BAB I
PENDAHULUAN
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam.[1]
Kemudian posisi ilmu umum terus menguasai searah perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Madrasah itu kini disebut sekolah umum berciri khas agama, di mana ilmu agama hanya menjadi bagian kecil kurikulum lembaga ini.
Kemudian dalam makalah ini, kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang pengembangan madrasah yaitu tentang madrasah setelah kemerdekaan, pengembangan kualitas madrasah, dan pengembangan kurikulum madrasah.
1. Madrasah Setelah Kemerdekaan
Di Indonesia madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dalam proses pengembangannya telah mengalami strategi pengelolaan dengan tujuan yang berubah disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pada zaman sebelum kemerdekaan, madrasah dikelola untuk tujuan idealisme ukhrawi semata, yang mengabaikan tujuan hidup duniawi.
Akibatnya, dalam kehidupan kewarganegaraan, timbullah perbedaan kualitas hidup warga negara Indonesia antara pihak produk pendidikan sekolah umum yang bercorak sekuler, dengan pihak produk dari pendidikan madrasah yang berorientasi pada kehidupan ukhrawi semata.
Oleh karena itu seiring dengan tuntutan kemajuan masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan 1945, Madrasah yang eksistensinya tetap dipertahankan dalam masyarakat bangsa, diusahakan agar strategi pengelolaannya semakin mendekati sistem pengelolaan sekolah umum; bahkan secara pragmatis semakin terintegrasi dengan program kependidikan di sekolah umum. Sebaliknya, sekolah umum harus semakin dekat kepada pendidikan agama.[2]
Usaha ini dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat Indonesia pada saat itu. Serta strategi pengelolaan madrasah tersebut mendorong ke arah posisi yang menguntungkan bagi masa depan perkembangannya.
Akan tetapi pengelolaan ini juga masih ada kelemahannya, diantaranya kurang efektifnya pendidikan agama dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan input bagi mahasiswa IAIN, disamping kekurangan kualitas lulusan untuk input universitas umum.
2. Pengembangan Kualitas Madrasah
Pada proses pengembangannya, pengurusan tentang penyelenggaraan sekolah-sekolah agama termasuk madrasah menjadi tanggung jawab dan wewenang Departemen Agama.
Adapun usaha-usaha pemeritah untuk meningkatkan pembinaan madrasah baik kualitas maupun kuantitasnya dilakukan dalam bidang sebagai berikut :
Pembinaan Deversifikasi Kelembagaan Madrasah, diantaranya yaitu didirikannya Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada tahun 1958 yang berlangsung selama 8 tahun dengan materi pelajaran agama, umum dan keterampilan dalam bidang ekonomi, industrialisasi dan transmigrasi.[3]
Penegrian Madrasah, yakni dengan menegrikan Sekolah Rakyat Islam (SRI) menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri sebanyak 235 pada tahun 1962 berdasarkan keputusan Menteri Agama No. 104 tahun 1962.[4] Pemerintah menegrikan beberapa madrasah swasta tetapi dengan seleksi yang ketat dengan memprioritaskan pada madrasah yang secara keseluruhan masih memerlukan intervensi pemerintah.[5]
Pembinaan pendidikan dan pengajaran, meliputi bidang-bidang kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana, pengawasan dan lain-lain terhadap Madrasah Negeri dan Swasta. Ada juga usaha-usaha peningkatan tamatan madrasah dengan digulirnya SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama 3 Menteri) yaitu menteri agama, menteri keagamaan dan kebudayaan dan menteri dalam negeri yang berisi :
1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum.
2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum.
3) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.[6]
Akan tetapi meskipun madrasah telah dibina oleh pemerintah, lembaga pendidikan ini tetap gigih dalam mengembangkannya dan bekerja sama dengan pemerintah.
3. Pengembangan Kurikulum Madrasah
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah terus digulirkan, begitu juga usaha menuju ke kesatuan sistem pendidikan nasional dalam rangka pembinaan semakin ditingkatkan. Usaha tersebut mulai terealisasi, terutama dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri. Di antara pengembangan kurikulum di madrasah yaitu :
Kurikulum 1976 berdasarkan SKB 3 Menteri
Berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, yang dimaksud dengan madrasah ialah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran umum. Madrasah dalam hal ini memiliki tiga jenjang atau tingkatan; Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang masing-masing sejajar dengan SD, SMP dan SMA.[7]
1. Kurikulum 1984 berdasarkan SKB 2 Menteri
Menindak lanjuti SKB 3 Menteri, dikeluarkan lagi SKB Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama No. 299/U/1984 dan No. 45 tahun 1984, tentang Peraturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. Dari sini lahirlah kurikulum 1984, yang memuat hal strategis sebagai berikut :
a) Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTS, MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler, ko kurikuler dan ekstra kurikuler, baik dalam program inti maupun program pilihan.
b) Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang dipelajari.
c) Penilaian dilakukan secara kesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan meningkatkan proses dan hasil belajar serta pengolahan program.[8]
2. Kurikulum 1994
Kurikilum 1994 dirancang dan dikembangkan dengan cepat dan penuh pertimbangan, dengan menekan sekecil mungkin kelemahan yang terdapat pada kurikulum sebelumnya, terutama pada syaratnya bukan pelajaran yang ditaggung siswa dan orientasinya yang menekankan pada target hasil belajar bukan pada proses pembelajarannya.
