Makalah oleh: Al Husaini M.Daud
Pendahuluan
Kehadiran agama Islam di muka bumi ini memuat tendensi agung, yakni rahmatan lil’alamin. Perannya secara global dicatat dengan apik lewat tinta emas dalam banyak lembaran sejarah. Di bawah kendali Islam, pandangan terhadap kemerdekaan berideologi dan sikapnya terhadap aturan hidup sangat jelas, yang ditandai dengan syumuliah (keuniversalan) karena ia memang diturunkan sebagai sistem hidup. Dalam safari sejarah dunia intelektual muslim, kebebasan berekspresi merupakan hak asasi bagi setiap individu untuk merilis pendapat sekaligus meretas jalan menuju kemakmuran ilmu pengetahuan. Islam telah memberikan ruang kepada pencari kebenaran untuk bebas dari ketakutan, jauh sebelum Peter Druker berstatement bahwa masyarakat modern mendatang adalah masyarakat knowledge society, dan siapa yang menduduki posisi penting adalah educated person. Artinya suatu masyarakat yang setiap anggotanya merupakan manusia yang bebas dari ketakutan, bebas berekspresi, dan bebas untuk menentukan arah kehidupannya di dalam wadah sebuah negara. Islam telah mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi tersebut serta telah pula tertanam kuat dalam tradisi masyarakat luas. Kebebasan ini, bagi ilmuan sangat berpengaruh dalam mengembangkan karya akademiknya tanpa intervensi kehendak dari siapapun.
Catatan sejarah manusia mengungkapkan bahwa kebangkitan peradaban suatu bangsa ternyata tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di daerah tersebut. Adalah anugerah terbesar bagi suatu kaum/bangsa yang memberikan apresiasi positif terhadap upaya kebebasan dalam melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Islam, sebenarnya telah memberikan dorongan dan motivasi itu dengan menyediakan modal awal berupa doktrin dasar untuk memasuki wilayah tersebut. Syahdan. Dalam tradisi intelektual muslim dari masa ke masa, kebebasan tersebut sudah mereka retas jauh sebelum dunia barat menggembar gemborkan kemerdekaan dalam berekspresi dan kebebasan dalam dunia akademis. Akademisi muslim menyuguhkan kebebasan dalam melaksanakan proses pembelajaran, penelitian dan mendiskusikan hasil penelitian serta kemerdekaan dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan tugas pokok seorang ilmuan yang berkutat dengan ilmu pengetahuan di lembaga pendidikan, yakni menyebarkan, mengembangkan, melestarikan dan mempraktekkan ilmu pengetahuan. Artinya ilmu pengetahuan disebarkan lewat aktifitas belajar mengajar, dikembangkan melalui kajian dan penelitian, dilestarikan via tulisan dan dipraktekkan lewat pengabdian. Ini semua telah dilakukan oleh kaum intelek muslim sejak berabad abad yang lampau.
