Sejarah tentang penelurusuran hadis merupakan kajian yang tidak ada habisnya, terbukti bahwa hadis sebagai bukti sebagai bukti transformasi ilmu pengetahuan dalam Islam. Realita ini menuntut para ilmuan untuk meneliti kembali keabsahan dan validitas hadis.
Hadis bagi ummat Islam menempati urutan kedua sesudah Alquran dalam konteks sumber hukum Islam. Karena, di samping sebagai sumber ajaran yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasullullah Saw. Juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan Alquran yang mujmal, mutlak ‘amm dan sebagainya. Target akhir penkajian ilmu hadis sesungguhnya terarah pada matan hadis, sedangkan yang lain seperti sanad, kitab yang mengoleksi berkedudukan sebagai perangkat bagi proses pengutipan pemeliharaan teks dan kritiknya[1].
Peran strategis sanad (mata rantai riwayat) seperti penegasan Muhammad bin Sirin ( W.110 H) dan Abdullah Mubarak (W.181 H) sebagai pemberi legitimasi atas keberadaan matan selaku bagian integral dari ajaran Islam[2]. Sanad yang mengawal matan sekaligus berperan sebagai bukti kesejarahan tentang proses tranmisi hadis (silsilah keguruan) bagi kolektor hadis yang bersangkutan.
Dalam makalah hadis yang singkat ini, penulis mencoba mengupas tentang kritik matan hadis dalam artian bahwa matan sebagai materi hadis ( nafs al-hadis) yang merupakan materi ungkapan yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu. Kajian ini akan mengungkapkan bagaimana kritik matan sebagai bukti perkembangan ilmu hadis dalam mencari dan menemukan validitas hadis. Untuk ke-objektifan kajian ini diharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini.
B. Pengertian Kritik Matan
Kata kririk dalam bahasa Arab sering di sebut naqd, kritik itu sendiri berarti menghakimi, membandingkan, menimbang[3]. Kata kritik bida di artikan sebagai upaya membedakan antara yang benar( asli) dan yang salah (tiruan atau palsu).
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shalaha wa irtifa’a min al-arabi ( tanah yang meninggi) secara terminology istilah matan memiliki beberapa defenisi yang pada dasarnya maknanya sama yaitu materi atau lafadh hadis itu sendiri. Pada salah-satu defenisi yang sangat sederhana, misalnya di sebutkan bahwa matan itu ialah ujung atau tujuan sanad (ghayah as-sanad). Dari defenisi ini memberikan pengertian bahwa apa yang tertulis setelah silsilah sanad, adalah matan hadis[4].
Pada defenisi lain, seperti di katakan oleh ibnu al-Jamaah di sebutkan, bahwa matan ialah : ما ينتهي اليه السند من الكل م
“Sesuatu kalimat tempat berakhirnya sanad”[5]
Sedangkan menurut ath-Thibi mendefenisikan matan adalah :
الفا ظ الحديث التئ تتقوم بها معا نيه
“ Lafadh-lafadh hadis yang di dalamnya mengandung ma’na-ma’na tertentu”[6]
Kalimat”ujung sanad”menunjukkan pada pemahaman yang disebut matan (materi lafadh hadis) yang penulisannya di tempatkan setelah sanad dan sesudah rawi.