Pada kurikulum 1994, guru diberi wewenang untuk berimprovisasi dengan kurikulum yang sudah disusun. Guru leluasa mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan setiap pokok bahasan atau subpokok sesuai dengan kebutuhan. Guru pun diberi kewenangan dalam menentukan metode, penilaian, dan sarana pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, sehingga siswa aktif dalam pembelajaran, baik fisik, mental (intelektual dan emosional), maupun sosial.[9]
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
KBK dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.[10]
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sosial/ daerah, karakteristik sekolah/ daerah, sesuai budaya masyarakat setempat dan karakteristik peserta didik.[11]
Upaya pengembangan dan peningkatan mutu bagi madrasah terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka madrasah pun tidak mau ketinggalan.
Akan tetapi pada dasarnya dari berbagai pengembangan kurikulum yang ada, pendidikan agama Islam yang pada awalnya merupakan ciri khas dari madrasah itu sendiri yang tetap menduduki porsi lebih sedikit dibandingkan pendidikan umum.
MADRASAH DARI MASA KE MASA
BERBICARA tentang perkembangan madrasah tidak bisa lepas dari perkembangan Islam di Indonesia. Bermula dari keinginan para pemeluk Islam mempelajari dan mendalami lebih jauh tentang ajaran agamanya, muncul pendidikan agama yang secara sporadis dilaksanakan di rumah-rumah, langgar, masjid, lalu berkembang menjadi lembaga yang disebut pondok pesantren.
Pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara persis kapan pesantren mulai ada. Namun sekurang-kurangnya bisa diketahui, pada awal abad ke-17 terdapat pesantren di Jawa yang didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik (tahun 1619).
Baru pada akhir abad ke-19, Belanda atas saran Snouck Hurgronje mulai memperkenalkan sistem pendidikan klasikal untuk memperluas pengaruh pemerintah kolonialnya dan menandingi pengaruh pesantren yang luar biasa. Pesantren selalu waspada terhadap politik etis Belanda.
Setelah menyadari perlunya perubahan atau penambahan sistem pendidikannya, maka baru pada awal abad ke-20, pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Sistem ini dilengkapi dengan pengetahuan umum -walaupun masih sangat terbatas- sebagai jawaban positif atas terjadinya perubahan-perubahan akibat politik etis kolonial.
Madrasah sudah mengajarkan pengetahuan umum sejak awal, sesuai dengan kebutuhan. Namun ia tetap merupakan pengembangan dari pesantren, menekankan pendidikan keagamaan Islam, terutama menyangkut disiplin akidah, syari'ah dan akhlak. Titik tekan ini masih mampu dipertahankan secara mencolok sampai akhir masa penjajahan Jepang.
Prestasi yang dapat dilihat adalah munculnya para alumni yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai. Mereka dinilai tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, juga memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah sosial dan lingkungan.
Madrasah dengan titik tekan materi pendidikannya di atas, diperkuat lagi dengan sikap non-kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah kolonial Belanda, sengaja tidak menelorkan anak didik sebagai tenaga kerja dan birokrat kolonial. Kegiatan pendidikan yang diciptakan pesantren dan madrasahnya tidak diproyeksikan pada produktifitas kerja.
Madrasah dan pesantren bahkan menentang paham priyayiisme yang sengaja diangkat oleh Belanda untuk menarik pengaruh masyarakat terhadap timbulnya 'nilai lain' akibat perbedaan status sosial. Ijazah-ijazah formal sebagai tanda keberhasilan pendidikan murid, belum mampu mempengaruhi mereka untuk mengubah pandangan, dari dasar menuntut ilmu li wajhillah ke arah pandangan yang bersifat duniawi. Dari sini timbul watak kemandirian, sebuah ciri utama dan identitas madrasah waktu itu, sesuai dengan induk pengembangnya yaitu pesantren.
KETIKA awal masa kemerdekaan RI sampai adanya SKB Tiga Menteri, madrasah dengan persentase lumayan masih konsisten berdiri di atas orientasinya sendiri. Perubahan struktur sosial kemudian mendorong pesantren menyesuaikan diri dengan kebutuhan mendasar yang dipolakan oleh sistem pendidikan nasional. Berbagai komponen bidang studi yang semula belum menjadi wilayah garapan madrasah, lalu muncul.
Dulu madrash hanya mengenal sistem klasikal dalam bentuk shiff (kelas) satu sampai dengan enam atau sampai belasan (seperti di Madrasah Mamba’ul Ulum). Kini, pengelolaannya semakin meningkat dengan sistem manajerial madrasah. Ada komponen kurikulum secara teratur, ketatausahaan yang lengkap dan sebagainya. Pendek kata, madrasah mulai berusaha mengembangkan dirinya sesempurna mungkin, sebagai sisi lain dari sistem pendidikan nasional, terutama pada waktu lembaga ini menjadi rival Departeman Agama dengan kebijaksanaanya membentuk MWB (Madrasah Wajib Belajar).
Bila pada awal kemerdekaan, madrasah pada galibnya menolak campur tangan pemerintah, sikap itu muncul terutama karena negara baru ini berwatak duniawi dan nasionalistis. Sedangkan madrasah yang dikelola swasta memiliki tradisi keagamaan. Mulai masa MWB itu, rnadrasah mengakomodasikan sikap. Subsidi pemerintah dalam bentuk material mulai diterima. Maknanya, ia mulai membuka keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri -walaupun secara selektif- mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan terutama bagi yang kekurangan tenaga guru.
Ide peningkatan madrasah yang datang dari pemerintah untuk mengubah orientasi kepada pola sistem pendidikan mulai diterima, sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk dan ragamnya yang sesuai dengan peningkatan kualitasnya. Sejak ini, banyak perubahan-perubahan besar di madrasah. Akan tetapi secara ideal saat itu madrasah masih dapat konsisten pada titik tekan disiplin ilmunya, walaupun dipandang dari sudut prestasinya mengalami penurunan.