Makalah mini ini akan mengetengahkan secuil diskursus kebebasan akademis dalam tradisi intelektual muslim, baik ditilik dari sudut perspektif normatifitas Islam, manifestasi ajarannya dalam sejarah intelektualisme Islam maupun peranannya dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Definisi Kebebasan Akademis
Definisi universal dari kebebasan akademis sebenarnya sulit untuk diungkapkan karena literatur mengenai hal itu hampir bisa dikatakan tidak ada. Definisi kebebasan akademis sering dipengaruhi oleh ideologi dimana definisi itu digagas. Dalam lintasan sejarah sosial pendidikan, beragam definisi tentang kebebasan akademis muncul sesuai dengan kepakaran dan tinjauan yang diberikan oleh para pakar tersebut. Di antaranya secara individual didefinisikan sebagai tiadanya pengekangan, hukuman dan intimidasi berkenaan dengan usaha tradisional manusia secara khusus, berkaitan dengan pengkajian, penelitian, penyajian lisan pandangan-pandangan mereka, penerbitan penemuan-penemuan dan pendapat-pendapat mereka, betapapun kuno dan subversifnya baik bijaksana maupun dungu.[1] Lebih lanjut, Parsudi Suparlan sebagaimana dikutip oleh Hasan Asari mengemukakan sebagai berikut:
Kebebasan akademis adalah kebebasan sebagai sarjana untuk menggali kebenaran dan menerbitkannya dan membuat hasil-hasil temuan atau pandangan-pandangannya tersebut untuk dibahas secara kritis dalam komuniti ilmiah yang relevan untuk ditolak, diperbaiki atau diakui dan dimantapkan. Kebebasan adalah juga kebebasan dari seorang sarjana dalam bidang keahliannya di dalam memberi pelajaran dan mendidik mahasiswa-mahasiswanya mengenai bagaimana kebenaran dalam ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh atau diketahui melalui proses-proses yang berlaku menurut metode ilmiah atau logika yang masuk akal.[2]
Kedua definisi di atas bersumber dari dunia barat, yang secara tersirat merefleksikan kerangka ideologi mereka. Definisi pertama lebih menekankan pada aspek kebebasan bagi tugas fungsional guru, sementara yang kedua cenderung merefleksikan makna kebebasan yang tak terbatas dalam menjalankan aktifitas akademis. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Jujun S. Suriasumantri menjelaskan:
Dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Pertama, ilmu harus netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuan adalah menemukan pengetahuan dan terserah pada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.[3]
George Makdisi mengemukakan bahwa kebebasan akademis itu berhubungan erat dengan universitas di mana para guru besar dan mahasiswa bergelut dengan hal-hal yang berhubungan dengan percobaan-percobaan, penelitian dan kemudian mempublikasikannya.[4].Kebebasan akademis pada paruh abad pertengahan bukanlah kebebasan dalam konteks pemikiran filosofis. Kebebasan akademis, baik dalam Islam maupun dalam Kristen di barat, berhubungan dengan lisensi untuk mengajar dan metode pengajaran yang mengarah kepada kelancaran proses belajar mengajar.[5] Dalam literatur Islam, definisi kebebasan akademis tidak ditemukan, akan tetapi dasar kebebasan akademis itu sendiri tampak pada kerangka berfikir para ilmuan muslim, dimana mereka tidak mengekang daya fikir seseorang, bahkan sejarah pun mencatat istilah-istilah kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berfikir, kebebasan bergerak, kebebasan berideologi dan kebebasan lainnya sering juga ditemukan dalam tradisi intelektual muslim klasik.
Normatifitas Islam Tentang Kebebasan Akademis.
Sebenarnya, misi ajaran yang diusung oleh agama Islam adalah kebebasan dan kemerdekaan. Prinsip ini terlihat dari uraian nash (al Quran dan Hadist) sebagai sumber pokok ajaran Islam.
Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk agamanya kecuali dengan kesadaran dan kerelaan yang bersangkutan. Sebab ajaran Islam mengajarkan kepada umatnya sikap kemerdekaan dan sikap menghargai kebebasan, baik kebebasan personal maupun komunal. Bahkan ajaran Islam sangat menentang praktek penjajahan dan pengekangan terhadap diri seseorang. Hal ini tergambar jelas dalam firman-Nya, yakni;
لا اكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك
بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم[6]
Artinya: Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh pada buhul yang amat kuat dan tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.
