Makalah Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum | Lahirnya Uuspn No 2 1989
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa yang memiliki kepercayaan terhadap agama yang dipeluknya. Indonesia memiliki beberapa agama, dan Islam adalah agama yang paling banyak pemeluknya. Akan tetapi, secara histories perjalanan pendidikan agama Islam tidak sesuai dengan apa yang diharapakan. Selalu ada hambatan dan rintangan dari berbagai pihak yang tidak menginginkan pendidikan Islam maju. Dalam dunia pendidikan misalnya, pendidikan agama pada mulanya tidak masuk dalam sekolah umum. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakinginan sebagian pihak untuk memasukkan pelajaran agama dalam pendidikan umum. Mereka menganggap bahwa pendidikan agama hanya urusan orang tua di rumah, bukan di sekolah. Pendidikan agama yang intinya adalah aqidah, syari’at, ihsan harus diajarkan pada setiap peserta didik.[1]
Makalah oleh: Isma’il A. Hamin
Seandainya saja pendidikan agama tidak diberikan kepada anak didik di sekolah-sekolah, maka dikhawatirkan generasi kita tidak memiliki moral dan dasar-dasar agama. Seperti yang kita lihat sekarang ini, bahwa banyak sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi dan tindak kejahatan lainnya yang disebabkan oleh minimnya moral yang hany didapatkan pada pelajaran agama sejak kecil. Melihat kondisi tersebut, maka seharusnya pendidikan agama dimasukkan ke dalam tiap-tiap sekolah umum dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Masalah ini sangat menarik untuk kita perbincangkan. Maka dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang histories dan dinamika pendidikan agama di sekolah umum sebelum kemerdekaan dan setelah merdeka.
Historisitas dan Dinamika Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Pendidikan agama sebelum kemerdekaan
Kolonial Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Selama itu pulalah Belanda menguasai Indonesia dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya untuk menekan bangsa Indonesia. Oleh karena itu ketika colonial belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misinya yang ganda, yaitu antara imperialis dan kristenisasi justru sangat menjungkirbalikkan segala tatanan yang ada. Memang diakui bahwa Belanda telah banyak mewarnai perjalanan sejarah Islam di Nusantara. Mulai kedatangannya sebagai pedagang secara perorangan, kemudian menjadi sebuah persekutuan dagang yang kita kenal dengan VOC. Kehadiran mereka sebagai penjajah mendapat perlawanan dari penduduk pribumi, raja-raja maupun tokoh-tokoh agama Indonesia. Namun untuk dapat bertahan di Indonesia, jalan satu-satunya adalah dengan cara menekan gerak langkah agama Islam sebagai agama kebanyakan penduduk pribumi.
Di satu sisi kedatangan Belanda membawa angin segar bagi Indonesia, karena teknologi semakin maju. Akan tetapi kemajuan itu hanyalah kenikmatan semu yang dihembuskan Belanda kepada penduduk pribumi. Sebenarnya kemajuan itu hanyalah untuk meningkatkan hasil jajahannya. Belanda sangat tidak jantan ketika menjajah Indonesia. Sangat berbeda dengan penjajah lainnya seperti Inggris. Walaupun Inggris menjajah Malaysia, Singapura, Hongkong dan sebagainya, tapi tidak menafikan aspek pendidikannya sehingga negara jajahannya tersebut lebih maju ketimbang Indonesia yang dijajah Belanda. Menurut K.H. Zainuddin Zuhri yang dikutip oleh Hasbullah, bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas Islam tidak memandang orang-orang Barat tersebut melainkan sebagai pemeluk dan penjajah, mereka kaum imperialis, mereka tidak peduli mereka katolik atau protestan. Dalam dada penjajah tersebut begitu kuatnya ajaran dari politikus curang yang licik Machiavelli, yang antara lain mengajarkan[2]:
- Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah (colonial).
- Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat.
- Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa untuk memecah-belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.
- Janji dengan rakyat tidak perlu ditepati jika merugikan.
- Tujuan dapat menghalalkan segala cara.
