PENDAHULUAN
Inspirasi kiri islam timbul karena melihat keberhasilan ropolusi islam di Iran, dimana rakyatnya tegak kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan rejim syah atas nama islam untuk menumpas otoriter. Maka dapatlah dilihat bahwa kiri islam adalah benteng pelindung bagi islam, yang akan mengembangkan reformasi agama.
Kiri islam berakar pada gerakan – gerakan islam kontemporer: sanusiyah, omar mokhtar di libiya, mahdiisme di sudan, ikatan ulama aljazair, yang menggabungkan repolusi nyata menentang imprialisme dan repolusi pemikiran untuk mengentaskan keterbelakangan ummat. Pemikiran Hasan Hanafi ini sangat perlu untuk dicermati dalam rangka membangun kembali turas klasik yang telah pernah mengantarkan umat ke zaman keemasannya.
Makalah kecil ini mencoba menampilkan secuil dari buah pikiran Hassan Hanafi yang berkenaan dengan judul diatas dan ruang lingkup pembahasannya adalah : Giografi Hasan Hanafi, pengertian kiri islam dan gagasannya. Kritik dan saran serta masukan dari peserta seminar dan terutama dari bapak dosen pembimbing sangat diharapkan, agar makalah ini untuk selanjutnya dapat lebih sempurna lagi. Atas perhatian dan partisipasinya penulis ucapkan terimakasih.
PEMBAHASAN
1.BIOGRAFI HASAN HANAFI
DR HASAN HANAFI adalah seorang filosof hokum islam, pemikir islam dan guru besar pada fakultas filsafat universitas kairo, ia memperoleh gelar doctor pada tahun 1996 dari Sorbonne University, paris. Kedudukan Hasan hanafi dalam masyarakat mesir merupakan contoh “intelektual” murni sebagaimana yang disebutkan dalam ijazah kesarjanaan dimana ia tidak mendirikan organisasi politik, dan bukan pemimpin langsung partai politik. Ia banyak menyerap pengetahuan barat sekaligus mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran barat, tentang ide – ide liberalisasi barat, demokrasi, resionalisme, dan pencerahan telah mempengaruhi pemikirannya. Maka ia tergolong modernis liberal. Kita dapat menengerai tiga wajah dalam memmantapkan pemikirannya di dunia islam, terutama dalam kaitannya dengan kiri islam mengupayakan menuju turas (tradisi) islam klasik melalui perannya:
· Pertama, sebagai seorang pemikir revolisoner, yang salah satu tugasnya adalah melaksanakan revollusi tauhid;
· Kedua, sebagai revormis tradisi intelektual islam;
· Ketiga, sebagai penerus gerakan al-Afgani.
2. PENGERTIAN KIRI ISLAM
Kiri islam merupakan kelanjutan al-urwa al-wutsqa dan al-manar dilihat dari keterkaitannya dengan agenda islam al afgani yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan social serta mempersatukan kaum muslimin kedalam blok islam atau blok timur. Dengan demikian kiri islam merupakan penyempurnaan agenda modern islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi sosial politik kaum muslimin.[1] Ia tidak muncul dari ruang hampa dan sesuatu yang mengada-ada dalam gerakan islam walaupun ia muncul ditengah-tengah kekosongan setelah agenda al-afgani mengalami krisis dan terdistorsi di dalam Al-Manar.
Untuk kiri islam dapat saja diberi nama “Al-Manar baru” tetapi nama itu hanya dikenal secara terbatas dikalangan pemerhati gerakan – gerakan pembaharuan. Namun semangat revolusioner al-manar telah redup. Revolusi islam telah direduksi menjadi impian masa lampau, dan repormasi mundur ke belakang, seperti yang telah dirintis ibnu taimiyah. Kiri islam kembali kepada semangat awal al-afgani, menghidupkan kembali bara apinya dan membangkitkan kembali dari ketertidurannya.