Dalam ayat yang lain Allah menegaskan;
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفرز...[7]
Artinya: Dan katakanlah:’ Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir…”
Sikap tidak memaksakan kehendak Islam kepada orang lain, menggambarkan bahwa sebenarnya kebebasan berideologi sangat ditolerir oleh Islam. Mengapa Islam tidak pernah memaksa seorangpun dengan kekuatan pedang atau senjata agar menerimanya (Islam)?.Karena memaksa itu menjajah jiwa manusia dan menghinakannya, karena Allah tidak menerima amal-amal kecuali amal itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah.[8] Dakwah yang dianjurkan dalam dunia Islam adalah melalui pendekatan persuasif, lemah lembut, bijaksana dan memberikan hujjah yang terbaik, bukan dengan jalan perang dan kekerasan. Wejangan tersebut terlihat sangat jelas dalam firman Allah swt, yaitu:
ادع الي سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة و جادلهم بالتي هى احسن...[9]
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara hikmah dan berilah pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik…
Islam sadar bahwa kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan, sementara manusia melakukan upaya untuk mendapatkan kebenaran tersebut. Jadi kebenaran pada seseorang tidak bisa dipaksakan pada orang lain. Kebenaran yang dipaksakan, seperti seseorang dipaksa beriman dengan keagungan Islam, padahal ia tidak setuju dengan keimanan tersebut, maka selama itu pula keimanannya tidak diterima[10]. Islam mengajak manusia masuk ke dalamnya dengan cara membenarkan dan menerima dari pilihan sendiri. Maka Islam dengan segala kelapangannya memberikan kebebasan bagi siapa saja yang ingin mencapai kebenaran, termasuk di dalamnya kebebasan akademis.
Cakupan pendidikan Islam dalam perkembangannya adalah keutuhan konsep manusia, di mana masyarakat di awal kehadiran Islam pada bad VII M, masih merupakan kumpulan religius dan kegiatan intelektual belum menjadi aktifitas sendiri. Kesederhanaan secara alami menjamin integritas fungsi kemanusiaannya dan dalam penyikapan manusia terhadap Tuhan. Sejarah intelektual muslim klasik selanjutnya menunjukkan semangat tinggi. Hal ini ditandai dengan usaha mengembangkan pengetahuan dari berbagai macam sumber yang ada. Ini menggambarkan kegiatan pendidikan dan intelektualisme dengan cakupan yang sangat luas. Tidak saja itu, sikap toleransi terhadap ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani sedikit banyak memberikan sikap lentur Islam dalam proses pembentukan peradaban baru Islam[11] yang semakin meluas saat itu.
2. Kebebasan akademis sebenarnya bersumber pada kebebasan berfikir dan berpendapat. Artinya kebebasan tersebut sebenarnya berpangkal pada penggunaan akal. Islam pada prinsipnya sangat menghargai akal bahkan menganjurkan untuk mengoptimalkan penggunaannya secara maksimal terutama dalam melakukan ijtihad terhadap sebuah produk hukum demi kemaslahatan. Karena dengan akal jugalah manusia berbeda dengan hewan, tumbuh-tumbuhan dan bahkan dengan malaikat sekalipun. Malah dalam perspektif fiqh, syarat seseorang disebut mukallaf adalah berakal. Jadi fungsi akal sangat menentukan dalam perjalanan kehidupan manusia. Banyak ayat yang mengajak manusia untuk berfikir, memahami, memperhatikan, mengingat, merenungkan, mengambil mau’idhah pada setiap peristiwa dan sebagainya[12]. Ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk menggunakan akalnya antara lain:
ان فى خلق السماوات والارض واختلاف الليل و النهار والفلق التى تجرى فى البحر بما
ينفع الناس وما انزل الله من السماء من ماء فاحيا به الارض بعد موتها و بث فيها من كل
دابة وتصريف الرياح والسحاب المسخر بين السماء و الارض لآيات لقوم يعقلون[13]
Kemudian pada ayat yang lain Allah berfirman;
كتاب انزلناه اليك مبارك ليدبروا آياته و ليتذكر اولوا الالباب[14]
Begitu juga dengan ayat;
وما كان المؤمنون لينفروا كآفة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين...[15]
Selanjutnya, Allah berfirman dalam ayat lain;
و فى الارض آيات للموقني . و فى أنفسكم افلا تبصرون .[16]
