata, melainkan harus diperjuangkan melalui tata politik yang demokratis. “Sejauh berkait dengan (pilihan) kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan, karena Islam hanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis” (dikutip Kahin 1993: 161).
Klaim-klaim keislaman atas politik Indonesia justru dihidupkan ketika partai-partai Islam mengalami tekanan dan posisi tokoh-tokoh politik Islam terancam karena persaingan. Ide pendirian “negara Islam” dan pemberlakuan “Piagam Jakarta” dihidupkan kembali oleh partai dan tokoh-tokoh Islamis selama dan setelah kampanye Pemilu 1955. Dalam upaya memobilisasi dukungan Muslim di akar rumput dan raihan-raihan kedudukan politik, politik identitas direproduksi dengan menghidupkan kembali kenangan kolektif tentang peminggiran Islam (politik) di masa lalu. Dalam situasi ketika political fairness ditegakkan, obsesi untuk menegakkan politik identitas biasanya melemah, dan partai-partai Islam lebih bersedia mentransendensikan perbedaan yang tak terhindarkan demi menekkan rasionalitas dan keadaban publik.
Memang terdapat pertanyaan yang bisa diajukan, apakah Islam bisa disekularisasikan untuk bisa memenuhi keperluan inclusive citizenship sebagai basis demokrasi? Jawaban terhadap ini diformulasikan secara baik oleh Dieter Senghaas (1998): “dogmatically no, historically yes”. Dalam kenyataannya, kebanyakan masyarakat Muslim telah melewati proses sekularisasi secara gradual dan intense, yang secara dogmatis tak diperkenankan.
Dengan mengatakan bahwa telah terjadi proses sekularisasi di Dunia Muslim tidaklah persis seperti apa yang dijumpai di banyak negara-negara Barat. Sekularisme di kebanyakan negeri-negeri Muslim, khususnya di Indonesia, tidaklah berarti inkonsisten dengan apresiasi terhadap Islam sebagai warisan budaya, dan bahkan bolehjadi menempatkan budaya ini sebagai komponen yang diperlukan bagi pembentukan identitas politik nasional (Shepard 1987: 310). Rejim-rejim pemerintahan Indonesia telah mendukung sekaligus mengontrol pengajaran dan institusi keagamaan pada tingkat yang luas. Setiap pemerintah telah juga memainkan peran signifikan dalam proses pembaruan Islam. Apa yang menyipati semuanya ini sebagai ekspresi sekular lebih karena subordinasi Islam terhadap ide dan kepentingan kebangsaan.
Lebih jauh lagi, Islam (terutama Islam Sunni) tidak memiliki unit otoritas keagamaan per se yang memiliki kewenangan memutuskan bentuk Islam resmi yang sebenarnya. Oleh karenya, doktrin pemisahan gereja dan Negara, dengan batas yang tegas tidak bisa diterapkan untuk konteks Islam.
Asal-usul teori demokrasi Barat berangkat dari upaya kaum sekularis Barat pada abad ke-17 dan 18 untuk mencegah Gereja Katolik mengontrol dan memonopoli ruang publik. Oleh sebagian mereka, Reformasi dan khususnya teologi protestan dipandang sebagai solusi yang memadai dalam menangkal hegemoni agama atas ruang publik.
Namun, dengan tidak adanya otoritas (tunggal) keagamaan dalam Islam, mengandung konsekuensi bahwa agama tak bisa memonopoli ranah publik. Sebaliknya, agama atau representasi hukum syariat senantiasa dipaksa bersaing untuk memperngaruhi ruang publik. Teokrasi sejati mengandaikan adanya satu sudut pandang yang benar dalam teologi dan hukum Islam Akan halnya dalam bentangan panjang sejarah Islam, nyaris tak pernah ada suara tunggal yang merepresentasikan syariah dan norma agama.
Di masa silam, otonomi dan pluralitas institusi keagamaan ini menjadikan jenis Negara teokratis sulit dicapai. Namun kini, kekuasaan Negara yang begitu luas dan dominan di banyak negeri Muslim menjadikan teologi dan hukum Islam terkooptasi dan terkontrol oleh Negara. Maka muncullah Negara ala teokratis semisal Saudi Arabia, yang merupakan suatu anomali dalam sejarah Islam (El Fadl, 2007: 32- 35).
Dengan demikian, harus dibedakan antara Negara yang melindungi agama dan agama yang merepresentasikan agama. Agama dan politik tidak harus dipisahkan sejauh Negara bersifat netral dan sanggup melindungi ekspresi tiap-tiap pemeluk agama. Inggris, misalnya, memiliki beberapa undang-undang dan doktrin hukum berdasarkan hukuman hakim dan adat kebiasaan (common law) yang mewajibkan Negara melindungi iman Kristen dari fitnah keji. Israel mempunyai ragam ordonansi yang melindungi praktik dan pengamalan ajaran Ortodoks Yahudi. Italia memiliki memiliki system yang kompleks berupa konsesi dan proteksi yang diberikan kepada Gereja Katolik (El Fadl, 2007: 36). Yang harus dihindari adalah kemungkinan Negara merepresentasikan ekspresi tunggal keagamaan, terlebih jika berlangsung dalam konteks Negara-bangsa yang plural.
Alih-alih dipisahkan, krisis politik sebagai manifestasi dari kebangkrutan moralitas dan spiritualitas ruang publik menghendaki dipulihkannya kembali hubungan (etika) agama dan politik. Ketika agama tersudut dari ruang publik ke ruang privat, yang muncul adalah ekspresi spiritualitas personal yang terputus dari kehidupan publik. Sebaliknya, politik sekular memandang rendah nilai-nilai agama dan mengabaikan signifikansi kesalehan spiritual. Yang muncul adalah spiritualitas tanpa pertanggungjawaban sosial dan politik tanpa jiwa.
Tentu harus dihindari keterlibatan agama di ruang publik yang mengarah pada politisasi agama yang membuat kelompok tertentu merasa berhak untuk mengklain Tuhan selalu di pihaknya—yang mengarah pada kecenderungan triumphalisme, merasa benar sendiri, serta hubungan eksternal yang berbahaya. Tuhan tidak pernah partisan, yang memihak ke “kiri” atau ke “kanan”. Maka, ketika masing-masing partai mencoba melakukan politisasi terhadap Tuhan untuk kepentingan agenda politiknya sendiri, maka terjadi korupsi spiritual yang menyimpang.
Kontribusi terbaik agama terhadap kehidupan publik bukanlah dengan membiarkan politik terfragmentasi atas dasar ideologi kegamaan yang membuat kasih ketuhanan lenyap. Tetapi, baik partai maupun bangsa harus memungkinkan suara profetik keagamaan terdengar. Keimanan harus dibiarkan bebas menantang ideologi “kiri” dan “kanan” dengan cara menambatkan keduanya pada landasan moralitas.
Meminjam ungkapan Jim Wallis (2005: xix), “Politik ketuhanan (God’s politics) oleh karenanya tidak pernah partisan atau ideologis. Akan tetapi menantang apa saja menyangkut dunia politik kita. Politik ketuhanan mengingatkan kita tentang orang-orang yang kerapkali terbaikan dalam politik—orang-orang miskin dan terlantar yang tercampakkan. Politik ketuhanan menantang kepentingan-kepentingan nasional, etnis, ekonomi dan budaya yang sempit, dan memberi keinsyafan akan dunia yang lebih luas dan kreativitas ragam manusia ciptaan Tuhan… Politik ketuhanan juga menantang segala bentuk moralitas yang selektif, yang menimbulkan standard ganda dalam kemanusiaan.”
Alhasil, Islam dan agama-agama lainnya bisa memberi kontribusi besar bagi penciptaan budaya demokrasi, tapi juga bisa menghancurkannya. Tergantung pada dimensi keagamaan yang ditumbuhkan. Untuk membuat agama bermanfaat bagi kehidupan publik demokratis, yang harus dihidupkan adalah dimensi etis dan misi profetik agama yang bersifat universal, yang diarahkan bagi perwujudkan kemaslahatan bersama: kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Demokrasi dan Indonesia
Demokrasi punya jangkar yang kuat dalam sejarah politik Indonesia. Kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaran. Berakhirnya kolonialisme menimbulkan harapan kuat di kalangan rakyat bahwa batasan-batasan dan diskriminasi-diskriminasi sosial yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial akan sirna.
Kata “merdeka”, yang telah menjadi pekik umum di ruang publik, juga mengandung tuntutan bagi perbaikan status sosial. Dipungut dari kata Sansekerta “maharddhika” yang berarti ‘sakral’, ‘bijak’, atau ‘terpelajar’, kata itu dalam bahasa Jawa kuno atau Kawi sering dipakai untuk merujuk pada “orang terpelajar” atau “bikhu Buddha”, yakni seseorang yang memiliki status sosial istimewa (Steenbrink 1984: 169). Maka, dengan merdeka, orang-orang dari pelbagai kelas dan kelompok status yang berbagi impian yang sama untuk diperlakukan sebagai warga negara kelas satu.
Spirit ini diperkuat oleh pemakaian umum sejak masa revolusi, kata ‘bung’ di depan nama seseorang, seperti Bung Karno atau Bung Hatta. Kata itu menyerupai pengunaan kata “citoyen/citoyenne” (citizen) dalam Revolusi Prancis atau “kamerad” dalam Revolusi Rusia.
Semangat egalitarian dari warga negara-bangsa baru ini juga berdampak signifikan terhadap diskursus-diskursus intelektual dan terhadap pembentukan sistem politik Indonesia pada tahun-tahun awal Republik Indonesia pasca-kolonial. Selain tema revolusi kemerdekaan, isu “demokrasi” menjadi sebuah diskursus dominan dalam ruang publik.
Sejak pidato bersejarah Sukarno tentang kelahiran Pancasila (1 Juni 1945), demokrasi telah diidealkan sebagai salah satu prinsip nasional. Dalam UUD 1945 dan platform-platform dari empat belas partai yang termuat dalam buku Kepartaian di Indonesia terbitan Departemen Penerangan pada 1950, kata “demokrasi” sering dipergunakan dan hampir selalu mendapatkan persetujuan tanpa syarat (Feith 1962: 38). Pada level kesadaran diskursif—yang tidak dengan sendirinya mewujud dalam kesadaran praktis—terdapat kesepakatan umum tentang kebutuhan akan demokrasi di bidang sosial, ekonomi dan politik, termasuk dukungan terhadap kesetaraan warga negara, penolakan terhadap kediktatoran, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berpendapat, dan kebebasan untuk melakukan pemogokan.