Inspirasi kiri islam timbul karena melihat keberhasilan revolusi islam di iran, dimana rakyatnya tegak kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan rejim syah atas nama islam untuk menumpas otoriter. Maka dapatlah dilihat bahwa kiri islam adalah benteng pelindung bagi islam yang akan mengembangkan repormasi agama. Kiri islam berakar pada gerakan – gerakan islam kontemporer: Sanusiyah, Omar mokhtar di Libya, Madiisme di Sudan ikatan ulama al jazair, yang menggabungkan repolusi nyata menentanng imperialisme dan repolusi pemikiran untuk mengentaskan keterbelakangan umat.
3. GAGASAN HASSAN HANAFI
Hanafi berpendapat, bahwa kiri islam berakar pada dimensi revolusioner dari khazanah intelektual lama, karena itu rekonstruksi, pengembangan dan pemurnian khazanah itu sangat penting dilakukan, dimana khazanah tersebut terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan:
1. ilmu – ilmu normatif rasional (al-ulum al-naqliyah al-aqliyah) contohnya ilmu ushul ad-din, ilmu ushul al-fiqih, dan ilmu tasawuf.
2. ilmu – ilmu rasional semata (al-aqliyah) contohnya matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi.
3. ilmu – ilmu normatif tradisional (al-naqliyah) contohnya ilmu al-quran, ilmu hadist, sirah nabi, fiqih dan ilmu tafsir.[2]
Kiri islam menyepakati lima prinsip mu`tazilah (usul khamsah). Dan berusaha merekonstruksi prinsip mu`tazilah itu setelah tenggelam pada abad 5 H. semenjak al-ghazali menyerang ilmu – ilmu rasional dan dominasi tasawuf yang berjalan dengan Asy`ariyah hingga masa gerakan reformasi islam. Kita mengintroduksi mu`tazilah, karena kita mengembangkan rasionalisme, kebebasan, demokrasi dan eksplorasi alam, dan juga mengelaborasi khawarij, kita mendukung revolusi islam dan teguh dalam merebut hak – hak rakyat dan mengembalikan martabat mereka.
Menurutnya, kita banyak menyeru kepada perbuatan adalah syarat keimanan agar umat islam terus berkarya,sesuai dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja”. Kita menyerukan persamaan, bahwa tidak ada perbedaan antara arab dengan bukan arab. Kita perhitungkan pula syi`ah yang selama ini menjadi rival (saingan) ahlusunnah. Walaupun kita tidak tahu banyak tentang ajarannya kecuali dari sumber – sumber ahlusunnah. Untuk pengembangan rasionalisme islam, kita mencoba mengelaborasikan seluruh pemikiran alternative sebagaimana kita pernah upayakan dahulu pada era keemasan, abad 4 H. sehingga asy`arisme tidak lagi membelenggu kita selama 9 abad, bahkan hingga kini yang seolah – olah asy`arisme menjadi sayu – satunya pemikiran keagamaan dalam tradisi kita, maka dengan demikian kiri islam tetaplah independen dalam akidah, tetapi ketika kita menoleh kebelakang, ada salah satu cacat kurun kita adalah pengingkaran terhadap hukum alam dan kepercayaan yang berlebihan terhadap kekuatan supranatural, hanya menunggu mu`jizat dan bergantung kepada keajaiban – keajaiban.
Hanafi mengikuti paradigma kajian fiqih maliki karena ia menggunakan pendekatan kemaslahatan (masalih mursalah serta membela kepentingan kaum muslimin). Sebagai contoh Umar ibn khattab adalah imam mujtahid, pembela kemaslahatan umat muslimin dan mengetahui kemaslahatan itu meskipun beliau belum mendapat petunjuk wahyu sehingga kemudian baru datang dan membenarkan pendapatnya.
