Makalah Biografi B.J Habibie
( Analisa tentang Pemikiran Baharuddin Joesoef Habibie | Pendekatan Kultural dan Struktural )
BAB I
PENDAHULUAN
'`Pendekatan lslami" yang muncul dari pemikir Islam, sebagai pendekatan alternatif dari pendekatan Barat yang materialis dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong kebangkitan kembali umat Islam. Tokoh dunia Islam kontemporer yang mempelopori pendekatan ini, Ismail Raji al-Faruqi, memandang selama ini landasan untuk mencari, mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya didasari oleh akal semata dan mengabaikan wahyu. Pendekatan ini telah menimbulkan ketidakadilan sehingga timbul upaya untuk memperkenalkan kembali cara Islami yang pernah menghantarkan umat Islam berjaya di abad pertengahan.[1]
Pandangan dan langkah ini ditemukan pula di Indonesia. Habibie dengan organisasi keislamannya, ICMI, berupaya mensinergikan nilai agama dan ilmu pengetahuan modern untuk menghindari terlucutinya nilai-nilai insani akibat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak seimbang. Pemikiran kedua tokoh ini mempunyai banyak persamaan yang dapat melengkapi khususnya untuk program mengembangkan Sumber Daya Manusia melalui metode yang tidak menyanipingkan aspek moral/agama dengan ilmu terapan.
Lebih lanjut lagi, Habibie kemudian juga tidak meninggalkan pendekatan struktural dalam memahami persoalan-persoalam masyarakat muslim, namun menggabungkan kedua pendekatan tersebut. Makalah ini akan mencoba menguraikan pendekatan yang digunakan oleh B.J Habibie tersebut, yakni gabungan pendekatan kultural dan struktural.
BAB II
PEMBAHASAN
Biografi B.J Habibie dan Pemikirannya
A. Biografi B.J Habibie
B.J Habibie atau dengan nama lengkapnya yaitu Prof. Dr.Ir. Dr. Sc. H.C. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie lahir tanggal 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan Indonesia. Anak ke empat dari delapan bersaudara dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardoyo. Dia hanya satu tahun kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) karena pada tahun 1955 dia dikirim oleh ibunya belajar di Rheinisch Westfalische Technische Honuchscule, Aschen Jerman.
B.J. Habibie menikahi dr. Hasri Ainun Besari, anak ke empat dari delapan bersaudara keluarga H. Mohammad Besari, pada tanggal 12 Mei tahun 1962 dan dikaruniai dua orang putra dengan lima orang cucu.
Setelah menyelesaikan kuliahnya dengan tekun selama lima tahun, B.J. Habibie memperoleh gelar Insinyur Diploma dengan predikat Cum Laude di Fakultas Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Udara. Pemuda Habibie adalah seorang muslim yang sangat alim yang selalu berpuasa Senin dan Kamis. Kejeniusannya membawanya memperoleh Gelar Doktor Insinyiur di Fakultas Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Udara dengan predikat Cum Laude tahun 1965.
B.J. Habibie memulai kariernya di Jerman sebagai Kepala Riset dan Pembangunan Analisa Struktur Hamburger Flugzeugbau Gmbh, Hamburg Jerman (1965-1969). Kepala Metode dan Teknologi Divisi Pesawat Terbang Komersial dan Militer MBB Gmbh, Hamburg dan Munchen (1969-1973). Wakil Presiden dan Direktur Teknologi MBB Gmbh Hambur dan Munchen (1973-1978), penasehat teknologi senior untuk Direktur MBB bidang luar negeri (1978). Pada tahun 1977 dia menyampaikan orasi jabatan guru besarnya tentang konstruksi pesawat terbang di ITB Bandung.
Tergugah untuk melayani pembangunan bangsa, tahun 1974 B.J. Habibie kembali ke tanah air, ketika Presiden Soeharto memintanya untuk kembali. Dia memulai kariernya di tanah air sebagai Penasehat Pemerintah Indonesia pada bidang teknologi tinggi dan teknologi pesawat terbang yang langsung direspon oleh Presiden Republik Indonesia (1974-1978). Pada tahun 1978 dia diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi merangkap sebagai kepala BPPT. Dia memegang jabatan ini selama lima kali berturut-turut dalam kabinet pembangunan hingga tahun 1998.
Sebelum masyarakat Indonesia menggelar pemilihan umum tahun 1997, Habibie menyampaikan kepada keluarga dan kerabatnya secara terbatas bahwa dia merencanakan berhenti dari jabatan selaku menteri setelah Kabinet Pembangunan Enam berakhir. Namun, manusia merencanakan Tuhan yang menentukan. Tanggal 11 Maret 1998, MPR memilih dan mengangkat B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ketujuh.
