A. Pendahuluan dan Latar Belakang
Pendirian Perguruan Tinggi Islam (PTI) merupakan mata rantai dari sejarah perjuangan umat Islam Indonesia sejak awal abad ke-20. Perjuangan itu dimulai dari kesadaran kolektif umat islam, terutama organisasi-organisasi Islam yang muncul pada perempat pertama abad ke-20. Kesadaran ini mengukuhkan pentingnya perbaikan pendidikan Islam. Wujud konkrit dari kesadaran itu adalah pembaharuan sistem pendidikan Islam.
Hasrat umat Islam untuk mendirikan pendidikan tinggi sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda, M. Natsir menulis dalam Capita Selecta bahwa keinginan menyebut bahwa Dr. Satiman telah menulis artikel dalam PM (Pedoman Masyarakat) Nomor 15 membentangkan cita-cita beliau yang mulia akan mendirikan satu sekolah tinggi Islam akan terpusat di tiga tempat, yakni Jakarta, Solo dan Surabaya. Di Jakarta akan didiadakan sekolah tinggi sebagai bagian atas Sekolah Menegah Muhammadiyah (AMS) yang bersifat Westerch (kebaratan). Di Solo akan diadakan sekolah tinggi untuk mendidik muballighin. Di Surabaya akan diadakan sekolah tinggi yang akan menerima orang-orang pesantren.[1] Walaupun ungkapan ini masih dalam bentuk ide, dan belum menjadi kenyataan, akan tetapi semangat untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam itu telah muncul pada tahun 1930-an.
Semangat untuk mendirikan pendidikan tinggi ini juga tercantum dalam Kongres II MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang diadakan di Solo pada tanggal 2-7 Mei 1939, dihadiri oleh 25 organisasi Islam yang menjadi anggota MIAI. Di dalam laporan itu salah satu agenda pembahasannya adalah perguruan tinggi Islam. Setelah Kongres selesai, didirikanlah PTI di SOLO yang akan dimulai dari tingkat menengah dengan nama IMS (Islamische Midilbare School). Akan tetapi lembaga pendidikan ditutup pada tahun 1941 karena pecah Perang Dunia II.[2]
Pada tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1945 STI dibuka secara resmi di Jakarta. Peresmiannya diselenggarakan di gedung kantor Imigrasi Pusat Gondangdia. Selanjutnya STI dirubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) untuk lebih meningkatkan efektifitas dan jangkauannya. UII secara resmi dibuka pada tanggal 10 Maret 1948 (27 Rajab 1367 H) dengan membuka 4 fakultas yaitu Agama, Hukum, Pendidikan, dan Ekonomi.[3]
Dalam perkembangan berikutnya, fakultas agama UII ini dinegerikan, sehingga terpisah dari UII menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Setelah berdirinya PTAIN pemerintah berhasil pula mendirikan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama). ADIA ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat agama yang berdinas dalam pemerintahan, (misalnya Kementerian Agama) dan untuk menjadi ahli didik dalam pengajaran agama di sekolah negeri. [4]
B. Dasar Hukum
Beberapa dasar hukum yang melandasi pendirian PTAIN adalah sebagai berikut:
Pada paruh terakhir tahun 1950, perkembangan baru yang mencolok mengancam UII di Yogyakarta. Pada tanggal 12 Agustus 1950 Fakultas Agama yang merupakan alasan utama didirikannya Universitas ini harus dipisahkan dari ”induknya”, diambil oleh pemerintah. Pada tangal 20 September 1951 Fakultas Agama ini secara resmi dibuka dengan nama PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dibawah pengawasan Kementrian Agama.[5]
Pendirian PTAIN ini diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 34/1950 pada tanggal 14 Agustus 1950. Adapun tujuan utamanya ádalah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam yang menjadi pusat pengenbangan dan pendalaman pengetahuan agama Islam. Dengan kata lain, bahwa pendirian PTAIN dimaksudkan untuk menghasilkan ahli-ahli agama Islam untuk mengisi kebutuhan masyarakat dan negara. Hal ini berdasarkan fatwabahwa Islam hádala yang diakui sebagai kelompok masyarakatterbesar, dan karenanya masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius. Agama Islam masyarakat Indonesia secara mendalam masuk ke dalam semua aspek kehidupan. Tidak adanya lembaga pendidikan tinggi bidang agama di Indonesia mengakibatkan para lulusan madrasah dan pesantren selama kurun waktu yang lama melanjutkan studinya kelembaga-kelembaga pendidikan tinggi agama di Timar Tengah, Makkah maupun Kairo.