Kaidah ini menyatakan bahwa makna dasar dari sebuah perkataan adalah hakikatnya. Hakikat atau kebeneran di sini merupakan makna yang langsung dapat dipahami oleh pendengar ketika mendengar sebuah perkataan. Al-haqiqah adalah at-tabadur, makna yang benar itu adalah makna yang langsung masuk dalam pemahaman seseorang. |
Akan tetapi, namanya makna dasar, maka pada beberapa perkataan ada yang harus dipahami tidak seperti dalam kaidah ini. Bila secara lengkap kaidah ini adalah: Dasar (makna) dari suatu perkataan adalah hakikatnya kecuali ada dalil yang menyatakan tidak demikian. Makna dasar dari sebuah perkataan adalah arti yang langsung dapat difahami bukan takwil. Contohnya: Bila ada yang mengatakan “mandi”, maka makna hakikinya adalah mandi pada umumnya, yakni untuk membersihkan badan, mandi ini tidak diartikan sebagai mandi besar kecuali ada qarinah yang menunjukkan bahwa makna kata “mandi” tersebut adalah mandi besar.
المنطوق مقدم على المفهوم
العبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب Kaidah ini dapat dijelaskan bahwa sebuah nash terdiri dari dua hal: lafalnya dan illatnya. Pengambilan nilai dari sebuh nash menurut kaidah ini adalah nilai keumuman lafal tersebut, artinya apabila ada sebuah nash yang muncul karena suatu sebab, maka lafal itu kemudian menjadi berlaku bagi semua perkara tidak hanya berlaku pada sebab tersebut. Contohnya. لن بفلح قوم ولو أمرهم امرأة Tidak akan beruntung/menang sebuah kaum bila wanita adalah pemimpin mereka. Hadist ini muncul ketika nabi memperhatikan sebuah kaum yang dipimpin oleh wanita yang tidak berkompeten untuk menjadi pemimpin, baik karena akhlaknya yang tidak baik atau memang karena ia tidak mempunyai sifat-sifat pemimpin lainnya. Bila mengikuti kaidah di atas, maka hadist ini menjadi umum untuk semua kasus kepemimpinan wanita, artinya bahwa hadist tersebut melarang kepemimpinan wanita atas laki-laki, meski sebab munculnya hadist tersebut adalah sebuah sebab khusus, yakni adanya pemimpin wanita yang tidak berkompeten. Contoh lain adalah hadist: البحر طهور ماءه و الحل ميتته Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. Hadist ini muncul ketika sebuah kaum sedang dalam pelayaran di laut dan hanya mempunyai persedian air yang sedikit. Bila mereka menggunakan air tersebut untuk berwudhu’ maka mereka tidak akan mempunyai air minum. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasul, beliaupun menjawab seperti di atas. Hadist ini kemudian, menurut kaidah di atas menjadi umum bahwa air laut itu memang suci dan mensucikan dalam setiap keadaan tidak hanya ketika kekurangan air. Kaidah-Kaidah Kontekstual
العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ Kaidah ini adalah kebalikan dari kaidah “Ibarat (nilai/pesan) diambil dari keumuman lafal bukan kekhususan sebab”. Bila kaidah ini yang dipakai untuk memahami hadist: لن بفلح قوم ولو أمرهم امرأة Tidak akan beruntung/menang sebuah kaum bila wanita adalah pemimpin mereka. Maka pemhaman yang muncul kemudian adalah bahwa larangan nabi akan kepemimpinan wanita terbatas pada kondisi seperti kaum yang dicela oleh nabi tersebut. Yakni pada wanita yang tidak berkompeten untuk jadi pemimpin, sedangkan apabila ia berkompeten, maka tidak ada larangan dari hadist ini untuk menjadi pemimpin. Dengan begitu hadist ini tidak melarang kepemimpinan wanita, karena hadist ini terikat dengan kondisi sebab munculnya hadist tersebut.
الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما Pengambilan hukum dalam metode ushul fikih Khamar itu diharamkan ketika ada unsur memabukkan, ketika tidak ada maka tidak diharamkan. Illat di sini adalah memabukkan, maka selama illat itu menjadi bagian dari minuman, maka selama itu pula minuman tersebut diharamkan, dan sebaliknya selama illat itu tidak ada maka hukum keharamannyapun menjadi hilang.
تغير الأحكام بتغير الأزمنة و الأمكنة Ini merupakan salah satu kaidah dalam mehami nash secara kontekstual,bahwa hukum itu berubah seiring perubahan tempat dan waktu. Artinya hukum yang berlaku di suatu tempat belum tentu berlaku pada tempat lain, akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa tidaklah semua hukum bisa dipakai dengan semua kaidah-kaidah-kaidah ini. Contoh kaidah ini adalah tentang waktu shalat, waktu shalat pada suatu tempat tidak akan sama dengan tempat lain, begitu juga dengan waktu buka, buka dan sebagainya. [1] Tim Penulis, Usul Fikih (Gontor: Darussalam Press, t.h), juz II, h. 27. [2] Tim Penulis, Usul Fikih (Gontor: Darussalam Press, t.h), juz I, h. 53. [3] Tim Penulis, Usul Fikih (Gontor: Darussalam Press, t.h), juz I, h. 27. [4] Abdul Hamid Hakim, mabadiul Awwaliya (Jakarta: Maktabah Sa’diyah, t.h), h. 47. [5] Tim Penulis, Usul Fikih (Gontor: Darussalam Press, t.h), juz I, h. 53. |