A. Pendahuluan
Secara natural, manusia cenderung untuk saling tolong menolong, membentuk suatu tatanan sosial dalam rangka mendapatkan manffat bersama dan menghindari hal-hal yang mencelakakan bagi mereka. Di dalam tatanan sosial itu terdapat seperangkat norma dan aturan yang harus diikuti. Perlakuan seperti itu menunjukkan bahwa secara sosiologis, manusia tidak mungkin hidup dengan aman dan sejahtera tanpa membentuk sebuah tatanan sosial. Untuk mencapai keadaan tersebut, masyarakat sebagai makhluk sosial sepakat untuk membuat suatu perjanjuan untuk membentuk negara yang akan melindungi hak-hak dan kebutuhan mereka.
Masalah kenegaraan dalam kehidupan ini akan sangat berkaitan dengan masalah politik. Politik Islam merupakan salah satu bagian dari dunia politik. Dalam dunia Islam ada beberapa tokoh yang berkecimpung dalam dunia politik yang melahirkan pemikiran-pemikiran dinamis, di antaranya adalah Ibnu Taimiyyah. Makalah ini akan mencoba mengurai tentang pemikiran politik beliau.
B. Biografi Ibnu Taimiyyah
Nama lengkap beliau adalah Taqi ad-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Syihab ad-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim bin Majd ad-Din abi al-Barakat yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah.[1] Beliau lahir di kota Harran Mesopotamia Utara (termasuk dalam wilayah Turki) pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H bertepatan dengan 22 Januari 1263 M. Ia merupakan seorang keturunan seorang yang alim.[2]
Sejak kecil beliau termasuk anak yang mempunyai otak yang cerdas, keingan dan motivasi untuk belajar yang kuat, mampu menyelasaikan masalah dengan baik, kokoh pendirian, beramal saleh serta merupakan seorang pejuang kebenaran. Beliau tumbuh di Damaskus dan mengikuti jejak orang tuanya sebagai fuqaha. Pertama kali ia mengajar di Damaskus dan kemudian di Kairo.[3] Potensi dan bakat serta usahanya yang begitu besar menjadikannya sebgai ulama yang berprestasi. Ia menguasai banyak ilmu, kaya pengalaman serta pengarang yang produktif.
Di antara beberapa tulisannya adalah: as-Siyasah as-Syar’iyyah, al-Fatawa, al Iman, al-Jami’ Bain an-Naql wa al-Aql, Minhaj as-Sunnah, al-Furqan Bain Auliya Allah swt wa Auliya’ Syaithan, al-Wasithah Bain al-Haq wa al-Khalq, as-Sarim al-Masluk ala Syatim Rasulillah saw, Majmu’ ar-Rasa’il, Nazariyyah al-Aqd, dan sebagainya.[4]
Saat ayahnya meninggal pada tahun 682 H/1284 M, beliau ketika itu baru saja selesai dari pendidikan formalnya pada usia 21 tahun, ia menggantikan jabatan penting ayahnya yaitu sebagai direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Sukkariyah. Pada tanggal 2 Muharram 683 H merupakan hari pertama ia mengajar di Almamaternya di bawah kepemimpinannya. Setahun setelah itu, pada tanggal 10 Safat 684 H, Ibnu Taimiyyah mulai mengisi pengajian umum di Mesjid Umayyah di Damaskus yang selama ini diasuh oleh ayahnya dalam bidang Tafsir Alquran.[5]
Pada akhir hidupnya, beliau dipenjara akibat aksi musuh-musuh yang tidak menyukainya, serta dilarang untuk menulis berbagai gagasannya, dan hal inilah yang menjadi pukulan paling berat bagi dirinya. Beliau meninggal dunia pada usia 65 tahun, yaitu pada malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/26 September 1328 M. Beliu merupakan salah satu tokoh fundamental dalam Islam.
C. Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah
Keragaman pemikiran politik kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari adanya pandangan yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad saw falam membahas politik kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa pemikiran, di antaranya sebagai berikut:
1. Bentuk Kenegaraan
Ibn Taimiyyah mengemukakan bahwa Muhammad saw bukanlah seorang imam (pemimpin negara). Beliau adalah semata-mata seorang nabi. Meskipun dalam kenyataannya beliau pernah memimpin masyarakat Madinah dengan sebuah tatanan sosial tertentu, akan tetapi ada alasan mendasar untuk tidak menyebut dirinya sebagai seorang pemimpin negara. Menurut Ibn Taimiyyah bahwa kepatuhan kepada seorang nabi tidak sama dengan kepatuhan kepada kepala negara, keduanya harus dibedakan. Muhammad saw dipatuhi bukan sebagai kepala negara tetapi sebagai rasul. Muhammad saw, dipatuhi tidak hanya sepanjang hidupnya, akan tetapi sepanjang masa, lain halnya dengan pemimpin negara, ia hanya ditaati ketika ia masih hidup dan masih berkuasa. Kepemimpinan Muhammad saw bukanlah karena diangkat oleh para pendukungnya atau oleh seorang yang kuat, ia memimpin semata-mata bedasarkankan kalam Allah swt. Pera pengikutnya mentaatinya bukan karena ia mempunyai otoritas sebagai raja, akan tetapi karena Allah swt mewajibkan mereka untuk mentaatinya. Mempunyai pendukung atau tidak, Muhammad saw harus ditaati, bahkan pada awal kenabiannya di Mekkah, ketika hanya sedikit orang yang mendukungnya, beliau harus ditaati.[6] Karena kekuasaan kepemimpinan Muhammad saw seperti itu tidak dimiliki oleh para pemimpin lainnya, maka Ibnu Taimiyyah memandang bahwa rezim Muhammad saw merupakan rezim nubuwwah yang tidak bisa diikuti apalagi diciptakan oleh para pemimpin berikutnya.