Ilustrasi di atas memperlihatkan, madrasah mampu menunjukkan daya adaptasi untuk menyerap unsurunsur inovasi. Lebih dari itu, madrasah mempunyai daya tangkap terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekelilingaya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah, apakah proses penyerapan unsur-unsur baru dan perubahan hasil daya tangkap terhadap persoalan masyarakat itu memperkuat identitasnya semula (karakter keagamaan dan kemandiriannya), atau justru memperlemah dan akhirnya menghilangkan sama sekali identitasnya? Apakah proses dan perubahan itu memberikan makna baru bagi identitas lama tersebut?
SUATU fenomena lain yang merupakan kelanjutan dari proses itu ialah ketika SKB Tiga Menteri tahun 1975 diterapkan pada madrasah. Sejak itu madrasah dituntut mengikuti berbagai perkembangan sosial lebih jauh lagi dan beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB itu sebenarnya merupakan bentuk legalisasi saja dari tuntutan itu.
Mulailah madrasah menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah dan madrasah negeri. Apalagi setelah terbukanya kesempatan penegerian madrasah atau sekurang-kurangnya memfilialkan dengan negeri, ujian persamaan negeri dan UUB di madrasah.
Perubahan di madrasah kini tidak hanya terjadi pada kurikulum silabusnya dengan literatur yang baru, akan tetapi wawasannya juga berubah. Pendidikan di madrasah mulai berimplikasi pada kebutuhan hidup murid dan status sosial mereka di masa mendatang. Ijazah formal madrasah, ijazah hasil ujian persamaan negeri menjadi amat penting dan berpengaruh mengubah pandangan ke arah duniawi.
Nilai belajar li wajhillah mulai pudar atau hilang sama sekali, digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan priyayiisme yang dulu ditentang oleh madrasah, sekarang justru ditolerir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitatif dengan banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian negeri. Komponen pendidikan agama menjadi sesuatu yang rutin saja. Rasa ketergantungan kepada pihak lain mulai menggeser watak kemandiriannya.
Gambaran di atas menunjukkan adanya perubahan nilai di madrasah. Orientasi dan titik-tekan materi pendidikan yang secara esensial menjadi identitasnya semula, menjadi hambar dengan konsekuensi mengubah posisi madrasah menjadi tidak jelas. Akhirnya madrasah di mata para peserta didik yang kritis, kurang mendapat perhatian kecuali kadang-kadang dianggap hanya sebagai tempat pelarian belajar.
STRUKTUR sosial dan sistem nilai yang berkembang di masyarakat mempunyai dampak yang kuat terhadap pendidikan termasuk di madrasah. Jika pemerintah kini sedang mengupayakan agar tahun 2000 Indonesia sudah mampu tinggal landas terbang mencapai status "negara maju", tentu akan terjadi berbagai perubahan besar. Antara lain peranan sektor industri akan semakin besar, menggeser peranan sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan lapangan kerja sebagian besar penduduk Indonesia, terutama 80% penduduk desa.
Bersamaan dengan itu, sektor jasa yang selama ini relatif masih terbatas juga akan mengalami perubahan besar, di mana peranan modal dan keterampilan akan sangat menentukan. Alam lingkungan tidak begitu ramah lagi, antara lain disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang terus membengkak dan akan banyak mempengaruhi kebebasan dan kelestariannya.
Semua perubahan yang akan terjadi itu tentu akan mempengaruhi pendidikan madrasah. Sedangkan perubahan yang terjadi pada diri madrasah, dengan serinya rnembawa kemelut dalam wawasan yang dimilikinya. Madrasah tidak dapat mengubah wawasan pendidikannya begitu saja, tanpa kehilangan identitas diri semula.
Tanpa mampu memecahkan masalah dilematik seperti itu, madrasah jelas tidak mampu melakukan kerja pengembangan apapun yang bersifat konsepsional. Di sinilah madrasah dihadapkan kepada masa esok yang cerah atau suram, tergantung kemampuan madrasah mengembangkan dirinya sekaligus memecahkan masalah dilematik di atas.
Satu hal yang harus dilakukan oleh madrasah dalam pengembangan diri ialah, melihat masalah-masalah dasar yang dihadapi madrasah. Masalah-masalah dasar itu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, baik yang bersifat internal (seperti kualitas pimpinan dan pengelola pendidikan madrasah), maupun yang bersifat eksternal (seperti aspirasi umat, perkembangan sosial dll). Namun pada dasarnya, masalah utama yang dihadapi madrasah adalah:
a. Masalah identitas diri madrasah, dalam hubungannya dengan karakteristik dan kemandiriannya terhadap lembaga-lembaga lain di masyarakat.
b. Masalah jenis pendidikan yang dipilih sebagai alternatif dasar yang akan dikelola untuk menciptakan satu sistem pendidikan yang masih memiliki titik-tekan keagamaan, tetapi pengetahuan umum tetap diberi porsi cukup sebagai basis mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat.
c. Masalah sumber daya internal yang ada dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di masa esok.
SATU hal yang rumit bagi madrasah adalah, usaha pengembangan yang diarahkan untuk mendekatkan atau menghilangkan sama sekali polarisasi dua orientasi-orientasi agama dan orientasi umum- menuju keseimbangan dalam porsi yang sama. Tujuan itu juga erat korelasinya dengan identitas madrasah. Madrasah adalah madrasah, bukan sekolah umum dan tentu memiliki identitas sendiri, walaupun "madrasah" dari segi bahasa adalah nama lain dari "sekolah".
