Makalah Neo-Sufisme: Konsep dan Prospeknya di Dunia Islam Modern
Pendahuluan
Ketika arus modernisasi menghujani dunia Islam, proses modernisasi ini menimbulkan dampak-dampak negatif bagi masyarakat Muslim seperti tumbuhnya materialisme, dunialisme dan sebagainya yang mengakibatkan kekosongan jiwa dan keringnya nilai-nilai spiritual umat Muslim. Pada saat manusia Muslim menyadari akan kekeringan spirititualitas dan ingin menumbuhkannya kembali, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh ialah dengan jalan tasawuf. Namun kebanyakan yang terjadi adalah Muslim tersebut cenderung mengikuti pola-pola sufisme ortodoks (tarekat-tarekat) yang pada akhirnya menjadikannya jauh dari hal-hal keduniaan, lari dari kewajibannya sebagai khalifah di bumi dan menghindar dari tanggung jawabnya sebagai insan sosial. Maka terjadilah ketimpangan di sini, di mana akhirnya jalan spiritual yang dipilih membuatnya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan urusan akhirat. dalam contoh yang lain, misalnya, berkembangnya paham di masyarakat Islam khususnya di Indonesia yang mengatakan “lakukanlah apa yang kau mau dan kau suka ketika masih muda, dan jika sudah tua barulah bertobat”. Paham yang jelas-jelas tidak sesuai degan ajaran Islam ini seolah-olah menjadi semacam budaya tersendiri bagi generasi muda Islam sekarang.
Paham semacam ini menjadikan sebagian generasi muda Muslim jauh dari ajaran agama dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas agama sehingga perbuatan-perbuatan maksiat dianggap sebagai hal yang biasa dan harus dicoba, dan ketika sudah berusia tua, barulah tiba masa bertobat. Belum lagi terjadinya tindak kekerasan dan kerusakan moral pada generasi muda Islam, menjadikan generasi Muslim sunyi dan jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Ketika ia menyadari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya selama ini, atau karena sudah merasa lanjut usia dan kini tiba waktunya untuk bertobat, maka lagi-lagi, jalan yang dapat ditempuh untuk menenangkan jiwa dan ingin dekat dan bertobat di hadapan Tuhan, adalah dengan jalan tasawuf. Ketika ia mengikuti pola-pola sufisme klasik dengan menjadi seorang salik dan ikut dalam organisasi tarekat, cenderung ada keengganan untuk kembali ke masyarakat. Tidak mau terjun hadir dan ikut berpartisipasi dalam menghadapi masalah-masalah bersama, atau untuk membantu masyarakat yang memang membutuhkan bantuannya. Dengan kata lain, ketika ia ingin bertobat dan ingin mendapatkan ketenangan batin dengan jalan tasawuf klasik, maka yang ia dapatkan adalah kesalehan individual dan bukan kesalehan sosial.
Paham yang diajarkan dalam tasawuf klasik pada kenyataannya menjadikan umat Muslim lebih mementingkan yang hakikat daripada syari’at, atau lebih mementingkan urusan akhirat ketimbang urusan dunia. Pola-pola tasawuf ortodoks ini telah berabad-abad dibudidayakan dalam masyarakat Muslim. Akibatnya, umat Islam jadi tertinggal dibanding dengan umat-umat lainnya karena lebih mementingkan urusan akhirat dan cenderung menjauhi urusan dunia. Pantaslah jika sebagian pemikir mengatakan bahwa tasawuf telah mengakibatkan umat Islam mundur dan terbelakang…? (mana referensinya)
Di sinilah perlu diketengahkan mengenai konsep neo-sufisme karena ide terpenting dari neo-sufisme adalah tawazun atau keseimbangan, yaitu keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara kesalihan individu dan kesalihan sosial.
Tetapi saat sekarang, neo-sufisme dapat dikatakan belum memiliki kejelasan secara konsep dan prakteknya atau belum begitu dikenal dalam sehingga dapat dipakai dalam kehidupan masyarakat Muslim sekarang. Masyarakat Muslim masih cenderung mengikuti pola-pola tasawuf klasik yang sudah jelas konsep dan amalannya.
Neo-sufime yang merupakan gerakan “reformasi” sufisme terdahulu atau pembaruan sufisme ortodoks, digagas pertama kali oleh Al-Ghazali. Landasan pikir yang dikembangkannya adalah apa yang dikenal dengan istilah syari`at, thariqat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Artinya bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses gradual dan kumulatif antara syari`at dan sufisme. Sebelum memasuki dunia tasawuf, harus lebih dahulu memahami syari`at secara benar dan mendalam. Kemudian menjalani proses thariqat. Thariqat adalah semacam sistem esoteris yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi, yakni hakikat. (A. Rivay Siregar, h. 246)
Terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir Muslim kontemporer, yakni Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul “Islam”. Sebelum Fazlur, sebetulnya di Indonesia, Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern yang digagasnya dalam sebuah buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Tetapi dalam buku ini tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan buku ini, terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal uzlah. Kalau al-Gazali mensyaratkan `uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar seseorang yang mencari kebenaran hakiki untuk tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. (Rivay, h. 248)
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana prospek Neo-sufisme ke depan dalam menumbuhkan nilai-nilai spiritual Muslim dewasa ini?