[6] PTAIN dalam sudut pandang ini, diharapkan menjadi pusat untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu tersebut. Selain itu, pendidikan taraf universitas agama dan ilmu pengetahuan Islam hádala penting sekali karena sebagian besar bangsa Indonesia memeluk agama Islam. Mempertinggi taraf pendidikan dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan berarti mempertiggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan kerohanian (spiritualitas) maupun intelectualitas.[7]
Dari tujuan PTAIN yang telah disebutkan diatas, yaitu memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam diletakkan azas untuk membentuk manusia susila dan cakap serta mempunyai keinsyafan bertanggungjawab tentang kesejahteraaan masyarakat Indonesia dan dunia umumnya atas dasar pancasila, kebudayaan, kebangsaan Indonesia dan kenyataan.[8] Lama pendidikan di PTAIN pada saat itu adalah 4 tahun, pada tingkat Baccalauret dan Doktoral mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah. Disamping ilmu-ilmu agama, PTAIN juga memberikan mata kuliah umum seperti Filsafat Umum, Sejarah Kebudayaan Umum, Sosiologi, dan Azas-Azas Hukum Tata Negara.[9] Adapun calon mahasiswa yang dapat diterima di PTAIN ialah:
Kelahiran PTAIN, ditilik dari sudut perkembangan PTI merupakan babak baru yang menarik. Satu sisi penegerian facultas agama UII ini dianggap sebagai “negaraisasi” Islam, untuk tidak menyebut domestifikasi Islam atas negara. Di sisi lain, pandangan positif bisa menyatakan bahwa pengertian ini sebagai bentuk “penghargaan” negara atas Islam. Salah satu klausul menyebutkan bahwa tujuan dibentuknya PTAIN adalah untuk mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang sangat diperlukan diperlukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya.
Perubahan status swasta ke negeri ini tentu memiliki konsekuensi besar. Lembaga pendidikan yang tadinya milik masyarakat kini menjadi milik pemerintah. Disatu sisi lembaga ini menjadi lebih mapan, terutama dari sisi keuangan, tetapi arah pengembangannya kemungkinan besar banyak dipengaruhi oleh kebutuhan pragmatis pemerintah, seperti pengadaan guru negeri di madrasah-madrasah, baik itu pelajaran agama maupun umum. PTAIN kini tampak sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Hal yang lebih sulit lagi ”pemerintah” diartikan sebagai Departemen Agama. Dana yang disalurkan ke PTAIN adalah sebagian dari dana Departemen Agama.
PTAIN yang diresmikan berdirinya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950, baru beroprasi secara praktis pada tahun 1951. Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah mahasiswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultas adalah K.H. Adnan.[11]
Ditinjau dari kerangka yang lebih luas dan dari sudut pandang kaum muslimin, pengambilalihan fakultas agama UII oleh pemerintah (Kementerian Agama) yang kemudian menjadi PTAIN dapat dipandang positif karena dengan cara ini pemerintah dapat berbuat lebih banyak lagi kemajuan Islam dibandingkan apa yang dapat dilakukan oleh universitas swasta. Terbukti, setelah itu Kementerian Agama berhasil mendirikan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta sebagai sekolah dinas untuk mendidik calon hakim agama.[12]
E. Latar Belakang Berdirinya Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)
Dengan ditetapkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tahun 1951 Nomor. K/651 tanggal 20 Januari 1951 (agama) dan No. 143?K tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), maka pendidikan agama dengan resmi dimasukkan ke sekolah-sekolah negeri negeri dan swasta. Berkenaan dengan itu dan sekalian pula dengan peraturan-peraturan sebelumnya, maka Departemen Agama yang bertugas untuk menyiapkan tenaga-tenaga guru agama untuk kesuksesan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Sehubungan dengan itu untuk merealisasikan salah satu tugas tersebut pemerintah mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dengan maksud dan tujuan guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum, maupun kejuruan dan agama.[13]