Ibnu Taimiyyah juga menyadari bahwa Muhammad saw telah berhasil membangun suatu kedaulatan politik atas masyarakat Madiunah pada masa itu, walau bentuk dan konstitusinya tidak mesti disamakan dengan negara dalam pengertian modern. Memang Muhammad saw membentuk sebuah negara, tetapi negara itu berbeda dengan negara-negara yang pernah ada, baik sebelum atau sesudahnya. Muhammad saw juga memimpin tatanan sosial, menjadi hakim, memimpin perang dan lain sebagainya, akan tetapi menurut Ibnu Taimiyyah hal tersebut adalah bahwa fungsi-fungsi itu hanyalah bagian dari unsur fungsi kenabiannya, dan tidak menjadi bagian tersendiri parsial dari fungsi kenabiannya. Penegasannya secara jelas dikemukakan sebagai berikut: bahwa apabila dikatakan bahwa ketika memperoleh kekuasaan di Madinah, nabi juga menegakkan imamah untuk melaksanakan keadilan, maka jawaban adalah; ketika itupun beliau tetap berperan sebagai seorang nabi saja walau dibantu pendukung-pendukungnya dan simpatisannya dalam melaksanakan perintah-perintah dan memerangi lawan-lawannya. Selama di atas dunia ada orang-orang yang beriman kepada Allah swt., maka mereka itulah yang akan menjadi penolong-penolong dan pendukungnya yang akan melaksanakan perintah dan memerangi musuhnya. Oleh karena itu, nabi tidak memanfaatkan penolong-penolongnya itu untuk mencapai tujuan di luar kenabiannya, seperti tujuan untuk menjadi seorang imam, karena semua itu termasuk di dalam kenabiannya. Akan tetapi dengan adanya penolong-penolong tersebut, beliau bisa menuju kekuasan yang efesien.[7]
Dengan penegasan tersebut, maka bentuk kepemimpinan negara pada masa nabi Muhammad saw dapat disebut sebagai negara nubuwwah. Adapun pandangan Ibnu Taimiyyah tentang bentuk kepemimpinan pasca nabi, beliau mulai dengan menjelaskan hadis yang artinya berikut:
(kepemimpinan setelah nabi) khilafah nubuwwah, setelah nabi itu Allah swt memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang Ia kehendaki.[8] Selain hadis di atas, Ibnu Taimiyyah juga mengemukakan hadis berikut:
“akan datang khilafah nubuwwah yang penuh rahmat, setelah itu datang kerajaan yang membawa rahmat, dan setelah itu datang kerajaan kesombongan lalu kerajaan kelaliman”.[9]
Sesuai dengan hadis tersebut, maka Ibnu Taimiyyah mengelompokkan kepemimpinan pasca nabi Muhammad saw kepada dua bentuk: khilafah nubuwwah yakni pada masa pemerintahan khalifah rasyidun dan kepemimpinan kerajaan setelah mereka.
Ibnu Taimiyyah memahami khilfah sebagai bentuk pergantian dari yang terdahulu kepada yang datang kemudian. Khalifah secara umum berarti orang yang menggantikan pendahulunya baik melalu pengangkatan atau tidak. Dengan kata lain, jika seeorang mengambil kedudukan pendahulunya dan melaksanakan fungsi pendahulu dalam masalah-masalah tertentu, maka jadilah ia khalifah.[10]
Ibnu Taimiyyah membagi khilafah dalam pengetian umum dan khusus. Yang khusus dinamakan khilafah nubuwwah yaitu berlaku bagi kepemimpinan al-khulafa ar-rasyidun,[11] dan yang umum berlaku bagi setiap bentuk pergantian, termasuk dalam kepemimpinan setelah mereka. Pertantian umum ini diistilahkan dengan al-mulk (kerajaan). Ibnu Taimiyyah mendasarkan hal tersebut atas hadis berikut:
“khilafah itu berlaku selama 30 tahun, kemudian setelah itu datang kerajaan”.[12]
Setelah memaparkan tentang tiga bentuk kepemimpinan negara tersebut, Ibnu Taimiyyah tidak menentukan nama di antara tiga hal tersebut yang pantas untuk dijadikan sebagai dasar politik Islam. Maka dari sini tampak bahwasanya ia terlihat longgar dalam menetukan bentuk kepemimpinan negara. Cukuplah bahwa dengan mengakui perkembangan kondisi dan situasi, tidak ada suatu konsep negara yang baku.
