Hubungan antara Islam dan negara sudah sejak lama menjadi persoalan yang belum sepenuhnya tuntas hingga dewasa ini. Sejak runtuhnya kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, negara-negara Islam seperti Turki, Mesir, Sudan, Pakistan, Aljazair, Maroko atau Indonesia merasa kesulitan dalam upaya membangun hubungan yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di negara-negara itu hubungan politik antara Islam dan negara ditandai dengan adanya ketegangan-ketegangan tajam—kalau bukan permusuhan—antara keduanya.
RIWAYAT HIDUP DAN PENDIDIKANNYA
Munawir menempuh pendidikan dasar di Solo (1937-1940), kemudian melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Manba‘-u al-‘Ulum pada tahun 1943.[2] Setelah selesai menamatkan pendidikannya di Manba‘-u al-‘Ulum, Munawir sempat mengajar di sekolah rakyat Muhammadiyah di Salatiga dan Gunungpati, daerah Semarang. Ia juga sempat aktif dan menjadi tokoh dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), sebuah organisasi kepemudaan yang saat-saat awal kemerdekaan bernaung di bawah partai politik Masyumi. Selain itu ia juga tergabung dalam barisan Hizbullah yang dahulu memang banyak menghimpun para pemuda santri dalam perjuangan kemerdekaan RI.
Berbekal kemampuan bahasa Arab yang didapatnya Manba‘-u al-‘Ulum, dan kursus bahasa Inggris dan Perancis secara pribadi, Munawir memulai karir diplomatiknya di Kementerian Luar Negeri di Jakarta. Atas hasil usahanya yang keras ia akhirnya dapat melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti Kursus Diplomatik dan Konsuler di Jakarta, kemudian melanjutkannya selama satu tahun di University College of South West of England, Exeter, Inggris tahun 1953-1954. Ketika ditugaskan di Kedutaan Besar RI di Washington DC, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di jenjang S2 di Universitas Goerge-town, AS (1959), dan mendapat M.A dengan judul tesis Indonesia’s Muslim Political Parties and Their Political Conceps.
Pengkajiannya terhadap Islam dan politik dimulai ketika ia mengadakan penelaahan sendiri tentang konsepsi politik Islam. Kemampuannya dalam membaca kitab-kitab Arab klasik membuatnya tidak sulit memahami pemikiran-pemikiran politik Islam masa klasik. Dari penelaahannya tersebut, ia menyusun satu naskah yang kemudian dicetak menjadi buku dengan judul: Mungkinkah Negara Indonesia bersendikan Islam.[3] Buku karyanya itu kemudian dibaca oleh Bung Hatta dan dinilai baik untuk dikembangkan lagi. Melalui Bung Hatta pula Munawir memperoleh pekerjaan di Departemen Luar Negeri. Karena ketertarikannya mendalami ilmu politik, khususnya yang berkaitan dengan konsepsi politik Islam, Munawir akhirnya dikenal sebagai tokoh dan pemikir politik Islam di Indonesia. Pemahamannya yang mendalam tentang politik Islam ia hubungkan dengan kondisi negara Indonesia yang berasaskan Pancasila dan ia tuliskan dalam bukunya yang terkenal Islam dan Tata negara.
Selain mengeluarkan karya dalam bidang politik, ia juga telah menulis beberapa buku yang berbicara tentang hukum Islam, seperti Ijtihad Kemanusiaan dan Ijtihad Dalam Sorotan (et. al). Ide pokoknya dalam bidang hukum adalah tentang reaktualisasi atau kontekstualisasi hukum Islam, di mana ia berusaha meletakkan suatu sistem hukum Islam yang sesuai, bukan hanya dengan konteks masa kini, melainkan juga dengan konteks yang khas Indonesia.[4]
Ketika tepat berumur 70 tahun, beberapa murid dan teman-temannya sepakat membuat sebuah buku yang berisi biografi Munawir dan berbagai tulisan dari tokoh-tokoh dan intelektual Indonesia sebagai ungkapan rasa syukur dalam memperingati ulang tahun Munawir Sjadzali yang ke-70. Buku yang ditulis secara gotong royong tersebut diberi judul Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali.