Defenisi di atas sejalan dengan pandangan ibnu al-Atsir al-Jazari (W.606.H), bahwa setiap matan hadis tersusun atas element lafadh (teks) dan elemen makna (konsep).[7]
C. Latar Belakang Pentinganya Kritik Matan Hadis
Ada beberapa penelitian terhadap matan hadis, diantaranya termotifasi oleh:
1. Motifasi Agama
2. Motivasi Sejarah
3. Tekhnis Pengeditan hadis
4. Tema dan Perpaduan Konsep Hadis
D. Kriteria Kritik Matan Hadis
Dari berbagai kitab yang menjadi sumber bacaan dan sumber pengambilan tulisan, sepanjang penulisan makalah tidak menerangkan langkah-langkah metodologis yang harus dilakukan dalam kegiatan penelitian matan hadis, apa yang telah diterangkan oleh berbagai pendapat Ulama hadis sangat besar mamfaatnya untuk dijadikan bahan dalam rangka merumuskan langkah-langkah metodologis penelitian matan hadis. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini akan mencoba mengajukan langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan hadis, yakni :
1.Penelitian matan dengan melihat kualitas sanadnya
Meneliti matan sesudah meneliti sanad, dapat dilihat dari segi obyek penelitian, matan, sanad hadis yang memiliki kedudukan sama, yakni sama-sama penting diteliti dalam hubungannya dengan status kehujahan hadis. Dalam urutan kegiatan penelitian, Ulama hadis mendahulukan penelitian sanad atas penelitian matan hadis.
Kualitas matan harus sesuai dan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya, maksudnya adalah kualitas matan dan sanad suatu hadis sangat bervariasi. Diantanya adanya suatu hadis yang sanadnya sahih, tetapi matan da'if dan sebaliknya. Menurut Ulama hadis, suatu hadis barulah dinyatakan berkualitas sahih apabila sanad dan matan hadis sama-sama berkualitas sahih. Dengan demikian, hadis yang sanad-nya sahih dan matan-nya tidak sahih, atau sebaliknya, sanad-nya da'if dan matan-nya, tidak dinyatakan sebagai hadis sahih.
Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna merupakan penelitian matan apabila terjadinya perbedaan lafal, artinya bahwa perbedaan lafal pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam periwayatan hadis telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil-ma'na) dan juga terjadi dikarenakan kesalahan.
Menurut para ulama hadis, perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanad-nya sama-sama sahih maka hal tersebut dapat ditoleransi. [8]
Adapun tolak ukur penelitian matan (ma'ayir naqdil al-main) yang dikemukakan oleh ulama tidak seragam. Menurut al-Khatib al-Bagdadi (w.463 H/1072 M), suatu matan hadis barulah dinyatakan sebagai maqbul ( yakni diterima kualitas shahih), apabila :
1. Tidak bertentangan dengan akal sehat
2. Tidak bertentangan dengan Alquran yang telah muhkam[9]
3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti; dan
6. bertentangan dengan hadis Ahad yang berkualitas ke-shahihannya lebih kuat
Dalam penelitian matan ini, juga harus diperhatikan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas sahih, ada dua macam, yakni terhindar dari shuzuz (kejanggalan) dan terhindar 'illat (cacat), ini berarti bahwa untuk meneliti matan, maka kedua unsur tersebut harus menjadi acuan utama. Karena apabila penelitian syuzuz dan 'illat hadis pada penelitian sanad dinyatakan sebagai kegiatan yang sulit, maka demikian juga pada penelitian syuzuz dan 'illat pada matan tidak mudah dilakukan.
2. Meneliti Susunan Matan yang Semakna
Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan yang lewat bahwa salah-satu sebab terjadinya perbedaan lafal pada matan hadis yang semakna ialah karena periwayatan hadis terjadi periwayatan secara semakna (ar-riwayah bil-ma'na). Menurut para Ulama hadis, perbedaan lafal yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih maka hal itu tetap dapat ditolensi.