2. Tujuan bernegara
Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, setelah berdirinya suatu negara, maka yang dituntut dari negara tersebut adalah bagimana pemerintah mampu melaksanakan dan menegakkan agama Allah swt. Dengan singkat Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa tujuan didirikannya pemerintahan Islam adalah agar agama keseluruhannya menjadi milik Allah dan kalimatNya menjadi tinggi.[13]
Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa negara adalah sarana bagi tegaknya syari’ah.[14] Syari’ah yang ditegakkan itu adalah segala apa yang dibawa oleh Muhammad saw baik berupa al-Kitab maupun sunnah. Namun syari’ah tidak pernah bersifat kaku, karena sebagaimana pengakuan Ibnu Taimiyyah, pada syari’ah itu berlaku ijtihad. Dalam masalah kenegaraanpun berlaku ijtihad, karena tidak ada petunjukan yang jelas dalam nash.
Untuk melaksanakan dan menegakkan syari’ah, maka di dalam negara harus terjadi hubungan yang erat antara ulama dan umara’. Perpaduan antara ulama dan pemimpin akan mampu menegakkan agama Allah. Oleh karenanya mereka menduduki urutan ketiga sebagai hal yang wajib ditaati ummat Islam seperti yang terdapat dalam QS an-Nisa’ ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Baik ulama maupun pemimpin dipatuhi sesuai dengan bidang masing-masing. Ualama dipatuhi karena memberikan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pemahaman terhadap nash. Sedangkan pemimpin dipatuhi karena komitmentnya dalam menegakkan masalah jihad, pelaksanaan hukum-hukum dan ketundukannya di bawah petunjuk syari’at. Negara ditegakkan sebagai saranan agar agama Allah bisa direalisasikan. Syari’ah memliki peranan penting sebagai sumber undang-undang negara yang berkaitan dengan dasar negara. Undang-undang harus dibuat sesuai dengan syari’ah atau minimal tidak bertentangan dengannya. Syari’ah meliputi ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Alquran, Sunnah dan penafsiran para ulama terhdap keduanya. Karena Alquran dan sunnah hanya memberikan pedoman dasar mengenai negara, maka peranan ijtihad menjadi sangat penting agar syari’ah menjadi lebih kondisional.
Penguasa negara memiliki kekuatan yang didukung oleh ulama dan pemimpin. Mereka adalah orang yang dipercaya rakyat untuk mengatur negara. Ulama yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada mereka yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama, tetapi lebih kepada orang yang ahli di bidangnya, mampu menerjemahkan syari’ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Umara’ adalah mereka yang memiliki kekuatan memerintah untuk kepentingan rakyat. Dengan berpedoman pada undang-undang yang dibuat berdasarkan syari’at, negara diatur oleh para penguasan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 3. Keadilan. Keadilan pada hakekatnya dimiliki oleh semua orang dan dipercayai akan mewujudkan kemenangan. Salah satu ciri negara yang baik adalah apabila keadilan bisa ditegakkan. Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa kesejahteraan masyarakan akan terwujud bila masalah keadilan benar-benar diperhatikan, sehingga menurutnya bahwa: Allah membela sebuah negara yang adil meskipun dimiliki oleh orang-orang kafir, dan Ia tidak akan membela sebuah negara tirani meski dihuni oleh orang-orang mukmin.[15] Keadilan merupakan kunci bagi aturan segala sesuatu. Jika urusan negara ditegakkan berdasarkan keadilan, maka tegaklah negara tersebut meskipun pada penduduknya dan sebaliknya. Konsep keadilan menurut Ibnu Taimiyyah disusun berdasarkan informasi dari Alquran, antara lain pada surat al-Hadid: 25, al-Maidah: 42 dan an-Nisa: 58. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa syari’at yang memerintahkan manusia untuk memimpin dengan adil seluruhnya merupakan keadilan.
Hukum Allah swt. Merupakan sebaik-baiknya hukum. Dan barang siapa memimpin sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah swt., maka ia telah memimpin dengan adil.[16] Konsep Ibnu Taimiyyah tersebut lebih jelas melalui penjelasan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah: “keadilam ialah segalah sesuatu yang sesuai dengan hukum syari’ah. Maka apa yang tidak sesuai dengan syari’ah berarti tidak adil. Tujuan syari’ah adalah kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Maka ia membawa hukum-hukum yang penuh keadilan.[17] Dalam suatu negara, kekuatan itu dimiliki oleh pemimpin negara dengan dukungan beberapa pihak. Merekalah orang yang paling bertanggung jawab bagi terwujudnya keadilan di dalam kekuasaan mereka. Namun karena negara adalah keseluruhan kerjasama antara penduduknya, maka tegaknya keadilan menjadi tanggung jawab bersama. Untuk kehidupan bermasyarakat, Alquran sangat menekankan akan amr bi ma’ruf nahiy an munkar. Ibnu Taimiyyah tidak dapat mentolerir adanya kesewenangan atau kezaliman dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, perintah amar bi ma’ruf nahy an munkar dapat dikembangkan menjadi jihad. Untuk menegakkan keadilan tersebut diperluakan penguasa yang adil lagi mempunyai kekuatan untuk menegakkan agama, memberikan hak-hak bagi pemiliknya, serta menindak setiap orang yang melanggar. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa apabila pemimpin bersungguh-sungguh memperbaiki rakyatnya dalam urusan agama dan dunia sesuai dengan kemampuannya, maka dia adalah orang yang paling utama di zamannya sebagai salah seorang pejuang fi sabilillah. Penguasa adil adalah penguasa yang memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya merupakan amanat dari Allah swt. Untuk kepentingan bersama dan oleh karenanya ia harus mampu menyampaikan amanat tersebut kepada pemiliknya. Pada masanya, Ibnu Taimiyyah merupakan salah satu tokoh masyarakat yang mendukung dan merealisasikan sendiri upaya menegakkan keadilan.