Pada saat bersamaan, krisis ekonomi melanda kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, dan hal itu segera berdampak pada krisis politik dan krisis kepercayaan. Kriris berubah menjadi serius dan masyarakat mulai menuntut perubahan dan akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Sesuai pasal 8 UUD 1945, pada hari yang sama, sebelum itu, B.J. Habibie diambil sumpah jabatannya sebagai Presiden oleh Ketua Mahkamah Agung RI.
Presiden B.J. Habibie memegang jabatan presiden selama 518 hari dan selama masa itu, dibawah kepemimpinannya Indonesia tidak hanya sukses menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur dan adil pertama kali tanggal 7 Juni 1999, tetapi juga sukses membawa perubahan yang signifikan terhadap stabilitas, demokratis dan reformasi.
Prof. B.J. Habibie mempunyai medali dan tanda jasa nasional dan internasional, termasuk ‘Grand Officer De La Legium D’Honour, hadiah tertinggi dari Pemerintah Perancis atas konstribusinya dan pembangunan industri di Indonesia pada tahun 1997; ‘Das Grosskreuz’ medali tertinggi atas konstribusinya dalam hubungan Jerman-Indonesia tahun 1987; ‘Edward Warner Award, pemberian dari Dewan Eksekutif Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) pada tahun 1994; ‘Star of Honour ‘Lagran Cruz de la Orden del Merito Civil dari Raja Spanyol tahun 1987. Dia juga menerima gelar doktor kehormatan dari sejumlah universitas, seperti Institut Teknologi Cranfield, Inggris; Universitas Chungbuk Korea dan beberapa universitas lainnya.
Selama kariernya, dia memegang 47 posisi penting seperti Direktur Presiden IPTN Bandung, Presiden Direktur PT PAL Surabaya, Presiden Direktur PINDAD, Ketua Otorita Pembangunan Kawasan Industri Batam, Kepala Direktur Industri Strategis (BPIS) dan Ketua ICMI. Sampai sekarang, ia masih menjabat sebagai Presiden Forum Islam Internasional dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan pengembangan SDM sejak tahun 1977, Penyantun dan Ketua Habibie Centre untuk urusan luar negeri sejak tahun 1999.
Dia juga anggota beberapa institusi non pemerintah internasional seperti Dewan Gerakan Internasional sejak tahun 2002, sebuah LSM yang beranggotakan kurang lebih 40 orang mantan presiden dan Perdana Menteri dari beberapa negara. Dia juga anggota pendiri Perkumpulan Islam Internasional Rabithah ‘Alam Islam sejak tahun 2001 yang bermarkas besar di Mekkah, Saudi Arabia. Dari semua organisasi yang disebutkan sebagian besar telah meminta Habbie menjadi salah satu pendiri Asosiasi Etika Internasional, Politik dan Ilmu Pengetahuan yang telah berdiri pada tanggal 6 Oktober tahun 2003 di Bled Slovenia yang anggotanya terdiri dari negarawan dan ilmuwan dari sejumlah negara.
Aktivitas sebelumnya terlibat dalam proyek perancangan dan desain pesawat terbang seperti Fokker 28, Kendaraan Militer Transall C-130, Kendaraan Pesawat Terbang yang terbang dan mendarat secara vertikal, CN-235, dan pesawat terbang pemadam kebakaran N-250. Dia juga termasuk perancang dan desainer yang jlimet Helikopter BO-105, Pesawat Terbang Tempur segala arah, beberapa missil dan proyek satelit. Prof B.J Habibie mempublikasikan 48 karya imiah ilmu pengetahuan dalam bidang Thermo dinamik, Konstruksi, Thermo Instalasi Udara dinamik.[2] Dengan persetujuan Soeharto, Habibie mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1990. ICMI adalah pusat untuk pengusaha non-China atau pribumi, yang benci akan kekayaan dan pengaruh dari keluarga etnis China yang kaya. ICMI mempunyai bank sendiri dan koran harian yang diberi nama Republika.
B. Penggabungan Pendekatan Kultural dan Struktural Dalam Memajukan Masyarakat Muslim
Menurut Habibie, ada berbagai pendekatan yang bisa digunakan dalam menyelesaikan berbagai persoalan, baik politik, ekonomi dan sosial. Menurut Dr. Watik, pada saat menghadapi berbagai persoalan bangsa dan harus mengambil keputusan di berbagai aspek, Habibie seolah menggunakan pendekatan yang tidak lazim. Pendekatan yang dilakukan, antara lain pendekatan aproximasi, yakni dalam mencapai tujuan, BJ Habibie melakukan pendekatan demi pendekatan yang bertahap namun konsisten. Selain itu, Habibie juga menggunakan pendekatan dialogis.