Madrasah sebagai lembaga pendidikan lslam, kecuali memiliki identitas sendiri, juga mempunyai tujuan bagi sasaran didiknya. Dilihat dari sudut sasaran ini, ada dua dimensi yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan tujuan pendidikan. Secara mikro dapat dipandang, peserta didik sebagai makhluk individu, dan secara makro dipandang sebagai makhluk sosial.
Sebagai individu, ia diharapkan menjadi manusia "akram” dan "shalih" dalam artinya yang luas. Sedangkan sebagai makhluk sosial diharapkan menjadi manusia yang bertanggung jawab kepada masyarakat, dalam rangka melaksanakan dua tugas utama 'khalifatullah" di atas bumi ini, yaitu ’ibadatullah dan 'imaratul ardli (beribadah kepada Allah dan membangun di atas bumi). Kesemuanya itu diarahkan untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni sa'adatud darain.
Madrasah yang juga sebagai media perjuangan rnempertahankan ajaran Islam, amat penting diusahakan kelestarian dan keberadannnya di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan akan tinggal landas. Madrasah harus mampu secara dinamis dan kreatif menjawab segala tantangan seraya memperkuat misinya, tanpa kehilangan identitasnya yang hakiki. Dalam hal ini, madrasah tidak boleh menutup mata sebelah terhadap kenyataan-kenyataan yang dihadapi, akan tetapi juga tidak selalu melihat (meniru) perkembangan kemajuan yang terjadi di sekelilingnya.
PROBLEMATIKA madrasah dewasa ini perlu disimak dan diamati secara akurat, sebagai bahan mengaca diri untuk memetakan prospeknya di masa mendatang. Upaya ini mesti berangkat dari kondisi objektif, utamanya di bidang pendidikan yang mempengaruhi proses perkembangan madrasah itu sendiri.
Dewasa ini, setiap anggota masyarakat dengan berbagai latar belakang stratifikasi sosialnya mempunyai persepsi dan antisipasi pendidikan yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya dari sisi kegunaan praktis sebagai suatu bidang usaha yang bersifat ekonomis. Di pihak lain pendidikan dipandang sebagai sarana pembinaan kehidupan nilai-nilai budaya.
Pandangan pertama menumbuhkan kecenderungan perlunya menempatkan usaha pendidikan sebagai sarana mutlak untuk membentuk kualitas manusia yang bertumpu pada produktivitas kerja. Sedangkan pandangan kedua menekankan pendidikan moral dan budaya. Sementara itu, tujuan pendidikan nasional seperti dalam GBHN, untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa-bangsa".
Pengertiannya, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam proses pembangunan yang mempunyai cakupan lebih luas lagi ketimbang kedua pandangan di atas.
Madrasah pada umumnya, terutama dalam dekade terakhir ini, tampaknya mempunyai kecenderungan mencari pemecahan problematika dengan caranya sendiri. Rumusannya bisa jadi terpengaruh berbagai pola pandangan di atas atau karena lingkungan yang menuntut sikap akomodatif pada dirinya.
Pada prinsipnya, bentuk pemecahan itu ialah mengkompromikan antara wawasan di atas dengan konsekuensi orientasinya sendiri menjadi tidak jelas, walaupun arah sasaran akhirnya jelas untuk mengejar kredibilitas atau akreditasi langsung mau pun tidak langsung, demi mensejajarkan dirinya dengan "sekolah" (baca: bukan madrasah). Lalu berdirilah Madrasah Aliyah IPA (sekarang ada A2), ada lagi Aliyah IPS (sekarang A3) dan lain sebagainya.
Madrasah tidak lagi mempermasalahkan "identitas". Otonomi madrasah yang notabene "swasta" dan "mandiri" mulai berkurang. Upaya pengembangan kurikulum tersendiri untuk mengatasi problem-problem yang dihadapi masyarakat -termasuk komponen pendidikan agama sekalipun- mulai kurang dihiraukan demi mengejar status. Etatisme (kehidupan serba-negara) mulai mempengaruhi sikap, pandangan ataupun wawasannya.
Ijazah formal menjadi amat penting, bahkan manfaat ekonomisnya selalu diintrodusir kepada para peserta didik sebagai motivasi kegairahan peningkatan proses belajar-mengajar. Ironisnya, menurut Dr. Ir. Seno Sastroamidjojo -guru besar Universitas Diponegoro- masyarakat sendiri mendukungnya. Opini umum mengatakan, ijazah merupakan legitimasi untuk memperoleh pekerjaan.
Jadi proses pendidikan sekarang ini tidak lagi memacu kreativitas alumninya untuk menciptakan pekerjaan, namun mencari dan menunggu datangnya pekerjaan. Ini suatu proses ketergantungan. Lebih tandas lagi, sosiolog Dr. Loekman Sutrisno dari UGM- mengatakan, “Yang ada sekarang adalah intelektual-intelektual yang hanya berorientasi pada ekonomi. Kemudian timbul erosi, di antaranya gejala mahasiswa ingin cepat selesai, dapat pekerjaan dan jadi birokrat".
DAMPAK dari kenyataan-kenyataan di atas, secara kurang disadari oleh madrasah, ialah adanya semacam ambivalensi wawasan pada diri madrasah yang mengakibatkan makin kurang jelasnya orientasi yang dimiliki.