Hanya saja ia tidak menyetujui cara-cara yang akan menghancurkan ummat, umpanya melalui jalan kekerasan. Maka cara yang dikembangkan untuk menegakkan keadilan apabila terdapat kezaliman yaitu dengan semangat islah/reformasi. Reformasi terhadap kepemimpinan yang menyimpang beresiko lebih rendah daripada kudeta. Penggunaan metode reformasi dan revolusi dalam meperbaiki kerusakan sebuah negara sangat berkaitan dengan kepentingan dan kemashlahatan bersama seluruh bangsa. Pada tingkat tertentu, ketika kezaliman para penguasa masih dapat ditolerir dan kepemimpinan mereka masih dibutuhkan, maka cara reformasilah yang lebih tepat. Pada tataran ini, tampaknya Ibnu Taimiyyah memandang betapa pentingnya reformasi. Namun jika kepemimpinan mereka hanya menyengsarakan rakyat maka tidak ada alasan untuk menolak revolusi. Tapi jika tidak ada keterpaksaan, Ibnu Taimiyyah menolak revolusi. 4. Pengambilan Keputusan. Dalam pemilihan seorang pemimpin, konsep syura harus dijalankan, yaitu dengan melibatkan semua lapisan masyarakat yang diwakili ahl syawkah (orang-orang yang mempunyai kekuatan/tokoh-tokoh). Ahl syawkah merupakan orang-orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan di dalam masyarakatnya yang tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka ditaati dan dihormati oleh masyarakat. Mereka tediri dari ulama dan umara’. Ulama harus dipandang dalam pengertian yang luas, yaitu setiap orang yang karena ilmunya dan pendidikannya mampu menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah dengan baik dan tepat. Adapun umara’ terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki otoritas di tengah-tengah masyarakat. Mereka inilah yang bertanggung jawab melakukan kontrak perjanjian (baiat) dengan orang yang diangkat sebagai pemimpin. Sesudah dilakukan baiat dan seorang pemimpian sudah menjalankan tugasnya, maka ahl syawkah tersebuty memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan dan menjadi rujukan pemerintah dalam memberikan petunjuk kepada masyarakat.[18] Dalam setiap pengambilan keputusan negara, prinsip syura harus tetap ditegakkan. Adanya kebersamaan seluruh ummat dalam mewujudkan cita-cita negara mengharuskan mereka untuk saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang terbaik. Menurut Ibnu Taimiyyah, jika negara dibutuhkan oleh ummat dengan pertimbangan kebutuhan secara rasional dan agama, maka pimpinan, bentik dan konstitusi negara itu harus ditentukan oleh hasil syura umat itu sendiri sebagai pemegang kedaulatan. Para pemimpin negara, dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan harus bersandar pada prinsip syura dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyyah, bila kostitusi itu negara harus berdasarkan syari’ah, maka peran ulama sangat besar untuk menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah tersebut, sehingga konstitusi itu dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki syari’ah. Seorang pemimpin negara, selain menerima pendapat dari para ulama, harus menerima pendapat wakil-wakil rakyat yang memiliki otoritas dari kelas dan tingkatan masyarakat yang berkepentingan dan dari semua orang yang sanggup memberikan pendapat. Ibnu Taimiyyah memberi petunjuk bagaimana cara bermusyawarah yang baik, yaitu permulaannya supaa dimulai dengan pendekatan dari setiap masalah yang dimusyawarahkan berdasarkan nash Alquran dan sunnah. Jika ada pendapat yang paling dekat dengan nash, maka pendapat itulah yang diikuti. Jika sebuah masalah yang diperselisihkan tidak dapat diselesaikan pada waktu itu, baik karena alasan keterbatasan waktu atau karena ketidak mampuan peserta musyawarah, maka dipersilahkan untuk sementara waktu mengikuti pendapat orang yang diakui tingkat kapasitas ilmu dan keagamaannya. Dari keterangan di atas, jelas bagi kita bahwa Ibnu Taimiyyah menginginkan partisipasi dan kerjasama ummat dalam memusyawarahkan dan merumuskan jalan terbaik bagi negaranya, dengan kata lain peranan syura tersebut begitu besar dalam pandangan Ibnu Taimiyyah. Hal itu juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah bahwa bentuk negara adalah semacam demokrasi dimana suara ummat sangat menentukan.
D. Penutup
Berdasarkan keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan salah seorang sosok tokoh dan pejuang Islam yang mempunyai pemikiran tajam di bidang politik, di antaranya: 1. sejarah politik Islam di masa lalu dapat dibagi kepada 3: negara nubuwwah, khilfah nubuwwah dan negara kerajaan. 2. tujuan mendirikan sebuah negara yaitu untuk menjalankan dan melaksanakan syari’ah Islam dengan aman dan baik. 3. sebuah negara akan aman dan tenteram serta sejahtera, jika prinsip keadilan ditegakkan dengan sebaik-baiknya. 4. sebuah negara harus menerapkan syura dalam menyelesaikan segala problematika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara natural, manusia cenderung untuk saling tolong menolong, membentuk suatu tatanan sosial dalam rangka mendapatkan manffat bersama dan menghindari hal-hal yang mencelakakan bagi mereka. Di dalam tatanan sosial itu terdapat seperangkat norma dan aturan yang harus diikuti. Perlakuan seperti itu menunjukkan bahwa secara sosiologis, manusia tidak mungkin hidup dengan aman dan sejahtera tanpa membentuk sebuah tatanan sosial. Untuk mencapai keadaan tersebut, masyarakat sebagai makhluk sosial sepakat untuk membuat suatu perjanjuan untuk membentuk negara yang akan melindungi hak-hak dan kebutuhan mereka.