Cukup banyak matan hadis yang semakna dengan sanad yang sama-sama sahihnya tersusun dengan lafal yang berbeda. Misalnya hadis tentang niat, hadis itu di-takhrij-kan al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Turmuzi, an-Nasa'I, Ibnu Majah dan Ahmad Ibnu Hambal. Periwayat pertama hadis itu adalah 'Umar bin al-Khattab. Riwayat al-Bukhari tentang hadis tersebut ada tujuh macam, dari ketujuh macam matan itu, tidak ada yang persis sama susunan lafal-nya. Sebagaimana 3 kutipan lafal hadis dibawah ini :
1. Yang termuat dalam Sahih al-Bukhari, kitab (bagian) Bad'ul Wahyi, urutan nomor 1 berbunyi :عن عمر بن الخطا ب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله ص- م يقول= انماالآعمال بالنيات وانما لكل أمرئ مانموى فمن كا نت هجر ته الى دنيا يصيبها فهجر ته الى ما فهجراليه
2. Yang termuat dalam Sahih al-Bukhari, kitab (bagian) Manaqib al-Anshor, urutan bab nomor 45, berbunyi : عن عمر رضي الله عنه قال سمعت رسول الله ص- م يقول=الآعمال بالنيات فمن كا نت هجر ته الى دنيا يصيبهاأو امرأة يتزوجها فهجر ته الى ما فهجراليه ومن كان هجر ته الى الله ورسوله هجر ته الى الله ورسوله
3. Yang termuat dalam Sahih al-Bukhari, kitab (bagian) al-Hiyal, urutan bab nomor 1, berbunyi :عن عمر بن الخطا ب رضي الله عنه قال سمعت ا لنبي ص- م يقول=يا ايها الناس= انماالآعمال بالنيات وانما لكل أمرئ مانموى فمن كا نت هجر ته الى الله ور سو له فهجر ته الى الله ور سو له ومن هاجر الى دنيا يصيبهاأو امرأة يتزوجها فهجر ته الى ما فهجراليه
Pada ketiga matan diatas tampak jelas adanya perbedaan lafal. Perbedaan lafal juga terdapat pada keempat matan lainnya yang diriwayatkan al-Bukhari tersebut. Pada matan riwayat Muslim dan lainnya juga terdapat perbedaan susunan lafal matan.[10]
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa terjadinya perbedaan lafal tidak hanya dikarenakan oleh adanya periwayatan secara makna, tetapi dimungkinkan karena periwayatan hadis yang bersangkutan telah mengalami kesalahan dan kesalahan itu tidak hanya dialami oleh periwayat yang tidak siqah saja, tetapi adakalanya oleh periwayat yang siqah[11].
3. Meneliti kandungan matan.
Metode ini memakai cara dengan membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan dengan artian susunan lafal yang telah diteliti, maka selanjutnya adalah meneliti kandungan matan karena dalam penelitian ini perlu mencermati kandungan matan dan dalil-dalil lain yang mempunyai topik masalah yang sama.
Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan adalah cerminan bahwa tidak mungkinnya hadis Nabi bertentangan dengan hadis-Nya sendiri ataupun dalil-dalil Alquran sebab apa yang dikemukakan oleh Nabi, baik berupa hadis maupun ayat Alquran sama-sama berasal dari Allah SWT.[12]
Dalam menyebutkan kandungan matan hadis yang tampak bertentangan itu, para Ulama hadis tidak sependapat. Sebagaimana sebagian Ulama menyebutkannya dengan istilah al-Mukhtaliful al-Hadis, sebagian lagi menyebutkannya dengan al-Mukhalataful-Hadis, tetapi pada umumnya para Ulama menyebutnya dengan at-ta'arud.
Berbagai hadis yang tampak bertentangan (at-ta'arud) telah dihimpun para Ulama dalam kitab-kitab khusus. Ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah Imam Asy-Syafi'i dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Ikhtilafil al-Hadis. Imam Asy-Syafi'i memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadis yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global (al-Mujmal) dan yang satunya bersifat rinci ( al-Mufassar) dan yang satunya lagi bersifat khusus (al-khass), sebagai penghapus (al-Mansukh) dan mungkin bisa-bisa saja matan-matan tersebut boleh untuk diamalkan.
Selanjutnya diteruskan oleh Imam Qutaibah (w.278 H) dengan judul at-Ta'wil al-Mukhtalifil al-Hadis dan yang seterusnya. Tetapi para Ulama sepakat bahwa apabila terjadi pertentangan tentang matan hadis yang bertengan akan "diselesaikan" sehingga hilanglah pertentangan itu.
