Secara sederhana Postmodernisme atau Neo-Modernisme dapat diartikan dengan “pemahaman modernisme baru”. Neo-Modernisme dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir yang merupakan sintesis, setidaknya upaya sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Mudahnya, pola Neo-Modernisme berusaha menggabungkan dua faktor penting; modernisme dan tradisionalisme dimana sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa keduanya mempunyai sisisisi kelemahan. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang tegar bahkan kaku. Sedangkan Tradisionelisme Islam, merasa cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justeru dengan kekayaan itu para pendukung pemikiran ini sangat berorientasi kepada masa lampau dan sangat selektif menerima gagasangagasan modernisasi
Pendahuluan
B. Neo-Modernisme (Postmodern) |
Secara sederhana Postmodernisme atau Neo-Modernisme dapat diartikan dengan “pemahaman modernisme baru”. Neo-Modernisme dipergunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir yang merupakan sintesis, setidaknya upaya sintesis antara pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Mudahnya, pola Neo-Modernisme berusaha menggabungkan dua faktor penting; modernisme dan tradisionalisme dimana sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa keduanya mempunyai sisisisi kelemahan. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang tegar bahkan kaku. Sedangkan Tradisionelisme Islam, merasa cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justeru dengan kekayaan itu para pendukung pemikiran ini sangat berorientasi kepada masa lampau dan sangat selektif menerima gagasangagasan modernisasi. Dalam studi keislaman, istilah Neo-Modernisme diintroduksir oleh seorang tokoh gerakan pembaharu Islam asal Pakistan Fazlur Rahman (19191988). Adapun gejala Neo-Modernisme Islam di Indonesia menurut Greg Barton, mulai terlihat pada tahun 1970an yang dimotori oleh generasi muda terpelajar. Umumnya mereka yang berpendidikan modern, namun yang pasti mereka adalah generasi yang sudah matang pemikirannya dan dibesarkan oleh berbagai pengalaman. Mereka terdiri dari kaum cerdik yang memiliki pemikiran brilian dan selalu memicu kontroversi, karena tematema yang mereka aktualisasikan cukup mendasar, filosofis, dan bernuansa sosial, maka banyak mendapat respon positif. Dalam analisis Budhy Munawar Rahman[1], pemikiran Neo-Modernisme Islam dapat dikategorikan menjadi tiga tipologi, yaitu : a. Islam Rasionalis; b. Islam Peradaban; c. Islam Transformatif. |
C. Biografi Fazlurrahman |
Pada tahun 1940, Rahman menyelesaikan program Bachelor of Artnya, dan dua tahun kemudian ia meraih gelar Master dalam bahasa Arab dari Universitas Punyab, Lahore. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya berhenti sampai di sini. Baginya, Perguruan tinggi di Anak Benua India masih bersifat formalistikakademik, sehingga kurang berbobot secara intelektual. Demikian pula perguruan tinggi di Timur Tengah., menurutnya, sama dengan perguruan tinggi di Anak Benua India yang dalam kajian Islam, semangat kritisnya amat rendah. Atas dasar itulah kemudian Rahman muda melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di sana ia berhasil meraih gelar Philosophy Doctor (Ph.D.) dengan menulis disertasi tentang konsep kenabian (Prophecy In Islam: Philosophy and Ortodoxy) yang digali pemikiran Ibnu Shina pada tahun 1049. Dari sinilah, seorang scholar yang matang dalam menguasai khazanah Islam klasik dan sekaligus bisa bersikap kritis terhadapnya itu meneguhkan komitmen untuk mengabdi pada kerjakerja intelektual. |
D. Rekonstruksi Pemikiran Islam: Neo-Modernisme
Analisis Historis: Islam Normatif dan Islam Historis
Beberapa Butir Pemikiran NeoLiberal
G. Pemikiran Nurchalish Madjid. |
Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru (baca: pembaruan) yang disebut “neo-modernisme”. Sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari. [5] Hari ini, gerakan pemikiran model ini kian berkibar dan mendapat tempat dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air. Ciri khas yang dapat ditangkap dari aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam) dalam bentuknya yang substansial. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma holistik yang otentik dengan tetap berpijak pada akar tradisi. Ia tidak mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang ditimbulkannya.[6] Neo-modernisme di Indonesia yang ditularkan oleh Nurchalish kemudian juga dikenal dengan Islam Liberal. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul pertama kali di saat Indonesianis Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia[7]. Semenjak saat itu, istilah tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Apalagi, ketika Charles Kurzman meluncurkan karya Wacana Islam Liberal[8] dan digayung-sambuti dengan pendirian Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar-Abdalla dan kawan-kawan, wacana liberalisme Islam menjadi kian marak dan melahirkan kontroversi berkepanjangan. Dari waktu ke waktu, wacana ini bergulir dan membiak ke berbagai arah. Gugusan pemikiran neo modernisme yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Menurut Azra, dalam perkembangannya, neo-modernisme Islam telah menjelma menjadi wacana yang tidak terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaruan, seperti Muhammadiyah saja. Tapi juga telah menyebar ke dalam kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan. Secara praktis, paham neo-modernisme sama sekali tidak menginginkan adanya segala bentuk formalisasi serta radikalisasi sikap keagamaan. Sebaliknya, neo-modernisme cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yang viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi. Berlatar panorama di atas, orang kemudian mulai menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang diusung oleh intelektual muslim terkemuka, Fazlur Rahman. Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlur dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Kebetulan, Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia (antara lain Syafi’i Ma’arif) sempat berhubungan dan berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagai “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di negeri ini. Penyingkapan akan hal tersebut, menurut A’la, terasa penting disebabkan perlunya korelasi yang jelas antara konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya. Dalam pandangan A’la, terdapat -- setidaknya -- dua signifikansi yang bisa dipungut dari pengetahuan kita akan hal tersebut. Pertama, secara teoretis keilmuan, warisan pemikiran yang digagas Fazlur, kelak berhasil menjadi arus utama (mainstream) bagi gerakan pembaruan Islam berikut pembiakannya di Indonesia. Pada titik inilah, gagasan ideal Fazlur sepenuhnya tak dapat dipisahkan dengan wacana keagamaan yang hegemonik di nusantara. Betapa kita lihat, pelbagai gagasannya (antara lain yang sangat menonjol adalah ide penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara rekonstruktif dan “hidup”) telah menjadi topik penting dari beragam diskusi yang marak digelar di berbagai tempat. Kedua, pemikiran Fazlur pada akhirnya menawarkan alternatif baru serta perspektif lain bagi kesadaran teologi (sebagian) umat Islam di Indonesia. Konsep pendekatan holistik (yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”) yang disodorkannya, serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih fungsional, liberal, dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusiaan mutakhir. Penelusuran Abd. A’la dalam buku ini akhirnya bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa cita pembaruan yang ditularkan Fazlur Rahman bagi paradigma keislaman di Indonesia telah menampakkan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran pembaruan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik. Oleh karenanya, ke depan, diskursus Islam liberal di Indonesia tetap layak untuk digulirkan dan dikaji secara lebih menarik. Di tengah kondisi kehidupan manusia dalam global village ini, Islam liberal bisa hadir sebagai “mazhab” perekat solidaritas sosial yang senantiasa mengupayakan keadilan beragama serta keberagamaan yang adil. Pada titik inilah, karya Abd. A’la ini berperan sebagai wahana kreasi ulang (re-creation) bagi kiprah dan perjalanan pembaruan Islam di tanah air. Kini dan di masa mendatang, ia diharapkan akan menjadi cermin cemerlang bagi lahirnya iklim keberagamaan yang damai dan lapang. |
Sekularisme |
Nurcholish menjelaskan bahwa sekularisasi di sini tidak sama dengan sekularisme yang menurut pemahamnya adalah sebuah ideologi tertutup yang anti-Tuhan. Menurut Nurcholish, sekularisasi itu berbeda dengan yang dituduhkan orang-orang padanya. Sekularisasi bukan merupakan faham yang statis, tetapi suatu proses yang terus berlangsung. Dengan perkataan lain, sekularisasi adalah sekularisme yang terbatas. Esensinya adalah devaluasi sektor kehidupan dan demitologisasi. Karena itu, sekularisasi menurut Nurcholish adalah diferensiasi dan nasionalisasi sehingga menimbulkan liberalisasi. Konsep ini disetujui oleh Dr Benyamin F Intan, seorang pendeta teolog yang mempelajari public religion di Boston College, Amerika Serikat. Menurut hasil kajiannya, sekularisasi bisa mengambil tiga bentuk: pertama, privatisasi agama; kedua, decline of religion (kemerosotan agama); dan ketiga, diferensiasi. Ia dan kalangan Kristen pada umumnya menolak dua bentuk yang pertama dan mengartikan sekularisasi sekadar sebagai diferensiasi antara akal dan iman, antara yang private dan public, serta antara agama dan negara.[9] Tiga hal itu diperlukan sebagai syarat kebebasan sipil. Karena itu, jika kita ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan sipil sebagai landasan demokrasi, maka sekularisasi adalah suatu kebutuhan dan keharusan. Oleh sebab itu, masalah bagi generasi pasca-Nurcholish Madjid bukanlah sekularisme atau yang lain, melainkan memilih model sekularisasi yang cocok untuk masyarakat Indonesia dan sesuai dengan faham kebangsaan. Dalam tulisan-tulisannya yang diterbitkan oleh majalah dan KKA (Klub Kajian Agama), Nurcholish terus berusaha melakukan reformulasi dan penyusunan faham keagamaan yang komprehensif, yang menyangkut empat bidang besar, yaitu keislaman, kemodernan, keindonesiaan, dan kerakyatan. Jadi, Nurcholish aktif dalam wacana publik yang sangat luas. Ia tidak saja memakai pendekatan teologi yang memang merupakan ciri khasnya, tetapi juga sosiologi religi dan kebudayaan. Pada akhirnya, Nurcholish tidak sekadar menjadi tokoh pembaru pemikiran Islam, tetapi juga seorang guru bangsa. Hanya saja, pandangan-pandangannya itu tersebar dan tercecer dalam banyak logos. Hanya satu dua buku saja yang merupakan buku yang utuh. |
Neo-Sufisme
Daftar Pustaka dan Footnote