Kredibilitas formal sebuah lembaga pendidikan dengan segala konsekuensinya, secara argumentatif tidak mungkin dihindari. Tapi secara sportif harus diakui, hal itu melemahkan, bahkan mendangkalkan misi madrasah yang mempunyai ciri intrinsik berupa tradisi keilmuan agama Islam. Tata nilai Islami sebagai sumber referensi yang mampu melakukan transformasi kultural dan membentuk sikap rasional Islami dalam membangun manusia seutuhnya, mulai diabaikan.
Problem masyarakat yang belum mendapat perhatian serius dari kalangan madrasah, ialah kian meledaknya secara dahsyat jumlah anak usia sekolah yang sangat memerlukan bimbingan dan pendidikan agama Islam. Sebagai indikatornya, mushala, masjid, majelis ta'lim dan madrasah yang secara kuantitatif meningkat, semuanya dibanjiri oleh sekurang-kurangnya 70% dari kalangan muda, pelajar dan mahasiswa.
Namun bersamaan dengan itu, eksponen Muslim yang mampu menguasai ajaran Islam semakin langka. Apalagi sampai menguasai totalitas ilmu agama yang meliputi akidah, syari'ah dan akhlak. Kenyataan ini menunjukkan kemunduran kualitas ajaran Islam bagi peserta didik. Tenaga ahli agama secara kuantitatif mau pun kualitatif tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat. Kesenjangan yang mendasar antara Islam dan pemeltak terelakkan lagi.
Giliran berikutnya, tidak mustahil akan terjadi pemahaman dangkal terhadap ajaran Islam, dan akan muncul persepsi eksklusif atas ajaran Islam yang universal. Terbukti di dalam proses transformasi kultural dewasa ini, ada kecenderungan masyarakat untuk berorientasi pada tata nilai yang non-Islami. Ini mungkin karena kurangnya intensitas upaya mengangkat nilainilai Islamiyah ke perrnukaan secara aplikatif di tengah-tengah perkembangan masyarakat.
Sebab lain adalah, masih sulitnya menampilkan aktivitas bercorak Islam yang bertolak dari falsafah Pancasila. Hal ini menyangkut hubungan antara agama dan dasar negara yang rumit. Kenyataan yang diilustrasikan itu, memerlukan pemecahan tuntas dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan kondisi objektif mau pun potensi dan misi madrasah.
Madrasah (di samping pesantren) dewasa ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang masih mempunyai kredibilitas dari masyarakat di dalam menanamkan nilai-nilai Islami maupun penyebaran ajaran Islam. Namun sejauh mana madrasah mampu mengemban amanat tersebut, akan bergantung pada kemampuan mencari alternatif-altematif pemecahan problematika madrasah itu sendiri. Madrasah mesti mampu merumuskan sendiri prospeknya yang lebih utuh dengan konsep-konsep strategis dan rencana operasional yang tidak semata-mata utopis.
ANALISIS mengenai eksistensi madrasah dan masyarakatnya di atas, mengantarkan kepada penglihatan lebih jauh mengenai prospek madrasah berangkat dari kerangka acuan strategis. Pendidikan di madrasah tidak hanya diarahkan bagi peserta didik sebagai individu, tetapi juga sebagai anggota masyarakat. Jangkauan waktu pun tidak hanya untuk sekarang, tetapi jauh ke depan. Pembinnan semacam ini perlu direncanakan matang, karena hal itu merupakan proses normatif dan teknis, yang tentu saja akan bisa dicapai melalui satu pertumbuhan panjang dan kompleks, di mana semua aspek-aspeknya tidak mudah dikuantifikasikan.
Di sinilah diperlukan sebuah strategi yang, di satu segi mengutamakan kenyataan-kenyataan yang hidup "di sini hari ini", sedangkan di segi lain mengutamakan, aspirasi pendidikan Islam yang perlu direalisasikan "di hari esok". Segi pertama berjangka pendek, yang kedua berjangka panjang.
Agar bernilai strategis, kebutuhan jangka pendek tidak dapat dibiarkan berhubungan semata-mata atas pengaruh kebutuhan pragmatis, tetapi harus ditetapkan dan dirancang; secara selektif agar dengan perkembangan itu dapat dicapai sisi kedua secara sinkron dan serasi. Dalam hal tersebut, sejak sekarang madrasah perlu merumuskan langkah-langkah kongkrit yang mempunyai nilai spesifik dalam konteks komunitas nasional.
Tapi intensitas pendidikan dan pengajaran Islam yang universal tetap dicernakan dalam suatu kerangka acuan paripurna dan terpadu antara pemenuhan kebutuhan pragmatis (produktivitas kerja) dan pembentukan watak dan karakter ''ke-akram-an" dalam arti "kelebihtakwaan". Watak ketakwaan itu tidak saja menekankan hal-hal yang semata-mata ritual formal, akan tetapi meliputi etika kemasyarakatan dan segala aspek kehidupan.
Dalam tahapan tertentu harus ditanamkan juga kemampuan menerima kenyataan hidup dan penyesuaian antara kebutuhan manusia dan ajaran agama. Demikian juga kebutuhan akan penafsiran atau reinterpretasi ajaran agama sampai titik tertentu, untuk menjaga aktualitas dan kontekstualitas ajaran agama serta untak mengenali kaitan kuat antara agama dan kehidupan.
Konsep ini akan mengantarkan madrasah mampu melaksanakan transformasi kultural yang sarat dengan motivasi dan nilai-nilai Islamiyah. Bila madrasah tidak mampu melakukan tugas transformasi kultural secara total, ia justru akan terbawa proses transformasi budaya di luarnya.