Di atas semua itu, demokrasi (dengan segala pemaknaannya yang beragam) pada umumnya dipandang sebagai tujuan yang harus dicapai, ketimbang sekadar sebagai sarana. Sebagai pemenang revolusi dan pelanggan pandangan-pandangan Marxisme tentang kemajuan sejarah yang terelakkan, para pemimpin Indonesia memandang masa depan secara percaya diri bahwa ideal-idealnya akan tercapai. Bagi kebanyakan mereka, imaji demokrasi merupakan imaji dari ideal-ideal kebangsaan itu. Demokrasi identik dengan kebajikan dan kesontasaan masyarakat masa depan. Demokrasi dipandang sebagai nostrum, obat bagi segala masalah kebangsaan. Hal ini berimplikasi bahwa semua tindakan yang mengarah pada ideal-ideal kehidupan kebangsaan dipandang sebagai ekrespresi demokrasi (Feith, 1962: 42).
Upaya bangsa Indonesia untuk menerjemahkan cita-cita demokratis ke dalam praktik politik pada mulanya diwujudkan dengan mengadopsi demokrasi parlementer bergaya Barat. Komitmen Indonesia terhadap institusi demokrasi Barat mencerminkan kepercayaan yang sungguh-sungguh terhadap demokrasi dan sekaligus kepentingan pragmatis. Bagi inteligensia-politisi yang sangat terbuka terhadap tradisi liberalisme dan sosialisme Eropa atau terhadap nilai-nilai Islam modernis, pengadopsian institusi parlemen diyakini merupakan syarat niscaya untuk melindungi negeri ini dari peluang otoritarianisme. Komitmen yang sungguh-sungguh semacam itu terhadap demokrasi konstitusional dibarengi dengan kepentingan pragmatis untuk mendapatkan dukungan internasional yang lebih luas bagi republik yang baru ini dan untuk menunjukkan kepada Belanda bahwa Indonesia sanggup mengatur dirinya sendiri secara demokratis (Feith 1962: 43-45).
Eksperimen Demokrasi Pertama
Dalam ruang-publik terbuka di Indonesia yang baru merdeka ini, euforia demokrasi parlementer di tengah pluralitas tradisi poltik Indonesia mendorong menjamurnya partai-partai dan meluasnya perselisihan di antara partai-partai yang merupakan ciri awal perpolitikan Indonesia. Menjelang pemilihan umum pertama di Indonesia pada 1955, terdapat 172 partai dan kelompok kuasi-politik yang mencerminkan polarisasi eksternal dan fragmentasi internal yang terus berlangsung dalam tradisi-tradisi politik Indonesia.
Toh, secara prosedural dan hingga taraf tertentu juga secara substantif, suasa demokrasi parlementer pada tahun 1950-an menunjukkan capaian-capaian yang bearti. Kebebasan berekspresi dan berkumpul, penghargaan pada perbedaan pendapat (deliberative politics) dan rule of law, pemerintahan terpilih serta pemilu yang jujur dan adil relatif bisa diwujudkan.
Namun dibalik capaian-capaian ini, hasil Pemilu tak kunjung memberi jalan bagi konsolidasi demokrasi. Kegagalan mempertahankan kabinet lebih dari satu atau dua tahun, yang merupakan ciri periode revolusi kemerdekaan, masih terus berlanjut pada 1950-an. Dari September 1950 hingga Pemilu 1955, Indonesia mengalami jatuh-bangun lima kabinet yang berbeda, dengan tak satu pun kabinet lebih dari dua tahun.
Rapuhnya kabinet itu tidaklah terlalu mengejutkan mengingat lemahnya fondasi untuk mengonsolidasikan demokrasi konstitusional. Di sebuah negara yang masih ditandai oleh tingginya tingkat buta huruf, rendahnya pendidikan, buruknya kondisi ekonomi, lebarnya kesenjangan sosial, dan mentalitas otoritarian, wilayah politik masih merupakan hak istimewa milik sekelompok kecil elit politisi (Ricklefs 1993: 237).
Perilaku politik elit-elit ini diidentifikasi oleh Feith sebagai problem utama yang menjatuhkan eksperimen demokrasi selama periode ini. Dalam pandangannya, faktor paling krusial yang meruntuhkan demokrasi konstitusional Indonesia ialah ketegangan yang terus berlangsung antara apa yang dia sebut sebagai “para penggalang solidaritas” seperti Sukarno dan “para administrator” seperti Hatta, yaitu antara para pemimpin yang memiliki kecakapan integratif, cakap memainkan simbol dan memobilisasi massa dengan para pemimpin yang memiliki keterampilan administratif, legal, teknis, dan berbahasa asing. Ketegangan ini tak pernah bisa terpecahkan secara efektif. Kedua kelompok ini memiliki kepedulian rendah terhadap tujuan-tujuan jangka menengah. Tampaknya, tak ada satu pun pemimpin yang berusaha mengaitkan tujuan-tujuan jangka panjang dengan program-program administratif jangka-pendek, antara daya tarik ideologis dan solusi atas problem-problem teknis (Feith 1962: 34).
Kontras dengan pandangan Feith, H.J. Benda menisbahkan kegagalan itu dengan watak asing demokrasi dalam konteks historis Indonesia. Dalam pandangannya, sejarah politik Indonesia sejak zaman pra-penjajahan hingga kemerdekaan tak pernah mengalami gaya-gaya pemerintahan selain patrimonialisme dan otoritarianisme. Jadi, eksperimen demokratis ditakdirkan untuk gagal “begitu sejarah Indonesia (terutama Jawa) menemukan kembali tambatan masa lalunya” (Benda 1964: 453-454).
Namun, di balik permukaan kedua perspektif itu, akarnya terletak jauh lebih dalam, yakni dalam kompleksitas perpolitikan Indonesia sebagai cerminan dari keragaman elit politik Indonesia, pluralitas masyarakat Indonesia, dan polivalensi kenangan-kenangan kolektif dan kondisi-kondisi kultural masyarakat Indonesia.
Inteligensia dan ulama-intelek Indonesia sebagai elit penguasa yang dominan, mengalami diferensiasi struktural dan kultural yang tajam. Secara ekonomi, mereka bukanlah sebuah kelas tunggal yang bisa membentuk sebuah kelompok teknokrat tunggal. Secara kultural, mereka berafiliasi dengan beragam kelompok solidaritas kultural. Pada akhir revolusi kemerdekaan, sebuah blok historis bersama, yang telah membentuk kehendak bersama selama masa penjajahan, tiba-tiba saja menjadi anakronisme dan kehilangan efektivitasnya untuk mempertahankan persatuan nasional di tengah pelbagai problem dalam-negeri Republik yang baru merdeka itu. Dengan runtuhnya blok historis itu, Indonesia kembali ke watak aslinya: sebuah masyarakat plural.
J.S. Furnivall (1980) mencirikan masyarakat plural itu sebagai masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tanpa melebur dalam satu unit politik. Dalam masyarakat semacam itu, menurutnya, “tak ada kehendak bersama kecuali, mungkin, dalam perkara-perkara yang amat mendesak, misalnya melawan agresi dari luar’. Ketiadaan kehendak-bersama itu menjadikan upaya membangun sebuah bangsa dalam masyarakat seperti itu sebuah tugas yang teramat berat.
Beratnya tugas untuk menanamkan demokrasi dalam sebuah masyarakat yang plural tidak dengan sendirinya berarti bahwa masyarakat seperti ini tak bisa menjalankan demokrasi. Arend Lijphart berargumen (1977) bahwa adalah mungkin untuk mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dalam sebuah masyarakat plural sepanjang elit-elitnya bersedia bekerja sama. Namun, kerja sama itu tidak akan tercipta dengan sendirinya. Dibutuhkan sebuah kerangka solidaritas bersama yang baru, yang bergantung secara inter alia pada nasionalisme kewargaan (civic nationalism). Dalam kenyataan, jenis nasionalisme yang mendasarkan dirinya pada kewargaan yang inklusif dan keberadaban (Snder 2000: 24) belum menjadi watak utama komunitas politik Indonesia, setidaknya hingga masa itu.
Ketiadaan keadaban (civility) ini mungkin mencerminkan ketiadaan kehendak-bersama di kalangan masyarakat Indonesia sebagai sebuah masyarakat yang plural, namun yang lebih penting, hal ini berakar lebih pada ingatan traumatik pasca penjajahan. Indonesia pasca kolonial bersifat sensitif terhadap kenangan akan pengalaman-pengalaman traumatik dan terhadap sikap kebencian yang diwarisi dari pertarungan identitas dalam periode kolonial. Salah satu problem paling krusial dalam menciptakan integrasi bangsa dalam perpolitikan Indonesia adalah problem kenangan kolektif (collective memory). Meminjam penggambaran Homi Bhabha (1994): masa lalu dalam kenangan kolektif dari sebagian besar orang Indonesia bukan hanya merupakan reservoar dari bahan mentah bagi praktik dan pengalaman politik yang bisa diteorisasikan secara berjarak, namun lebih merupakan akar dari penemuan-diri (self-invention) secara historis sebagai sumber utama pembentukan identitas-identitas kelompok. Maka, mengingat-kembali kenangan merupakan sebuah penghubung yang niscaya, tetapi sekaligus berbahaya, antara pengalaman masa lalu dan persoalan identitas kultural.
Satu hal yang tampaknya membebani pikiran orang Indonesia, terutama di kalangan kelompok marjinal, adalah kebijakan kolonial berupa segregasi dan favoritisme sosial. Kenangan kolektif ini tidak mati dengan tampilnya generasi baru. Karena tidak adanya sebuah civil society yang sejati di Indonesia, medium bagi pembelajaran sosial secara kolektif dan bagi produksi simbol-simbol politik secara dominan disuplai oleh kelompok-kelompok komunal. Melalui ritual-ritual peringatan kembali yang dilakukan oleh kelompok-kelompok komunal inilah kenangan-kenangan itu dipertahankan. Jadi, kenangan traumatik terus bertahan karena kegagalan proses pembelajaran sosial yang bersifat kolektif. Secara umum, Indonesia pada kurun waktu ini masih merupakan sebuah masyarakat yang komunal, bukan asosiasional. Asosiasi-asosiasi sebagai katalis bagi proses transformasi masyarakat dari semangat komunalisme menuju semangat kewarganegaraan masih belum terbangun secara luas.