Berbagai pertanyaan di atas merupakan beberapa hal sentral yang menjadi pokok permasalahan dalam konsep Neo-sufisme. Dalam penelitian ini nantinya akan merujuk pada tulisan-tulisan yang berkaitan dengan masalah tersebut, di antaranya:
1. Hamka, Tasawuf Modern
2. Ahmad Rivay Siregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme
3. Fazlur Rahman, Islam
4. Sulaiman Tebba, Tasawuf Positif
5. Seyyed Hossein Nasr, Spirituality in Modern World
6. dan beberapa buku lain yang dianggap mendukung.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagaimana dijelaskan terdahulu, bahwa penelitian ini membahas sebuah konsep yang masih perlu diperjelas lagi. Untuk itu, tujuan penelitian ini hanya memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah dibatasi pada rumusan masalah yang mengacu pada inventarisasi,[1] yakni mengumpulkan semua karya literatur dan karya tulis yang berkaitan dengan konsep Neo-sufisme, kemudian berupaya untuk merumuskannya dengan metodologi yang jelas agar menjadi gagasan yang lebih utuh dan sistematis.
Adapun manfaat penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian ilmiah dan berfikir secara kritis dan sistematis. Sejajar dengan itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran terhadap perkembangan khazanah ilmu pengetahuan Islam khususnya dalam pemikiran tasawuf di Indonesia.
D. Batasan Istilah
Judul penelitian ini adalah “Neo-sufisme: Konsep dan prospeknya di Dunia Islam Modern”. Judul penelitian ini mencakup beberapa istilah kunci yaitu Neo-sufisme, konsep, prospek, dunia Islam, dan modern. Perlunya penegasan dan pembatasan istilah guna menghindari kesimpang siuran pemahaman terhadap penelitian ini.
Konsep dapat diartikan….
Prospek dapat diartikan….
Dunia Islam ialah….
Modern artinya “terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berfikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman”.[2]
Sementara itu, Islam merupakan sebuah agama yang berisi ajaran-ajaran yang diturunkan Allah SWT kepada manusia melalui nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rasul pembawa ajaran tersebut.[3] Islam juga mengambil bentuk sikap penyerahan diri seluruhnya kepada kehendak Allah SWT atas segala kehendaknya.[4]
E. Kajian Terdahulu
F. Metodologi Penelitian
G. Garis Besar Isi Tesis
Latar belakanng Masalah
Istilah modernisasi, seperti beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang telah dipakai dan masuk kedalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini merupakan gerakan yang muncul antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M., suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaaan akal.[5] Modernisasi Eropa tersebut merupakan sebuah aliran, gerakan atau paham yang berusaha mengubah adat istiadat atau institusi-institusi lama dan sebagainya, agar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Ketika istilah modernisasi masuk dan diadopsi kedalam dunia Islam pada zaman modern ini, oleh para tokoh dan pemikir terkadang istilah tersebut sering dibolak-balik menjadi Islam modern, modernisme Islam, modernitas dalam Islam dan dalam bentuk lainnya. Dalam hal ini, istilah-istilah tersebut sebenarnya mempunyai makna yang sama dan selaras maksudnya dengan modernisasi Islam. jadi, istilah ini merupakan istilah yang sering digaungkan dan didengungkan oleh para pemikir Islam untuk memperbaharui realitas-realitas yang terjadi pada masyarakat Islam sekarang. Lantas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah; bagaimana sebenarnya kondisi umat Islam sekarang? dan perlukah Islam itu dimodernisasi?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka ada baiknya jika kita melihat langsung kepada realitas yang terjadi pada umat Islam saat ini. Salah satu realitas yang dapat ditunjukkan adalah bahwa umat Islam saat sekarang merupakan masyarakat yang menempati posisi di bawah masyarakat Barat (Eropa) dalam berbagai bidang kehidupan. Berbicara tentang peradaban yang maju, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga kalah dari mereka. Ada apa sebenarnya dengan Islam? sehingga banyak para pemikir Islam yang mengernyitkan dahinya untuk memikirkan hal ini sampai mencari solusinya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa umat Islam mundur karena masih berkutat dengan sistem atau pola-pola tradisional yang ortodok. Sistem yang dipakai khususnya berkaitan dengan pemahaman keagamaan atau pola fikir umat Islam sudah usang dan tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman modern. Mungkin hal tersebut ada benarnya, karena itu, modernisasi nampaknya kembali digalakkan oleh para pemikir muslim untuk menjadikan umat Islam sebagai umat yang memiliki kedinamisan dan mampu bertahan dengan berbagai tuntutan zaman yang semakin kompleks.
Jika melihat kondisi umat Islam yang ada di Indonesia, maka akan semakin jelas bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia masih berkutat dalam pola-pola dan tradisi lama. Pemahaman mengenai dogma-dogma yang masih tradisional nampaknya masih terus dipelihara dan dipertahankan. Fazlur Rahman dalam penelitiannya mengatakan bahwa orang-orang Indonesia yang pergi ke Makkah dan tinggal bertahun-tahun di sana dan mengembangkan intelektualisme Islam ortodoks-terutama teologi ortodoks dan hadis,[6] ketika kembali ke Indonesia, mulai menyebarkan ilmu-ilmu mereka di pesantren-pesantren, yang sedikit demi sedikit berkembang menjadi madrasah. Alumni-alumninya kemudian kembali ke masyarakat dan mengembangkan ilmu-ilmu klasik yang kebanyakan berisi dogma-dogma yang tidak akliah (rasional), saya dalam hal ini tidak menyatakan bahwa pola-pola tradisional tersebut buruk dan tidak baik (pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh ulama-ulama klasik itu sangat jenius dan mampu bertahan dalam kurun waktu yang panjang) namun ada masanya di mana paham-paham (pendapat) klasik tersebut tidak dapat merespon berbagai persoalan zaman yang semakin kompleks.