Masalah kenegaraan dalam kehidupan ini akan sangat berkaitan dengan masalah politik. Politik Islam merupakan salah satu bagian dari dunia politik. Dalam dunia Islam ada beberapa tokoh yang berkecimpung dalam dunia politik yang melahirkan pemikiran-pemikiran dinamis, di antaranya adalah Ibnu Taimiyyah. Makalah ini akan mencoba mengurai tentang pemikiran politik beliau.
B. Biografi Ibnu Taimiyyah
Nama lengkap beliau adalah Taqi ad-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Syihab ad-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim bin Majd ad-Din abi al-Barakat yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah.[1] Beliau lahir di kota Harran Mesopotamia Utara (termasuk dalam wilayah Turki) pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H bertepatan dengan 22 Januari 1263 M. Ia merupakan seorang keturunan seorang yang alim.[2]
Sejak kecil beliau termasuk anak yang mempunyai otak yang cerdas, keingan dan motivasi untuk belajar yang kuat, mampu menyelasaikan masalah dengan baik, kokoh pendirian, beramal saleh serta merupakan seorang pejuang kebenaran. Beliau tumbuh di Damaskus dan mengikuti jejak orang tuanya sebagai fuqaha. Pertama kali ia mengajar di Damaskus dan kemudian di Kairo.[3] Potensi dan bakat serta usahanya yang begitu besar menjadikannya sebgai ulama yang berprestasi. Ia menguasai banyak ilmu, kaya pengalaman serta pengarang yang produktif.
Di antara beberapa tulisannya adalah: as-Siyasah as-Syar’iyyah, al-Fatawa, al Iman, al-Jami’ Bain an-Naql wa al-Aql, Minhaj as-Sunnah, al-Furqan Bain Auliya Allah swt wa Auliya’ Syaithan, al-Wasithah Bain al-Haq wa al-Khalq, as-Sarim al-Masluk ala Syatim Rasulillah saw, Majmu’ ar-Rasa’il, Nazariyyah al-Aqd, dan sebagainya.[4]
Saat ayahnya meninggal pada tahun 682 H/1284 M, beliau ketika itu baru saja selesai dari pendidikan formalnya pada usia 21 tahun, ia menggantikan jabatan penting ayahnya yaitu sebagai direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Sukkariyah. Pada tanggal 2 Muharram 683 H merupakan hari pertama ia mengajar di Almamaternya di bawah kepemimpinannya. Setahun setelah itu, pada tanggal 10 Safat 684 H, Ibnu Taimiyyah mulai mengisi pengajian umum di Mesjid Umayyah di Damaskus yang selama ini diasuh oleh ayahnya dalam bidang Tafsir Alquran.[5]
Pada akhir hidupnya, beliau dipenjara akibat aksi musuh-musuh yang tidak menyukainya, serta dilarang untuk menulis berbagai gagasannya, dan hal inilah yang menjadi pukulan paling berat bagi dirinya. Beliau meninggal dunia pada usia 65 tahun, yaitu pada malam Senin 20 Dzul Qa’dah 728 H/26 September 1328 M. Beliu merupakan salah satu tokoh fundamental dalam Islam.
C. Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah
Keragaman pemikiran politik kenegaraan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari adanya pandangan yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan Nabi Muhammad saw falam membahas politik kenegaraan, Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa pemikiran, di antaranya sebagai berikut:
1. Bentuk Kenegaraan
Ibn Taimiyyah mengemukakan bahwa Muhammad saw bukanlah seorang imam (pemimpin negara). Beliau adalah semata-mata seorang nabi. Meskipun dalam kenyataannya beliau pernah memimpin masyarakat Madinah dengan sebuah tatanan sosial tertentu, akan tetapi ada alasan mendasar untuk tidak menyebut dirinya sebagai seorang pemimpin negara. Menurut Ibn Taimiyyah bahwa kepatuhan kepada seorang nabi tidak sama dengan kepatuhan kepada kepala negara, keduanya harus dibedakan. Muhammad saw dipatuhi bukan sebagai kepala negara tetapi sebagai rasul. Muhammad saw, dipatuhi tidak hanya sepanjang hidupnya, akan tetapi sepanjang masa, lain halnya dengan pemimpin negara, ia hanya ditaati ketika ia masih hidup dan masih berkuasa. Kepemimpinan Muhammad saw bukanlah karena diangkat oleh para pendukungnya atau oleh seorang yang kuat, ia memimpin semata-mata bedasarkankan kalam Allah swt. Pera pengikutnya mentaatinya bukan karena ia mempunyai otoritas sebagai raja, akan tetapi karena Allah swt mewajibkan mereka untuk mentaatinya. Mempunyai pendukung atau tidak, Muhammad saw harus ditaati, bahkan pada awal kenabiannya di Mekkah, ketika hanya sedikit orang yang mendukungnya, beliau harus ditaati.[6] Karena kekuasaan kepemimpinan Muhammad saw seperti itu tidak dimiliki oleh para pemimpin lainnya, maka Ibnu Taimiyyah memandang bahwa rezim Muhammad saw merupakan rezim nubuwwah yang tidak bisa diikuti apalagi diciptakan oleh para pemimpin berikutnya.
