pengertian ijtihad secara umum yaitu mencurahkan seluruh daya untuk mencapai seluruh hukum yang dikehendaki nash yang zhanni dalalahnya. mencurahkan daya fikir untuk sampai pada suatu kesimpulan hukum dengan cara menerapkan kaidah-kaidah syari’at yang bersifat kully. mencurahkan daya fikir untuk sampai pada pada suatu kesimpulan hukum yang tidak ada nashnya dengan cara qiyas, istihsan, istishlah (mashalih al-mursalah) atau cara lain yang merupakan sarana yang telah ditentukan oleh syari’at dalam rangka memutuskan permasalahan yang tidak ada nashnya
IJTIHAD SAHABAT DAN KEHUJJAHAN FATWANYA
Sumber-sumber hukum Islam adalah wahyu (al-Qur’an dan Sunnah). Materi hukum yang terdapat dalam sumber-sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Karena itu, setelah berlalunya periode Tasyri’ (zaman kenabian dan hidupnya Rasulullah SAW), dalam penerapan hukum selanjutnya diperlukan penalaran atau ijtihad. Esensi penalaran tersebut diisaratkan sendiri oleh Rasulullah ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Sebelum mengutus Muadz, Rasulullah bertanya “bagaimana Muadz memecahkan persoalan yang akan dihadapinya kelak” Muadz menjawab, bahwa ia akan menyelesaikan persoalan dengan ketentuan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, apabila tidak ditemukan ketentuan hukum yang dimaksud, maka ia akan berusaha menyeslesaikan persoalan tersebut dengan upaya penalaran akalnya semaksimal mungkin (…ajtahidu ra’yi.) Rasulullah kemudian memuji jawaban Muadz. Dalam al-Qur’an juga terdapat anjuran atau tuntunan untuk berijtihad, sebagaimana disebutkan ‘Fa’tabiruu yaa ulil abshaar’ Ayat ini memberikan peluang bagi seseorang untuk dapat memikirkan sekaligus mengambil pelajaran terhadap suatu kejadian dengan melalui akal fikiran yang sehat dan jernih.
Secara lughah ijtihad dapat diartikan berusaha dengan sungguh-sungguh, menimbang, memikirkan. Sejajar dengan ini, menurut Harun Nasution kata ijtihad berasal dari kata al-Jahdu dan al-Juhda yang berarti ‘daya upaya’ atau ‘usaha keras’ dengan demikian, ijtihad berarti berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Rasulullah pernah bersabda kepada Amr bin Ash ketika diperintahkan untuk memutuskan suatu permasalahan, “Lakukanlah ijtihad! Jika benar engkau mendapat dua pahala, dan jika salah akan mendapat satu pahala” (khallaf, h. 54)
Peran dan kontribusi Sahabat dalam berijtihad
Ulama-ulama tenar di kalangan sahabat yang banyak memberikan fatwa-fatwa kepada umat Islam antara lain:
di Madinah : Khalifah al-Rasyidah (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali r.a), Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan Aisyah r.a.
Mekkah : Abdullah bin Abbas
Kufah : Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud
Basrah : Anas bin Malik dan Abu Musa al-Asy’ari
Syam : Muadz bin Jabal dan Ubadah bin Shanit
Mesir : Abdullah bin Amr bin Ash
Kehujjahan Fatwa Sahabat
Bahwa Ijma’ para sahabat nabi SAW oleh masyarakat Sunni dapat dipakai sebagai ketentuan hukum. Perbedaan pendapat diantara mereka hanya dalam soal ketetapan untuk mengikuti salah satu fatwa dari para sahabat dan mendahulukannya atas qiyas atau fatwa-fatwa lainnya yang bukan dari sahabat. Dalam hal ini, sebagian ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa ucapan sahabat termasuk dalil-dalil hukum dan menurut sifatnya wajib di ikuti. ( Sobhi Mahmassani, 152) Pendapat ini berdasarkan dua alasan: pertama, bahwa para sahabat adalah orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW, sehingga lebih mengetahui dan lebih menjiwai maksud dan keterangan Sunnah dari nabi SAW. Demikian juga dengan sebab-sebab turunnya wahyu al-Qur’an beserta nash dan penafsirannya. Kedua, mengenai diri para sahabat, nabi SAW sendiri telah memberikan jaminannya. Dalam sebuah hadis di sebutkan, “Sahabatku laksana bintang-bintang, kepada siapa kamu mengikutinya kamu akan mendapat petunjuk”.
Akan tetapi pendapat tersebut tidak disetujui oleh mazhab lainnya, begitu juga dengan al-Kurkhi dari mazhab Hanafi sendiri. Menurut mereka ucapan para sahabat tidak boleh dijadikan dalil hukum dan tidak pula wajib taqlid padanya. Sedangkan hadis nabi SAW yang dijadikan pegangan oleh pendapat yang pertama, mereka katakan bahwa hadis tersebut sama sekali tidak memberi pengertian itba’ dan masuk kategori hadis yang sanadnya dha’if.
Ternyata diketahui bahwa mereka (sahabat-sahabat Nabi) adalah generasi paling ahli dalam memberikan penjelasan melalui jiwa dan semangat Islam. Mereka adalah orang-orang yang memilki cakrawala pemikiran yang luas dan mendalam mengenai hukum-hukum Islam yang dibuat tanpa menyulitkan, meski tetap berpijak pada dasar-dasar yang ada.
Sebagai contoh misalnya, ketika Umar bin Khattab, Muadz dan Ali r.a, menolak memberikan bagian 4/5 jatah tanah rampasan perang (ghanimah) untuk para pejuang yang menaklukkan musuh. Sementara dalam firman Allah disebutkan:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil,..”
Umar berpendapat bahwa tanah tersebut harus diwakafkan untuk generasi muslim yang akan datang agar bisa dirasakan dan dimanfaatkan di masa yang akan datang. Begitu juga sikap Usman yang memberikan perlindungan kepada unta—unta yang tersesat dan kemudian diumukan kepada masyarakat. Dalam sabda Nabi SAW, “Unta yang tersesat hendaknya dibiarkan saja”. Pada masa Abu Bakar dan Umar, unta-unta yang tersesat dibiarkan saja berkeliaran hingga ditemukan oleh pemiliknya, tetapi pada masa Usman, kondisi masyarakat sudah banyak berubah, mereka mau menolong dan memelihara unta-unta yang hilang atau tersesat, Usman melihat, “adalah lebih baik memberikan perlindungan kepada binatang-binatang tersebut.”
Oleh: Sufriyansyah, (05 PEMI 845)