Studi mengenai Islam modern, sebenarnya mencakup fikiran-fikiran, persoalan-persoalan dan gerakan yang timbul di dunia Islam modern sebagai akibat dari kontak yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam. Harun Nasution menyebutkan bahwa dalam usaha modernisasi itu, umat Islam sampai sekarang masih lebih banyak berkaitan dengan aspek dari material dari kemajuan barat seperti alat-alat industri, ekonomi, pendidikan, pers dan lain-lain, dari pada aspek spiritual dan mentalnya.[7] Jadi secara lahiriah umat Islam saat sekarang telah menjadi modern, tapi secara batiniah atau mental masih banyak yang bersifat tradisional, belum ada keseimbangan antara aspek material dengan aspek mental dalam upaya melakukan modernisasi ini.
Mungkin, sebuah contoh yang bisa dikemukakan untuk mendukung pernyataan Harun nasution tersebut, bahwa masyarakat Islam khususnya di Indonesia cenderung masih belum bisa menerima banyak kebenaran. Kebenaran masih dipandang dari satu segi saja. Apabila berbeda dan melangkahi tuntunan dari agama secara normatif, maka sudah dianggap salah dan bid’ah (mengada-ada), ini masih banyak terjadi di Indonesia. Belum lagi masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan, cenderung masih sangat rentan ada pernyataan “saya yang benar dan mereka itu salah”
Salah satu pemikir Islam yang respon dengan hal tersebut adalah Nurcholish Madjid. Pemikiran modern Nurcholish Madjid sudah dikenal pada tahun 1970-an. Modernisasi baginya identik dengan “rasionalisasi”. Bagi seorang muslim, katanya, modernisasi adalah sebuah keharusan, bahkan suatu kewajiban mutlak. Dalam arti rasionalisasi adalah kewajiban agama, karena diperintah oleh tuhan.[8] Akan tetapi pemikirannya setelah tahun 1970-an dianggap sebagai momentum lahirnya gerakan pembaharuan pada sebagian pemuda muslim yang sangat radikal dalam pemikiran regio-politik Islam di masa orde baru Indonesia.[9]
Ide-ide pembaruan dikemukakan secara formal pertama kali dalam suatu makalah yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970 dengan judul “Keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat”. Makalah ini dibacakan dalam rangka silaturahmi Idul fitri atau halal bil halal yang diadakan bersama oleh empat organisasi pemuda dan mahasiswa muslim terkemuka, HMI, GPI, PII, dan PERSAMI. Makalah tersebut berisii lima poin, yaitu: 1) Pendahuluan, 2) Islam Yes, Partai Islam No, 3) Kwantita versus kwalita, 4) Liberalisasi pandangan terhadap “ajaran Islam” sekarang, yang terbagi kepada: sekularisasi, kebebasan berfikir, dan sikap terbuka (idea of progress), dan 5) Diperlukan kelompok pembaharuan yang liberal.[10]
Berdasarkan realitas tersebut, tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid yang akrab disapa “Cak Nur” masuk kedalam kategori pemikir neo-modernis Islam di Indonesia. Pemikiran dan gagasannya banyak dikagumi sekaligus dicaci maki oleh banyak orang. Meminjam istilah profesor Syahrin, maka Nurcholish Madjid merupakan tipe seorang shocker (pembuat kejutan) terhadap gagasan-gagasan yang diboomingkannya. Ketika umat Islam seolah-olah sedang terbuai dalam tidur nyenyak, dibuat terpelanting dari tempat tidurnya karena terkejut dengan gagasan pemikiran Islam cak Nur. Misalnya saja mengenai kasus buku Fiqh Lintas Agama karya penulis-penulis Paramadina yang notabene cak Nur juga masuk di dalamnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Nurcholish Madjid juga merupakan pelanjut dari pejuang-pejuang pemikir modernis Islam di masa lampau. Menurutnya “Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik”. Daya tarik Nurcholish Madjid sebenarnya terletak dalam gagasannya mengenai rasionalisasi, sekularisasi dan pluralisme agama. Jika konsep-konsep tersebut ditelusuri dan dicari akarnya, itu merupakan buah dari gagasannya mengenai modernisasi Islam, karena gagasan modernisasi akan melahirkan ide-ide baru sebagai buah dari modernisasi tersebut seperti rasionalisme, nasionalisme, sosialisme, deomkrasi dan lain sebagainya.[11] Jadi, ide-ide cak Nur yang “heboh intelektual” tersebut merupakan konsekwensi terhadap gagasan modernisasi Islam itu sendiri.