Inteligensia-politisi, yang diharapkan membimbing komunitas politik ke arah keadaban politik (political civility), pada kenyataan malah menyuburkan komunalisme. Dalam kevakuman kekuasaan setelah berakhirnya Perang Dunia II, ketersingkiran kaum borjuasi dari ruang politik dan ketidakcapakan pewaris kerajaan serta klerikus tua untuk mengelola negara modern, membuat inteligensia-politisi pribumi dari pelbagai aliran politik secara berangsur-angsur menempati posisi dominasi dalam politik. Karena tak memiliki landasan ekonomi yang kuat, kelompok-kelompok inteligensia-politisi saling bersaing untuk menguasai birokrasi dan ekonomi negara. Dan kehendak untuk mengontrol sumber-sumber daya itu membutuhkan justifikasi sosial. Dalam konteks inilah, kepentingan-kepentingan komunal menjadi sebuah dalih yang kuat. Solidaritas kultural dan komunal kemudian dipolitisasi dalam situasi-situasi konflik di mana isu-isu utamanya seringkali adalah kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi dari elit politik.
Pemilihan Umum pertama 1955 diharapkan menjadi sebuah tonggak bagi terciptanya perdamaian antarelit, stabilitas politik, dan tercapainya tujuan-tujuan nasional. Ternyata, mimpi itu tak terwujud. Hasil pemilihan umum menetapkan keunggulan empat partai, namun tak satu pun meraih mayoritas. Keempat partai tersebut adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI yang berturut-turut memperoleh 22,3%, 20,9%, 18,4% dan 16,4% dari total suara yang sah (Feith 1957: 58-59). Karena tak ada satu pun partai yang memenangkan suara mayoritas di parlemen dan sebagian besar partai ingin masuk dalam kabinet, pemerintahan terbentuk dari koalisi yang luas. Koalisi pemerintahan yang luas namun tanpa fondasi demokratis yang solid ini sekali lagi ditakdirkan untuk gagal. Dalam hal ini, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tak bisa dikambinghitamkan sebagai pangkal dari semua kegagalan.
Eksperimen Demokrasi Kedua
Kebebasan ruang publik di awal kelahiran Orde Baru berlangsung amat singkat. Selebihnya, adalah sejarah otoritarianisme. Pendulum ke arah demokratisasi terjadi menyusul gerakan reformasi pada 1997/1998.
Sejak era Pemerintahan Habibie, perlbagai langkah untuk mendemokratisasikan institusi dan prosedur-prosedur politik telah dilakukan dengan sejumlah transformasi yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif fair dan berulang, kebebasan berekspresi, keluasan akses informasi (meski belum ada jaminan perudang-undangan), desentralisasi dan otonominasi, pemilihan presiden dan pilkada secara langsung dan sebagainya.
Singkat kata, dari segi-segi prosedur demokrasi, transisi demokrasi Indonesia telah siap untuk dikonsolidasikan. Namun, perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena di benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi merepresentasikan kesempatan dan sumberdaya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi (Shin, 1999). Oleh karena itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi: pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).
Konsolidasi demokrasi memprasyaratkan perubahan mendasar berdimensikan struktural dan kultural.
Elite Settlement
Dari sekian banyak prasyarat itu, hal pertama yang harus diwujudkan adalah soal konsesus elit (elite settlement). Demokrasi yang terkonsolidasikan adalah demokrasi yang stabil. Salah satu faktor pendukung kestabilan itu adalah persetujuan elite. Upaya ini memerlukan komitmen kuat dari para elite pada kondisi dasar pengkonsolidasian demokrasi. Hal ini melibatkan pengambil keputusan tingkat tinggi, pemimpin organisasi, politisi, petinggi pemerintah, kaum intelektual, pebisnis, dan pembentuk opini. Keyakinan mereka pada demokrasi akan membuat demokrasi berjalan dan menihilkan kemungkinan kembalinya otoritarianisme.
Persetujuan elite adalah hal yang jarang terjadi dan susah dicapai; mendamaikan elite yang berseteru untuk bernegosiasi perbedaan mereka bukan hal gampang. Bila tercapai, menurut Burton dan Higley, ada dua akibat penting, yaitu: (1) terbentuknya pola kompetisi politik damai dan terbuka antara para elite, dan (2) terjadi transformasi ketidakstabilan politik menuju kestabilan berakibat pada rendahnya pengambilan kekuasaan secara paksa dan tak disangka-sangka. Hakekatnya, persetujuan elite mentransformasikan elite berseteru menjadi elite bersatu. Peralihan rejim berakhiran pada demokrasi yang langgeng, kemungkinan besar adalah produk konsensus elite ini, sedang yang berujung pada gagal-demokrasi berarti nadir dari konsensus. Konsensus elite sebab itu merupakan titik kritikal dan penentu bagi demokrasi.
Elite settlement merupakan faktor krusial yang memberi andil besar pada kegagalan eksperimen demokrasi Indonesia di masa lalu. Namun, gelombang demokratisasi pada era reformasi ini menunjukkan perkembangan positif dalam kemauan yang lebih luas di kalangan elit politik untuk mencapai konsensus. Pertama, tentu saja adalah konstitusi. Para elite setuju melakukan perubahan cukup mendasar pada konstitusi melalui amandemen beberapa pasalnya, dengan resistensi yang sangat minimal. Kedua, ada kesepakatan dari para pemegang senjata dengan para elite negeri untuk tidak menghalangi atau membatasi proses demokratisasi. Ini tidak dilakoni dengan merubah tradisi dan budaya militer, tapi melalui penekanan pentingnya konsensus elite ini bagi kemaslahatan bangsa. Walaupun masih memiliki modal politik dan posisi tawar yang tinggi, sebagai salah satu aktor terpenting dalam jagat perpolitikan Indonesia, kerelaannya untuk kembali ke barak, menjadi tentara profesional, tunduk di bawah kekuasaan sipil, dan mengawal demokrasi merupakan kontribusi tak ternilai bagi bangsa.
Ketiga adalah desentralisasi dan distribusi kekuasaan politik sebagai upaya menjaga kesatuan negara. Idealnya, proses ini mengantarkan Indonesia pada partisipasi politik masif dan terbesar dalam sejarah Indonesia maupun dunia. Konsensus oleh bangsa ini mengenai bentuk distribusi kekayaan dan kekuasaan merupakan terobosan demokratisasi melalui pendobrakan institusi-instutisi pra-reformasi. Meskipun harus segera diberi catatan, bahwa kisruh yang terjadi dalam pilkada di beberapa tempat menyiratkan masih lemahnya daya-daya konsensus elit yang antara lain disebabkan oleh masih lemahnya tingkat erudisi dan budaya politik demokratik, selain segi-segi yang menyangkut kelemahan pranata hukum dan kesenjangan sosial.
Keempat, tercapai satu kesepakatan diantara para elite individu maupun kolektif untuk loyal pada institusi dan praktik demokrasi. Apapun latar belakang ideologis dan kepentingan mereka, ada semacam kesepahaman bahwa institusi dan praktik demokrasi membantu tercapainya kemaslahatan umum, dan setia pada institusi dan praktik demokrasi ini menjadi kebutuhan dan keniscayaan. Tanpa ada komitmen dan kepercayaan pada demokrasi dari para elite politik, demokrasi hanya akan tinggal wacana.
Terakhir, dan dihubungkan dengan poin keempat, kesetiaan pada praktik dan institusi demokrasi dengan mengabaikan latar belakang ideologis dan identitas, mengantarkan proses pemoderasian pemikiran dan ideologi yang berada di ujung spektrum berbeda. Elite politik yang berseberangan pun pada akhirnya dipaksa oleh keniscayaan sejarah dan kekuatan demokratis untuk melakukan pendekatan dan relasi yang kemudian memoderasi kestatisan dan kekentalan pemikiran dan ideologi mereka. Indonesia dengan lanskap politik yang menghalangi ekstremitas, membuat konflik politik mengambil posisi moderat karena tipisnya perbedaan ideologi yang timbul diantara para pemain politik. Konflik politik yang jamak lahir dari pemikiran dan laku politik ekstrim para pemimpinnya, seiring dengan pergeseran menuju moderasi, mengakibatkan mereka bersedia bernegosiasi dan berkompromi selaras dengan keinginan konstituennya. Moderasi mereduksi potensi konflik.
Pemapanan Institusionalisasi
Konsolidasi demokrasi Indonesia, seperti di negara-negara Amerika Latin, menemui kendala yang cukup besar proses “institusionalisasi” demokrasi yang masih belum mapan. Institusionalisasi adalah proses penguatan institusi demokrasi yang dibentuk selama transisi regime melalui pendesainan ulang dan internalisasi aktor-aktor sosial-politik. Proses ini bisa berjalan bila “infrastruktur institusional demokrasi” eksis, dan didukung oleh faktor-faktor, seperti masyarakat madani yang berdaya, partai politik yang berfungsi, budaya politik yang independen, pemerintahan yang menjunjung hukum, dan ekonomi yang efisien.
Sukses konsolidasi demokrasi terjadi bila institusi-institusi bentukan proses transisi demokrasi bertransformasi menjadi satu kerangka insitusional mapan yang terinternalisasi mendalam pada para aktor sosial dan politik. Dengan kata lain, “demokrasi terkonsolidasikan bila ia menjadi satu-satunya aturan yang berlaku.”
Mengingat institusionalisasi tidak akan pernah mencapai titik ideal, maka konsolidasi demokrasi pun sukar meraih titik maksimum. Sebab itu pemerintahan demokratis dianggap terkonsolidasikan bila “semua grup politik memahami dasar-dasar institusi politik sebagai satu-satunya struktur absah untuk kompetisi politik, serta menjunjung aturan main demokratis.” Jadi, demokrasi akhirnya “terinternalisasikan secara mendalam dalam kehidupan sosial, institusional dan psikologis serta dalam kalkulasi untuk meraih kesuksesan politik para aktor individual maupun kolektif.”
Supaya internalisasi ini berhasil, lima syarat yang berhubungan dengan infrastruktur institusional demokrasi harus ada: (1) adanya masyarakat madani yang independen dan sehat; (2) keberadaan masyarakat politik yang lumayan otonom; (3) supremasi hukum eksis; (4) munculnya birokrasi negara yang melayani otoritas demokratis; dan (5) terbentuknya ekonomi terinstitusionalisasikan.
Memenuhi syarat-syarat tersebut masih merupakan kendala karena kelemahan demokrasi kita, tercermin dari belum tersedianya infrastruktur institusional demokrasi yang memadai. Salah satu aspek yang mencolok adalah, pertama, reformasi di bidang yudikatif yang masih jauh tertinggal dibanding reformasi di legislatif dan sampai tingkat tertentu reformasi di bidang eksekutif.