Ibnu Taimiyyah juga menyadari bahwa Muhammad saw telah berhasil membangun suatu kedaulatan politik atas masyarakat Madiunah pada masa itu, walau bentuk dan konstitusinya tidak mesti disamakan dengan negara dalam pengertian modern. Memang Muhammad saw membentuk sebuah negara, tetapi negara itu berbeda dengan negara-negara yang pernah ada, baik sebelum atau sesudahnya. Muhammad saw juga memimpin tatanan sosial, menjadi hakim, memimpin perang dan lain sebagainya, akan tetapi menurut Ibnu Taimiyyah hal tersebut adalah bahwa fungsi-fungsi itu hanyalah bagian dari unsur fungsi kenabiannya, dan tidak menjadi bagian tersendiri parsial dari fungsi kenabiannya. Penegasannya secara jelas dikemukakan sebagai berikut: bahwa apabila dikatakan bahwa ketika memperoleh kekuasaan di Madinah, nabi juga menegakkan imamah untuk melaksanakan keadilan, maka jawaban adalah; ketika itupun beliau tetap berperan sebagai seorang nabi saja walau dibantu pendukung-pendukungnya dan simpatisannya dalam melaksanakan perintah-perintah dan memerangi lawan-lawannya. Selama di atas dunia ada orang-orang yang beriman kepada Allah swt., maka mereka itulah yang akan menjadi penolong-penolong dan pendukungnya yang akan melaksanakan perintah dan memerangi musuhnya. Oleh karena itu, nabi tidak memanfaatkan penolong-penolongnya itu untuk mencapai tujuan di luar kenabiannya, seperti tujuan untuk menjadi seorang imam, karena semua itu termasuk di dalam kenabiannya. Akan tetapi dengan adanya penolong-penolong tersebut, beliau bisa menuju kekuasan yang efesien.[7]
Dengan penegasan tersebut, maka bentuk kepemimpinan negara pada masa nabi Muhammad saw dapat disebut sebagai negara nubuwwah. Adapun pandangan Ibnu Taimiyyah tentang bentuk kepemimpinan pasca nabi, beliau mulai dengan menjelaskan hadis yang artinya berikut:
(kepemimpinan setelah nabi) khilafah nubuwwah, setelah nabi itu Allah swt memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang Ia kehendaki.[8] Selain hadis di atas, Ibnu Taimiyyah juga mengemukakan hadis berikut:
“akan datang khilafah nubuwwah yang penuh rahmat, setelah itu datang kerajaan yang membawa rahmat, dan setelah itu datang kerajaan kesombongan lalu kerajaan kelaliman”.[9]
Sesuai dengan hadis tersebut, maka Ibnu Taimiyyah mengelompokkan kepemimpinan pasca nabi Muhammad saw kepada dua bentuk: khilafah nubuwwah yakni pada masa pemerintahan khalifah rasyidun dan kepemimpinan kerajaan setelah mereka.
Ibnu Taimiyyah memahami khilfah sebagai bentuk pergantian dari yang terdahulu kepada yang datang kemudian. Khalifah secara umum berarti orang yang menggantikan pendahulunya baik melalu pengangkatan atau tidak. Dengan kata lain, jika seeorang mengambil kedudukan pendahulunya dan melaksanakan fungsi pendahulu dalam masalah-masalah tertentu, maka jadilah ia khalifah.[10]
Ibnu Taimiyyah membagi khilafah dalam pengetian umum dan khusus. Yang khusus dinamakan khilafah nubuwwah yaitu berlaku bagi kepemimpinan al-khulafa ar-rasyidun,[11] dan yang umum berlaku bagi setiap bentuk pergantian, termasuk dalam kepemimpinan setelah mereka. Pertantian umum ini diistilahkan dengan al-mulk (kerajaan). Ibnu Taimiyyah mendasarkan hal tersebut atas hadis berikut:
“khilafah itu berlaku selama 30 tahun, kemudian setelah itu datang kerajaan”.[12]
Setelah memaparkan tentang tiga bentuk kepemimpinan negara tersebut, Ibnu Taimiyyah tidak menentukan nama di antara tiga hal tersebut yang pantas untuk dijadikan sebagai dasar politik Islam. Maka dari sini tampak bahwasanya ia terlihat longgar dalam menetukan bentuk kepemimpinan negara. Cukuplah bahwa dengan mengakui perkembangan kondisi dan situasi, tidak ada suatu konsep negara yang baku.