Selain itu, banyak dari guru-guru agama yang mengajar di sekolah-sekolah Indonesia adalah pegawai negeri yang berada di bawah Departemen Agama RI., karena itu untuk mengembangkan kemampuan guru-guru agama tersebut, Departemen Agama kemudian menginginkan sebuah lembaga yang bisa menjadi pusat pengembangan para guru yang bernaung di bawah Departemen Agama. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka di Jakarta tepatnya di Ciputat sekitar 12 kilometer dari Jakarta arah keselatan didirikanlah Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) berdasarkan ketetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957 tertanggal 1 Januari 1957 yang dipimpin oleh Mahmud Yunus. Yang melandasi pendirian ADIA ini adalah ketetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957 tertanggal 1 Januari 1957
G. Tujuan dan Program ADIA
Lama belajar di ADIA adalah lima tahun yang dibagi kepada dua tingkatan. Tingkat semi akademik, lama belajar 3 tahun, sedangkan tingkat akademi lama belajarnya 2 tahun. Masing-masing tingkat terdiri dari dua jurusan yakni jurusan pendidikan agama dan jurusan sastra Arab.[14] Materi yang diajarkan adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Prancis, Bahasa Ibrani, Pendidikan Studi Budaya Indonesia dan Budaya Umum, Sejarah Islam, Ilmu Kalam, Mantiq, Akhlaq, Filsafat, Perbandingan Agama, dan Studi Pendidikan Sosial.[15] Syarat untuk diterima menjadi mahasiswa ADIA adalah lulusan atau berijazah SGAA, PGAA, atau PHIN, mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 2 tahun dan berumur tidak lebih dari 30 tahun.
Pada dasarnya, ADIA bertujuan untuk mendidik guru-guru agama pegawai negeri agar lebih mempunyai kompetensi dalam mengajar. Secara formal, tujuannya adalah mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum, maupun kejuruan dan agama.[16]
H. Peranan ADIA
Seperti tujuan utamanya sebagai sarana dan lembaga pendidikan bagi pegawai negeri Departemen Agama untuk lebih berkompeten dalam mengajarkan ilmu-ilmu keagaamaan, ADIA tentu sangat berperan memajukan pendidikan nasional Indonesia. Peran ini dimainkan dari pelatihan-pelatihan guru yang diadakan oleh ADIA. Dengan berdirinya ADIA, guru-guru yang tidak mempunyai ijazah sarjana atau setingkatnya mempunyai peluang untuk mendapatkan ijazah setingkat. Hal ini tentu saja akan meningkatkan standar kualitas para guru yang kemudian akan berakibat kepada meningkatnya standar pendidikan nasional.
__________________
[1] M. Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.90
[2] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung : Cita Pustaka Media, 2001), h.135
[3] I b i d.,h. 138
[4] Mulyanto Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975. (Jakarta : Dharma Bhakti, 1978), h.92
[5] MUstadi HS dan Marzuki Wahid, Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia:Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan . (Jakarta : DEPAG RI,2003), h.33-34
[6] Fuad Jabali dan Jamhari (ed), IAIN : Modernisasi Islam di Indonesia. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 3
[7] Pernyataan ini terdapat dalam penjelasan atas PP No.II tahun 1960 tentang pembentukan IAIN
[8] Ibid., h. 139
[9] Sumardi, Sejarah……., h. 91
[10] I b i d..,h. 92
[11] I b i d
[12] I b i d ..,77-79
[13] Daulay, Sejarah Pertumbuhan……,h. 140
[14] Sumardi, Sejarah Singkat….., h. 93
[15] Jabali, IAIN: Modernisasi…,h. 13
[16] Daulay, Sejarah Pertumbuhan……,h. 140
Pendirian Perguruan Tinggi Islam (PTI) merupakan mata rantai dari sejarah perjuangan umat Islam Indonesia sejak awal abad ke-20. Perjuangan itu dimulai dari kesadaran kolektif umat islam, terutama organisasi-organisasi Islam yang muncul pada perempat pertama abad ke-20. Kesadaran ini mengukuhkan pentingnya perbaikan pendidikan Islam. Wujud konkrit dari kesadaran itu adalah pembaharuan sistem pendidikan Islam.