Kesetaraan Basis Ekonomi dan Sosial
Demokrasi yang sehat menghendaki kesedarajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak melulu berhubungan dengan politik. Dahl dengan demokrasi proseduralnya telah memisahkan demokrasi sebagai ranah politik dan ranah sosial. Demokrasi poliarkis, atau yang disebut Amy Gutmann sebagai “demokrasi non-ideal” harus mampu memberikan kepuasan kebutuhan pokok, dan inilah yang menyebabkan Gutmann menghubungkan demokrasi dengan kesejahteraan.
Amy Gutmann bisa jadi terinspirasi oleh Alexis de Toxqueville. Bagi de Tocqueville, demokrasi memiliki makna diluar politik, yaitu kesederajatan kondisi sosial dan ekonomi ditambah dengan semangat egalitarianisme dan keinginan merdeka. Dari kesetaraan kondisi ekonomi dan sosiallah, menurut Tocqueville, ada kecenderungan untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan. Di negara-negara tempat warganya berdiri sama tinggi, tanpa melihat dan dibedakan berdasarkan silsilah, banyak berdiri perkumpulan yang dibentuk oleh warganya sendiri untuk mengasah kekuasaan mereka.Dari terbentuknya asosiasi-asosiasi inilah timbul rasa dan pemahaman kesetaraan, kesederajatan. Perkumpulan ini lalu melindungi dan melestarikan kesetaraan ini dengan mencegah kelompok lain menjadi dominan dan hegemonial. Sehingga, perkumpulan ini, bagi Tocqueville, memiliki dua fungsi dalam sistem politik egalitarian: mereka berasal dan menjaga demokrasi. Demokrasi tanpa kesederajatan kondisi sosial dan ekonomi adalah demokrasi yang timpang.
Mutu Wacana Deliberatif
Demokrasi menghendai suatu cara penanganan konflik tidak melalui jalan kekerasan melainkan secara diskursif. Deliberative discourse index disusun sebagai upaya untuk mengevaluasi argumen-argumen yang dikeluarkan dalam debat, baik di gedung legislatif maupun di tempat lain, berdasarkan kekuatan rasionalitas yang dikandungnya. Nalar adalah dasar utama deliberative discourse. Para partisipan bernalar dan berharap penalaran yang mereka ajukan bakal turut membantu proses pengambilan keputusan kolektif. Menurut Habermas, dalam deliberasi yang ideal, “no force except that of the better argument is exercised” Saat yang sama, menurut Gutmann dan Thompson, diskursus deliberasi memprasyaratkan, “saling menghormati [yang] membutuhkan upaya untuk mampu mengapresiasi kekuatan moral dari posisi mereka yang berpendapat berbeda dengan kita.”
Bila kita mau jujur dan berani melihat dalam deliberasi yang ada di gedung para wakil rakyat, tentu gambaran yang ada jauh dari memberikan nilai tambah bagi indeks diskursus deliberatif ini. Rendahnya kualitas perdebatan, rasionalitas, dan etiket para wakil rakyat sekarang jauh berbeda dibanding para pemegang tanggung jawab yang sama di tahun-tahun awal kemerdekaan. Bisa jadi ini merupakan pertanda pergeseran dari knowledge-based society menuju economic-based society; sebuah pergeseran yang meminggirkan nilai pengetahuan dan menggantinya dengan kekuatan kapital ekonomi. Juga merupakan satu peringatan bahwa dalam sistem perwakilan selalu saja akan ada “aesthetic gap” antara yang diwakili dan yang mewakili. Representasi politik tidak eksis untuk mengisi ketidakmungkinan mendatangkan semua anak bangsa ke ruang sidang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Hal diatas adalah absurd. Bahkan bila kita mampu melakukan demokrasi secara langsung, kita masih lebih memilih representasi. Realitas politik, karena itu, mewujud hanya bila yang diwakili ini sadar bahwa mereka diwakili. Tanpa representasi, tak ada politik demokratis.
Tantangan ke Depan
Disinilah terlihat bahwa konsolidasi demokrasi yang bersandar semata pada demokrasi prosedural semata tidaklah cukup memadai. Demokrasi prosedural, atau poliarki menurut Dahl, seperti Schumpeter adalah semata kemerdekaan rakyat memilih pemimpin. Esensinya, poliarki tak lain adalah pemilahan pemimpin dan wakil rakyat dari elite-elite yang berebut kuasa melalui mekanisme pemilu. Karena itu, Dahl dalam bukunya Who Governs, memberi jawaban bahwa demokrasi adalah “menempatkan elite tertentu dengan isu tertentu” di pemerintahan. Betatapun prosedur minimal dari demokrasi poliarkis mengarah pada institusionalisasi yang kompleks, demokrasi prosedural memerlukan satu versi expanded.
Demokrasi prosedural membatasi diri pada dunia voting, prosedur adil, dan segala perangkat formalitas lainnya, sedang demokrasi substantif melibatkan upaya-upaya pencapaian keadilan sosial dan ekonomi. Walau begitu langkah awal yang bisa dilakukan dalam upaya penciptaan kondisi sosial ekonomi sederajat adalah melalui pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dan system-responsiveness. Bahkan Robert Putnam sekalipun mengingatkan, “Tidak ada yang lebih gamblang bahkan bagi pengamat kasual selain fakta bahwa keefektifan demokrasi berhubungan erat dengan modernitas sosio-ekonomis.”
Demokrasi Indonesia kontemporer adalah demokrasi yang potensinya belum tergali secara benar. Kepartaian terfragmentasi menurut logika kepentingan elitis-pragmatis, tak mampu menghasilkan pemerintahan yang stabil dan membentuk sistem yang lebih responsif pada perasaan dan kepentingan rakyat. Masyarakat madaninya merupakan masyarakat madani yang masih terkungkung oleh selubung identitas serta bergantung pada oligarki dan elite lama. Demokrasi yang berkembang menjadi penyokong plutokrasi dengan mengabaikan meritokrasi. Sebentuk demokrasi yang terkooptasi oleh oligarkhi dengan gelombang pasang mediokrasi. Singkat kata, sebongkah demokrasi dengan defisit demokrat bermerit.
Untuk mengatasi defisit kaum demokrat itulah mengapa kita berkumpul di sini. Ya, kita berkumpul di sini agar keluhan Bung Hatta bisa kita akhiri: “Zaman baru telah melahirkan momen keemasan. Hanya saja yang ditemukan adalah orang-orang yang kerdil.” Semoga momentum emas demokratisasi Indonesia saat ini bisa menemukan kebernasan demokrat sejati.
RUJUKAN
Madjid, N 2003, Indonesia Kita, Universitas Paramadina Press, Jakarta
El Fadl, K.A. 2006, Selamatkan Indonesia dari Muslim Puritan, Serambi, Jakarta
Latif, Y. 2006: Inteligensia Muslim dan Kuasa, Mizan, Jakarta
Wallis, J. 2005, God’s Politics: Why the Right Gets It Wrong and the Left Doesn’t Get It, HarperSanFransisco, New York
Jika masanya tiba, formasi sejarah negara-bangsa mungkin saja mencapai kematangannya dan meniscayakan hadirnya bentuk pelembagaan kekuasaan yang lain. Tetapi tak perlu terlampau dihiraukan. Apapun bentuk pelembagaan yang ada, tak peduli imperium ataupun negara, bakti manusia pertama-tama harus diarahkan pada lingkungan geo-politik terdekat. Di mana bumi di pijak di sana langit dijunjung. Seperti kata Edmund Burke, “dedikasi terhadap unit kekuasan terkecil dan terdekat merupakan prioritas utama dari prinsip moralitas publik dan pengbadian kepada kemanusiaan.”
Mencitai Indonesia sebagai negara-bangsa menghadirkan adonan rasa bangga dan kecut. Ditilik dari sudut kebangsaan, “Indonesia”, dalam pandangan Cak Nur, “adalah bangsa yang sukses”. Bayangkan, ada suatu bangsa yang mampu mempertautkan solidaritas kultural yang merangkum tidak kurang dari 250 kelompok etnis dan bahasa, yang tersebar di sekitar 17.500 pulau di sepanjang 81.000 kilometer garis pantai, dengan kemampuan menghadirkan suatu lingua franca bersama yang mampu mengatasi isolasi pergaulan antarsuku.
Terima kasih pada sejarah. Terutama konsekuensi ikutan dari penjajahan Jepang yang telah memberi kesempatan dalam pembentukan bangsa ini untuk bertransformasi dari cetakan Adelsnation (kebangsaan kaum ningkat)—warisan kerajaan—menuju formasi volksnation (kebangsaan kerakyatan). Inilah yang membuat kebanyakan rakyat negeri ini, betapapun terus-menerus dikhianati dan dikorbankan para pemimpinnya, tetap saja mencitai bangsanya.
Patut disyukuri pula adanya kejembaran ummat Islam. Kerelaan (pendukung) budaya mayoritas untuk tidak menerjemahkan diri menjadi budaya politik dominan, seperti kesediaan untuk menerima pelucutan Piagam Jakarta, memberi berkah tersembunyi bagi bangsa ini. Teori-teori terkini tentang kewargaaan multikultural, seperti dari Will Kymnlicka, mengajurkan pencegahan fusi dari budaya mayoritas ke dalam budaya politik dominan sebagai prasyarat bagi multikulturalisme yang kuat. Inilah yang membuat Indonesia memiliki budaya toleransi yang kuat.
Meski begitu, ditilik dari sudut kenegaraan, Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang belum berhasil. Menjadi negara setidaknya harus memiliki kedaulatan ke dalam dan ke luar. Kedaulatan ke dalam ditunjukkan oleh kemampuan negara untuk memelihara hukum dan ketertiban. Sedangkan keluar ditandai kemampuan untuk melindungi kepentingan bangsa dalam pergaulan antarbangsa dalam posisi terhormat. Nyatanya, kedua hal itu tak terpenuhi oleh Negara ini.
Negara tanpa kedaulatan adalah negara yang lemah. Negara seperti ini cenderung bersosok tambun; berpretensi untuk mengatur hal-hal tetek-bengek bahkan urusan busana warga negara, namun tak memiliki otoritas yang efektif untuk mengatur hal-hal esensial yang menentukan hajat hidup orang banyak. Padahal, demokrasi memang bersifat anathema terhadap rezim otoriter, namun tak mungkin bisa tegak tanpa otoritas.