Dengan politik inilah Belanda menguasai Indonesia. Tapi banyak menerima tantangan dan perlawanan dari bangsa Indonesia itu sendiri. Begitu juga dengan dunia pendidikan, Belanda memperkenalkan system dan metodologi baru dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali jika dibandingkan dengan mereka yang harus mendatangkan tenaga dari Barat.
Kebijaksanaan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri, terutama untuk kepentingan agama Kristen. Hal ini terlihat jelas, misalnya ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Sedang departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Sementara di setiap daerah keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.[3] Jelaslah terlihat bahwa meskipun Belanda mendirikan lembaga pendidikan untuk kalangan pribumi, tetapi semuanya adalah demi kepentingan mereka semata. Pendidikan agama Islam yang ada di pesantren, masjid dan musholla atau lainnya tidak dianggap membantu pemerintah Belanda. Para santri pondok masih dianggap buta huruf latin jika tidak sekolah di sekolah pemerintah Belanda yang menjadi ukurannya pada ketika itu.
Hal ini dilakukan pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia hanya sebuah ketakutan kepada Islam. Pendidikan agama Kristen yang mereka bawa membuat Belanda harus berlaku keras dengan pendidikan Islam. Ketidaksenangan terhadap perkembangan pendidikan agama Islam terlihat dari setiap kebijakan-kebijakan yang mereka buat sangat mendiskriminasi penduduk pribumi yang mayoritas beragama Islam. Kebijakan-kebijakan tersebut di antaranya adalah:
Pada tahun 1882, pemerintah Belanda membentuk satu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut priesterraden. Dari nasehat badan inilah, maka pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah Belanda.[4] Kebijakan inilah yang disebut ordonansi guru 1905: “setiap pendeta non-kristen harus mendapat izin dari kepala adat pribumi sebelum ia boleh memberikan pelajaran agama”.[5]
Kemudian muncul lagi ordonansi guru pada tahun 1925 yang berisi beberapa pasal di antaranya adalah[6]:
- Pasal 1: Barang siapa bermaksud memberi pelajaran agama kepada orang di luar keluarganya (rumahnya) sendiri, diharuskan sebelum melakukan demikian untuk memberitahukan maksudnya secara tertulis.
- Pasal 2: a). Guru agama atau muballigh atau da’i tetap harus mempunyai surat identifikasi yang hanya bisa diberikan oleh instansi pribumi yang bertugas mengawasi para penguasa pribumi. b). Guru agama diharuskan memelihara catatan muridnya dan pelajaran apa yang diberikan kepadanya, dan instansi pribumi mempunyai hak untuk mengecek catatan-catatan itu setiap waktu.
Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Ulama, dan lain-lain.[7] Organisasi ini selain mendirikan madrasah juga mendirikan sekolah-sekolah umum dari tingkat dasar sampai tingkat atas, yang di dalamnya di ajarkan pelajaran agama. Seperti Muhammadiyah yang mengajarkan pendidikan agama Islam sebanyak 4 jam mata pelajaran seminggu pada setiap jenjang pendidikannya.[8]
Ordonansi ini dirasakan oleh guru-guru agama sangat berat, terlebih-lebih bagi guru-guru agama yang belum memiliki administrasi sekolah. Ordonansi ini mendapat reaksi yang keras dari umat Islam misalnya kongres Al-Islam di Bogor tahun 1926 menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama ini. Muhammadiyah juga dalam kongres XVIII tahun 1928 dengan sangat keras menuntut agar ordonansi guru ini ditarik.[9]
Ketakutan colonial Belanda akibat munculnya gerakan nasionalisme-islamisme tahun 1928 berupa Sumpah Pemuda, dan gerakan persatuan yang lebih besar lagi, maka Belanda membuat kebijakan kembali pada tahun 1932 yang isinya peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut dengan ordonansi sekolah liar (wilde school ordanantie).[10]
Selain untuk lingkungan kehidupan agama Kristen Indonesia yang selalu mendapat reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama di sekolah umum yang mayoritas beragama Islam, maka pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut Netral Agama. Yakni bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. Dan pemerintah melindungi tempat peribadatan agama (Indische Staat Regeling pasal 173-174).[11]
Akan tetapi kebijakan ini adalah bersifat politis belaka. Secara tertulis memang seakan bersikap tidak mau tahu dengan masalah agama, tetapi berbeda dengan realitasnya. Telah beberapa kali di dalam volksraad diusulkan agar pelajaran agama Islam dimasukkan sebagai mata pelajaran di perguruan umum, tetapi usul demikian selalu ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda. Sampai akhir pemerintahan Belanda pengajaran agama tidak pernah dimasukkan dari salah satu mata pelajaran sekolah-sekolah umum. Pada sekolah-sekolah partikelir ada juga pengajaran agama ditambahkan, tetapi murid bebas untuk tidak mengikuti pelajaran agama tersebut jikalau orang tuanya menyatakan keberatannya.[12]