Sebenarnya masih banyak lagi gagasan-gagasan Nurcholish Madjid seputar masalah-masalah keislaman yang cukup menarik untuk dikaji. Namun dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan penelitian pada gagasan modernisasi Islam saja, dan akan menjalar kepada ide-ide yang berkembang disekitarnya seperti rasionalisasi, sekularisasi dan pluralitas agama. Gagasan-gagasan yang cukup menarik tersebut tentunya didukung oleh sosok Nurcholish Madjid sendiri sebagai pemikir kontemporer Islam yang cukup populer di Indonesia dan baru saja pergi meninggalkan kita semua untuk menghadap sang pencipta Allah SWT. Semoga nilai-nilai perjuangannya terhadap Islam diberi ganjaran yang setimpal
H. Penelitian Terdahulu
Sebagai pemikir muslim yang populer di Indonesia, penulis berhipotesis bahwa sudah banyak sejumlah penelitian yang telah dilakukan terhadap Nurcholish Madjid yang tersebar di seluruh Indonesia, baik penelitian itu dilakukan oleh penulis-penulis Indonesia bahkan oleh peneliti Asing. Namun dalam hal ini penelitian-penelitian tentang Nurcholish Madjid tersebut tidak dapat terdeteksi seluruhnya oleh penulis dikarenakan kesempatan dan waktu penulisan proposal yang begitu singkat. Berdasarkan penelusuran penulis ke perpustakaan-perpustakaan dan toko buku, maka penulis menemukan sebuah penelitian yang dilakukan terhadap Nurcholish Madjid, yaitu:
Aisyah, Konsep Pluralisme Agama Dalam Pemikiran Nurcholish Madjid Dan Aplikasinya Dalam Pembinaan Kerukunan Beragama Di Sumatera Utara (IAIN-SU: Tesis, 2002). Penelitian ini membahas tentang pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme agama sebagai sebuah kemajemukan yang harus sikapi dengan baik oleh umat Islam, dikaitkan dan diaplikasikan dengan pembinaan kerukunan umat beragama di Sumatera Utara.
I. Metodologi Penelitian
a. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kepada sumber primer dan sekunder. Sumber primer atau sumber pokok dalam penelitian ini, yaitu termuat dalam buku Nurcholish Madjid yang berjudul Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Sebuah buku yang berisi gagasan-gagasan Nurcholish Madjid selama lebih kurang dua dasawarsa. Buku ini berisi pemikiran-pemikirannya tentang modernisasi Islam dalam konteks keindonesiaan, juga seputar masalah-masalah atau isu yang berkembang dari konsep modernisasi Islam itu sendiri seperti rasionalisasi, sekularisasi dan seterusnya.
Sedangkan sumber sekunder adalah sumber pendukung terhadap sumber pokok, yaitu sumber atau referensi baik dalam tulisan Nurcholish Madjid sendiri, maupun dari tulisan orang lain mengenai modernisasi Islam secara umum serta pembahasan-pembahasan yang bersinggungan dengan gagasan Nurcholish Madjid mengenai modernisasi Islam. Adapun sumber-sumber sekunder tersebut antara lain:
Karena berhubungan dengan seorang tokoh yang hidup dalam kurun waktu tertentu, maka secara metodologis penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) yang tercakup di dalamnya tentang biografi tokoh yang diteliti, yaitu penelitian terhadap latar belakang kehidupan tokoh dari masa kecilnya, pendidikan, orang-orang yang mempengaruhi pemikirannya, diskursus yang berkembang ketika pemikirannya muncul, kondisi politik, ekonomi, sosial budaya masa tersebut dan lain sebagainya.
Adapun dalam pencarian data, penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research) dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid sebagai sumber pokok dan sumber pendukung. Begitu juga dengan penulis-penulis lain yang berbicara mengenai gagasan Nurcholish Madjid tersebut atau yang berkaitan dengan isu-isu seputar masalah modernisasi Islam di Indonesia.
J. Sistematika Pembahasan
Dengan menggunakan pendekatan dan metode di atas, maka penelitian ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut:
Pada bab pendahuluan akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan atau batasan masalah, penegasan istilah, tujuan dan manfaat penelitian. Selanjutnya dijelaskan mengenai kajian-kajian terdahulu menyangkut pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, sumber-sumber yang digunakan, metode dan pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini.
Pada bab kedua kajian pustaka, berisi tentang hal-hal yang melatar belakangi munculnya gagasan Nurcholish Madjid tentang modernisasi Islam di Indonesia, isu-isu yang berkembang seputar modernisasi Islam seperti sekularisasi, rasionalisasi, pluralitas agama dan seterusnya. Bab ini juga akan menjelaskan tentang kehidupan Nurcholish Madjid yang terdiri dari; riwayat hidup, perkembangan intelektual, dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiriannya.
Selanjutnya pada bab tiga, akan dijelaskan tentang metode dan pendekatan yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid dalam menganalisa fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat Islam Indonesia sehingga melahirkan gagasan mengenai modernisasi Islam.
Pada bab empat akan berisi kesimpulan dari penelitian dan analisis peneliti mengenai gagasan Nurcholish Madjid tentang modernisasi Islam di Indonesia.