Oleh karena itu, demokrasi mengandaikan adanya semangat kewargaan yang inklusif dalam menegakkan good governance. Demokrasi, dalam pandangan Cak Nur, merupakan suatu proses belajar menumbuhkan budaya demokrasi, juga mengandaikan adanya upaya berkesinambungan untuk memperbaiki tata kelola negara (governance). Islam dalam pandangannya bersifat kompatibel dengan demokrasi dan diharapkan bisa memberi kerangka nilai yang positif bagi penumbuhan solidaritas nasional dan kewargaan yang yang inklusif. Islam beserta agama-agama lainnya juga diharapkan bisa menjadi sandaran penguatan nilai-nilai etis bagi perbaikan tata kelola negara. Tulisan berikut akan menyoroti persoalan demokrasi dalam konteks keislaman dan keindonesian, dengan memperlihatakan ideal-ideal dan realitasnya dalam sejarah Indonesia.
Islam dan Demokrasi
Secara historis, Islam di Indonesia dianggap dibangun di atas landasan kedamaian dan toleransi. Meskipun doktrin serta mazhad radikal selalu ada, pengaruh mereka relatif terbatas dan dilunakkan oleh dinamika kekuatan sentripetal dan sentrifugal wacana internal Islam. Sepanjang sejarah dan dalam beragam bentuknya, pasang surut pemikiran Islam di negeri ini relatif telah membentuk elemen radikal yang cukup moderat, yang secara pragmatis mengakui keberadaan sistem pluralistik yang menjadi dasar berdirinya negara Indonesia. “Modus serangan Indonesia (khususnya orang Jawa),” menurut Clifford Geertz (1971:16) “... adalah sikap adaptif, menyerap, pragmatis, bertahap, agak kompromistis, setengah menyetujui, dan cenderung menghindar. Islamisme yang dihasilkan pun tidak berpretensi untuk memurnikan, melainkan untuk keutuhan.”
Keragaman internal dalam Islam menyulitkan terbentuknya representasi Islam yang monolitik serta memberi mekanisme bawaan bagi moderasi Islam. Dengan kondisi seperti itu terbuka lebar kemungkinan untuk mentransendensikan perbedaan-perbedaan religio-kultural, memperlunak perbedaan-perbedaan itu dan menjadikannya berada pada batas toleransi tatanan yang beradab.
Diskursus tentang Islam dan demokrasi telah berakar panjang dalam sejarah Indonesia. Setidaknya sejak tahun 1920-an, bersamaan dengan arus masuk dan pertarungan ragam ideologis dalam ruang publik inteligensia baru Indonesia, upaya untuk mengaitkan perjuangan Islam dan demokrasi mulai bersemi.
Tjokroaminoto bersama para sejawat modernisnya di SI/PSII—sebagai orang-orang berpendidikan modern yang terbuka terhadap pemikiran politik Barat kontemporer—percaya bahwa demokrasi dan prinsip-prinsip demokrasi haruslah menjadi dasar bagi perjuangan Islam. ‘Jika kita, kaum Muslim, benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran-ajaran Islam,’ katanya, ‘kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati’ (Tjokroaminoto 1952: 155). Juga dikatakan bahwa dalam Tafsir Program-Asas Partai Syarikat Islam Indoenesia (yang dirumuskan pada tahun 1931): ‘Dalam negara Indonesia merdeka, yang menjadi tujuan perjuangan PSII, pemerintahannya haruslah berwatak demokratis sebagaimana yang ditegaskan dalam Qur’an (QS Asj-Sjurá XLII: 38)’.
Jejak-jejak kepercayaan terhadap demokrasi sebagai dasar perjuangan Islam tidaklah surut bersama kemunculan generasi inteligensia Muslim selanjutnya. Bahkan Mohammad Natsir, yang sering dinisbatkan sebagai intelektual Islamis yang memperjuangkan negara Islam, tak pernah mendikotomikan Islam dan demokrasi. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri (1950-1951), Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam. Dia percaya bahwa konsep negara Islam tidak bisa dicapai melalui kekuatan bersenjata, melainkan harus diperjuangkan melalui tata politik yang demokratis. “Sejauh berkait dengan (pilihan) kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan, karena Islam hanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis” (dikutip Kahin 1993: 161).
Klaim-klaim keislaman atas politik Indonesia justru dihidupkan ketika partai-partai Islam mengalami tekanan dan posisi tokoh-tokoh politik Islam terancam karena persaingan. Ide pendirian “negara Islam” dan pemberlakuan “Piagam Jakarta” dihidupkan kembali oleh partai dan tokoh-tokoh Islamis selama dan setelah kampanye Pemilu 1955. Dalam upaya memobilisasi dukungan Muslim di akar rumput dan raihan-raihan kedudukan politik, politik identitas direproduksi dengan menghidupkan kembali kenangan kolektif tentang peminggiran Islam (politik) di masa lalu. Dalam situasi ketika political fairness ditegakkan, obsesi untuk menegakkan politik identitas biasanya melemah, dan partai-partai Islam lebih bersedia mentransendensikan perbedaan yang tak terhindarkan demi menekkan rasionalitas dan keadaban publik.
Memang terdapat pertanyaan yang bisa diajukan, apakah Islam bisa disekularisasikan untuk bisa memenuhi keperluan inclusive citizenship sebagai basis demokrasi? Jawaban terhadap ini diformulasikan secara baik oleh Dieter Senghaas (1998): “dogmatically no, historically yes”. Dalam kenyataannya, kebanyakan masyarakat Muslim telah melewati proses sekularisasi secara gradual dan intense, yang secara dogmatis tak diperkenankan.
Dengan mengatakan bahwa telah terjadi proses sekularisasi di Dunia Muslim tidaklah persis seperti apa yang dijumpai di banyak negara-negara Barat. Sekularisme di kebanyakan negeri-negeri Muslim, khususnya di Indonesia, tidaklah berarti inkonsisten dengan apresiasi terhadap Islam sebagai warisan budaya, dan bahkan bolehjadi menempatkan budaya ini sebagai komponen yang diperlukan bagi pembentukan identitas politik nasional (Shepard 1987: 310). Rejim-rejim pemerintahan Indonesia telah mendukung sekaligus mengontrol pengajaran dan institusi keagamaan pada tingkat yang luas. Setiap pemerintah telah juga memainkan peran signifikan dalam proses pembaruan Islam. Apa yang menyipati semuanya ini sebagai ekspresi sekular lebih karena subordinasi Islam terhadap ide dan kepentingan kebangsaan.
Lebih jauh lagi, Islam (terutama Islam Sunni) tidak memiliki unit otoritas keagamaan per se yang memiliki kewenangan memutuskan bentuk Islam resmi yang sebenarnya. Oleh karenya, doktrin pemisahan gereja dan Negara, dengan batas yang tegas tidak bisa diterapkan untuk konteks Islam.
Asal-usul teori demokrasi Barat berangkat dari upaya kaum sekularis Barat pada abad ke-17 dan 18 untuk mencegah Gereja Katolik mengontrol dan memonopoli ruang publik. Oleh sebagian mereka, Reformasi dan khususnya teologi protestan dipandang sebagai solusi yang memadai dalam menangkal hegemoni agama atas ruang publik.
Namun, dengan tidak adanya otoritas (tunggal) keagamaan dalam Islam, mengandung konsekuensi bahwa agama tak bisa memonopoli ranah publik. Sebaliknya, agama atau representasi hukum syariat senantiasa dipaksa bersaing untuk memperngaruhi ruang publik. Teokrasi sejati mengandaikan adanya satu sudut pandang yang benar dalam teologi dan hukum Islam Akan halnya dalam bentangan panjang sejarah Islam, nyaris tak pernah ada suara tunggal yang merepresentasikan syariah dan norma agama.
Di masa silam, otonomi dan pluralitas institusi keagamaan ini menjadikan jenis Negara teokratis sulit dicapai. Namun kini, kekuasaan Negara yang begitu luas dan dominan di banyak negeri Muslim menjadikan teologi dan hukum Islam terkooptasi dan terkontrol oleh Negara. Maka muncullah Negara ala teokratis semisal Saudi Arabia, yang merupakan suatu anomali dalam sejarah Islam (El Fadl, 2007: 32- 35).
Dengan demikian, harus dibedakan antara Negara yang melindungi agama dan agama yang merepresentasikan agama. Agama dan politik tidak harus dipisahkan sejauh Negara bersifat netral dan sanggup melindungi ekspresi tiap-tiap pemeluk agama. Inggris, misalnya, memiliki beberapa undang-undang dan doktrin hukum berdasarkan hukuman hakim dan adat kebiasaan (common law) yang mewajibkan Negara melindungi iman Kristen dari fitnah keji. Israel mempunyai ragam ordonansi yang melindungi praktik dan pengamalan ajaran Ortodoks Yahudi. Italia memiliki memiliki system yang kompleks berupa konsesi dan proteksi yang diberikan kepada Gereja Katolik (El Fadl, 2007: 36). Yang harus dihindari adalah kemungkinan Negara merepresentasikan ekspresi tunggal keagamaan, terlebih jika berlangsung dalam konteks Negara-bangsa yang plural.
Alih-alih dipisahkan, krisis politik sebagai manifestasi dari kebangkrutan moralitas dan spiritualitas ruang publik menghendaki dipulihkannya kembali hubungan (etika) agama dan politik. Ketika agama tersudut dari ruang publik ke ruang privat, yang muncul adalah ekspresi spiritualitas personal yang terputus dari kehidupan publik. Sebaliknya, politik sekular memandang rendah nilai-nilai agama dan mengabaikan signifikansi kesalehan spiritual. Yang muncul adalah spiritualitas tanpa pertanggungjawaban sosial dan politik tanpa jiwa.
Tentu harus dihindari keterlibatan agama di ruang publik yang mengarah pada politisasi agama yang membuat kelompok tertentu merasa berhak untuk mengklain Tuhan selalu di pihaknya—yang mengarah pada kecenderungan triumphalisme, merasa benar sendiri, serta hubungan eksternal yang berbahaya. Tuhan tidak pernah partisan, yang memihak ke “kiri” atau ke “kanan”. Maka, ketika masing-masing partai mencoba melakukan politisasi terhadap Tuhan untuk kepentingan agenda politiknya sendiri, maka terjadi korupsi spiritual yang menyimpang.
Kontribusi terbaik agama terhadap kehidupan publik bukanlah dengan membiarkan politik terfragmentasi atas dasar ideologi kegamaan yang membuat kasih ketuhanan lenyap. Tetapi, baik partai maupun bangsa harus memungkinkan suara profetik keagamaan terdengar. Keimanan harus dibiarkan bebas menantang ideologi “kiri” dan “kanan” dengan cara menambatkan keduanya pada landasan moralitas.