Sementara itu dukungan hadist Nabi terhadap penggunaan akal sebagai manifestasi kreatifitas manusia, terlihat pada kasus Mu’az bin Jabal ketika diutus menjadi qadhi di negeri Yaman. Dialog Nabi – Mu’az tersebut kerap dikutip sebagai dasar pembenaran atau perlunya melaksanakan ijtihad.[17] Islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu, karena itu posisi mereka ditempatkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang yang dianggap piawai dalam menyelesaikan selaksa problematika hidup. Jadi, perbedaan ilmuan dengan yang bukan ilmuan ditegaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
قل هل يستوى الذين يعلمون والذين لا يعلمون انما يتذكر اول الالباب[18] …
Artinya: …Katakanlah; adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?. Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Di sisi lain, ilmuan adalah representatif Rasulullah dalam pelaksanaan proses pewarisan ilmu pengetahuan kepada umat manusia dan juga dalam mengawal umat. Oleh karenanya ia harus dihormati sehormat-hormatnya. Sabdanya:
اكرموا العلماء فانهم ورثة الانبياء
|
Manifestasi Ajarannya Dalam Sejarah Intelektualisme Islam
Catatan sejarah mengungkapkan bahwa kebebasan yang diinfakkan Islam terhadap dunia akademik tak terbantahkan. Terbukti banyak ilmuan handal dalam berbagai bidang keilmuan telah pernah dilahirkan oleh induk sejarah dunia Islam dari masa ke masa. Muslim era klasik dalam mencari titik terang kebenaran tidak pernah segan apalagi malu mempelajari ilmu-ilmu dari bangsa asing, kalaulah itu menjadi wasilah bagi pencapaian kebenaran.
Legitimasi al Qur’an dan Sunnah terhadap kebebasan akademis di dunia muslim telah menghantarkan umat ini ke puncak peradaban yang tak tertandingi di masanya. Ini dapat dibuktikan bahwa pada zaman klasik, berbagai cabang ilmu pengetahuan berkembang di dunia Islam, baik dalam bidang tafsir, hadist, hukum, filsafat, fisika, sejarah dan lan-lain.[20]Islam adalah agama yang komprehensif dan elastis dalam mengatur setiap aspek kehidupan manusia. Ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada ritual formal saja, tetapi juga melibatkan seluruh dimensi kehidupan manusia.
Tak ketinggalan sikap Islam terhadap ilmu pengetahuan begitu besar, sehingga landasan iman seseorang sering diukur dengan barometer pengetahuan mengenai keyakinan yang dimiliki seseorang. Komprehensifitas ajaran Islam secara filosofis menjadi dasar atau landasan pijak bagi kebebasan akademis. Aktifitas intelektual dan peran akademis dalam dunia Islam harus mengacu pada identitas ajaran Islam itu sendiri.
Dinamika kebebasan akademis era klasik terlihat pada kearifan para ilmuan dalam menyikapi perbedaan di antara mereka. Setiap orang yang memiliki keahlian dengan bebas boleh mengemukakan dan mempublikasikan pandangan-pandangannya, betapapun berbeda dari pandangan ahli lain.[21]Dari kelapangan hati menerima setiap perbedaan dalam dunia intlektual muslim, maka zaman tersebut melahirkan tokoh-tokoh ilmuan yang sangat terkenal di bidang ilmunya masing-masing, bahkan karya monumentalnya masih menjadi rujukan ilmiah di zaman sekarang.
Abu Hamid al Ghazali (450 – 505 H), merupakan tokoh ulama serba bisa yang bergelar Hujjatu al Islam abad XII, dimana maha karyanya seperti Ihya Ulumuddin, Maqasidu al Falasifah, Tahafut al Falasifah dan lain-lain menjadi inspirasi bagi ilmuan era taknologi untuk mengkaji, meneliti dan mempublikasikan ilmu-ilmu baru yang muncul saat ini. Begitu juga dengan Ibnu Sina, yang tak saja dinilai sebagai pakar kedokteran, tetapi juga bapak di bidang ilmu kedokteran. Karyanya berjudul Al Qanun fi attib (The Canon), disebut sebut sebagai inspirator dan sumber utama kebangkitan barat di bidang kedokteran. Ada pula Ibnu Khaldun, bapak sosiologi politik, juga Al Biruni, penemu gaya gravitasi, Jabir Ibn Hayyan sang penemu ilmu kimia, Abu Marwan Abdul al Malik Ibn Zuhr, bapak parasitologi dan pelopor tracheotomy, Ibn Majid, sipenemu kompas dan navigator, serta masih banyak yang lainnya.[22] Mereka rata-rata hidup di abad pertengahan (sekitar tahun 750– 450 M).