Selanjutnya menyimpulkan hasil penelitian matan yang diantaranya mengambil natijah dan argument.[13] Ketika penelitian telah sampai pada penyimpulan matan yang di dapatkan hanya sahih dan da'if saja, maka penyimpulan penelitian matan harus didasari kepada argument-argument yang jelas dan argument itu dapat dikemukakan sebelum diajukan natijah ataupun sesudah diajukan natijah. Apabila matan yang diteliti ternyata sahih dan sanad-nya juga sahih, maka dalam natijah disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas sahih dan apabila matan dan sanad sama-sama berkualitas da'if, maka dalam natijah disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas da'if dan apabila matan dan sanad berbeda kualitasnya, maka perbedaan tersebut harus dijelaskan
C. Permasalahan Kritik Matan dan Contoh-contohnya.
Adakalanya pendekatan dengan tolak-ukur tertentu tidak sesuai dengan meneliti matan tertentu, tetapi pendekatan tersebut dapat dipakai bahkan harus digunakan untuk matan lainnya. Dalam praktek penelitian matan memang tidak mudah, dimana penelitian matan ada beberapa faktor-faktor yang menonjol sebagai penyebab sulitnya penelitian matan, diantanya :
· Adanya periwayatan yang semakna
· Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja
· Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah diketahui
· Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi "Supra Rasional"
· Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadis.[14]
Menurut Dr. Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi dalam buku karangannya yang berjudul Metodologi Kritik Matan Hadis, beliau berpendapat bahwa ada empat metodologi dalam mengkritik matan hadis, diantaranya adalah :
1. Kritik terhadap Periwayatan yang bertentangan dengan Alquran al-Karim.
Allah Swt berfirman : واذا تتلى عليهم ايا تنا بينات قال الذين لايرجعون لقاء ناائت بقران غير هذا أو أبدله قل مايكون لي أن أبدله من تلقاء نفسي ان اتبع الا مايوحى الي [15]اني أخاف ان عصيت ربي عذاب غظيم
Artinya : Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata:" Datangkanlah Alqur
an yang lain dari ini atau gantilah. "Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut dari apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa dari yang besar (kiamat).
Jika kita menemukan hadis yang bertentangan dengan Alquran, maka ada dua sudut pandang yang bisa kita berikan: pertama, dari sudut wurud, karena Alquran seluruhnya adalah qath'i al-Wurud. Kedua, dari sudut al-dalalah disebabkan Alquran dan hadis adakalanya qath'i al-dalalah dan dhanni al-dalalah. Untuk memastikan adanya pertentangan diantara nash Alquran dan nash hadis keduanya haruslah sama-sama tidak mengandung kemungkinan takwil karena apabila salah-satunya telah di takwil-kan ataupun keduanya maka selanjutnya dimungkinkan untuk dipadukan (al-jam'u), hal tersebut menunjukkan tidak terjadi pertentangan dan tidak ada alasan untuk menolak hadis.[16]
Imam Muslim meriwayatkan dari Mu'awiyah ibn Al-Hakam Ibn-Sulami, katanya, aku memiliki seorang budak perempuan yang bertugas mengembala kambingku di sekitar Uhud dan al-Juwaniyah. "Suatu hari aku menengoknya, ternyata ada seekor Singa yang memakan salah-satu Kambing gembalaannya. Aku adalah manusia biasa, yang bisa marah seperti mereka. Hanya saja aku memukulnya dengan keras. Lalu aku datang kepada Rasulllah Saw. Aku berkata "Wahai Rasul bagaimana aku memerdekakannya?"Beliau berkata: "Bawa dia kesini". Lalu aku datang membawanya. Beliau kemudia bertanya kepadanya:"Dimana Allah Swt?"Ia menjawad: Di langit", beliau bertannya lagi,: Siapa kau?"ia menjawab:"Engkau Rasulullah. Beliau berkata:"Kalau begitu, merdekakan dia, karena dia mukmin.