Meminjam ungkapan Jim Wallis (2005: xix), “Politik ketuhanan (God’s politics) oleh karenanya tidak pernah partisan atau ideologis. Akan tetapi menantang apa saja menyangkut dunia politik kita. Politik ketuhanan mengingatkan kita tentang orang-orang yang kerapkali terbaikan dalam politik—orang-orang miskin dan terlantar yang tercampakkan. Politik ketuhanan menantang kepentingan-kepentingan nasional, etnis, ekonomi dan budaya yang sempit, dan memberi keinsyafan akan dunia yang lebih luas dan kreativitas ragam manusia ciptaan Tuhan… Politik ketuhanan juga menantang segala bentuk moralitas yang selektif, yang menimbulkan standard ganda dalam kemanusiaan.”
Alhasil, Islam dan agama-agama lainnya bisa memberi kontribusi besar bagi penciptaan budaya demokrasi, tapi juga bisa menghancurkannya. Tergantung pada dimensi keagamaan yang ditumbuhkan. Untuk membuat agama bermanfaat bagi kehidupan publik demokratis, yang harus dihidupkan adalah dimensi etis dan misi profetik agama yang bersifat universal, yang diarahkan bagi perwujudkan kemaslahatan bersama: kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Demokrasi dan Indonesia
Demokrasi punya jangkar yang kuat dalam sejarah politik Indonesia. Kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan semangat kebebasan, kesetaraan, dan persaudaran. Berakhirnya kolonialisme menimbulkan harapan kuat di kalangan rakyat bahwa batasan-batasan dan diskriminasi-diskriminasi sosial yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial akan sirna.
Kata “merdeka”, yang telah menjadi pekik umum di ruang publik, juga mengandung tuntutan bagi perbaikan status sosial. Dipungut dari kata Sansekerta “maharddhika” yang berarti ‘sakral’, ‘bijak’, atau ‘terpelajar’, kata itu dalam bahasa Jawa kuno atau Kawi sering dipakai untuk merujuk pada “orang terpelajar” atau “bikhu Buddha”, yakni seseorang yang memiliki status sosial istimewa (Steenbrink 1984: 169). Maka, dengan merdeka, orang-orang dari pelbagai kelas dan kelompok status yang berbagi impian yang sama untuk diperlakukan sebagai warga negara kelas satu.
Spirit ini diperkuat oleh pemakaian umum sejak masa revolusi, kata ‘bung’ di depan nama seseorang, seperti Bung Karno atau Bung Hatta. Kata itu menyerupai pengunaan kata “citoyen/citoyenne” (citizen) dalam Revolusi Prancis atau “kamerad” dalam Revolusi Rusia.
Semangat egalitarian dari warga negara-bangsa baru ini juga berdampak signifikan terhadap diskursus-diskursus intelektual dan terhadap pembentukan sistem politik Indonesia pada tahun-tahun awal Republik Indonesia pasca-kolonial. Selain tema revolusi kemerdekaan, isu “demokrasi” menjadi sebuah diskursus dominan dalam ruang publik.
Sejak pidato bersejarah Sukarno tentang kelahiran Pancasila (1 Juni 1945), demokrasi telah diidealkan sebagai salah satu prinsip nasional. Dalam UUD 1945 dan platform-platform dari empat belas partai yang termuat dalam buku Kepartaian di Indonesia terbitan Departemen Penerangan pada 1950, kata “demokrasi” sering dipergunakan dan hampir selalu mendapatkan persetujuan tanpa syarat (Feith 1962: 38). Pada level kesadaran diskursif—yang tidak dengan sendirinya mewujud dalam kesadaran praktis—terdapat kesepakatan umum tentang kebutuhan akan demokrasi di bidang sosial, ekonomi dan politik, termasuk dukungan terhadap kesetaraan warga negara, penolakan terhadap kediktatoran, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berpendapat, dan kebebasan untuk melakukan pemogokan.
Di atas semua itu, demokrasi (dengan segala pemaknaannya yang beragam) pada umumnya dipandang sebagai tujuan yang harus dicapai, ketimbang sekadar sebagai sarana. Sebagai pemenang revolusi dan pelanggan pandangan-pandangan Marxisme tentang kemajuan sejarah yang terelakkan, para pemimpin Indonesia memandang masa depan secara percaya diri bahwa ideal-idealnya akan tercapai. Bagi kebanyakan mereka, imaji demokrasi merupakan imaji dari ideal-ideal kebangsaan itu. Demokrasi identik dengan kebajikan dan kesontasaan masyarakat masa depan. Demokrasi dipandang sebagai nostrum, obat bagi segala masalah kebangsaan. Hal ini berimplikasi bahwa semua tindakan yang mengarah pada ideal-ideal kehidupan kebangsaan dipandang sebagai ekrespresi demokrasi (Feith, 1962: 42).
Upaya bangsa Indonesia untuk menerjemahkan cita-cita demokratis ke dalam praktik politik pada mulanya diwujudkan dengan mengadopsi demokrasi parlementer bergaya Barat. Komitmen Indonesia terhadap institusi demokrasi Barat mencerminkan kepercayaan yang sungguh-sungguh terhadap demokrasi dan sekaligus kepentingan pragmatis. Bagi inteligensia-politisi yang sangat terbuka terhadap tradisi liberalisme dan sosialisme Eropa atau terhadap nilai-nilai Islam modernis, pengadopsian institusi parlemen diyakini merupakan syarat niscaya untuk melindungi negeri ini dari peluang otoritarianisme. Komitmen yang sungguh-sungguh semacam itu terhadap demokrasi konstitusional dibarengi dengan kepentingan pragmatis untuk mendapatkan dukungan internasional yang lebih luas bagi republik yang baru ini dan untuk menunjukkan kepada Belanda bahwa Indonesia sanggup mengatur dirinya sendiri secara demokratis (Feith 1962: 43-45).
Eksperimen Demokrasi Pertama
Dalam ruang-publik terbuka di Indonesia yang baru merdeka ini, euforia demokrasi parlementer di tengah pluralitas tradisi poltik Indonesia mendorong menjamurnya partai-partai dan meluasnya perselisihan di antara partai-partai yang merupakan ciri awal perpolitikan Indonesia. Menjelang pemilihan umum pertama di Indonesia pada 1955, terdapat 172 partai dan kelompok kuasi-politik yang mencerminkan polarisasi eksternal dan fragmentasi internal yang terus berlangsung dalam tradisi-tradisi politik Indonesia.
Toh, secara prosedural dan hingga taraf tertentu juga secara substantif, suasa demokrasi parlementer pada tahun 1950-an menunjukkan capaian-capaian yang bearti. Kebebasan berekspresi dan berkumpul, penghargaan pada perbedaan pendapat (deliberative politics) dan rule of law, pemerintahan terpilih serta pemilu yang jujur dan adil relatif bisa diwujudkan.
Namun dibalik capaian-capaian ini, hasil Pemilu tak kunjung memberi jalan bagi konsolidasi demokrasi. Kegagalan mempertahankan kabinet lebih dari satu atau dua tahun, yang merupakan ciri periode revolusi kemerdekaan, masih terus berlanjut pada 1950-an. Dari September 1950 hingga Pemilu 1955, Indonesia mengalami jatuh-bangun lima kabinet yang berbeda, dengan tak satu pun kabinet lebih dari dua tahun.
Rapuhnya kabinet itu tidaklah terlalu mengejutkan mengingat lemahnya fondasi untuk mengonsolidasikan demokrasi konstitusional. Di sebuah negara yang masih ditandai oleh tingginya tingkat buta huruf, rendahnya pendidikan, buruknya kondisi ekonomi, lebarnya kesenjangan sosial, dan mentalitas otoritarian, wilayah politik masih merupakan hak istimewa milik sekelompok kecil elit politisi (Ricklefs 1993: 237).
Perilaku politik elit-elit ini diidentifikasi oleh Feith sebagai problem utama yang menjatuhkan eksperimen demokrasi selama periode ini. Dalam pandangannya, faktor paling krusial yang meruntuhkan demokrasi konstitusional Indonesia ialah ketegangan yang terus berlangsung antara apa yang dia sebut sebagai “para penggalang solidaritas” seperti Sukarno dan “para administrator” seperti Hatta, yaitu antara para pemimpin yang memiliki kecakapan integratif, cakap memainkan simbol dan memobilisasi massa dengan para pemimpin yang memiliki keterampilan administratif, legal, teknis, dan berbahasa asing. Ketegangan ini tak pernah bisa terpecahkan secara efektif. Kedua kelompok ini memiliki kepedulian rendah terhadap tujuan-tujuan jangka menengah. Tampaknya, tak ada satu pun pemimpin yang berusaha mengaitkan tujuan-tujuan jangka panjang dengan program-program administratif jangka-pendek, antara daya tarik ideologis dan solusi atas problem-problem teknis (Feith 1962: 34).
Kontras dengan pandangan Feith, H.J. Benda menisbahkan kegagalan itu dengan watak asing demokrasi dalam konteks historis Indonesia. Dalam pandangannya, sejarah politik Indonesia sejak zaman pra-penjajahan hingga kemerdekaan tak pernah mengalami gaya-gaya pemerintahan selain patrimonialisme dan otoritarianisme. Jadi, eksperimen demokratis ditakdirkan untuk gagal “begitu sejarah Indonesia (terutama Jawa) menemukan kembali tambatan masa lalunya” (Benda 1964: 453-454).
Namun, di balik permukaan kedua perspektif itu, akarnya terletak jauh lebih dalam, yakni dalam kompleksitas perpolitikan Indonesia sebagai cerminan dari keragaman elit politik Indonesia, pluralitas masyarakat Indonesia, dan polivalensi kenangan-kenangan kolektif dan kondisi-kondisi kultural masyarakat Indonesia.
Inteligensia dan ulama-intelek Indonesia sebagai elit penguasa yang dominan, mengalami diferensiasi struktural dan kultural yang tajam. Secara ekonomi, mereka bukanlah sebuah kelas tunggal yang bisa membentuk sebuah kelompok teknokrat tunggal. Secara kultural, mereka berafiliasi dengan beragam kelompok solidaritas kultural. Pada akhir revolusi kemerdekaan, sebuah blok historis bersama, yang telah membentuk kehendak bersama selama masa penjajahan, tiba-tiba saja menjadi anakronisme dan kehilangan efektivitasnya untuk mempertahankan persatuan nasional di tengah pelbagai problem dalam-negeri Republik yang baru merdeka itu. Dengan runtuhnya blok historis itu, Indonesia kembali ke watak aslinya: sebuah masyarakat plural.