Munawir Sjadzali meninggal dunia dalam usia 78 tahun, tepatnya pada hari Jum’at 23 Juli 2004. Munawir sempat dirawat selama lebih dari 40 hari di rumah sakit karena menderita serangan stroke dan komplikasi beberapa penyakit.[5]
HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
Apa sebenarnya yang dimaksud sistem politik? Inilah pertanyaan pertama yang dikemukakan Munawir Sjadzali dalam bukunya yang berjudul Islam dan Tata Negara. Menurut dia, sistem politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain, ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa wewenang melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawab tersebut.[6] Pertanyaan tentang sistem politik ini begitu penting untuk dikemukakan karena ia merupakan kata kunci bagi pertanyaan yang bisa muncul kemudian, yaitu apakah dalam ajaran Islam terdapat sistem politik yang bisa memunculkan suatu sistem yang baku dan dapat dijadikan patokan pengambilan format kenegaraan bagi umat Islam.
Alquran sebagai kitab suci umat Islam, di dalamnya terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antara ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakatan seperti prinsip-prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan pada pemimpin, keadilan, persamaan, dan kebebasan beragama.[7] Tetapi baik Alquran maupun Sunnah Rasul tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Nabi wafat tanpa memberikan petunjuk tentang bagaimana seharusnya umat Islam menentukan siapa pemimpin atau kepala negara mereka, tentang bagaimana mengatur hubungan kekuasaan antara kepala negara dan rakyat, tentang batas kekuasaan, dan masa jabatan kepala negara, dan tentang dapat atau tidaknya kepala negara dibebaskan dari jabatannya.
Berdasarkan kenyataan sejarah tersebut, Munawir kelihatannya setuju bahwa sistem politik yang baku itu sebenarnya tidak ada dalam Islam. Islam hanya memberikan prinsip-prinsip dan tata nilai bagi setiap Muslim dalam menjalankan suatu negara dan pemerintahan. Ketika menyusun tesis ilmiah untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Georgetown University, Washington DC 1959, melalui penelitiannya yang berjudul Indonesia’s Muslim Political Parties and Their Political Concept ia berkesimpulan bahwa agama Islam tidak mempunyai preferensi terhadap suatu sistem politik tertentu; dan di dalam Islam hanya terdapat seperangkat tata nilai etika kenegaraan.[8]
Menurut Munawir, di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan.[9] Aliran pertama, berpendirian bahwa Islam adalah agama yang paripurna dalam arti lengkap dengan segala macam petunjuk bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk sistem pemerintahan, dengan merujuk kepada pola politik al-Khulafa’ ar-Rasyidin sebagai modelnya. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain: Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridha, dan yang Paling Vokal adalah Maulana A.A. al-Maududi. Aliran kedua berpendirian bahwa agama Islam adalah sama halnya dengan agama-agama lain yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad adalah nabi biasa seperti halnya nabi-nabi sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur tanpa misi untuk mendirikan negara. Tokoh-tokoh terkemuka aliran ini antara lain Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein. Sedangkan aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur antara hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh yang paling menonjol dari aliran ketiga ini adalah Dr. Mohammad Husein Haikal.