Imam Malik Ahmad, Abu Daud dan An-Nasha'i, semuanya meriwayatkan dengan redaksi pertanyaan yang sama: "Di mana Allah"? Peneliti sangat heran dengan pertanyaan Rasululllah Saw kepada budak perempuan itu dengan kata :"dimana Allah?", bagaimana hal ini sejalan dengan firman Allah Swt:"Bagaimana ada sesuatupun yang menyamai-Nya? Hal tersebut mengasumsikan arah dan tempat bagi Allah Swt, yang dimaksudkan oleh Nabi Saw. Tetapi beliau hendak menguji seseorang dengan menyatakan tentang dua syahadah yang di dalamnya terkandung akidah tauhid, sedang riwayat tersebut menunjukkan keimanan seorang musyrik bahwa keyakinan bahwa Allah Swt di langit adalah salah-satu bentuk iman kaum musyrik Arab.[17]
2.Kritik terhadap Riwayat-riwayat yang bertentangan dengan hadis dan Sirah Nabawiyah yang sahih
Apabila hendak menolak sebuah riwayat yang mar'fu kepada Nabi Saw, dikarenakan bertentangan dengan hadis lain, harus dipenuhi dua syarat yang diantaranya adalah : pertama, tidak ada kemungkinan memadukan (al-jam'u), namun jika dimungkin pemaduan diantara kedunya dengan tampa memaksa diri, maka perlu menolak salah-satunya dan jika diantaranya terjadi pertentangan yang tidak mungkin dipadukan maka harus di-tarjih. Kedua, hadis yang dijadikan sebagai dasar untuk menolak hadis lain yang bertentangan haruslah berstatus mutawatir. Syarat ini di tegaskan oleh Ibn Hajar di dalam al-Ifshah Ala Nukat Ibn al-Shalah.
Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan Arab yaitu riwayat tentang perut penuh dengar syair, sebagaimana di riwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibn Umar dari Nabi Saw beliau bersabda :لآن يمتلئ جوف رجل قيحأ خير له من أن يمتلئ شعر
Artinya : " Sesungguhnya , perut salah seorang di antara kamu penuh dengan nanah jauh lebih baik baginya dibanding penuh dengan syair".[18]
Al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmizi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, katanya: Rasulullah Saw, bersabda: "Sungguh perut salah seorang di antara kamu penuh dengan nanah yang menyerangnya jauh lebih baik dibanding penuh dengan syair. Berdasarkan hadis tersebut, kita menemukan bahwa kelompok yang sangat membenci syair, bahkan kebencian itu merembet sampai ke sastra, karena tertipu oleh makna lahiriyahnya, tetapi hadis itu jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang banyak sekali jumlahnya.