Hal ini dapat dilihat saat menghadapi konflik dengan Timor Timur, B.J. Habibie tidak segan-segan melakukan dialog dengan Uskup Bello, yang tujuannya adalah untuk mendapatkan pengertian serta menyelesaikan konflik bersama-sama.[3] Dalam ruang lingkup yang lebih khusus, yakni menyoal permasalahan masyarakat muslim, khususnya muslim Indonesia, Habibie mengedepankan berbagai pendekatan seperti pendekatan struktural dan kultural.
1. Pendekatan Struktural
Dalam pergulatan teorisasi ilmu sosial mapan, pendekatan struktural amat digemari dalam kajian-kajian akademis. Pendekatan sturuktural telah menempati tempat penting dalam teori penelitian kemasyarakatan. Selain itu, kurikulum-kurikulum sekolah kelihatannya sangat antusias menyebarkan misi-misi strukturalisme. Sasaran utama pendekatan struktural adalah tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan sistem kehidupan, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek struktural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk menikmati keserjahteraan hidup.[4]
Tidak bisa dimungkiri kalau rumusan masalah sosial yang berlaku secara umum adalah masalah yang selalu ditimbulkan kerawanan kelas sosial rendah. Walaupun terjadi penolakan keras terhadap teori kelas ala Marxian, kenyataan "penyakit sosial" selalu beralamat pada masyarakat-masyarakat pinggiran yang struktur sosialnya mapan dalam kemarginalan.
Pendekatan struktural melekat masalah pada struktur kehidupan yang ada di masyarakat sebagai sumber terjadinya konflik, kekerasan, atau peperangan. Adanya Strata didalam kehidupan bermasyarakat dapat menjadi sumber pertikaian; apabila Strata tersebut menjadi sumber ketidak adilan.
stratifikasi Sosial, seperti golongan kaya, golongan menengah, dan golongan miskin dapat menjadi sumber bentrokan apabila tidak adilnya distribusi hasil-hasil pembangunan, ledakan sosial yang manifestasinya berupa kekerasan dapat mudah terjadi.[5]
Dalam hal analisis sosial, penyakit sosial yang dianggap sebagai penyakit masyarakat juga didominasi model hierarkis yang melihat kelas bawah sebagai sumber kerawanan sosial. Di sini, praktek-praktek prostitusi menjadi sangat tercela, tapi anehnya menjadi gejala nyata, aksi buru sergap (buser) yang menyisir tempat-tempat kelas kumuh kota, dan penggerebekan sarang-sarang narkotik kelas ringan menjadi kenampakan keseharian mengenai masalah sosial. Masih banyak lagi contoh lain yang nilai siklus akhirya adalah warna pinggiran.
Pendekatan struktural seperti yang digunakan oleh Habibie berangkat dari memandang dan menilai seluruh struktur yang ikut membangun masyarakat muslim., baik keluarga, strata masyarakat sosial seperti ulama, pendidikian dan berbagai struktur lainnya.
Yang menjadi perhatian utama Habibie adalah masalah yang dihadapi masyarakat muslim, khususnya Indonesia terkait dengan SDM (sumber daya manusia). Problem yang SDM masyarakat muslim yang lemah menjadikan masyarakat muslim terbelakang dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Menganalisa faktor sumber daya masyarakat muslim selalu terkait dengan masalah pendidikan sebagai faktor utama, teknologi dan ekonomi.
Mendekati faktor pendidikan dengan menggunakan faktor struktural akan mengantari kita kepada struktur pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat muslim di Indonesia baik pendidik, sistem dan sarana pendidikan tersebut. Terlepas dari apa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan pendidikan masyarakat muslim Indonesia, pendekatan struktural sebagai salah satu bagian pendekatan yang digunakan oleh Habibie, mengantarnya kepada analisa terhadap seluruh struktur pendidikan masyarakat muslim Indonesia.
Masalah lain yang tidak kalah diperhatikan oleh Habibie adalah masalah teknologi. Perhatian Habibie dalam masalah ini selalu terlihat ketika ia berbicara tentang program perubahan kemajuan masyarakat, baik dalam pidato[6] atau dialog-dialognya. Perhatian Habibie yang begitu besar terhadap masalah ini dapat dimaklumi mengingat beliau adalah seorang pakar teknologi terkemuka di Indonesia.