Referensi
[1] Inventarisasi: membaca dan mempelajari secara luas dan mendalam pemikiran seorang tokoh sehingga dapat diuraikan setepat dan sejelas mungkin. Hal ini sangat urgen dilakukan karena untuk mengetahui pemikiran seorang tokoh akan sukar dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pemahaman yang mendalam terhadap objek yang diteliti. Lihat; George J Moily, The Science of Education Research, American Book Company, New York, 1963, h. 226
[2] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, h. 622
[3] Lihat; Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI-Press, Jakarta, 1985, h. 24
[4] Ibid.,
[5] Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, Cet. Ke-5, 1998, h. 181
[6] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Pustaka, Tentang Transformasi Intelektrual Bandung, 1985, h. 52
[7] Harun Nasution, Islam Rasional., h. 186
[8] Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Responses To “New Order” Modernisation In Indonesia, Terj. Ahmadi Thaha, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 30
[9] Ibid., h. 14
[10] Lihat tulisan Nurcholish Madjid dalam Majalah Panji Masyarakat, no. 51, Pebruari 1970, h. 5-6
[11] Harun Nasution, Islam Rasional., h. 182
Paham semacam ini menjadikan sebagian generasi muda Muslim jauh dari ajaran agama dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas agama sehingga perbuatan-perbuatan maksiat dianggap sebagai hal yang biasa dan harus dicoba, dan ketika sudah berusia tua, barulah tiba masa bertobat. Belum lagi terjadinya tindak kekerasan dan kerusakan moral pada generasi muda Islam, menjadikan generasi Muslim sunyi dan jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Ketika ia menyadari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya selama ini, atau karena sudah merasa lanjut usia dan kini tiba waktunya untuk bertobat, maka lagi-lagi, jalan yang dapat ditempuh untuk menenangkan jiwa dan ingin dekat dan bertobat di hadapan Tuhan, adalah dengan jalan tasawuf. Ketika ia mengikuti pola-pola sufisme klasik dengan menjadi seorang salik dan ikut dalam organisasi tarekat, cenderung ada keengganan untuk kembali ke masyarakat. Tidak mau terjun hadir dan ikut berpartisipasi dalam menghadapi masalah-masalah bersama, atau untuk membantu masyarakat yang memang membutuhkan bantuannya. Dengan kata lain, ketika ia ingin bertobat dan ingin mendapatkan ketenangan batin dengan jalan tasawuf klasik, maka yang ia dapatkan adalah kesalehan individual dan bukan kesalehan sosial.
Paham yang diajarkan dalam tasawuf klasik pada kenyataannya menjadikan umat Muslim lebih mementingkan yang hakikat daripada syari’at, atau lebih mementingkan urusan akhirat ketimbang urusan dunia. Pola-pola tasawuf ortodoks ini telah berabad-abad dibudidayakan dalam masyarakat Muslim. Akibatnya, umat Islam jadi tertinggal dibanding dengan umat-umat lainnya karena lebih mementingkan urusan akhirat dan cenderung menjauhi urusan dunia. Pantaslah jika sebagian pemikir mengatakan bahwa tasawuf telah mengakibatkan umat Islam mundur dan terbelakang…? (mana referensinya)
Di sinilah perlu diketengahkan mengenai konsep neo-sufisme karena ide terpenting dari neo-sufisme adalah tawazun atau keseimbangan, yaitu keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara kesalihan individu dan kesalihan sosial.
Tetapi saat sekarang, neo-sufisme dapat dikatakan belum memiliki kejelasan secara konsep dan prakteknya atau belum begitu dikenal dalam sehingga dapat dipakai dalam kehidupan masyarakat Muslim sekarang. Masyarakat Muslim masih cenderung mengikuti pola-pola tasawuf klasik yang sudah jelas konsep dan amalannya.
Neo-sufime yang merupakan gerakan “reformasi” sufisme terdahulu atau pembaruan sufisme ortodoks, digagas pertama kali oleh Al-Ghazali. Landasan pikir yang dikembangkannya adalah apa yang dikenal dengan istilah syari`at, thariqat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Artinya bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses gradual dan kumulatif antara syari`at dan sufisme. Sebelum memasuki dunia tasawuf, harus lebih dahulu memahami syari`at secara benar dan mendalam. Kemudian menjalani proses thariqat. Thariqat adalah semacam sistem esoteris yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi, yakni hakikat. (A. Rivay Siregar, h. 246)
Terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir Muslim kontemporer, yakni Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul “Islam”. Sebelum Fazlur, sebetulnya di Indonesia, Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern yang digagasnya dalam sebuah buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Tetapi dalam buku ini tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan buku ini, terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal uzlah. Kalau al-Gazali mensyaratkan `uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar seseorang yang mencari kebenaran hakiki untuk tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. (Rivay, h. 248)
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
- Bagaimanakah konsep Neo-sufisme yang berkembang dalam dunia tasawuf?
Berbagai pertanyaan di atas merupakan beberapa hal sentral yang menjadi pokok permasalahan dalam konsep Neo-sufisme. Dalam penelitian ini nantinya akan merujuk pada tulisan-tulisan yang berkaitan dengan masalah tersebut, di antaranya:
1. Hamka, Tasawuf Modern
2. Ahmad Rivay Siregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme
3. Fazlur Rahman, Islam
4. Sulaiman Tebba, Tasawuf Positif
5. Seyyed Hossein Nasr, Spirituality in Modern World
6. dan beberapa buku lain yang dianggap mendukung.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagaimana dijelaskan terdahulu, bahwa penelitian ini membahas sebuah konsep yang masih perlu diperjelas lagi. Untuk itu, tujuan penelitian ini hanya memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah dibatasi pada rumusan masalah yang mengacu pada inventarisasi,[1] yakni mengumpulkan semua karya literatur dan karya tulis yang berkaitan dengan konsep Neo-sufisme, kemudian berupaya untuk merumuskannya dengan metodologi yang jelas agar menjadi gagasan yang lebih utuh dan sistematis.