2. Tujuan bernegara
Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, setelah berdirinya suatu negara, maka yang dituntut dari negara tersebut adalah bagimana pemerintah mampu melaksanakan dan menegakkan agama Allah swt. Dengan singkat Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa tujuan didirikannya pemerintahan Islam adalah agar agama keseluruhannya menjadi milik Allah dan kalimatNya menjadi tinggi.[13]
Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa negara adalah sarana bagi tegaknya syari’ah.[14] Syari’ah yang ditegakkan itu adalah segala apa yang dibawa oleh Muhammad saw baik berupa al-Kitab maupun sunnah. Namun syari’ah tidak pernah bersifat kaku, karena sebagaimana pengakuan Ibnu Taimiyyah, pada syari’ah itu berlaku ijtihad. Dalam masalah kenegaraanpun berlaku ijtihad, karena tidak ada petunjukan yang jelas dalam nash.
Untuk melaksanakan dan menegakkan syari’ah, maka di dalam negara harus terjadi hubungan yang erat antara ulama dan umara’. Perpaduan antara ulama dan pemimpin akan mampu menegakkan agama Allah. Oleh karenanya mereka menduduki urutan ketiga sebagai hal yang wajib ditaati ummat Islam seperti yang terdapat dalam QS an-Nisa’ ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Baik ulama maupun pemimpin dipatuhi sesuai dengan bidang masing-masing. Ualama dipatuhi karena memberikan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pemahaman terhadap nash. Sedangkan pemimpin dipatuhi karena komitmentnya dalam menegakkan masalah jihad, pelaksanaan hukum-hukum dan ketundukannya di bawah petunjuk syari’at. Negara ditegakkan sebagai saranan agar agama Allah bisa direalisasikan. Syari’ah memliki peranan penting sebagai sumber undang-undang negara yang berkaitan dengan dasar negara. Undang-undang harus dibuat sesuai dengan syari’ah atau minimal tidak bertentangan dengannya. Syari’ah meliputi ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Alquran, Sunnah dan penafsiran para ulama terhdap keduanya. Karena Alquran dan sunnah hanya memberikan pedoman dasar mengenai negara, maka peranan ijtihad menjadi sangat penting agar syari’ah menjadi lebih kondisional.
Penguasa negara memiliki kekuatan yang didukung oleh ulama dan pemimpin. Mereka adalah orang yang dipercaya rakyat untuk mengatur negara. Ulama yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada mereka yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama, tetapi lebih kepada orang yang ahli di bidangnya, mampu menerjemahkan syari’ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Umara’ adalah mereka yang memiliki kekuatan memerintah untuk kepentingan rakyat. Dengan berpedoman pada undang-undang yang dibuat berdasarkan syari’at, negara diatur oleh para penguasan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 3. Keadilan. Keadilan pada hakekatnya dimiliki oleh semua orang dan dipercayai akan mewujudkan kemenangan. Salah satu ciri negara yang baik adalah apabila keadilan bisa ditegakkan. Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa kesejahteraan masyarakan akan terwujud bila masalah keadilan benar-benar diperhatikan, sehingga menurutnya bahwa: Allah membela sebuah negara yang adil meskipun dimiliki oleh orang-orang kafir, dan Ia tidak akan membela sebuah negara tirani meski dihuni oleh orang-orang mukmin.[15] Keadilan merupakan kunci bagi aturan segala sesuatu. Jika urusan negara ditegakkan berdasarkan keadilan, maka tegaklah negara tersebut meskipun pada penduduknya dan sebaliknya. Konsep keadilan menurut Ibnu Taimiyyah disusun berdasarkan informasi dari Alquran, antara lain pada surat al-Hadid: 25, al-Maidah: 42 dan an-Nisa: 58. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa syari’at yang memerintahkan manusia untuk memimpin dengan adil seluruhnya merupakan keadilan.
Hukum Allah swt. Merupakan sebaik-baiknya hukum. Dan barang siapa memimpin sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah swt., maka ia telah memimpin dengan adil.[16] Konsep Ibnu Taimiyyah tersebut lebih jelas melalui penjelasan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah: “keadilam ialah segalah sesuatu yang sesuai dengan hukum syari’ah. Maka apa yang tidak sesuai dengan syari’ah berarti tidak adil. Tujuan syari’ah adalah kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Maka ia membawa hukum-hukum yang penuh keadilan.[17] Dalam suatu negara, kekuatan itu dimiliki oleh pemimpin negara dengan dukungan beberapa pihak. Merekalah orang yang paling bertanggung jawab bagi terwujudnya keadilan di dalam kekuasaan mereka. Namun karena negara adalah keseluruhan kerjasama antara penduduknya, maka tegaknya keadilan menjadi tanggung jawab bersama. Untuk kehidupan bermasyarakat, Alquran sangat menekankan akan amr bi ma’ruf nahiy an munkar. Ibnu Taimiyyah tidak dapat mentolerir adanya kesewenangan atau kezaliman dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, perintah amar bi ma’ruf nahy an munkar dapat dikembangkan menjadi jihad. Untuk menegakkan keadilan tersebut diperluakan penguasa yang adil lagi mempunyai kekuatan untuk menegakkan agama, memberikan hak-hak bagi pemiliknya, serta menindak setiap orang yang melanggar. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa apabila pemimpin bersungguh-sungguh memperbaiki rakyatnya dalam urusan agama dan dunia sesuai dengan kemampuannya, maka dia adalah orang yang paling utama di zamannya sebagai salah seorang pejuang fi sabilillah. Penguasa adil adalah penguasa yang memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya merupakan amanat dari Allah swt. Untuk kepentingan bersama dan oleh karenanya ia harus mampu menyampaikan amanat tersebut kepada pemiliknya. Pada masanya, Ibnu Taimiyyah merupakan salah satu tokoh masyarakat yang mendukung dan merealisasikan sendiri upaya menegakkan keadilan.