Hasrat umat Islam untuk mendirikan pendidikan tinggi sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda, M. Natsir menulis dalam Capita Selecta bahwa keinginan menyebut bahwa Dr. Satiman telah menulis artikel dalam PM (Pedoman Masyarakat) Nomor 15 membentangkan cita-cita beliau yang mulia akan mendirikan satu sekolah tinggi Islam akan terpusat di tiga tempat, yakni Jakarta, Solo dan Surabaya. Di Jakarta akan didiadakan sekolah tinggi sebagai bagian atas Sekolah Menegah Muhammadiyah (AMS) yang bersifat Westerch (kebaratan). Di Solo akan diadakan sekolah tinggi untuk mendidik muballighin. Di Surabaya akan diadakan sekolah tinggi yang akan menerima orang-orang pesantren.[1] Walaupun ungkapan ini masih dalam bentuk ide, dan belum menjadi kenyataan, akan tetapi semangat untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam itu telah muncul pada tahun 1930-an.
Semangat untuk mendirikan pendidikan tinggi ini juga tercantum dalam Kongres II MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang diadakan di Solo pada tanggal 2-7 Mei 1939, dihadiri oleh 25 organisasi Islam yang menjadi anggota MIAI. Di dalam laporan itu salah satu agenda pembahasannya adalah perguruan tinggi Islam. Setelah Kongres selesai, didirikanlah PTI di SOLO yang akan dimulai dari tingkat menengah dengan nama IMS (Islamische Midilbare School). Akan tetapi lembaga pendidikan ditutup pada tahun 1941 karena pecah Perang Dunia II.[2]
Pada tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1945 STI dibuka secara resmi di Jakarta. Peresmiannya diselenggarakan di gedung kantor Imigrasi Pusat Gondangdia. Selanjutnya STI dirubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) untuk lebih meningkatkan efektifitas dan jangkauannya. UII secara resmi dibuka pada tanggal 10 Maret 1948 (27 Rajab 1367 H) dengan membuka 4 fakultas yaitu Agama, Hukum, Pendidikan, dan Ekonomi.[3]
Dalam perkembangan berikutnya, fakultas agama UII ini dinegerikan, sehingga terpisah dari UII menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Setelah berdirinya PTAIN pemerintah berhasil pula mendirikan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama). ADIA ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat agama yang berdinas dalam pemerintahan, (misalnya Kementerian Agama) dan untuk menjadi ahli didik dalam pengajaran agama di sekolah negeri. [4]
PEMBAHASAN
B. Dasar Hukum
Beberapa dasar hukum yang melandasi pendirian PTAIN adalah sebagai berikut:
- Peraturan Pemerintah No. 34/1950.
- Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No. K/1/14641/1951. mengatur peraturan pelaksaanannya.
- Peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No. 28665/Kab/1951.
Pada paruh terakhir tahun 1950, perkembangan baru yang mencolok mengancam UII di Yogyakarta. Pada tanggal 12 Agustus 1950 Fakultas Agama yang merupakan alasan utama didirikannya Universitas ini harus dipisahkan dari ”induknya”, diambil oleh pemerintah. Pada tangal 20 September 1951 Fakultas Agama ini secara resmi dibuka dengan nama PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) dibawah pengawasan Kementrian Agama.[5]
Pendirian PTAIN ini diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 34/1950 pada tanggal 14 Agustus 1950. Adapun tujuan utamanya ádalah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam yang menjadi pusat pengenbangan dan pendalaman pengetahuan agama Islam. Dengan kata lain, bahwa pendirian PTAIN dimaksudkan untuk menghasilkan ahli-ahli agama Islam untuk mengisi kebutuhan masyarakat dan negara. Hal ini berdasarkan fatwabahwa Islam hádala yang diakui sebagai kelompok masyarakatterbesar, dan karenanya masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius. Agama Islam masyarakat Indonesia secara mendalam masuk ke dalam semua aspek kehidupan. Tidak adanya lembaga pendidikan tinggi bidang agama di Indonesia mengakibatkan para lulusan madrasah dan pesantren selama kurun waktu yang lama melanjutkan studinya kelembaga-kelembaga pendidikan tinggi agama di Timar Tengah, Makkah maupun Kairo.[6] PTAIN dalam sudut pandang ini, diharapkan menjadi pusat untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu tersebut. Selain itu, pendidikan taraf universitas agama dan ilmu pengetahuan Islam hádala penting sekali karena sebagian besar bangsa Indonesia memeluk agama Islam. Mempertinggi taraf pendidikan dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan berarti mempertiggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan kerohanian (spiritualitas) maupun intelectualitas.[7]