Sementara itu pendidikan Islam pada zaman penjajahan Jepang bersifat longgar dibandingkan dengan colonial Belanda. Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942 setelah mengusir Belanda tanpa syarat. Pada mulanya pemerintahan Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam, tetapi itu hanyalah siasat Jepang untuk merekrut/menggunakan kekuatan Islam untuk menghadapi perang dunia ke-2. Untuk mendekati umat Islam, Jepang menempuh beberapa kebijaksanaan, antara lain:
- Kantor Urusan Agama (KUA) yang pada zaman Belanda disebut Kantoor Voor Islamitische Saken yang dipimpin oleh orang-orang orientalist Belanda, diubah oleh Jepang menjadi kantor Shumubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri, yaitu KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Shumuka.
- Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
- Pemerintah Jepang mengijinkan berdirinya sekolah tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Bung Hatta.[13]
- Pendidikan agama setelah kemerdekaan
Seperti yang dikatakan terdahulu, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di muka Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama RI mengatakan bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengamalkan agama yang menjadi kepercayaannya. Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetaplah sebuah asas yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila, sebagai manifestasi dari sikap hidup yang religius tersebut. Selain itu pada pasal 29 UUD 1945 yang menjelaskan tentang:
- Ayat 1: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
- Ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Maka untuk merealisasikan sikap hidup yang agamis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah RI membentuk Departemen Agama. Tugas utama departemen ini adalah mengurus soal-soal yang berkenaan dengan kehidupan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu di antaranya adalah berkenaan dengan pendidikan agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh Departemen Agama tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama saja, pesantren dan madrasah, tetapi juga menyangkut pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.[14]
Sebenarnya tuntutan untuk melaksanakan pendidikan agama dalam pendidikan umum sudah dimulai oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), pada tanggal 27 Desember 1945 yang mengususlkan kepada kementerian pendidikan agar memperhatikan pengajaran agama, dan agar mendapat bantuan material dari pemerintah.
Karel A, Steenbrink lebih jauh lagi menjelaskan usulan BPKNIP kepada kementerian pendidikan nasional, di antaranya ialah[15]:
- Pelajaran agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah.
- Para guru dibayar pemerintah
- Kepada sekolah-sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV
- Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam-jam tertentu
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan Peraturan Bersama Dua Menteri, yaitu menteri agama dengan menteri pendidikan dan pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberi mulai kelas IV SR (sekolah rakyat) sampai kelas VI, namun belum terlaksana dengan baik. Sementara itu dibeberapa daerah luar jawa seperti Sumatra telah memberikan pelajaran agama mulai kelas I SR. Di daerah ini Muhamud Yunus sebagai kepala bagian Islam Jawatan Agama propinsi Sumatra, mengusulkan kepada Jawatan P. P. K propinsi Sumatra Abdullah Nawawi, supaya pelajaran agama dimasukkan dalam daftar pengajaran sekolah-sekolah negeri dimulai dari SR, SMP, sampai SMA.
Pada tahun 194 7 diadakan konfrensi pendidikan dan pengajaran yang menghasilkan pendidikan agama dimasukkan ke dalam sekolah-sekolah negeri yaitu 2 jam pada tiap-tiap kelas.[16] Pendidikan agama pada awal dilaksanakan pada tingkat dasar, menengah dan atas dan menurut undang-undang no.4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran agama di sekolah menyinggung masalah pendidikan agama di sekolah yang kepada orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaan tersebut.[17]
Peraturan Bersama Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan Departemen Agama yang dikeluarkan pada 20 Januari 1951 menetapkan bahwa:
- Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR
- Di sekolah lanjutan tingkat pertama dan tingkat atas (umum dan kejuruan) di berikan pendidikan agama sebanyak 2 jam dalam seminggu.
- Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalamsatu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya. Selam berlangsungnya pelajar agama, murid yang beragama lain boleh meninggalkan ruang belajar.
- Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan menteri pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama[18].
Kemudian pada tahun 1960 dalam siding pleno MPRS menetapkan pelajaran agama diberikan kepada sekolah umum mulai SD sampai Universitas, dengan syarat harus mendapatkan izin dari wali murid. Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi dan menghapuskan syarat pada MPRS 1960. Pada tahun 1967 MPRS mengubah lagi ketetapan tahun 1960 dengan mewajibkan para mahasiswa mengikuti pengajaran / kuliah agama, serta tidak mengizinkan mereka tidak mengikutinya. Sejak saat itu pengajaran agama memainkan peran penting dalam penelitian para murid dan mahasiswa.
Melihat perkembangan setiap kebijakan, separtinya agama makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintah dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam siding MPR yang menyususun GBHN pada 1973-1978 dan 1983 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkat (jenjang) pendidikan. Hal ini dapat terlihat pada TAP MPR 1983 tentang GBHN bidang agama poin 1c dan 1d, sebagai berikut:
- 1c. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan beragama dan kepercayaan Tuhan YME harus semakin diamalkan, baik di dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan social kemasyarakatan.
- 1d. Diusahakan terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan YME termasuk pendidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah mulai dari seklah dasar sampai dengan universitas negeri[19].
Dalam undang-undang nomor 2 1989 pasal 39 (2) dijelaskan bahwa pendidikan agama merupakan usaha memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antara umat beragama dalam mayarakat untuk mewujudkan persatuan nasional[20].
Dinamika perkembangan pendidikan agama terus-menerus mendapat perhatian, bukan saja pemerintah sebagai penyelenggara tetapi pada kelompok masyarakat dan pemeluk agama dianjurkan untuk memberikan pendidikan keagamaan. Hal ini tertuang di dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 30 yang berbunyi:
- Ayat 1: Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dan pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Ayat 2: Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan menjadi ahli ilmu agama.
- Ayat 3: Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.
- Ayat 4: Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan Diniyah, pesantren, pasranan pabhaja samanera, dan bentuk lainnya yang sejenis.[21]
Penutup
Pada masa penjajahan agama tidak mendapat tempat di sekolah umum. Pendidikan agama dianggap hanya diberikan oleh keluarga, bukan di sekolah. Kolonial Belanda sangat gencar menghambat perkembangan pendidikan agama di sekolah umum karena selain menjajah territorial, Belanda juga membawa misi kristenisasi di Indonesia. Kemudian setelah kemerdekaan eksistensi pendidikan agama di sekolah umum sedikit demi sedikit mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang sangat signifikan. Sehingga akhirnya pada undang-undang no. 20 /2003 pendidikan agama diselenggarakan tidak hanya oleh pemerintah tapi kelompok masyarakat, dan pemeluk agama telah diperbolehkan untuk berpartisifasi menyelanggarakan melalui jalur formal, nonformal dan informal.
DAFTAR PUSTAKA
- A. Steenbrink, Karel, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986
- Djamal, Murni, DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruh Dalam Gerakan Pembaharuan Islam Di Minang Kabau Pada Awal Abad Ke-20, Jakarta: INIS. 2002
- Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
- Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Misika Galiza, 2003
- Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan tinggi Agama / IAIN, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986
- Putra Daulay, Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Cita Pustaka Media, 2001
- --------------------------Historisitas Dan Eksistensi Pesantren, Sekolah Dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacanayogya, 2001
- -------------------------Dinamika Pendidikan Islam, Bandung: Cita Pustaka Media, 2004
- Shaleh, Abdur Rahman, Madrasah Pendidikan Anak Bangsa: Visi, Misi, Dan Akal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
- Tafsir, Ahmad, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya
- UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional Dan Peraturan Pelaksanaanya, Jakarta: Sinar Grafika, 1993
- Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1993
- Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.