Kemerdekaan dalam menginterpretasi teks-teks suci sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing lepas dari otoritas yang dapat memaksanya merupakan bagian dari ekspresi kebebasan akademis di kalangan ilmuan muslim masa lampau. Makdisi seperti dikutip oleh Hasan Asari menulis:
…seorang faqih bebas merumuskan pandangannya, lepas dari semua kekuatan luar. Tidak ada kekuasaan atau otoritas yang dapat memaksanya secara sah untuk menganut pendapat yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Seorang faqih tidak saja bebas dan independen untuk melaksanakan penelitiannya dan mengumumkan hasilnya, tetapi juga didorong untuk melakukannya dengan sebuah janji ganjaran pahala akhirat.[23]
Nukilan di atas memperlihatkan, betapa secara tegas seorang ilmuan tidak bergantung dan terikat dengan seseorang atau sesuatu dalam menghadirkan sebuah karya. Ijtihad yang mereka lakukan merupakan kejernihan dari buah fikiran yang bebas dari intervensi. Di balik itu, ada asa transenden yang tersirat sebagai motivasi akhir dari sebuah perjalanan suci dalam pengabdian ilmu pengetahuan.
Di samping itu, perjalanan ilmiah (rihlah ‘ilmiyyah) yang dipraktekkan oleh sejumlah ilmuan era klasik untuk mengejawantahkan sabda Nabi dalam menuntut ilmu pengetahuan dan sekaligus mengembangkannya, kebebasan yang tergambar bahwa para hamba ilmu sangat menikmati sebuah dunia intelektual yang sangat luas dan terbentang secara bebas. Tak heran seorang al Ghazali yang lahir di desa Thus, negeri Khurasan, mengabdikan ilmunya di negeri Baghdad di perguruan al Nizamiyah. Begitu juga dengan seorang imam syafi’i yang merantau sampai ke negeri Mesir dan masih banyak tokoh-tokoh ilmuan yang mengembangkan ilmunya ke seantero jagat ini.
Kemerdekaan untuk tidak harus membebek kepada ajaran guru juga diperlihatkan dalam dunia intelektual muslim saat itu. Seorang murid memang harus menghormati gurunya, namun guru tersebut tidak berhak mengekang apalagi memaksa muridnya untuk mengikuti alur pikirannya. Contoh yang dipaparkan sejarah adalah Imam Syafi’i, dia merupakan murid paling brillian imam Malik. Dia bahkan menghafal secara sempurna karya gurunya yaitu al Muwatta’. Namun syafi’i ternyata tidak serta merta harus menjadikan ajaran gurunya sebagai pilihan hidupnya. Dia malah menghadirkan sebuah mazhab yang berlainan dengan gurunya, dan imam Malik pun tidak pernah memaksanya untuk mengekor dengan mazhabnya. Ini adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan bahwa dunia akademis muslim era lalu benar-benar merdeka dan bebas.
Kebebasan berekspresi dalam lintasan sejarah akademis selanjutnya tak semulus realitas yang ada, karena pada saat tertentu kebebasan tersebut juga mengalami masa-masa sulit. Pembunuhan dan pemberangusan kebebasan dalam geliat intelektual sering dipertontonkan oleh pernyataan dan prilaku “atas nama”. Sebagaimana terjadi di Aceh, pelarangan faham wujudiah yang diprakasai Hamzah al Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani oleh pemerintah Iskandar Tsani atas anjuran ilmuan Nuruddin al Raniry[24] merupakan refleksi dari operasi “pembebasan” yang secara tragis harus dibayar mahal dengan penghancuran nilai-nilai kebebasan. Atas nama pelurusan ajaran yang menyeleweng dan kestabilan situasi politik negara, maka keagungan nilai-nilai kebebasan akademis di negeri itu dikucilkan.