Dari tujuan PTAIN yang telah disebutkan diatas, yaitu memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam diletakkan azas untuk membentuk manusia susila dan cakap serta mempunyai keinsyafan bertanggungjawab tentang kesejahteraaan masyarakat Indonesia dan dunia umumnya atas dasar pancasila, kebudayaan, kebangsaan Indonesia dan kenyataan.[8] Lama pendidikan di PTAIN pada saat itu adalah 4 tahun, pada tingkat Baccalauret dan Doktoral mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah. Disamping ilmu-ilmu agama, PTAIN juga memberikan mata kuliah umum seperti Filsafat Umum, Sejarah Kebudayaan Umum, Sosiologi, dan Azas-Azas Hukum Tata Negara.[9] Adapun calon mahasiswa yang dapat diterima di PTAIN ialah:
- Lulusan SGHA dengan seleksi,
- Lulusan SMAN atau yang dipersamakan,
- Lulusan Sekolah Kejuruan seperti SGAM, STM dengan ujian seleksi,
- Lulusan madrasah menengah tinggi, dan
- Mereka yang berijazah sekolah persiapan (matrikulasi) yang memang dipersiapkan PTAIN sebelum diterima menjadi mahasiswanya.[10]
Kelahiran PTAIN, ditilik dari sudut perkembangan PTI merupakan babak baru yang menarik. Satu sisi penegerian facultas agama UII ini dianggap sebagai “negaraisasi” Islam, untuk tidak menyebut domestifikasi Islam atas negara. Di sisi lain, pandangan positif bisa menyatakan bahwa pengertian ini sebagai bentuk “penghargaan” negara atas Islam. Salah satu klausul menyebutkan bahwa tujuan dibentuknya PTAIN adalah untuk mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang sangat diperlukan diperlukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya.
Perubahan status swasta ke negeri ini tentu memiliki konsekuensi besar. Lembaga pendidikan yang tadinya milik masyarakat kini menjadi milik pemerintah. Disatu sisi lembaga ini menjadi lebih mapan, terutama dari sisi keuangan, tetapi arah pengembangannya kemungkinan besar banyak dipengaruhi oleh kebutuhan pragmatis pemerintah, seperti pengadaan guru negeri di madrasah-madrasah, baik itu pelajaran agama maupun umum. PTAIN kini tampak sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Hal yang lebih sulit lagi ”pemerintah” diartikan sebagai Departemen Agama. Dana yang disalurkan ke PTAIN adalah sebagian dari dana Departemen Agama.
PTAIN yang diresmikan berdirinya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950, baru beroprasi secara praktis pada tahun 1951. Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah mahasiswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultas adalah K.H. Adnan.[11]
Ditinjau dari kerangka yang lebih luas dan dari sudut pandang kaum muslimin, pengambilalihan fakultas agama UII oleh pemerintah (Kementerian Agama) yang kemudian menjadi PTAIN dapat dipandang positif karena dengan cara ini pemerintah dapat berbuat lebih banyak lagi kemajuan Islam dibandingkan apa yang dapat dilakukan oleh universitas swasta. Terbukti, setelah itu Kementerian Agama berhasil mendirikan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta sebagai sekolah dinas untuk mendidik calon hakim agama.[12]
E. Latar Belakang Berdirinya Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)
Dengan ditetapkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tahun 1951 Nomor. K/651 tanggal 20 Januari 1951 (agama) dan No. 143?K tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), maka pendidikan agama dengan resmi dimasukkan ke sekolah-sekolah negeri negeri dan swasta. Berkenaan dengan itu dan sekalian pula dengan peraturan-peraturan sebelumnya, maka Departemen Agama yang bertugas untuk menyiapkan tenaga-tenaga guru agama untuk kesuksesan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Sehubungan dengan itu untuk merealisasikan salah satu tugas tersebut pemerintah mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dengan maksud dan tujuan guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum, maupun kejuruan dan agama.[13]