Kiri islam bukan mazhab fiqih baru, namun ia memilih diantara berbagai mazhab dan berpendapat bahwa malikiyah lebih dekat kepada realitas dan memberikan keberanian kepada mujtahid saat ini untuk mengambil keputusan berdasarkan kemaslahatan umum, bukan fiqh hanafi yang hanya dominan kepada dimensi kewajiban, atau syafi`iyah yang hanya mencoba menggabungkan antara maliki dan hanafi atau kelompok hijaz dan irak.[3]
Kiri islam bermazhab pada akar esensi malikiyah, bukan fiqh hambali yang hanya memegang validitas teks semata dan kami telah cenderung menghindari penerapan teks yang tidak proporsional. Ini bukan berarti kiri islam melakukan diskriminasi atas mazhab – mazhab fiqh tersebut tapi untuk mengembalikan umat muslimin kepada sumber pertamanya. Para pendahulu telah berijtihad, maka kinipun harus berijtihad.
Menurut hanafi, bahwa keberanian kita ini berdasarkan realita dan kemaslahatan umum, kita harus bercermin kepada malikiah. Penggunaan akal secara optimal dalam interpretasi teks bercermin pada hanafiyah. Pemaduan rasio dan realitas kita bercermin pada syafi`iyah dan komitmen terhadap teks bercermin pada hambaliyah. Kita berpendapat bahwa teks adalah refleksi atas realitas. Tugas kiri islam juga melakukan kajian kritis atas seluruh tradisi legislasi (tasyri`). Kita menerima apa yang terdapat dalam al-quran dan sunnah yang shahih, berarti menerima prinsip – prinsip kemaslahatan itu, kita melakukan ijtihad.
A. IJMA`
Hanafi berpendapat, bahwa ijma` yang dibuat dalam suatu kurun tertentu tidak selalu sesuaidengan kurun waktu berikutnya, karena perubahan situasi. Ijma` dengan demikian hanya dapat diterapkan pada masanya. Kita menetapkan hokum dengan kemaslahatan. Kemaslahatan adalahprinsip penetapan hokum. Dari sinilah kita bangun komitmen kita pada imam malik ibn anas dan prinsip kemaslahatan sebagai prinsip kritis atas teks al-quran dan sunnah, ijma` dan ijtihad para fuqaha. Kita pertemukan ijtihad dengan prinsip keempat sebagai prinsip dasar dengan prinsip – prinsip dasar lain yaitu Al-quran.
B. FILSAFAT
Menurut hanafi, filsafat mengikuti paradigma ibn rusyd[4] yang menghindari illuminasi dan metefisika, dengan mendayagunakan rasio untuk menganalisis hukum – hukum alam. Filsafat rasional klasik yang dirintis oleh al-kindi dan bertumpu pada rasional ilmiah yang memandang filsafat sebagai dasar agama, menguasai hukum alam dan menundukannya bagi kemaslahatan manusia.
C. TASAWUF
Menurut hanafi, kiri islam menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum muslimin yang ditengarai antara lain aleh ibn taimiyah. Tasawuf sesungguhnya tumbuh sebagai suatu gerakan yang anti kemewahan, arogansi dan kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai – partai oposisi dari imam ahli bait yang dimulai dari saat ali dan husein r.a mengalami kekalahan. Maka ketika kemudian pemerintahan dinasti umayyah mulai mapan dan ribuan kaum muslimin yang dipinpin para imam dan sahabat gugur, maka banyak umat islam yang tulus meninggalkan keduniaan yang mereka pandang sebagai penyebab perpecahan dalam barisan umat islam. Prinsip mereka adalah untuk menyelamatkan diri dan menjaga kesucian bathin.