Munawir cenderung kepada pendapat aliran yang ketiga, sebagaimana ia menyebutkan:
“Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran tersebut, kiranya cukup bertanggung jawab terhadap Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran ketiga, aliran yang pada satu sisi menolak anggapan bahwa dalam Islam terdapat segala-galanya, termasuk sistem politik, dan pada sisi lain tidak setuju dengan anggapan bahwa Islam adalah agama yang sama sekali sama dengan agama-agama yang lain, aliran yang percaya bahwa dalam Islam terdapat seperangkat prinsip dan tata nilai etika kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti yang kita temukan dalam Al-Quran, yang memiliki kelenturan dalam pelaksanaan dan penerapannya dengan memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman yang lain serta antara satu budaya dengan budaya yang lain.”[10]
Untuk memperkuat argumennya ia menunjukkan bukti sejarah dalam perjalanan Nabi Muhammad sewaktu mendirikan negara Madinah, yaitu pada tahun kedua setelah hijrah, Nabi memproklamasikan Piagam Madinah, suatu piagam yang oleh banyak ilmuan politik, baik ilmuan Islam maupun non-Islam, dinyatakan sebagai konstitusi tertulis pertama dari negara Islam. Untuk negara Madinah yang bermasyarakat majemuk itu, esensi piagam tersebut adalah:
Oleh karena itu dalam kemajemukan agama dan suku di Madinah Nabi saw. dalam Piagam Madinah-nya tidak mengisyaratkan pendirian negara agama, meskipun ia adalah seorang utusan Allah, penyampai risalah Tuhan. Satu hal yang perlu dicatat bahwa Piagam Madinah, yang oleh banyak pakar politik didakwakan sebagai konstitusi negara Islam yang pertama itu, tidak menyebut agama negara.[12]
Butir ini penting bagi Munawir, karena ia menilai bahwa penyebutan agama negara merupakan syarat mutlak bagi eksistensi sebuah negara agama. Karena itu, kenyataan bahwa Piagam Madinah tidak menyebut Islam sebagai agama negara mengisaratkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar tidak menyerukan umatnya agar mendirikan sebuah negara agama. Atau dengan kata lain, agama Islam tidaklah satu-satunya dasar dalam pembentukan sebuah negara.[13]
Pemikiran-pemikiran cendikiawan muslim berkaitan dengan masalah politik dan ketatanegaraan seperti al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan sebagainya, secara umum dapat digolongkan menjadi dua kelompok: pertama, idealisasi dalam pemikiran politik, dan kedua, terbatas pada pemahaman terhadap situasi dan kondisi tersebut.[14] Pemikiran dalam bentuk pertama, hanya al-farabi yang masuk dalam kelompok ini. Gagasan politiknya ini sama sekali tidak mungkin dilaksanakan secara utuh, meskipun pada bagian-bagian tertentu dari pemikirannya dapat digambarkan secara realistis dan dapat dilaksanakan.
Munawir berpendapat bahwa idealisasi al-Farabi tidak berorientasi kepada Islam melainkan lebih kepada fikiran-fikiran Yunani, khususnya pemikiran Plato. Sebenarnya ia berusaha mengambil sintesa antara pemikiran Plato dan Islam, sebagaimana ia menyebut bahwa pemimpin yang ideal adalah Nabi dan setelah itu filosof, karena menurut al-Farabi, kepala atau pemimpin yang tertinggi itu merupakan wakil dari sebab yang pertama yakni Tuhan. Dalam konsep Negara Utama-nya, ia menghendaki terwujudnya kebahagiaan bersama, material, spriritual, dan berdasarkan ketuhanan.[15] Pemikiran yang terbatas pada pemahaman terhadap situasi dan kondisi merupakan pemikiran yang memang tepat unuk diterapkan pada masa sekarang ini. Di mana umat Muslim telah tersebar di berbagai penjuru bumi yang masing-masing mempunyai situasi dan kondisi politik dan kenegaaan yang berbeda dengan daerah atau negara umat Muslim ditempat yang lain.