Usaha keras dalam mempertahankan keteguhan kebebasan akademis dari cengkraman otoritas kekuasaan pemerintah akibat ideologi yang tak sefaham, tak jarang dipertontonkan secara gamblang dalam lembaran kelam sejarah peradaban Islam. Kasus imam Hambali merupakan representasi dari kekejaman penguasa yang sengaja membungkam kebebasan akademisnya gara-gara tidak menyetujui pandangan ideologi khalifah.
Dalam beberapa catatan sejarah lainnya, sering ditemukan sejumlah sufi agung dieksekusi algojo penguasa --khalifah-- yang berkhidmat pada fatwa fuqaha (ahli hukum Islam) kelompok eksoteris. Gugatan yang diarahkan terhadap kaum sufi karena mereka dipandang telah melakukan interpretasi yang terlalu jauh dan bebas terhadap aspek-aspek ajaran Islam. Nama nama seperti Al Husein Ibn Mansur al Hallaj, Suhrawardy al Maqtul, syekh Siti Jenar dan masih banyak lagi lainnya, mereka dengan hati ikhlas dan kepala tegak menghadap Al Haqq. Ada lagi kasus intimidasi kaum syi’ah terhadap kaum sunni begitupun sebaliknya. Ini merupakan serpihan dari penggalan ceceran sejarah untuk dipungut dan dijadikan i’tibar bagi anak zaman agar lebih bersikap arif dalam menyikapi problematika akademis serta menjaga dan memelihara kebebasannya sebagai warisan khazanah intelektual.
|
Peranan Kebebasan Akademis Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan.
Legalisme moralitas kebebasan akademis merupakan pemahaman terhadap etos budaya dan nilai-nilai yang lebih mendalam yang mengacu kepada perjuangan kebebasan individu dan gagasan inti kebesaran peradaban sebuah bangsa. Pencapaian kemajuan ilmu pengetahuan sangat ditentukan pada kebebasan seseorang dalam berekspresi, kebebaasan dalam berpendapat, kebebasan dalam berkarya dan kebebasan dalam berideologi.
Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.[25]
Namun kualitas dan kekuatan yang dimiliki manusia tetap dalam batas-batas kemanusiaan, tidak absolut seperti Tuhan. Bahkan, upaya melampaui keterbatasan itu justeru dianggap sebagai pemberontakan terhadap perintah Tuhan.[26] Kualitas dan kekuatan yang dimiliki manusia ini menjadi potensi dasar sekaligus sarana bagi kebebasan akademis dalam dunia Islam.