Adapun manfaat penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian ilmiah dan berfikir secara kritis dan sistematis. Sejajar dengan itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran terhadap perkembangan khazanah ilmu pengetahuan Islam khususnya dalam pemikiran tasawuf di Indonesia.
D. Batasan Istilah
Judul penelitian ini adalah “Neo-sufisme: Konsep dan prospeknya di Dunia Islam Modern”. Judul penelitian ini mencakup beberapa istilah kunci yaitu Neo-sufisme, konsep, prospek, dunia Islam, dan modern. Perlunya penegasan dan pembatasan istilah guna menghindari kesimpang siuran pemahaman terhadap penelitian ini.
Konsep dapat diartikan….
Prospek dapat diartikan….
Dunia Islam ialah….
Modern artinya “terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berfikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman”.[2]
Sementara itu, Islam merupakan sebuah agama yang berisi ajaran-ajaran yang diturunkan Allah SWT kepada manusia melalui nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rasul pembawa ajaran tersebut.[3] Islam juga mengambil bentuk sikap penyerahan diri seluruhnya kepada kehendak Allah SWT atas segala kehendaknya.[4]
E. Kajian Terdahulu
F. Metodologi Penelitian
G. Garis Besar Isi Tesis
Latar belakanng Masalah
Istilah modernisasi, seperti beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang telah dipakai dan masuk kedalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini merupakan gerakan yang muncul antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M., suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaaan akal.[5] Modernisasi Eropa tersebut merupakan sebuah aliran, gerakan atau paham yang berusaha mengubah adat istiadat atau institusi-institusi lama dan sebagainya, agar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Ketika istilah modernisasi masuk dan diadopsi kedalam dunia Islam pada zaman modern ini, oleh para tokoh dan pemikir terkadang istilah tersebut sering dibolak-balik menjadi Islam modern, modernisme Islam, modernitas dalam Islam dan dalam bentuk lainnya. Dalam hal ini, istilah-istilah tersebut sebenarnya mempunyai makna yang sama dan selaras maksudnya dengan modernisasi Islam. jadi, istilah ini merupakan istilah yang sering digaungkan dan didengungkan oleh para pemikir Islam untuk memperbaharui realitas-realitas yang terjadi pada masyarakat Islam sekarang. Lantas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah; bagaimana sebenarnya kondisi umat Islam sekarang? dan perlukah Islam itu dimodernisasi?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka ada baiknya jika kita melihat langsung kepada realitas yang terjadi pada umat Islam saat ini. Salah satu realitas yang dapat ditunjukkan adalah bahwa umat Islam saat sekarang merupakan masyarakat yang menempati posisi di bawah masyarakat Barat (Eropa) dalam berbagai bidang kehidupan. Berbicara tentang peradaban yang maju, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga kalah dari mereka. Ada apa sebenarnya dengan Islam? sehingga banyak para pemikir Islam yang mengernyitkan dahinya untuk memikirkan hal ini sampai mencari solusinya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa umat Islam mundur karena masih berkutat dengan sistem atau pola-pola tradisional yang ortodok. Sistem yang dipakai khususnya berkaitan dengan pemahaman keagamaan atau pola fikir umat Islam sudah usang dan tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman modern. Mungkin hal tersebut ada benarnya, karena itu, modernisasi nampaknya kembali digalakkan oleh para pemikir muslim untuk menjadikan umat Islam sebagai umat yang memiliki kedinamisan dan mampu bertahan dengan berbagai tuntutan zaman yang semakin kompleks.
Jika melihat kondisi umat Islam yang ada di Indonesia, maka akan semakin jelas bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia masih berkutat dalam pola-pola dan tradisi lama. Pemahaman mengenai dogma-dogma yang masih tradisional nampaknya masih terus dipelihara dan dipertahankan. Fazlur Rahman dalam penelitiannya mengatakan bahwa orang-orang Indonesia yang pergi ke Makkah dan tinggal bertahun-tahun di sana dan mengembangkan intelektualisme Islam ortodoks-terutama teologi ortodoks dan hadis,[6] ketika kembali ke Indonesia, mulai menyebarkan ilmu-ilmu mereka di pesantren-pesantren, yang sedikit demi sedikit berkembang menjadi madrasah. Alumni-alumninya kemudian kembali ke masyarakat dan mengembangkan ilmu-ilmu klasik yang kebanyakan berisi dogma-dogma yang tidak akliah (rasional), saya dalam hal ini tidak menyatakan bahwa pola-pola tradisional tersebut buruk dan tidak baik (pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh ulama-ulama klasik itu sangat jenius dan mampu bertahan dalam kurun waktu yang panjang) namun ada masanya di mana paham-paham (pendapat) klasik tersebut tidak dapat merespon berbagai persoalan zaman yang semakin kompleks.
Studi mengenai Islam modern, sebenarnya mencakup fikiran-fikiran, persoalan-persoalan dan gerakan yang timbul di dunia Islam modern sebagai akibat dari kontak yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam. Harun Nasution menyebutkan bahwa dalam usaha modernisasi itu, umat Islam sampai sekarang masih lebih banyak berkaitan dengan aspek dari material dari kemajuan barat seperti alat-alat industri, ekonomi, pendidikan, pers dan lain-lain, dari pada aspek spiritual dan mentalnya.[7] Jadi secara lahiriah umat Islam saat sekarang telah menjadi modern, tapi secara batiniah atau mental masih banyak yang bersifat tradisional, belum ada keseimbangan antara aspek material dengan aspek mental dalam upaya melakukan modernisasi ini.