PERLUNYA REAKTUALISASI
Dalam soal pembaharuan paham keagamaan di Indonesia, Munawir Sjadzali merupakan tokoh yang datang belakangan. Tidak seperti tokoh-tokoh pembaharu semisal Nurcholish Madjid atau Ahmad Wahib yang sudah sejak dasawarsa 1970-an mengkampanyekan agenda pembaruan, ide-idenya tentang reaktualisasi atau kontekstualisasi Islam tidak diketahui secara luas sebelum dirinya ditunjuk sebagai Menteri Agama pada tahun 1983. Hal tersebut dikarenakan masa tugasnya yang cukup lama di Departemen Luar Negeri (1950-an s/d 1983) tidak memungkinkan Munawir untuk mengambil peran aktif dalam wacana intelektualisme Islam modern. Tetapi hal ini merupakan blessing in disguise. Ketidakterlibatannya dalam diskursus keislaman selama tiga dasawarsa itu—sebagaimana diakuinya—telah memungkinkan dirinya untuk melihat perjalanan Islam Indonesia secara lebih jernih.
Di Indonesia, Munawir Sjadzali, dikenal sebagai tokoh penggagas tentang kontekstualisasi hukum Islam. Selama menjadi Menteri Agama RI pada tahun 1983 sampai dengan 1993, Pemikiran Munawir Sjadzali berpusat pada upaya melakukan Reaktualisasi Hukum Islam, terutama legalisasi hukum Islam mengenai kehalalan bunga bank dan pembagian warisan bagi pria dan wanita secara seimbang.[16]
Titik sentral pesan Munawir adalah mendorong komunitas Islam untuk melakukan ijtihad secara berani dan jujur. Dengan demikian, Islam bisa lebih responsif terhadap keperluan-keperluan lokal dan temporal Indonesia. Dalam masalah yang berkenaan dengan soal waris, Alquran menggariskan bahwa anak laki-laki menerima dua kali lebih banyak dari anak perempuan. Menurutnya, dengan mempertimbangkan realitas keseharian, dalam situasi tertentu prinsip semacam itu dapat berseberangan dengan makna keadilan. Dan menurutnya, banyak ulama yang menyadari kemungkinan seperti itu, tetapi mereka belum bersedia untuk menyentuh persoalan yang mungkin akan timbul secara meyeluruh. Karena itu dituntut sebuah keberanian dan kejujuran dalam berijtihad.
Agenda reaktualisasi Munawir bukan terletak pada masalah waris dan kehalalan bunga bank saja. Dengan mengamati bentuk gagasan-gagasan teologisnya secara lebih cermat, akan kelihatan bahwa perhatian utamanya ada pada premis bahwa terdapat sejumlah stipulasi Alquran khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang tidak sesuai dengan kebutuhan masa kini (misalnya, kedudukan wanita, kedudukan non-muslim di negara Islam, perbudakan, dan sebagainya). Dalam hal ini, ia merujuk—antara lain—pada semangat pengalaman khalifah Umar ibn Khattab.[17] Menurutnya, karena perubahan situasi sosial, Umar pernah merumuskan suatu kebijakan yang tidak sesuai dengan stipulasi-stipulasi yang telah digariskan Alquran dan Sunnah Nabi. Yang paling mencolok tentang hal ini adalah kebijakannya tentang pembagian harta rampasan perang.[18]
Untuk itu, ia menyatakan bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang berani dan jujur dalam memberlakukan ajaran Islam. Ia mengusulkan agar kaum muslim melaksanakan agenda-agenda reaktualisasi untuk menjadikan Islam lebih sesuai dengan kekhasan lokal dan temporal Indonesia.[19]
POLITIK ISLAM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN
Munawir menganalisis bahwa pemikiran tentang Islam dan tata negara di Indonesia belum berkembang jauh seperti di negara-negara muslim lainnya. Memang partai-partai politik Islam sudah mulai bermunculan sejak zaman penjajahan. Tetapi pada waktu itu, perhatian partai-partai Islam terpusatkan pada perjuangan pembebasan Indonesia dari penjajahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada zaman penjajahan pada hakikatnya partai-partai Islam Indonesia itu merupakan partai-partai nasionalis, sama seperti partai-partai politik yang lain, dengan satu perbedaan bahwa keanggotaan partai-partai Islam hanya terdiri dari orang-orang yang beragama Islam saja.[20]
Berkaitan dengan Pancasila, sebagaimana halnya Natsir, Munawir memberikan penguatan kepada kita dengan mengatakan bahwa konsep negara Pancasila tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan tata nilai yang telah diamanatkan oleh Alquran. Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama merupakan dasar pertama yang paling dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang menganut berbagai agama. Sementara itu bagi umat Islam sendiri, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa berarti tauhid dan sudah sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, menurut Munawir, pengembangan dan pengamalan Islam di Indonesia hampir sama maju dan semaraknya bila dibandingkan dengan negara-negara Islam yang ada.[21]