Karena itu, pendidikan agama harus mampu menumbuhkan sikap dan tingkah laku pribadi yang tanggap terhadap masalah sektoral yang terjadi dalam kehidupan, baik yang berwawasan mikro mau pun makro. Konsekuensinya, pendidikan agama harus menumbuhkan keberanian manusia didiknya untuk melakukan pilihan-pilihan yang dianggap tepat bagi kehidupan, untuk merumuskan sendiri jawaban yang dituntut oleh berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemampuan madrasah dalam hal membentak dirinya sendiri seperti di atas dengan konsep-konsep yang aplikatif serta dapat diproyeksikan dalam berbagai kegiatan nyata, diharapkan akan dapat membentuk imuan-ilmuan Muslim yang akram serta shalih. Di samping itu, ia juga memiliki kepekaan yang tinggi dan antisipasi jauh terhadap problem dan kemaslahatan makhluk dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, yakni 'ibadatullah dan 'imaratul ardli, yang pada gilirannya akan mampu rnencapai tujuan akhir dari kehidupan ini, yaitu sa'adatud darain.
Di sinilah letak tanggung jawab madrasah untuk mempertahankan identitasnya, menjadi lembaga tafaqquh fiddin secara utuh dan paripurna. Dalam komunitas nasional dan dalam lingkaran sistem pendidikan nasional, madrasah bisa menjadi alternatif ideal yang mampu melahirkan ilmuwan Muslim yang mempunyai integritas keagamaan dan sosial.
PENUTUP
Keberadaan madrasah sejak Indonesia merdeka sampai sekarang pada hakikatnya adalah kelanjutan dari keberadaan madrasah sejak awl berdirinya. Perbedaan utama tentang keberadaan madrasah di zaman ini terletak pada perhatian pemerintah yang sangat tinggi terhadap usaha peningkatan kualitas dan kuantitas madrasah baik negeri maupun swasta.
Madrasah terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui proses perubahan kurikulum dari tahun ke tahun.
REFERENSI
------------
[1] Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 23.
[2] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan : (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 109.
[3] Hardar Putra Daulay, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 75.
[4] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2001), 206.
[5] Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 122.
[6] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan……,206.
[7] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 74.
[8] Ibid, 77.
[9] Ibid, 80.
[10] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 37.
[11] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), 8.
Kemudian posisi ilmu umum terus menguasai searah perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Madrasah itu kini disebut sekolah umum berciri khas agama, di mana ilmu agama hanya menjadi bagian kecil kurikulum lembaga ini.
Kemudian dalam makalah ini, kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang pengembangan madrasah yaitu tentang madrasah setelah kemerdekaan, pengembangan kualitas madrasah, dan pengembangan kurikulum madrasah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Madrasah Setelah Kemerdekaan
Di Indonesia madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dalam proses pengembangannya telah mengalami strategi pengelolaan dengan tujuan yang berubah disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pada zaman sebelum kemerdekaan, madrasah dikelola untuk tujuan idealisme ukhrawi semata, yang mengabaikan tujuan hidup duniawi.
Akibatnya, dalam kehidupan kewarganegaraan, timbullah perbedaan kualitas hidup warga negara Indonesia antara pihak produk pendidikan sekolah umum yang bercorak sekuler, dengan pihak produk dari pendidikan madrasah yang berorientasi pada kehidupan ukhrawi semata.
Oleh karena itu seiring dengan tuntutan kemajuan masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan 1945, Madrasah yang eksistensinya tetap dipertahankan dalam masyarakat bangsa, diusahakan agar strategi pengelolaannya semakin mendekati sistem pengelolaan sekolah umum; bahkan secara pragmatis semakin terintegrasi dengan program kependidikan di sekolah umum. Sebaliknya, sekolah umum harus semakin dekat kepada pendidikan agama.[2]
Usaha ini dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat Indonesia pada saat itu. Serta strategi pengelolaan madrasah tersebut mendorong ke arah posisi yang menguntungkan bagi masa depan perkembangannya.
Akan tetapi pengelolaan ini juga masih ada kelemahannya, diantaranya kurang efektifnya pendidikan agama dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan input bagi mahasiswa IAIN, disamping kekurangan kualitas lulusan untuk input universitas umum.
2. Pengembangan Kualitas Madrasah
Pada proses pengembangannya, pengurusan tentang penyelenggaraan sekolah-sekolah agama termasuk madrasah menjadi tanggung jawab dan wewenang Departemen Agama.
Adapun usaha-usaha pemeritah untuk meningkatkan pembinaan madrasah baik kualitas maupun kuantitasnya dilakukan dalam bidang sebagai berikut :
Pembinaan Deversifikasi Kelembagaan Madrasah, diantaranya yaitu didirikannya Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada tahun 1958 yang berlangsung selama 8 tahun dengan materi pelajaran agama, umum dan keterampilan dalam bidang ekonomi, industrialisasi dan transmigrasi.[3]
Penegrian Madrasah, yakni dengan menegrikan Sekolah Rakyat Islam (SRI) menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri sebanyak 235 pada tahun 1962 berdasarkan keputusan Menteri Agama No. 104 tahun 1962.[4] Pemerintah menegrikan beberapa madrasah swasta tetapi dengan seleksi yang ketat dengan memprioritaskan pada madrasah yang secara keseluruhan masih memerlukan intervensi pemerintah.[5]
Pembinaan pendidikan dan pengajaran, meliputi bidang-bidang kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana, pengawasan dan lain-lain terhadap Madrasah Negeri dan Swasta. Ada juga usaha-usaha peningkatan tamatan madrasah dengan digulirnya SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama 3 Menteri) yaitu menteri agama, menteri keagamaan dan kebudayaan dan menteri dalam negeri yang berisi :
1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum.