Keluasan wilayah akademis yang pernah dipraktekkan dalam tradisi intelektual muslim era lampau adalah sejauh kreatifitas berfikir para ilmuan serta selama tidak melanggar batasan keilmiahan, yakni logika ilmiah dan etis-praktis. Statement Ibn Jama’ah, seperti dikutib Hasan Asari dalam kitabnya Tazkirah al Sami’ wa al Mutakallim fi Adab al Alim wa al Muta’allim tentang etika akademis mengilustrasikan secara spesifik pentingnya etika bagi para ilmuan, karena status mereka sebagai pewaris Nabi. Jadi menurut Ibn Jama’ah, para ilmuanlah, berkat ilmu dan statusnya, yang paling berhak sekaligus paling dituntut untuk memelihara etika yang mulia.[27] Hal ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara ilmu dan etika sangat erat. Bahkan menjadi suatu syarat mutlak bagi kesuksesan sebuah aktifitas keilmiahan. Biografi para ilmuan Islam merupakan saksi tidak saja terhadap bagaimana mereka menekankan pentingnya etika, tetapi juga bagaimana etika tersebut termanifestasi dalam segenap tingkah laku ilmiah mereka. Dan bagi para ilmuan klasik Islam, kegiatan ilmiah hanya akan bermakna bilamana dilakukan dengan memperhatikan dasar-dasar etika yang solid.[28]
Peranan konkrit kebebasan akademis bagi pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana diungkapkan dalam catatan sejarah Islam bahwa perjalanan kemajuan intelektual Islam selalu diawali dengan tingginya apresiasi yang diberikan terhadap doktrin Islam tentang kebebasan akademis yang ujungnya melahirkan keberanian intelektual untuk menghasilkan produk ilmiah ulama Islam klasik. Sejarah menunjukkan kepada generasi selanjutnya, betapa kayanya peradaban Islam dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan, mulai dari yang secara sempit dapat digolongkan kepada disiplin-disiplin keagamaan, maupun yang berada di luarnya. Kita misalnya bisa mengambil contoh perkembangan ilmu kalam, fiqh, tasawuf, kedokteran, seni, astronomi, filsafat, dan lain-lain dalam Islam. Kesemuanya ini jelas merupakan bagian dari kebebasan akademis yang pernah dipraktekkan dalam dunia Islam.
Secara longgar bisa dikatakan bahwa keseluruhan pemikiran yang berkembang dan produktifitas ilmiah era klasik merupakan hasil olah fikir dan budi daya umat Islam yang dilakukan dalam kerangka pengamalan ajaran-ajaran kedua sumber utama yakni al Qur’an dan hadist. Hal ini tak bisa dipungkiri, bahwa semangat intelektualisme yang dinamis dan kreatif dalam menghasilkan kualitas keilmuan merupakan partisipasi aktif dari kebebasan berfikir dan kebebasan berkarya yang ada pada saat itu.
Peran kebebasan akademis juga dapat ditelisik dari aspek kehendak politik penguasa, seperti dipraktekkan pada masa pemerintahan al Ma’mun, dimana dia memberi ruang gerak yang seluas-luasnya kepada masuknya berbagai macam ilmu pengetahuan dengan menembus batas agama dan negara, bahkan khalifah tersebut menjadikan kota Baghdad sebagai kota pemerintahan sekaligus pusat ilmu pengetahuan, sehingga orang-orang yang ahli dalam ilmu masing-masing diundang ke Baghdad, bahkan ke istana untuk berdiskusi,[29]dalam istilah pendidikan Islam klasik sering disebut dengan munazarah (debat ilmiah).
Di samping itu, khalifah ini juga membangun sebuah lembaga kajian yang sering disebut “Akademi Al Ma’mun.” Di mana para ilmuan bergabung di dalamnya, di antaranya adalah Abu’l Abbas Ahmad Ibn Muhammad Kathir al Farghani, seorang astronom muslim yang menulis Kitab fi al Harakat al Samawiya Wa Jawami Ilm al Nujum yang kemudian dialih bahasakan menjadi The Elements of Astronomy.[30] Karya ini telah mampu melintasi batas wilayah, artinya keberadaan kitab ini tidak hanya dirujuk di negeri asalnya namun juga menjadi referensi para astronom barat
Kecintaan Al Ma’mun kepada ilmu pengetahuan tercermin pada kemegahan dan kecemerlangan kota Baghdad sebagai pusat kebudayaan, seni dan sastra, bukan sebagai ibu kota kekhalifahan. Kota Baghdad membawa suluh ilmu dan pengetahuan ke seluruh pelosok Asia: di Hindustan di bawah pengawasan Ghazwani pada permulaan abad XI M, di Mongol sekitar pertengahan abad XIII M di bawah tangan Nasairuddin al Tusi, dan di negeri Cina kira-kira akhir abad XIII M di tangan Kuchu King.[31]
|
Mau lihat footnote makalah ini klik |