J.S. Furnivall (1980) mencirikan masyarakat plural itu sebagai masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tanpa melebur dalam satu unit politik. Dalam masyarakat semacam itu, menurutnya, “tak ada kehendak bersama kecuali, mungkin, dalam perkara-perkara yang amat mendesak, misalnya melawan agresi dari luar’. Ketiadaan kehendak-bersama itu menjadikan upaya membangun sebuah bangsa dalam masyarakat seperti itu sebuah tugas yang teramat berat.
Beratnya tugas untuk menanamkan demokrasi dalam sebuah masyarakat yang plural tidak dengan sendirinya berarti bahwa masyarakat seperti ini tak bisa menjalankan demokrasi. Arend Lijphart berargumen (1977) bahwa adalah mungkin untuk mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dalam sebuah masyarakat plural sepanjang elit-elitnya bersedia bekerja sama. Namun, kerja sama itu tidak akan tercipta dengan sendirinya. Dibutuhkan sebuah kerangka solidaritas bersama yang baru, yang bergantung secara inter alia pada nasionalisme kewargaan (civic nationalism). Dalam kenyataan, jenis nasionalisme yang mendasarkan dirinya pada kewargaan yang inklusif dan keberadaban (Snder 2000: 24) belum menjadi watak utama komunitas politik Indonesia, setidaknya hingga masa itu.
Ketiadaan keadaban (civility) ini mungkin mencerminkan ketiadaan kehendak-bersama di kalangan masyarakat Indonesia sebagai sebuah masyarakat yang plural, namun yang lebih penting, hal ini berakar lebih pada ingatan traumatik pasca penjajahan. Indonesia pasca kolonial bersifat sensitif terhadap kenangan akan pengalaman-pengalaman traumatik dan terhadap sikap kebencian yang diwarisi dari pertarungan identitas dalam periode kolonial. Salah satu problem paling krusial dalam menciptakan integrasi bangsa dalam perpolitikan Indonesia adalah problem kenangan kolektif (collective memory). Meminjam penggambaran Homi Bhabha (1994): masa lalu dalam kenangan kolektif dari sebagian besar orang Indonesia bukan hanya merupakan reservoar dari bahan mentah bagi praktik dan pengalaman politik yang bisa diteorisasikan secara berjarak, namun lebih merupakan akar dari penemuan-diri (self-invention) secara historis sebagai sumber utama pembentukan identitas-identitas kelompok. Maka, mengingat-kembali kenangan merupakan sebuah penghubung yang niscaya, tetapi sekaligus berbahaya, antara pengalaman masa lalu dan persoalan identitas kultural.
Satu hal yang tampaknya membebani pikiran orang Indonesia, terutama di kalangan kelompok marjinal, adalah kebijakan kolonial berupa segregasi dan favoritisme sosial. Kenangan kolektif ini tidak mati dengan tampilnya generasi baru. Karena tidak adanya sebuah civil society yang sejati di Indonesia, medium bagi pembelajaran sosial secara kolektif dan bagi produksi simbol-simbol politik secara dominan disuplai oleh kelompok-kelompok komunal. Melalui ritual-ritual peringatan kembali yang dilakukan oleh kelompok-kelompok komunal inilah kenangan-kenangan itu dipertahankan. Jadi, kenangan traumatik terus bertahan karena kegagalan proses pembelajaran sosial yang bersifat kolektif. Secara umum, Indonesia pada kurun waktu ini masih merupakan sebuah masyarakat yang komunal, bukan asosiasional. Asosiasi-asosiasi sebagai katalis bagi proses transformasi masyarakat dari semangat komunalisme menuju semangat kewarganegaraan masih belum terbangun secara luas.
Inteligensia-politisi, yang diharapkan membimbing komunitas politik ke arah keadaban politik (political civility), pada kenyataan malah menyuburkan komunalisme. Dalam kevakuman kekuasaan setelah berakhirnya Perang Dunia II, ketersingkiran kaum borjuasi dari ruang politik dan ketidakcapakan pewaris kerajaan serta klerikus tua untuk mengelola negara modern, membuat inteligensia-politisi pribumi dari pelbagai aliran politik secara berangsur-angsur menempati posisi dominasi dalam politik. Karena tak memiliki landasan ekonomi yang kuat, kelompok-kelompok inteligensia-politisi saling bersaing untuk menguasai birokrasi dan ekonomi negara. Dan kehendak untuk mengontrol sumber-sumber daya itu membutuhkan justifikasi sosial. Dalam konteks inilah, kepentingan-kepentingan komunal menjadi sebuah dalih yang kuat. Solidaritas kultural dan komunal kemudian dipolitisasi dalam situasi-situasi konflik di mana isu-isu utamanya seringkali adalah kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi dari elit politik.
Pemilihan Umum pertama 1955 diharapkan menjadi sebuah tonggak bagi terciptanya perdamaian antarelit, stabilitas politik, dan tercapainya tujuan-tujuan nasional. Ternyata, mimpi itu tak terwujud. Hasil pemilihan umum menetapkan keunggulan empat partai, namun tak satu pun meraih mayoritas. Keempat partai tersebut adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI yang berturut-turut memperoleh 22,3%, 20,9%, 18,4% dan 16,4% dari total suara yang sah (Feith 1957: 58-59). Karena tak ada satu pun partai yang memenangkan suara mayoritas di parlemen dan sebagian besar partai ingin masuk dalam kabinet, pemerintahan terbentuk dari koalisi yang luas. Koalisi pemerintahan yang luas namun tanpa fondasi demokratis yang solid ini sekali lagi ditakdirkan untuk gagal. Dalam hal ini, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tak bisa dikambinghitamkan sebagai pangkal dari semua kegagalan.
Eksperimen Demokrasi Kedua
Kebebasan ruang publik di awal kelahiran Orde Baru berlangsung amat singkat. Selebihnya, adalah sejarah otoritarianisme. Pendulum ke arah demokratisasi terjadi menyusul gerakan reformasi pada 1997/1998.
Sejak era Pemerintahan Habibie, perlbagai langkah untuk mendemokratisasikan institusi dan prosedur-prosedur politik telah dilakukan dengan sejumlah transformasi yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif fair dan berulang, kebebasan berekspresi, keluasan akses informasi (meski belum ada jaminan perudang-undangan), desentralisasi dan otonominasi, pemilihan presiden dan pilkada secara langsung dan sebagainya.
Singkat kata, dari segi-segi prosedur demokrasi, transisi demokrasi Indonesia telah siap untuk dikonsolidasikan. Namun, perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena di benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi merepresentasikan kesempatan dan sumberdaya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi (Shin, 1999). Oleh karena itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi: pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).
Konsolidasi demokrasi memprasyaratkan perubahan mendasar berdimensikan struktural dan kultural.
Elite Settlement
Dari sekian banyak prasyarat itu, hal pertama yang harus diwujudkan adalah soal konsesus elit (elite settlement). Demokrasi yang terkonsolidasikan adalah demokrasi yang stabil. Salah satu faktor pendukung kestabilan itu adalah persetujuan elite. Upaya ini memerlukan komitmen kuat dari para elite pada kondisi dasar pengkonsolidasian demokrasi. Hal ini melibatkan pengambil keputusan tingkat tinggi, pemimpin organisasi, politisi, petinggi pemerintah, kaum intelektual, pebisnis, dan pembentuk opini. Keyakinan mereka pada demokrasi akan membuat demokrasi berjalan dan menihilkan kemungkinan kembalinya otoritarianisme.
Persetujuan elite adalah hal yang jarang terjadi dan susah dicapai; mendamaikan elite yang berseteru untuk bernegosiasi perbedaan mereka bukan hal gampang. Bila tercapai, menurut Burton dan Higley, ada dua akibat penting, yaitu: (1) terbentuknya pola kompetisi politik damai dan terbuka antara para elite, dan (2) terjadi transformasi ketidakstabilan politik menuju kestabilan berakibat pada rendahnya pengambilan kekuasaan secara paksa dan tak disangka-sangka. Hakekatnya, persetujuan elite mentransformasikan elite berseteru menjadi elite bersatu. Peralihan rejim berakhiran pada demokrasi yang langgeng, kemungkinan besar adalah produk konsensus elite ini, sedang yang berujung pada gagal-demokrasi berarti nadir dari konsensus. Konsensus elite sebab itu merupakan titik kritikal dan penentu bagi demokrasi.
Elite settlement merupakan faktor krusial yang memberi andil besar pada kegagalan eksperimen demokrasi Indonesia di masa lalu. Namun, gelombang demokratisasi pada era reformasi ini menunjukkan perkembangan positif dalam kemauan yang lebih luas di kalangan elit politik untuk mencapai konsensus. Pertama, tentu saja adalah konstitusi. Para elite setuju melakukan perubahan cukup mendasar pada konstitusi melalui amandemen beberapa pasalnya, dengan resistensi yang sangat minimal. Kedua, ada kesepakatan dari para pemegang senjata dengan para elite negeri untuk tidak menghalangi atau membatasi proses demokratisasi. Ini tidak dilakoni dengan merubah tradisi dan budaya militer, tapi melalui penekanan pentingnya konsensus elite ini bagi kemaslahatan bangsa. Walaupun masih memiliki modal politik dan posisi tawar yang tinggi, sebagai salah satu aktor terpenting dalam jagat perpolitikan Indonesia, kerelaannya untuk kembali ke barak, menjadi tentara profesional, tunduk di bawah kekuasaan sipil, dan mengawal demokrasi merupakan kontribusi tak ternilai bagi bangsa.
Ketiga adalah desentralisasi dan distribusi kekuasaan politik sebagai upaya menjaga kesatuan negara. Idealnya, proses ini mengantarkan Indonesia pada partisipasi politik masif dan terbesar dalam sejarah Indonesia maupun dunia. Konsensus oleh bangsa ini mengenai bentuk distribusi kekayaan dan kekuasaan merupakan terobosan demokratisasi melalui pendobrakan institusi-instutisi pra-reformasi. Meskipun harus segera diberi catatan, bahwa kisruh yang terjadi dalam pilkada di beberapa tempat menyiratkan masih lemahnya daya-daya konsensus elit yang antara lain disebabkan oleh masih lemahnya tingkat erudisi dan budaya politik demokratik, selain segi-segi yang menyangkut kelemahan pranata hukum dan kesenjangan sosial.
Keempat, tercapai satu kesepakatan diantara para elite individu maupun kolektif untuk loyal pada institusi dan praktik demokrasi. Apapun latar belakang ideologis dan kepentingan mereka, ada semacam kesepahaman bahwa institusi dan praktik demokrasi membantu tercapainya kemaslahatan umum, dan setia pada institusi dan praktik demokrasi ini menjadi kebutuhan dan keniscayaan. Tanpa ada komitmen dan kepercayaan pada demokrasi dari para elite politik, demokrasi hanya akan tinggal wacana.