D. AL-AQLIYAH
Tentang al-aqliyah (ilmu – ilmu rasional) kiri islam mendapatkan akarnya pada ilmu – ilmu rasional murni dalam khazanah klasik kita. Ilmu – ilmu itu ditegakkan oleh rasio, transendensi telah mampu memberi kekuatan kepada rasio untuk menuju kepada yang tak terbatas. Pendahulu kita karena pengguna rasio dan sikap apresiatif terhadap alam dan hukum – hukumnya telah menguasai teori – teori ilmiah dalam matematika, fisika, arsitektur, kimia, kedokteran, biologi, farmasi dan sebagainya, yang hampir setara dengan ilmu – ilmu modern. Kiri islam berpretensi untuk mengangkat ilmu – ilmu klasik itu secara bertahap, sehingga kita tidak lagi tergantung dengan penemuan – penemuan yang lain. Ilmu pada dasarnya adalah bagaimana mengaktifkan rasio dan alam. Ilmu bukanlah barang jadi, yang hanya diterapkan dan dipindahkan dari satu tempat ketempat lain.
Ilmu – ilmu sosial, kiri islam juga berakar pada ilmu – ilmu kemanusiaan yang telah diletakkan dasar – dasarnya oleh pendahulu kita, seperti ilmu bahasa, sastra, geografi, sejarah, psikologi dan sebagainya, sesuatu yang selalu kita ulang – ulang tanpa mengetahui basis teoritiknya, misalnya bagaimana kita berupaya merekonstruksi relitas sejarah hanya melalui metode riwayat dalam ilmu hadist,atau mengkaji syariat sebelum kita dalam ilmu fiqh, dan cerita – cerita kenabian, hari kiamat dan kepeminpinan dalam ilmu usul addin, dan mengkaji tingkat – tingkat spiritual dalam ilmu tasawuf dan mengkaji fase – fase sejarah. Kita mencoba menciptakan teori – teori sejarah baru yang berkaitan dengan masyarakat islam, bertitik tolak dari ibn khaldun yang menggambarkan dinamika bangsa – bangsa dalam empat fase : tumbuh, berkembang, jaya dan hancur.[5]
E. AL-ULUM AL-NAQLIYAH AL-KHALISHAH
Al-ulumu al-naqliyah al-khalishah (ilmu – ilmu tradisional murni), yaitu ilmu pertama sekali berkembang disekitar wahyu: ilmu – ilmu al-quran, al-hadist, tafsir dan fiqh. Beberapa ilmu tersebut dapat dikembangkan secara kontemporer, misalnya al-quran terdapat asbab al-nuzul yang dimaksudkan untuk mengutamakan realitas, ilmu nasikh wa mansukh, ilmu makiyah madaniyah untuk mengembangkan konsep system, aqidah syariah dan praktis.semua ilmu tersebut memungkinkan untuk dikembangkan menjadi ilmu eksperimen seperti sosiologi, historiografi, sistem politik dan ekonomi.
F. ILMU HADIST
Mengenai ilmu hadist hanafi berpendapat, bahwa kita lebih mementingkan materi atau teks daripada sanad (silsilah perawi). Mungkin kita tidak mampu melakukan kritik sanad (seperti yang dikembangkan pendahulu kita dalam rijal al-hadist), tetapi kita mampu melakukan kritik matan dilihat dari apakah sebuah teks masuk akal atau tidak, kewajaran dan sebagainya, kita mampu melakukan kritik internal – internal setelah pendahulu kita mengembangkan tradisi eksternal, terutama karena rasa kebangsaan sering kali dibentuk dari teks hadist yang diterapkan tanpa melalui kritik internal. Banyak hadis yang nilainya lemah (hadist – hadist masyhur, mursal, maqtu`,dha`if dan ahad) digunakan dalam kehidupan sehari – hari, sementara hadist yang valid yang sesungguhnya sudah teradapat dalam al-quran diabaikan. Maka karena itu, prioritas kita adalah pada makna hadist, bukan pada perawinya, dan selanjutnya memprioritaskan pada kata – kata nabi daripada pribadinya. Jangan sampai meniru ahli kitab yang mementingkan sirah nabi mereka dan melupakan ajaran – ajaran yang telah diberikan oleh nabi – nabi mereka tersebut.[6]
C. FAKTA DAN KENYATAAN KEHIDUPAN DI DUNIA ISLAM
Situasi dunia islam digambarkan oleh hanafi tidak secara normative untuk memberikan nasehat dan petunjuk.kenyataan dan angka – angka dibiarkan berbicara sendiri tentang dirinya. Sementara pemikiran keagamaan kita selama ini hanya bertumpu pada model “pengalihan” yang memindahkan bunyi teks kepada realitas, seakan – akan teks keagamaan itu adalah realitas yang dapat berbicara sendiri, kenyataan metode teks seperti itu banyak mengandung kelemahan, diantaranya:
Pertama, teks bukanlah realita,ia hanyalah deskripsi linguistic terhadap realita yang tidak dapat menggantikan. Kedua: berbeda dengan rasio atau eksprimentasi, yang memungkinkan menusia mengambil peran turut menentukan, teks justru menuntut keimanan aproiri terlebih dahulu. Ketiga: tteks bertumpu pada otoritas al-kitab dan bukan pada otoritas rasio.