2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum.
3) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.[6]
Akan tetapi meskipun madrasah telah dibina oleh pemerintah, lembaga pendidikan ini tetap gigih dalam mengembangkannya dan bekerja sama dengan pemerintah.
3. Pengembangan Kurikulum Madrasah
Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah terus digulirkan, begitu juga usaha menuju ke kesatuan sistem pendidikan nasional dalam rangka pembinaan semakin ditingkatkan. Usaha tersebut mulai terealisasi, terutama dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri. Di antara pengembangan kurikulum di madrasah yaitu :
Kurikulum 1976 berdasarkan SKB 3 Menteri
Berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, yang dimaksud dengan madrasah ialah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran umum. Madrasah dalam hal ini memiliki tiga jenjang atau tingkatan; Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang masing-masing sejajar dengan SD, SMP dan SMA.[7]
1. Kurikulum 1984 berdasarkan SKB 2 Menteri
Menindak lanjuti SKB 3 Menteri, dikeluarkan lagi SKB Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama No. 299/U/1984 dan No. 45 tahun 1984, tentang Peraturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. Dari sini lahirlah kurikulum 1984, yang memuat hal strategis sebagai berikut :
a) Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTS, MA) tahun 1984 dilakukan melalui kegiatan intra kurikuler, ko kurikuler dan ekstra kurikuler, baik dalam program inti maupun program pilihan.
b) Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan apa yang dipelajari.
c) Penilaian dilakukan secara kesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan meningkatkan proses dan hasil belajar serta pengolahan program.[8]
Kurikilum 1994 dirancang dan dikembangkan dengan cepat dan penuh pertimbangan, dengan menekan sekecil mungkin kelemahan yang terdapat pada kurikulum sebelumnya, terutama pada syaratnya bukan pelajaran yang ditaggung siswa dan orientasinya yang menekankan pada target hasil belajar bukan pada proses pembelajarannya.
Pada kurikulum 1994, guru diberi wewenang untuk berimprovisasi dengan kurikulum yang sudah disusun. Guru leluasa mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan setiap pokok bahasan atau subpokok sesuai dengan kebutuhan. Guru pun diberi kewenangan dalam menentukan metode, penilaian, dan sarana pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, sehingga siswa aktif dalam pembelajaran, baik fisik, mental (intelektual dan emosional), maupun sosial.[9]
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
KBK dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.[10]
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sosial/ daerah, karakteristik sekolah/ daerah, sesuai budaya masyarakat setempat dan karakteristik peserta didik.[11]
Upaya pengembangan dan peningkatan mutu bagi madrasah terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka madrasah pun tidak mau ketinggalan.
Akan tetapi pada dasarnya dari berbagai pengembangan kurikulum yang ada, pendidikan agama Islam yang pada awalnya merupakan ciri khas dari madrasah itu sendiri yang tetap menduduki porsi lebih sedikit dibandingkan pendidikan umum.
MADRASAH DARI MASA KE MASA
BERBICARA tentang perkembangan madrasah tidak bisa lepas dari perkembangan Islam di Indonesia. Bermula dari keinginan para pemeluk Islam mempelajari dan mendalami lebih jauh tentang ajaran agamanya, muncul pendidikan agama yang secara sporadis dilaksanakan di rumah-rumah, langgar, masjid, lalu berkembang menjadi lembaga yang disebut pondok pesantren.
Pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara persis kapan pesantren mulai ada. Namun sekurang-kurangnya bisa diketahui, pada awal abad ke-17 terdapat pesantren di Jawa yang didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik (tahun 1619).
Baru pada akhir abad ke-19, Belanda atas saran Snouck Hurgronje mulai memperkenalkan sistem pendidikan klasikal untuk memperluas pengaruh pemerintah kolonialnya dan menandingi pengaruh pesantren yang luar biasa. Pesantren selalu waspada terhadap politik etis Belanda.
Setelah menyadari perlunya perubahan atau penambahan sistem pendidikannya, maka baru pada awal abad ke-20, pesantren memperkenalkan sistem klasikal yang disebut madrasah. Sistem ini dilengkapi dengan pengetahuan umum -walaupun masih sangat terbatas- sebagai jawaban positif atas terjadinya perubahan-perubahan akibat politik etis kolonial.
Madrasah sudah mengajarkan pengetahuan umum sejak awal, sesuai dengan kebutuhan. Namun ia tetap merupakan pengembangan dari pesantren, menekankan pendidikan keagamaan Islam, terutama menyangkut disiplin akidah, syari'ah dan akhlak. Titik tekan ini masih mampu dipertahankan secara mencolok sampai akhir masa penjajahan Jepang.
Prestasi yang dapat dilihat adalah munculnya para alumni yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai. Mereka dinilai tangguh dan mampu mengembangkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, juga memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah sosial dan lingkungan.
Madrasah dengan titik tekan materi pendidikannya di atas, diperkuat lagi dengan sikap non-kooperatif para pendirinya terhadap pemerintah kolonial Belanda, sengaja tidak menelorkan anak didik sebagai tenaga kerja dan birokrat kolonial. Kegiatan pendidikan yang diciptakan pesantren dan madrasahnya tidak diproyeksikan pada produktifitas kerja.