Terkait dengan masalah ekonomi, sebagai seorang yang pernah menjabat sebagai presiden, tentu ia harus mempunyai titik pandang yang luas dalam melihat berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Perhatian besar Habibie terhadap ekonomi tampaknya merupakan pengaruh dari pengalamannya selama menjabat sebagai pejabat negara khususnya presiden.
2. Pendekatan Kultural
Pendekatan kultural adalah pendekatan yang menginginkan konkretisasi dalam mendekati kebudayaan. Pendekatan kultural adalah sistem pandang terhadap sebuah objek bertolak dari kacamata kebudayaan. Ciri dari pendekatan kultural adalah menenun, merajut, dan merawat kehidupan yang bersifat sintetis dan dinamis.[7]. Pendekatan kultural langsung berakar pada kehidupan masyarakat setempat. Karena itu dalam memahami persoalan kemasyarakatn pemakaian pendekatan kultural sangat perlu diintensifkan dalam penyelesaian berbagai masalah. Urgensi pendekatan kultural terlihat ketika berbagai pendekatan seperti rasional dan struktural tidak bisa menjelaskan sebuah masalah yang terjadi dengan baik.
Kelemahan pendekatan struktural dalam memandang sebuah masalah terlihat ketika masalah tersebut berakar dari permasalahan kultur atau kebudayaan bukan berasal dari struktur yang membangun masyarakat tersebut. Karena manusia hidup dalam kebudayaan (termasuk agama) yang diciptakannya sendiri yang merupakan sistem jaring makna yang membuat manusia mempunyai makna hidup.[8]
Sama halnya dengan pendekatan lainnya, pendekatanan kultural juga mendapatkan beberapa kritik seperti pendekatan kultural sering dianggap terlalu berbelit-belit. Penggunaan pendekatan itu juga harus melibatkan tokoh masyarakat setempat. Padahal, dari sejumlah pengalaman, banyak tokoh masyarakat yang enggan terlibat secara langsung dalam penyelesaian konflik karena mereka menjadi bagian dari konflik. [9]
Namun meski demikian, tampaknya pendekatan kultural harus digunakan dalam memandang permasalahan-permasalahan masyarakat yang berakar dari permasalahan kebudayaan. Menurut analisa kami bahwa Habibie membedakan antara kultur Islam dengan kultur masyarakat muslim. Kultur Islam bisa jadi dan sering menjadi kultur masyarakat muslim dan kultur masyarakat muslim bisa saja berbeda bahkan bertentangan dengan kultur Islam pada tataran normatif.
Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat muslim dalam pandangan Habibi terfokus pada masalah kemiskinan dan kebodohan (keterbelakangan informasi). Kedua masalah tersebut tidak bisa diselesaikan hanya dengan menggunakan pendekatan struktural di mana kita mencari akar dan penyebab masalah dari struktur yang membangun masyarakat apakah pemerintah atau sistem pendidikan atau sarananya dan lain sebagainya.
Pendekatan struktural semata akan melahirkan permasalahan baru di mana upaya penyelesaian masalah tidak bisa menyelasaikan dengan tuntas masalah keterbelakangan masyrakat muslim dan berbagai masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat muslim. Pendekatan yang harus diikut sertakan dalam menyelesaikan masalah tersebut seperti dalam pandangan Habibie adalah pendekatan kultural, di mana kita memandang masalah dan mencari akarnya dengan cara pandang yang bertolak dari kebudayaan.
Kebudayaan dimaksud adalah kebudayaan masyarakat setempat, bukan berarti kebudayaan Islam pada masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan adanya paradigma-paradigma, doktrin dan ajaran agama yang menjadi kultur masyarakat. Paradigma, doktrin dan ajaran agama tersebut kadang kala menjadi penghambat kemajuan masyarakat,[10] sebagaimana juga bisa digunakan sebagai faktor pendukung kemajuan itu.
Dalam hal-hal seperti inilah, pendekatan kultural sangat menentukan keberhasilan sebuah perubahan, di mana penggunaan pendekatan struktural tidak akan berfungsi dengan baik dan tidak bisa menjelaskan masalah dengan sempurna. Karena itu dibutuhkan penggabugan dan kombinasi dari dua pendekatan tersebut demi menghasilkan solusi yang efektif untuk mengatasi masalah keterbelakangan masyarakat Muslim. Hal penting lainnya yang perlu mendapat perhatian terkait dengan pendekatan kultural adalah menyoal batasan dan ikatan kultur masyarakat muslim dengan Islam itu sendiri, yakni ketika sebuah kultur bertentangan dengan ajaran normatif Islam.