KESIMPULAN
1. dalam rangka kebangkitan islam hasan hanafi dengan kiri islamnya bertopang kepada revolusi islam (revolusi tauhid) dan kesatuan umat islam.
2. hasan hanafi merumuskan eksperimentasi al-turats (tradisi) kepada tiga agenda: pertama: melakukan rekonstruksi tradisi[7] islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda “apresiasi terhadap khazanah klasik”. Kedua: menetapkan kembali batas – batas cultural barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap barat”. Ketiga: upaya membangun sebuah hermeneutika ( penafsiran) pembebasan al-quran yang barumencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, agenda mana memposisikan islam sebagai fondasi idiologis bagi kemanusiaan modern.
3. Hasan hanafi membagi turats kepada dua tingkatan: pertama, yang berbentuk materi, seperti buku – buku, dokumen – dokumen, manuskrips – manuskrips, dan benda sejenisnya. Kedua, segala bentuk konsep yang dikontribusikan oleh setiap generasi tentang penafsiran atas realitas tertentu sebagai respon menjadi tuntutan zaman. Turats dalam pengertian pertama statis, sedangkan turats yang kedua bersifat dinamis. Dalam konteks ini yang dimaksudkan hanafi adalah turats yang kedua, yang lahir dari masa ke masa sampai saat ini masih tetap berfungsi dalam kehidupan masyarakat, seperti ilmu al-quran, hadist, filsafat, tauhid, tasawuf, ushul fiqh, dan lain – lain.
DAFTAR PUSTAKA
- B. Saenong Ilham. Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir Al-quran Menurut Hasan Hanafi, Jakarta, Teraju, 2002
- Al-aridl, A. H. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta, Rajawali Pers, 1992
- Chalil, M, Biografi, Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta, Bulan Bintang, 1995
- Donohue J, dan E, L, Islam dan Pembaharuan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995
- Mahmud . M. Islam Kiri, Gema Insani, Jakarta, 1999
- Simogaki, K, Kiri Islam, Yogyakarta, LKIS dan Pustaka Pelajar, 1994
__________________
[1] John DJ. Dan John LE, Islam dan pembaharuan. (Jakarta) Raja Grafindo Persada, 1995. hal 464-475.
[2] M.Chalil, Biografi, Empat serangkai imam mazhab. Jakarta , bulan bintang, 1995, hal 77,123,244,321.
[3] Ibid. hal 138-139.
[4] Yoeseof . s. pemikiran islam, ( Jakarta ), gama cipta.t.t. hal 281.
[5] Kazuo shimogaki, (Yogyakarta : pustaka pelajar)1994. hal 95-99.
[6] Ibid. hal 103-106.
[7] Ilham B Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-quran menurut hassan hanafi ( Jakarta) teraju, 2002, hal 74.