3. Kritik terhadap Riwayat-riwayat yang bertentangan dengan Akal, Indera dan Sejarah.
Hadis nabawi tentunya idak bertentangan dengan akal, maka harus kita ketahui bahwa akal manusia itu berbeda-beda, selanjutnya berbeda-beda pula menerima atau menolak sebagian hadis. Contohnya, matan yang ada dalam kitab-kitab dan mushannaf, sebagaimana Ibn Majah meriwayatkan dari Abdullah Ibn 'Amr, berkata : Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Nuh berpuasa dahr (setahun penuh) kecuali tahun Idul Fitri dan Idul Adha. Ibn Majah meriwayatkan kembali, bahwa Rasulullah Saw, berwudlu, kemudian beliau berkata : "Ini adalah wudluku dan wudlunya para sebelumku, dan wudlunya kekasihku, Ibrahim
Hadis diatas tidaklah mungkin menopang dua riwayat atas firman Allah Swt: "Dia telah mengisyaratkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya pada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru kepada-Nya. Allah Menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk (agama-Nya)orang yang kembali (kepada-Nya". (QS.Al-Syura:13).[19]
4. Kritik Terhadap Hadis-hadis yang tidak Menyerupai Perkataan Nabi Saw
Terkadang suatu periwayat berasal dari Rasul, tidak bertentangan dengan nash (teks) Alquran atau sunnah yang sahih, akal, indera (kenyataan) atau sejarah, tetapi riwayat tersebut tidak seperti perkataan kenabian, maka tidak dapat kita terima. Sebagaimana Ibn Qayyim menyebutkan, ada beberapa hadis palsu yang dapat diketahui tampa melihat sanad, seperti yang diriwayatkan dari Ai Hurairah yaitu : "Barang siapa shalat Maghrib enam raka'at, tidak berbicara dengan sesuatupun di antara keenam raka'at itu, maka baginya ibadah menyamai ibadah selama dua belas tahun.[20]
Beberapa Contoh Hadis yang Matan-nya Da'if
Dalam hadis riwayat Muslim, Ad-Darimi, dan Ahmad dinyatakan :
عن أبى سعيد الخدري أن رسو ل االله ص.م . قال ولا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القران فليمحمه) رواه مسلم والدرمى واحمد(
Hadis riwayat dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah telah bersabda : Janganlah kamu tulis ( apa yang berasal) dariku dan barangsiapa yang telah menulis dari-Ku selain Alquran, maka hendaklah dia menghapuskannya.
Hadis diatas tampak bertentangan dengan hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud yang berbunyi :
عن أبى هريرة عن النبي ص.م…….. قال :اكتبو الآ بى شا ه
) رواهالبخارى مسلم وابوداود (
Hadis riwayat dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw……., Beliau besabda (kepada para Sahabat): Tuliskanlah (khutbah saya tadi) untuk Abu Syah ( yang telah minta untuk dituliskan tersebut).
- Hadis tentang Ulama-Umara
Diriwayatkan Imam Nu'aim al-Ishfahani (w.430 H) dalam kitabnya Hilyah al-Auliya dan Imam Ibn 'Abd al-Al-Barr (w.463 H) dalam kitabnya Jami' Bayan al-'Ilm wa Fadhilah yang kemudian dinukilkan oleh Imam al-Ghazali (w.505 H). Sebagaimana kontek hadis sebagai berikut :صنفا ن من أ متي اذا صلحا صلح الناس واذا فسدا فسدالناساالأ مرأء والعلما ء
Sumber kepalsuan hadis ini adalah seorang rawi dalam sanad-nya yang bernama Muhammad bin Ziyad al-Yasykuri, menurut Imam Ahmad bin Hambal, Imam Yahya bin Ma'in, al- Darulqutni, Abu Zur'ah dan yang lainnya, Muhammad Ziyad adalah Kadzdzab (pendusta). Dalam matan hadis ini juga lemah, sebab dalam hadis tersebut membuat dikotomi antara Ulama dan Umara adalah suatu hal yang perlu ditinjau kembali, karena hal tersebut bertentangan berlawanan dengan tradisi Nabi Muhammad Saw sendiri dan para penerus beliau (al-Khulafaur al-Rasyidin), dimana mereka disamping Ulama juga sebagai Umara.[21]
- Hadis tentang Bekerja Untuk Dunia Seperti Akan Hidup Selamanya
اعمل لدنياك كأ نك تعيش أبدا واعمل الأ خرتك كأ نك تموت غدا
Hadis diatas menurut Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani, menurut beliau redaksi hadis ini tidak memiliki sanad (la ashla lah) artinya tidak berasal dari Nabi Saw (Mar'fu), sebagaimana Syeikh 'Abd al-Karim al-'Amiri al-Ghazzi dalam kitabnya al-Jidd al-Hatsis fi Bayan Ma laisa bil Hadits, yaitu buku yang memuat tentang klaim sebagai hadis padahal bukan hadis, dalam tersebut, beliau tidak memasukkan itu.[22]
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah sejarah dan klasifikasi hadis, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini. |