Ketika menjabat Menteri Agama, Munawir menghimbau agar negara Repoblik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini diterima sebagai sasaran final dari aspirasi politik umat Islam dan bukannya sebagai batu loncatan ke arah sasarn-sasaran lain. Alasan Munawir, dalam konsep negara pancasila Islam memang tidak dinyatakan sebagai agama negara , tetapi dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dasar negara, jelas merupakan hal yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang menganut berbagai agama. Munawir berpendapat bahwa Piagam Madinah yang dapat disebandingkan dengan Pancasila itu, mencerminkan kebebasan beragama dan ta‘awun, tapi tanpa penegasan resmi ditengah kemajemukan maasyarakat.[22]
Dalam suatu kunjungan ke Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1988, Munawir mendapat kehormatan untuk memberikan kuliah umum di aula utama universitas. Judul makalah yang disampaikannya adalah: Repoblik Indonesia yang berdasarkan pancasila itu bukan negara agama tetapi bukan juga negara sekuler. Seusai kuliah umum dibuka kesempatan tanya jawab. Di antara yang memanfaatkan tanya jawab itu adalah Prof. Dr. Alexander H. de Groot, seorang guru besar ahli Timur Tengah dengan pengkhususan masalah Turki. Dalam tanggapannya, ia menyatakan bahwa dengan pengertian Pancasila seperti yang disampaikan tersebut, Indonesia beruntung tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh Turki yang dikemudian hari satu demi satu terus dikoreksi.[23]
Ia mengakui dalam konteks negara Indonesia yang memiliki kemajemukan agama, amat sukar dan sulit memberlakukan konsep politik dan hukum klasik Islam. Golongan non-Islam yang di negara Islam klasik dahulu mendapat status dzimmi—golongan yang dilindungi, yang tidak memiliki hak politik penuh, tidak mempunyai hak memilih dan dipilih, dengan implikasi mendapat perlakuan sebagai warga negara kelas dua—adalah berasal dari bangsa atau suku yang beragama non-Islam yang ditaklukkan oleh tentara Islam. Mereka diberi dua pilihan, masuk Islam atau tetap dengan agama mereka tetapi harus kehilangan hak politik dan harus membayar semacam pajak. Sedangkan warga negara Indonesia yang non-Islam adalah putra-putri asli Indonesia sendiri, sama dengan saudara-saudara mereka yang beragama Islam, dan juga pemilik Republik ini. Ketika kita berjuang merebut kemerdekaan, mereka memberikan sumbangan dan pengorbanan yang proporsional sama besarnya dengan apa yang diberikan oleh sahabat-sahabatnya yang beragama Islam. Dengan demikian, memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua bukanlah hal yang pantas dan bertentangan dengan semangat dan esensi keadilan yang diajarkan oleh Islam.[24]
PERAN MUNAWIR SJADZALI PADA MASA ORDE BARU
Kita akan melihat sampai di mana peran dan kontribusi Munawir pada masa-masa orde baru, khususnya ketika menjabat sebagi Menteri Agama selama dua periode yaitu pada tahun 1983-1993. Menduduki posisi sebagai pembantu Presiden selama dua periode sudah merupakan suatu prestasi tersendiri bagi Munawir. Cara pikir beliau yang sistematis terlihat dalam setiap langkah yang diambil. Dalam pembinaan IAIN sebagai sebagai pusat pengembangan ilmu-ilmu keislaman, melalui Departemen Agama, Munawir menata IAIN dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1985 yang memberikan status, perlakuan dan fasilitas kepada 14 IAIN sama dengan Perguruan Tinggi negeri yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang berubah nama menjadi Departemen Pendidikan Nasional). Karena mutu IAIN banyak ditentukan oleh mutu pendidikan pada jenjang-jenjang pendidikan di bawahnya, atas persetujuan Presiden, Munawir juga berhasil menyempurnakan SKB Tiga Menteri 1975 dengan mengadakan pilot Project Aliyah Program khusus dengan kurikulum bermuatan 70% pengetahuan agama dan hanya 30% pengetahuan umum, sebagai kebalikan dari kurikulum Aliyah yang sesuai dengan SKB Tiga Menteri 1975 dengan muatan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama. Munawir juga mengirirm sarjana-sarjana dan calon dosen IAIN belajar ke Barat sebagai bentuk perluasan pengembangan pengetahuan modern bagi sarjana-sarjana agama, khususnya sarjana IAIN.
