Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dilahirkan di sebuah kota yang bernama kota Thus yaitu sebuah kota di wilayah Khurasan Persia pada tahun 405 H/1058 M.[1] Dimasa kecilnya beliau ditinggal meninggal oleh orang-tuanya dan kemudian al-Ghazali dititipkan oleh orang-tua pada seorang sufi untuk dididik dan dibesarkan. Beliau sejak masa dini memang gemar belajar dan sangat haus terhadap ilmu pengetahuan. Di samping kepintarannya, al-Ghazali juga sangat pandai bergaul sehingga pada masa ketokohannyanya beliau bersahabat dengan seorang perdana Menteri dari Bani Seljuk, keadaan ini menguntung al-Ghazali sehingga beliau diangkat menjadi salah-satu guru besar di kalangan intelektual Nizamul al-Muluk[2].
Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan menunjukkan bahwa beliau benar-benar memperhatikan persoalan pendidikan, hal tersebut seiring dengan corak pemikiran sebuah bangsa direalisasikan lewat perkembangan pendidikannya, terutama pendidikan ditingkat dasar yaitu pendidikan anak-anak. Dimana pendidikan usia dini sangat dipengaruhi oleh pendidikan keluarga/orang-tua. Menurut beliau, pentingnya pendidikan berdasarkan empirik, dimana seorang yang lagi dalam masa pertumbuhan perlu kontrolisasi dalam pendidikan.[3]
Sebagaimana ajaran Islam, beliau berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam harus bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan bukan untuk mencari kehidupan dunia yang semu, karena itu tujuan pendidikan menurut beliau haruslah berangkat dari ketulusan demi mendapatkan ridho Allah Swt dan untuk menhindari penyakit hati yang membawa manusia jauh dari ridho-Nya. Tujuan pendidikan yang menurut beliau penting tentu akan mendapatkan balsan yangsetimpal dari Allah Swt yaitu kehidupan Akhirat yang abadi.[4]
Pemikiran beliau dapat kita lihat dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumuddin, dalam kitab ini ada beberapa kategori, seperti :
Footnote
------------
[1]Fathiyah Hasan Sulaiman,Alliran-aliran Dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut al-Ghazali(Semarang:Toha Putra, 1993),h.9
[2]Ibid
[3]Ahmad Fu'ad al-Ahwani,Altarbiyah fi al-Islam(Mesir:Dar al-Ma'Arif,tt),h.238
[4]Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997),h.163
[5]Ibid
[6]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam(Raja Grafindo Persada, 1998),h.95
Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan menunjukkan bahwa beliau benar-benar memperhatikan persoalan pendidikan, hal tersebut seiring dengan corak pemikiran sebuah bangsa direalisasikan lewat perkembangan pendidikannya, terutama pendidikan ditingkat dasar yaitu pendidikan anak-anak. Dimana pendidikan usia dini sangat dipengaruhi oleh pendidikan keluarga/orang-tua. Menurut beliau, pentingnya pendidikan berdasarkan empirik, dimana seorang yang lagi dalam masa pertumbuhan perlu kontrolisasi dalam pendidikan.[3]
Sebagaimana ajaran Islam, beliau berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam harus bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan bukan untuk mencari kehidupan dunia yang semu, karena itu tujuan pendidikan menurut beliau haruslah berangkat dari ketulusan demi mendapatkan ridho Allah Swt dan untuk menhindari penyakit hati yang membawa manusia jauh dari ridho-Nya. Tujuan pendidikan yang menurut beliau penting tentu akan mendapatkan balsan yangsetimpal dari Allah Swt yaitu kehidupan Akhirat yang abadi.[4]
Pemikiran beliau dapat kita lihat dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumuddin, dalam kitab ini ada beberapa kategori, seperti :
- Eksistensi guru merupakan keutamaan yang meninggalkan bagi si murid sebuah kemulian, menurut beliau pekerjaan menjadi guru adalah perbuatan yang sangat mulia sebagaimana mulianya ilmu dalam kehidupan manusia. Murid sebagai objek ajar, haruslah meniatkan tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan selanjutkannya agar memuliakan guru, merasa setubuh dengan guru-gurunya lainnya sehingga menghilangkan starata sosial yang menumbuhkan toleansi yang mulia. Menjauhkan diri dari mempelajari pikiran-pikiran(mazhab) yang dapat membawa kepada kekacaun dalam berpikir.
- Kurikulum sebagai aturan pendidikan dianjurkan untuk tidak mempelajari ilmu sihir, Nujum, dan ilmu perdukunan, hal tersebut dapat menimbulkan sikap syirik dan takabbur, tetapi ilmu yangharus dituntut adalah ilmu yang tentang ketauhidan dan ilmu-ilmu agama lainnya sebagaimana jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, kemudian beliau mengkaterikan ilmu menjadi dua kategori yaitu sebagaimana beliau mengkategorikannnya menjadi ilmu Wajib Ain dan ilmu yang Wajib Kifayah.[5]
- Metode Pengajaran, beliau menekankan pada metode kharismatik guru sebagai percontohan bagi murid karena kesuksesan dalam proses belajar itu dikarenakan kemahiran dan kepintaran guru dalam mengajarkan ilmu-ilmu melalui metode yang tepat sasaran.[6]
Footnote
------------
[1]Fathiyah Hasan Sulaiman,Alliran-aliran Dalam Pendidikan (Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut al-Ghazali(Semarang:Toha Putra, 1993),h.9
[2]Ibid
[3]Ahmad Fu'ad al-Ahwani,Altarbiyah fi al-Islam(Mesir:Dar al-Ma'Arif,tt),h.238
[4]Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997),h.163
[5]Ibid
[6]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam(Raja Grafindo Persada, 1998),h.95