Hanya saja ia tidak menyetujui cara-cara yang akan menghancurkan ummat, umpanya melalui jalan kekerasan. Maka cara yang dikembangkan untuk menegakkan keadilan apabila terdapat kezaliman yaitu dengan semangat islah/reformasi. Reformasi terhadap kepemimpinan yang menyimpang beresiko lebih rendah daripada kudeta. Penggunaan metode reformasi dan revolusi dalam meperbaiki kerusakan sebuah negara sangat berkaitan dengan kepentingan dan kemashlahatan bersama seluruh bangsa. Pada tingkat tertentu, ketika kezaliman para penguasa masih dapat ditolerir dan kepemimpinan mereka masih dibutuhkan, maka cara reformasilah yang lebih tepat. Pada tataran ini, tampaknya Ibnu Taimiyyah memandang betapa pentingnya reformasi. Namun jika kepemimpinan mereka hanya menyengsarakan rakyat maka tidak ada alasan untuk menolak revolusi. Tapi jika tidak ada keterpaksaan, Ibnu Taimiyyah menolak revolusi. 4. Pengambilan Keputusan. Dalam pemilihan seorang pemimpin, konsep syura harus dijalankan, yaitu dengan melibatkan semua lapisan masyarakat yang diwakili ahl syawkah (orang-orang yang mempunyai kekuatan/tokoh-tokoh). Ahl syawkah merupakan orang-orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan di dalam masyarakatnya yang tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka ditaati dan dihormati oleh masyarakat. Mereka tediri dari ulama dan umara’. Ulama harus dipandang dalam pengertian yang luas, yaitu setiap orang yang karena ilmunya dan pendidikannya mampu menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah dengan baik dan tepat. Adapun umara’ terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki otoritas di tengah-tengah masyarakat. Mereka inilah yang bertanggung jawab melakukan kontrak perjanjian (baiat) dengan orang yang diangkat sebagai pemimpin. Sesudah dilakukan baiat dan seorang pemimpian sudah menjalankan tugasnya, maka ahl syawkah tersebuty memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan dan menjadi rujukan pemerintah dalam memberikan petunjuk kepada masyarakat.[18] Dalam setiap pengambilan keputusan negara, prinsip syura harus tetap ditegakkan. Adanya kebersamaan seluruh ummat dalam mewujudkan cita-cita negara mengharuskan mereka untuk saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang terbaik. Menurut Ibnu Taimiyyah, jika negara dibutuhkan oleh ummat dengan pertimbangan kebutuhan secara rasional dan agama, maka pimpinan, bentik dan konstitusi negara itu harus ditentukan oleh hasil syura umat itu sendiri sebagai pemegang kedaulatan. Para pemimpin negara, dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan harus bersandar pada prinsip syura dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyyah, bila kostitusi itu negara harus berdasarkan syari’ah, maka peran ulama sangat besar untuk menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah tersebut, sehingga konstitusi itu dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki syari’ah. Seorang pemimpin negara, selain menerima pendapat dari para ulama, harus menerima pendapat wakil-wakil rakyat yang memiliki otoritas dari kelas dan tingkatan masyarakat yang berkepentingan dan dari semua orang yang sanggup memberikan pendapat. Ibnu Taimiyyah memberi petunjuk bagaimana cara bermusyawarah yang baik, yaitu permulaannya supaa dimulai dengan pendekatan dari setiap masalah yang dimusyawarahkan berdasarkan nash Alquran dan sunnah. Jika ada pendapat yang paling dekat dengan nash, maka pendapat itulah yang diikuti. Jika sebuah masalah yang diperselisihkan tidak dapat diselesaikan pada waktu itu, baik karena alasan keterbatasan waktu atau karena ketidak mampuan peserta musyawarah, maka dipersilahkan untuk sementara waktu mengikuti pendapat orang yang diakui tingkat kapasitas ilmu dan keagamaannya. Dari keterangan di atas, jelas bagi kita bahwa Ibnu Taimiyyah menginginkan partisipasi dan kerjasama ummat dalam memusyawarahkan dan merumuskan jalan terbaik bagi negaranya, dengan kata lain peranan syura tersebut begitu besar dalam pandangan Ibnu Taimiyyah. Hal itu juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah bahwa bentuk negara adalah semacam demokrasi dimana suara ummat sangat menentukan.
D. Penutup
Berdasarkan keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan salah seorang sosok tokoh dan pejuang Islam yang mempunyai pemikiran tajam di bidang politik, di antaranya: 1. sejarah politik Islam di masa lalu dapat dibagi kepada 3: negara nubuwwah, khilfah nubuwwah dan negara kerajaan. 2. tujuan mendirikan sebuah negara yaitu untuk menjalankan dan melaksanakan syari’ah Islam dengan aman dan baik. 3. sebuah negara akan aman dan tenteram serta sejahtera, jika prinsip keadilan ditegakkan dengan sebaik-baiknya. 4. sebuah negara harus menerapkan syura dalam menyelesaikan segala problematika kehidupan berbangsa dan bernegara.