Mungkin, sebuah contoh yang bisa dikemukakan untuk mendukung pernyataan Harun nasution tersebut, bahwa masyarakat Islam khususnya di Indonesia cenderung masih belum bisa menerima banyak kebenaran. Kebenaran masih dipandang dari satu segi saja. Apabila berbeda dan melangkahi tuntunan dari agama secara normatif, maka sudah dianggap salah dan bid’ah (mengada-ada), ini masih banyak terjadi di Indonesia. Belum lagi masalah-masalah yang berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan, cenderung masih sangat rentan ada pernyataan “saya yang benar dan mereka itu salah”
Salah satu pemikir Islam yang respon dengan hal tersebut adalah Nurcholish Madjid. Pemikiran modern Nurcholish Madjid sudah dikenal pada tahun 1970-an. Modernisasi baginya identik dengan “rasionalisasi”. Bagi seorang muslim, katanya, modernisasi adalah sebuah keharusan, bahkan suatu kewajiban mutlak. Dalam arti rasionalisasi adalah kewajiban agama, karena diperintah oleh tuhan.[8] Akan tetapi pemikirannya setelah tahun 1970-an dianggap sebagai momentum lahirnya gerakan pembaharuan pada sebagian pemuda muslim yang sangat radikal dalam pemikiran regio-politik Islam di masa orde baru Indonesia.[9]
Ide-ide pembaruan dikemukakan secara formal pertama kali dalam suatu makalah yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970 dengan judul “Keharusan pembaharuan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat”. Makalah ini dibacakan dalam rangka silaturahmi Idul fitri atau halal bil halal yang diadakan bersama oleh empat organisasi pemuda dan mahasiswa muslim terkemuka, HMI, GPI, PII, dan PERSAMI. Makalah tersebut berisii lima poin, yaitu: 1) Pendahuluan, 2) Islam Yes, Partai Islam No, 3) Kwantita versus kwalita, 4) Liberalisasi pandangan terhadap “ajaran Islam” sekarang, yang terbagi kepada: sekularisasi, kebebasan berfikir, dan sikap terbuka (idea of progress), dan 5) Diperlukan kelompok pembaharuan yang liberal.[10]
Berdasarkan realitas tersebut, tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid yang akrab disapa “Cak Nur” masuk kedalam kategori pemikir neo-modernis Islam di Indonesia. Pemikiran dan gagasannya banyak dikagumi sekaligus dicaci maki oleh banyak orang. Meminjam istilah profesor Syahrin, maka Nurcholish Madjid merupakan tipe seorang shocker (pembuat kejutan) terhadap gagasan-gagasan yang diboomingkannya. Ketika umat Islam seolah-olah sedang terbuai dalam tidur nyenyak, dibuat terpelanting dari tempat tidurnya karena terkejut dengan gagasan pemikiran Islam cak Nur. Misalnya saja mengenai kasus buku Fiqh Lintas Agama karya penulis-penulis Paramadina yang notabene cak Nur juga masuk di dalamnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Nurcholish Madjid juga merupakan pelanjut dari pejuang-pejuang pemikir modernis Islam di masa lampau. Menurutnya “Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik”. Daya tarik Nurcholish Madjid sebenarnya terletak dalam gagasannya mengenai rasionalisasi, sekularisasi dan pluralisme agama. Jika konsep-konsep tersebut ditelusuri dan dicari akarnya, itu merupakan buah dari gagasannya mengenai modernisasi Islam, karena gagasan modernisasi akan melahirkan ide-ide baru sebagai buah dari modernisasi tersebut seperti rasionalisme, nasionalisme, sosialisme, deomkrasi dan lain sebagainya.[11] Jadi, ide-ide cak Nur yang “heboh intelektual” tersebut merupakan konsekwensi terhadap gagasan modernisasi Islam itu sendiri.
Sebenarnya masih banyak lagi gagasan-gagasan Nurcholish Madjid seputar masalah-masalah keislaman yang cukup menarik untuk dikaji. Namun dalam penelitian ini, penulis akan memfokuskan penelitian pada gagasan modernisasi Islam saja, dan akan menjalar kepada ide-ide yang berkembang disekitarnya seperti rasionalisasi, sekularisasi dan pluralitas agama. Gagasan-gagasan yang cukup menarik tersebut tentunya didukung oleh sosok Nurcholish Madjid sendiri sebagai pemikir kontemporer Islam yang cukup populer di Indonesia dan baru saja pergi meninggalkan kita semua untuk menghadap sang pencipta Allah SWT. Semoga nilai-nilai perjuangannya terhadap Islam diberi ganjaran yang setimpal
H. Penelitian Terdahulu
Sebagai pemikir muslim yang populer di Indonesia, penulis berhipotesis bahwa sudah banyak sejumlah penelitian yang telah dilakukan terhadap Nurcholish Madjid yang tersebar di seluruh Indonesia, baik penelitian itu dilakukan oleh penulis-penulis Indonesia bahkan oleh peneliti Asing. Namun dalam hal ini penelitian-penelitian tentang Nurcholish Madjid tersebut tidak dapat terdeteksi seluruhnya oleh penulis dikarenakan kesempatan dan waktu penulisan proposal yang begitu singkat. Berdasarkan penelusuran penulis ke perpustakaan-perpustakaan dan toko buku, maka penulis menemukan sebuah penelitian yang dilakukan terhadap Nurcholish Madjid, yaitu:
Aisyah, Konsep Pluralisme Agama Dalam Pemikiran Nurcholish Madjid Dan Aplikasinya Dalam Pembinaan Kerukunan Beragama Di Sumatera Utara (IAIN-SU: Tesis, 2002). Penelitian ini membahas tentang pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme agama sebagai sebuah kemajemukan yang harus sikapi dengan baik oleh umat Islam, dikaitkan dan diaplikasikan dengan pembinaan kerukunan umat beragama di Sumatera Utara.