Selain itu, banyak dari guru-guru agama yang mengajar di sekolah-sekolah Indonesia adalah pegawai negeri yang berada di bawah Departemen Agama RI., karena itu untuk mengembangkan kemampuan guru-guru agama tersebut, Departemen Agama kemudian menginginkan sebuah lembaga yang bisa menjadi pusat pengembangan para guru yang bernaung di bawah Departemen Agama. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka di Jakarta tepatnya di Ciputat sekitar 12 kilometer dari Jakarta arah keselatan didirikanlah Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) berdasarkan ketetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957 tertanggal 1 Januari 1957 yang dipimpin oleh Mahmud Yunus. Yang melandasi pendirian ADIA ini adalah ketetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957 tertanggal 1 Januari 1957
G. Tujuan dan Program ADIA
Lama belajar di ADIA adalah lima tahun yang dibagi kepada dua tingkatan. Tingkat semi akademik, lama belajar 3 tahun, sedangkan tingkat akademi lama belajarnya 2 tahun. Masing-masing tingkat terdiri dari dua jurusan yakni jurusan pendidikan agama dan jurusan sastra Arab.[14] Materi yang diajarkan adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Prancis, Bahasa Ibrani, Pendidikan Studi Budaya Indonesia dan Budaya Umum, Sejarah Islam, Ilmu Kalam, Mantiq, Akhlaq, Filsafat, Perbandingan Agama, dan Studi Pendidikan Sosial.[15] Syarat untuk diterima menjadi mahasiswa ADIA adalah lulusan atau berijazah SGAA, PGAA, atau PHIN, mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 2 tahun dan berumur tidak lebih dari 30 tahun.
Pada dasarnya, ADIA bertujuan untuk mendidik guru-guru agama pegawai negeri agar lebih mempunyai kompetensi dalam mengajar. Secara formal, tujuannya adalah mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum, maupun kejuruan dan agama.[16]
H. Peranan ADIA
Seperti tujuan utamanya sebagai sarana dan lembaga pendidikan bagi pegawai negeri Departemen Agama untuk lebih berkompeten dalam mengajarkan ilmu-ilmu keagaamaan, ADIA tentu sangat berperan memajukan pendidikan nasional Indonesia. Peran ini dimainkan dari pelatihan-pelatihan guru yang diadakan oleh ADIA. Dengan berdirinya ADIA, guru-guru yang tidak mempunyai ijazah sarjana atau setingkatnya mempunyai peluang untuk mendapatkan ijazah setingkat. Hal ini tentu saja akan meningkatkan standar kualitas para guru yang kemudian akan berakibat kepada meningkatnya standar pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
- Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.Bandung : Citapustaka Media, 2001.
- H.S, Mastudi dan Wahid, Marzuki. Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia:Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta : DEPAG RI, 2003.
- Hasjmy, A., Mengapa Ummat Islam Mempertahankan Pendidikan Agam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Jabalí, Fuad dan Jamhari (ed). IAIN : Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002
- Natsir, M. Capita Selecta. Jakarta : Bulan Bintang, 1973
__________________
[1] M. Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.90
[2] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung : Cita Pustaka Media, 2001), h.135
[3] I b i d.,h. 138
[4] Mulyanto Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975. (Jakarta : Dharma Bhakti, 1978), h.92
[5] MUstadi HS dan Marzuki Wahid, Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia:Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan . (Jakarta : DEPAG RI,2003), h.33-34
[6] Fuad Jabali dan Jamhari (ed), IAIN : Modernisasi Islam di Indonesia. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 3
[7] Pernyataan ini terdapat dalam penjelasan atas PP No.II tahun 1960 tentang pembentukan IAIN
[8] Ibid., h. 139
[9] Sumardi, Sejarah……., h. 91
[10] I b i d..,h. 92
[11] I b i d
[12] I b i d ..,77-79
[13] Daulay, Sejarah Pertumbuhan……,h. 140
[14] Sumardi, Sejarah Singkat….., h. 93
[15] Jabali, IAIN: Modernisasi…,h. 13
[16] Daulay, Sejarah Pertumbuhan……,h. 140