BAB III
PENUTUP
Habibie berpandangan bahwa masalah utama yang dihadapi masyarakat muslim, khususnya masyarakat muslim Indonesia, adalah masalah keterbelakangan yang menyebabkan masyarakat muslim tertinggal dari masyarakat lainnya. Keterbelakangan tersebut bersumber dari berbagai faktor terutama pada pendidikan, teknologi dan ekonomi.
Dalam menanggapi dan menawarkan solusi bagi permasalahan tersebut, Habibie menggunakan sebuah kombinasi pendekatan struktural dan kultural. Pendekatan struktural digunakan untuk mendapatkan pandangan tentang masalah tersebut secara menyeluruh pada semua struktur masyarakat. Sementara pendekatan kultural digunakan untuk melengkapi pendekatan struktural ketika sebuah masalah berakar atau juga dipengaruhi oleh masalah-masalah kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
- Dhakiri, Muh. Hanif, Paulo Freire: Islam dan Pembebasan. Jakarta: Djambatan, 2000.
- Geertz, Lihat Clifford, The Interpretation of Culture, Selected Essays. New York: Basic Book, 1973.
- Habibie, B.J., Beberapa Pemikiran tentang Peran Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Masa Depan Bangsa” pidato tertulis Habibie pada www.thc.com didownload pada 20 Mei 2008.
- Lindbeck, George A., The Nature of Doctrine, Religion and Theology in a Post Liberal Age. Philadelphia: The Westminster Press, 1984.
- Nurdin, A. Fauzi, Islam dan Perubahan Sosial. Semarang: Reality Press, 2005.The Habibie Center, Bacharuddin Jusuf Habibie, Prof. Dr-Ing. Dr.Sc. H. C. Mult. Diterjemahkan oleh La Ode A. Rahman. Hannover: The Habibie Center, t.th.
Website:
- ____________, Menolong Diri Sendiri Demi Terwujudnya Dunia Baru. Paper pada www.thc.com didownload pada 20 Mei 2008.
- Hidayat, Muhammad Mansur, Pokok-Pokok Pengembangan Masyarakat Pantai. Sebuah artikel pada www.hangtuahuniversity.com didownload pada 20 Mei 2008.
- Makruf, Amar, Dimensi Pemikiran Keislaman BJ Habibie Di Dalam Mengembangkan Sumber Daya Manusia (Studi Komparatif Dengan Ismail Raji Al-Faruqi Dalam Kaitannya Dengan Pergerakan Islam Kultural Indonesia). Sebuah abstrak dalam www.digilib.ui.edu/opac/themes didownload pada 20 Mei 2008.
- www.thc.com (The Habibie Center) didownload pada 20 Mei 2008.
________________________________
[1] Amar Makruf, Dimensi Pemikiran Keislaman BJ Habibie Di Dalam Mengembangkan Sumber Daya Manusia (Studi Komparatif Dengan Ismail Raji Al-Faruqi Dalam Kaitannya Dengan Pergerakan Islam Kultural Indonesia). Sebuah abstrak dalam. http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=77997&lokasi=lokal
[2] The Habibie Center, Bacharuddin Jusuf Habibie, Prof. Dr-Ing. Dr.Sc. H. C. Mult. Diterjemahkan oleh La Ode A. Rahman (Jerman: The Habibi Center, t.th.), h. 2-17.
[3] www.thc.com (The Habibie Center) didownload pada 20 Mei 2008.
[4] Muhammad Mansur Hidayat, Pokok-Pokok Pengembangan Masyarakat Pantai. Sebuah artikel pada www.hangtuahuniversity.com didownload pada 20 Mei 2008.
[5] A. Fauzi Nurdin : Islam dan Perubahan Sosial (Semarang: Reality Press, 2005), h. 24.
[6] Seperti dalam pidato Habibie di hadapan guru besar, dosen dan mahasiswa UGM yang berjudul “Beberapa Pemikiran tentang Peran Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Masa Depan Bangsa”.. atau paper yang berjudul “Menolong Diri Sendiri Demi Terwujudnya Dunia Baru” Didownload dari www.thc.com pada 20 Mei 2008
[7] Muh. Hanif. Dhakiri, Paulo Freire: Islam dan Pembebasan (Jakarta: Djambatan, 2000), h, 37.
[8] Lihat Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, Selected Essays, (New York: Basic Book, 1973), h. 87-125.
[9] Kompas, 12 September 2007
[10] George A. Lindbeck, The Nature of Doctrine, Religion and Theology in a Post Liberal Age, (Philadelphia: The Westminster Press, 1984). h. 16