Terakhir, dan dihubungkan dengan poin keempat, kesetiaan pada praktik dan institusi demokrasi dengan mengabaikan latar belakang ideologis dan identitas, mengantarkan proses pemoderasian pemikiran dan ideologi yang berada di ujung spektrum berbeda. Elite politik yang berseberangan pun pada akhirnya dipaksa oleh keniscayaan sejarah dan kekuatan demokratis untuk melakukan pendekatan dan relasi yang kemudian memoderasi kestatisan dan kekentalan pemikiran dan ideologi mereka. Indonesia dengan lanskap politik yang menghalangi ekstremitas, membuat konflik politik mengambil posisi moderat karena tipisnya perbedaan ideologi yang timbul diantara para pemain politik. Konflik politik yang jamak lahir dari pemikiran dan laku politik ekstrim para pemimpinnya, seiring dengan pergeseran menuju moderasi, mengakibatkan mereka bersedia bernegosiasi dan berkompromi selaras dengan keinginan konstituennya. Moderasi mereduksi potensi konflik.
Pemapanan Institusionalisasi
Konsolidasi demokrasi Indonesia, seperti di negara-negara Amerika Latin, menemui kendala yang cukup besar proses “institusionalisasi” demokrasi yang masih belum mapan. Institusionalisasi adalah proses penguatan institusi demokrasi yang dibentuk selama transisi regime melalui pendesainan ulang dan internalisasi aktor-aktor sosial-politik. Proses ini bisa berjalan bila “infrastruktur institusional demokrasi” eksis, dan didukung oleh faktor-faktor, seperti masyarakat madani yang berdaya, partai politik yang berfungsi, budaya politik yang independen, pemerintahan yang menjunjung hukum, dan ekonomi yang efisien.
Sukses konsolidasi demokrasi terjadi bila institusi-institusi bentukan proses transisi demokrasi bertransformasi menjadi satu kerangka insitusional mapan yang terinternalisasi mendalam pada para aktor sosial dan politik. Dengan kata lain, “demokrasi terkonsolidasikan bila ia menjadi satu-satunya aturan yang berlaku.”
Mengingat institusionalisasi tidak akan pernah mencapai titik ideal, maka konsolidasi demokrasi pun sukar meraih titik maksimum. Sebab itu pemerintahan demokratis dianggap terkonsolidasikan bila “semua grup politik memahami dasar-dasar institusi politik sebagai satu-satunya struktur absah untuk kompetisi politik, serta menjunjung aturan main demokratis.” Jadi, demokrasi akhirnya “terinternalisasikan secara mendalam dalam kehidupan sosial, institusional dan psikologis serta dalam kalkulasi untuk meraih kesuksesan politik para aktor individual maupun kolektif.”
Supaya internalisasi ini berhasil, lima syarat yang berhubungan dengan infrastruktur institusional demokrasi harus ada: (1) adanya masyarakat madani yang independen dan sehat; (2) keberadaan masyarakat politik yang lumayan otonom; (3) supremasi hukum eksis; (4) munculnya birokrasi negara yang melayani otoritas demokratis; dan (5) terbentuknya ekonomi terinstitusionalisasikan.
Memenuhi syarat-syarat tersebut masih merupakan kendala karena kelemahan demokrasi kita, tercermin dari belum tersedianya infrastruktur institusional demokrasi yang memadai. Salah satu aspek yang mencolok adalah, pertama, reformasi di bidang yudikatif yang masih jauh tertinggal dibanding reformasi di legislatif dan sampai tingkat tertentu reformasi di bidang eksekutif.
Kesetaraan Basis Ekonomi dan Sosial
Demokrasi yang sehat menghendaki kesedarajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak melulu berhubungan dengan politik. Dahl dengan demokrasi proseduralnya telah memisahkan demokrasi sebagai ranah politik dan ranah sosial. Demokrasi poliarkis, atau yang disebut Amy Gutmann sebagai “demokrasi non-ideal” harus mampu memberikan kepuasan kebutuhan pokok, dan inilah yang menyebabkan Gutmann menghubungkan demokrasi dengan kesejahteraan.
Amy Gutmann bisa jadi terinspirasi oleh Alexis de Toxqueville. Bagi de Tocqueville, demokrasi memiliki makna diluar politik, yaitu kesederajatan kondisi sosial dan ekonomi ditambah dengan semangat egalitarianisme dan keinginan merdeka. Dari kesetaraan kondisi ekonomi dan sosiallah, menurut Tocqueville, ada kecenderungan untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan. Di negara-negara tempat warganya berdiri sama tinggi, tanpa melihat dan dibedakan berdasarkan silsilah, banyak berdiri perkumpulan yang dibentuk oleh warganya sendiri untuk mengasah kekuasaan mereka.Dari terbentuknya asosiasi-asosiasi inilah timbul rasa dan pemahaman kesetaraan, kesederajatan. Perkumpulan ini lalu melindungi dan melestarikan kesetaraan ini dengan mencegah kelompok lain menjadi dominan dan hegemonial. Sehingga, perkumpulan ini, bagi Tocqueville, memiliki dua fungsi dalam sistem politik egalitarian: mereka berasal dan menjaga demokrasi. Demokrasi tanpa kesederajatan kondisi sosial dan ekonomi adalah demokrasi yang timpang.
Mutu Wacana Deliberatif
Demokrasi menghendai suatu cara penanganan konflik tidak melalui jalan kekerasan melainkan secara diskursif. Deliberative discourse index disusun sebagai upaya untuk mengevaluasi argumen-argumen yang dikeluarkan dalam debat, baik di gedung legislatif maupun di tempat lain, berdasarkan kekuatan rasionalitas yang dikandungnya. Nalar adalah dasar utama deliberative discourse. Para partisipan bernalar dan berharap penalaran yang mereka ajukan bakal turut membantu proses pengambilan keputusan kolektif. Menurut Habermas, dalam deliberasi yang ideal, “no force except that of the better argument is exercised” Saat yang sama, menurut Gutmann dan Thompson, diskursus deliberasi memprasyaratkan, “saling menghormati [yang] membutuhkan upaya untuk mampu mengapresiasi kekuatan moral dari posisi mereka yang berpendapat berbeda dengan kita.”
Bila kita mau jujur dan berani melihat dalam deliberasi yang ada di gedung para wakil rakyat, tentu gambaran yang ada jauh dari memberikan nilai tambah bagi indeks diskursus deliberatif ini. Rendahnya kualitas perdebatan, rasionalitas, dan etiket para wakil rakyat sekarang jauh berbeda dibanding para pemegang tanggung jawab yang sama di tahun-tahun awal kemerdekaan. Bisa jadi ini merupakan pertanda pergeseran dari knowledge-based society menuju economic-based society; sebuah pergeseran yang meminggirkan nilai pengetahuan dan menggantinya dengan kekuatan kapital ekonomi. Juga merupakan satu peringatan bahwa dalam sistem perwakilan selalu saja akan ada “aesthetic gap” antara yang diwakili dan yang mewakili. Representasi politik tidak eksis untuk mengisi ketidakmungkinan mendatangkan semua anak bangsa ke ruang sidang untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Hal diatas adalah absurd. Bahkan bila kita mampu melakukan demokrasi secara langsung, kita masih lebih memilih representasi. Realitas politik, karena itu, mewujud hanya bila yang diwakili ini sadar bahwa mereka diwakili. Tanpa representasi, tak ada politik demokratis.
Tantangan ke Depan
Disinilah terlihat bahwa konsolidasi demokrasi yang bersandar semata pada demokrasi prosedural semata tidaklah cukup memadai. Demokrasi prosedural, atau poliarki menurut Dahl, seperti Schumpeter adalah semata kemerdekaan rakyat memilih pemimpin. Esensinya, poliarki tak lain adalah pemilahan pemimpin dan wakil rakyat dari elite-elite yang berebut kuasa melalui mekanisme pemilu. Karena itu, Dahl dalam bukunya Who Governs, memberi jawaban bahwa demokrasi adalah “menempatkan elite tertentu dengan isu tertentu” di pemerintahan. Betatapun prosedur minimal dari demokrasi poliarkis mengarah pada institusionalisasi yang kompleks, demokrasi prosedural memerlukan satu versi expanded.
Demokrasi prosedural membatasi diri pada dunia voting, prosedur adil, dan segala perangkat formalitas lainnya, sedang demokrasi substantif melibatkan upaya-upaya pencapaian keadilan sosial dan ekonomi. Walau begitu langkah awal yang bisa dilakukan dalam upaya penciptaan kondisi sosial ekonomi sederajat adalah melalui pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dan system-responsiveness. Bahkan Robert Putnam sekalipun mengingatkan, “Tidak ada yang lebih gamblang bahkan bagi pengamat kasual selain fakta bahwa keefektifan demokrasi berhubungan erat dengan modernitas sosio-ekonomis.”
Demokrasi Indonesia kontemporer adalah demokrasi yang potensinya belum tergali secara benar. Kepartaian terfragmentasi menurut logika kepentingan elitis-pragmatis, tak mampu menghasilkan pemerintahan yang stabil dan membentuk sistem yang lebih responsif pada perasaan dan kepentingan rakyat. Masyarakat madaninya merupakan masyarakat madani yang masih terkungkung oleh selubung identitas serta bergantung pada oligarki dan elite lama. Demokrasi yang berkembang menjadi penyokong plutokrasi dengan mengabaikan meritokrasi. Sebentuk demokrasi yang terkooptasi oleh oligarkhi dengan gelombang pasang mediokrasi. Singkat kata, sebongkah demokrasi dengan defisit demokrat bermerit.
Untuk mengatasi defisit kaum demokrat itulah mengapa kita berkumpul di sini. Ya, kita berkumpul di sini agar keluhan Bung Hatta bisa kita akhiri: “Zaman baru telah melahirkan momen keemasan. Hanya saja yang ditemukan adalah orang-orang yang kerdil.” Semoga momentum emas demokratisasi Indonesia saat ini bisa menemukan kebernasan demokrat sejati.
RUJUKAN
Madjid, N 2003, Indonesia Kita, Universitas Paramadina Press, Jakarta
El Fadl, K.A. 2006, Selamatkan Indonesia dari Muslim Puritan, Serambi, Jakarta
Latif, Y. 2006: Inteligensia Muslim dan Kuasa, Mizan, Jakarta
Wallis, J. 2005, God’s Politics: Why the Right Gets It Wrong and the Left Doesn’t Get It, HarperSanFransisco, New York