Munawir juga berperan besar dalam menerbitkan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional itu. Undang-Undang ini antara lain mengakui pendidikan agama sebagai suatu subsistem pendidikan nasional; mengukuhkan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum, dari tingkat sekolah dasar sampai pendidikan tinggi, dan mengakui eksistensi lembaga-lembaga pendidikan agama seperti madrasah dan pesantren.[25]
Melalui kemampuan lobi sebagai diplomat dan pejabat senior Departemen Luar Negeri, keberhasilan Munawir dalam menggolkan setiap proyek startegis Departemen Agama tidak terlepas dari kesabaran dan kepiawaiannya dalam melobi pihak-pihak terkait. Hal ini dapat dilihat dari usaha Munawir dalam menggolkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan hak besar dan sejajar dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung. Dengan munculnya UU No. 7 Tahun 1989 tersebut telah memberikan keistimewaan bagi Peradilan Agama sendiri. Dengan memperhatikan banyak negara yang dalam Undang-Undang Dasar-nya dengan tegas dinyatakan Islam sebagai agama negara, kedudukan mahkamah syariah tidak sekokoh dan seterhormat peradilan Agama di Indonesia.[26]
Pada saat menjadi Menteri Agama, Munawir menaruh perhatian besar terhadap pembinaan kerukunan hidup umat beragama. Menurut Munawir, kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia bukan lagi merupakan suatu pilihan, tetapi sudah merupakan suatu keharusan. Dalam pandangan Munawir, masuknya agama-agama ke Indonesia berjalan dengan damai dan baik sehingga tidak akan menimbulkan hal-hal negatif dalam kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pandangan ini dikaitkan Munawir pada tiga faktor.
Semua agama yang masuk ke Indonesia tidak melalui kekerasan militer, tetapi melalui penetrasi secara damai sehingga tidak ada satu agama pun merasa menang atau kalah.
Karena agama-agama yang masuk ke Indonesia ini berlangsung secara akomodatif, maka tidak ada pemutusan batin terhadap kehidupan kultural lama dan karena itu mau tidak mau satu sama lain saling mengakomodasi.
Temperamen bangsa Indonesia memang tidak panas, tidak seperti yang terjadi di Eropa dulu. Di Indonesia tidak pernah ada perang agama atau penindasan agama, bahkan agama di Indonesia menjadi motor penggerak revolusi. Agama menjadi faktor yang memenangkan perjuangan bangsa melawan kezaliman penjajah.[27]
Berpegang pada tesis ini, Munawir berlogika bahwa agama-agama di Indonesia telah berhasil dijadikan motor penggerak dalam mencapai kemerdekaan bangsa dan dapat pula dijadikan sebagai motor penggerak dalam mendorong gerak pembangunan bangsa Indonesia.
|
Penutup