I. Metodologi Penelitian
a. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kepada sumber primer dan sekunder. Sumber primer atau sumber pokok dalam penelitian ini, yaitu termuat dalam buku Nurcholish Madjid yang berjudul Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Sebuah buku yang berisi gagasan-gagasan Nurcholish Madjid selama lebih kurang dua dasawarsa. Buku ini berisi pemikiran-pemikirannya tentang modernisasi Islam dalam konteks keindonesiaan, juga seputar masalah-masalah atau isu yang berkembang dari konsep modernisasi Islam itu sendiri seperti rasionalisasi, sekularisasi dan seterusnya.
Sedangkan sumber sekunder adalah sumber pendukung terhadap sumber pokok, yaitu sumber atau referensi baik dalam tulisan Nurcholish Madjid sendiri, maupun dari tulisan orang lain mengenai modernisasi Islam secara umum serta pembahasan-pembahasan yang bersinggungan dengan gagasan Nurcholish Madjid mengenai modernisasi Islam. Adapun sumber-sumber sekunder tersebut antara lain:
- Karya-karya Nurcholish Madjid; Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), Perspektif Kebangkitan Islam Abad ke-21 (Jurnal Ulumul Qur’an), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta, Paramadina, 1994), Islam Doktrin Dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan (Jakarta, Paramadina, 1992), Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta, Paramadina, 1995) dan lain sebagainya.
- Abdurrahman Wahid, dkk, Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1993) Fazlur Rahman, Islam And Modernitas, Transformation Of An Intellectual Tradition (Chicago, University Of Chicago Press, 1982) dan lain sebagainya.
Karena berhubungan dengan seorang tokoh yang hidup dalam kurun waktu tertentu, maka secara metodologis penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) yang tercakup di dalamnya tentang biografi tokoh yang diteliti, yaitu penelitian terhadap latar belakang kehidupan tokoh dari masa kecilnya, pendidikan, orang-orang yang mempengaruhi pemikirannya, diskursus yang berkembang ketika pemikirannya muncul, kondisi politik, ekonomi, sosial budaya masa tersebut dan lain sebagainya.
Adapun dalam pencarian data, penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research) dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid sebagai sumber pokok dan sumber pendukung. Begitu juga dengan penulis-penulis lain yang berbicara mengenai gagasan Nurcholish Madjid tersebut atau yang berkaitan dengan isu-isu seputar masalah modernisasi Islam di Indonesia.
J. Sistematika Pembahasan
Dengan menggunakan pendekatan dan metode di atas, maka penelitian ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut:
Pada bab pendahuluan akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan atau batasan masalah, penegasan istilah, tujuan dan manfaat penelitian. Selanjutnya dijelaskan mengenai kajian-kajian terdahulu menyangkut pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, sumber-sumber yang digunakan, metode dan pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini.
Pada bab kedua kajian pustaka, berisi tentang hal-hal yang melatar belakangi munculnya gagasan Nurcholish Madjid tentang modernisasi Islam di Indonesia, isu-isu yang berkembang seputar modernisasi Islam seperti sekularisasi, rasionalisasi, pluralitas agama dan seterusnya. Bab ini juga akan menjelaskan tentang kehidupan Nurcholish Madjid yang terdiri dari; riwayat hidup, perkembangan intelektual, dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiriannya.
Selanjutnya pada bab tiga, akan dijelaskan tentang metode dan pendekatan yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid dalam menganalisa fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat Islam Indonesia sehingga melahirkan gagasan mengenai modernisasi Islam.
Pada bab empat akan berisi kesimpulan dari penelitian dan analisis peneliti mengenai gagasan Nurcholish Madjid tentang modernisasi Islam di Indonesia.
Referensi
[1] Inventarisasi: membaca dan mempelajari secara luas dan mendalam pemikiran seorang tokoh sehingga dapat diuraikan setepat dan sejelas mungkin. Hal ini sangat urgen dilakukan karena untuk mengetahui pemikiran seorang tokoh akan sukar dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pemahaman yang mendalam terhadap objek yang diteliti. Lihat; George J Moily, The Science of Education Research, American Book Company, New York, 1963, h. 226
[2] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, h. 622
[3] Lihat; Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI-Press, Jakarta, 1985, h. 24
[4] Ibid.,
[5] Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, Cet. Ke-5, 1998, h. 181
[6] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Pustaka, Tentang Transformasi Intelektrual Bandung, 1985, h. 52
[7] Harun Nasution, Islam Rasional., h. 186
[8] Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Responses To “New Order” Modernisation In Indonesia, Terj. Ahmadi Thaha, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 30
[9] Ibid., h. 14
[10] Lihat tulisan Nurcholish Madjid dalam Majalah Panji Masyarakat, no. 51, Pebruari 1970, h. 5-6
[11] Harun Nasution, Islam Rasional., h. 182