Madrasah dan pesantren bahkan menentang paham priyayiisme yang sengaja diangkat oleh Belanda untuk menarik pengaruh masyarakat terhadap timbulnya 'nilai lain' akibat perbedaan status sosial. Ijazah-ijazah formal sebagai tanda keberhasilan pendidikan murid, belum mampu mempengaruhi mereka untuk mengubah pandangan, dari dasar menuntut ilmu li wajhillah ke arah pandangan yang bersifat duniawi. Dari sini timbul watak kemandirian, sebuah ciri utama dan identitas madrasah waktu itu, sesuai dengan induk pengembangnya yaitu pesantren.
KETIKA awal masa kemerdekaan RI sampai adanya SKB Tiga Menteri, madrasah dengan persentase lumayan masih konsisten berdiri di atas orientasinya sendiri. Perubahan struktur sosial kemudian mendorong pesantren menyesuaikan diri dengan kebutuhan mendasar yang dipolakan oleh sistem pendidikan nasional. Berbagai komponen bidang studi yang semula belum menjadi wilayah garapan madrasah, lalu muncul.
Dulu madrash hanya mengenal sistem klasikal dalam bentuk shiff (kelas) satu sampai dengan enam atau sampai belasan (seperti di Madrasah Mamba’ul Ulum). Kini, pengelolaannya semakin meningkat dengan sistem manajerial madrasah. Ada komponen kurikulum secara teratur, ketatausahaan yang lengkap dan sebagainya. Pendek kata, madrasah mulai berusaha mengembangkan dirinya sesempurna mungkin, sebagai sisi lain dari sistem pendidikan nasional, terutama pada waktu lembaga ini menjadi rival Departeman Agama dengan kebijaksanaanya membentuk MWB (Madrasah Wajib Belajar).
Bila pada awal kemerdekaan, madrasah pada galibnya menolak campur tangan pemerintah, sikap itu muncul terutama karena negara baru ini berwatak duniawi dan nasionalistis. Sedangkan madrasah yang dikelola swasta memiliki tradisi keagamaan. Mulai masa MWB itu, rnadrasah mengakomodasikan sikap. Subsidi pemerintah dalam bentuk material mulai diterima. Maknanya, ia mulai membuka keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri -walaupun secara selektif- mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan terutama bagi yang kekurangan tenaga guru.
Ide peningkatan madrasah yang datang dari pemerintah untuk mengubah orientasi kepada pola sistem pendidikan mulai diterima, sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk dan ragamnya yang sesuai dengan peningkatan kualitasnya. Sejak ini, banyak perubahan-perubahan besar di madrasah. Akan tetapi secara ideal saat itu madrasah masih dapat konsisten pada titik tekan disiplin ilmunya, walaupun dipandang dari sudut prestasinya mengalami penurunan.
Ilustrasi di atas memperlihatkan, madrasah mampu menunjukkan daya adaptasi untuk menyerap unsurunsur inovasi. Lebih dari itu, madrasah mempunyai daya tangkap terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekelilingaya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah, apakah proses penyerapan unsur-unsur baru dan perubahan hasil daya tangkap terhadap persoalan masyarakat itu memperkuat identitasnya semula (karakter keagamaan dan kemandiriannya), atau justru memperlemah dan akhirnya menghilangkan sama sekali identitasnya? Apakah proses dan perubahan itu memberikan makna baru bagi identitas lama tersebut?
SUATU fenomena lain yang merupakan kelanjutan dari proses itu ialah ketika SKB Tiga Menteri tahun 1975 diterapkan pada madrasah. Sejak itu madrasah dituntut mengikuti berbagai perkembangan sosial lebih jauh lagi dan beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB itu sebenarnya merupakan bentuk legalisasi saja dari tuntutan itu.
Mulailah madrasah menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah dan madrasah negeri. Apalagi setelah terbukanya kesempatan penegerian madrasah atau sekurang-kurangnya memfilialkan dengan negeri, ujian persamaan negeri dan UUB di madrasah.
Perubahan di madrasah kini tidak hanya terjadi pada kurikulum silabusnya dengan literatur yang baru, akan tetapi wawasannya juga berubah. Pendidikan di madrasah mulai berimplikasi pada kebutuhan hidup murid dan status sosial mereka di masa mendatang. Ijazah formal madrasah, ijazah hasil ujian persamaan negeri menjadi amat penting dan berpengaruh mengubah pandangan ke arah duniawi.
Nilai belajar li wajhillah mulai pudar atau hilang sama sekali, digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan priyayiisme yang dulu ditentang oleh madrasah, sekarang justru ditolerir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitatif dengan banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian negeri. Komponen pendidikan agama menjadi sesuatu yang rutin saja. Rasa ketergantungan kepada pihak lain mulai menggeser watak kemandiriannya.
Gambaran di atas menunjukkan adanya perubahan nilai di madrasah. Orientasi dan titik-tekan materi pendidikan yang secara esensial menjadi identitasnya semula, menjadi hambar dengan konsekuensi mengubah posisi madrasah menjadi tidak jelas. Akhirnya madrasah di mata para peserta didik yang kritis, kurang mendapat perhatian kecuali kadang-kadang dianggap hanya sebagai tempat pelarian belajar.
STRUKTUR sosial dan sistem nilai yang berkembang di masyarakat mempunyai dampak yang kuat terhadap pendidikan termasuk di madrasah. Jika pemerintah kini sedang mengupayakan agar tahun 2000 Indonesia sudah mampu tinggal landas terbang mencapai status "negara maju", tentu akan terjadi berbagai perubahan besar. Antara lain peranan sektor industri akan semakin besar, menggeser peranan sektor pertanian yang selama ini menjadi tumpuan lapangan kerja sebagian besar penduduk Indonesia, terutama 80% penduduk desa.
Bersamaan dengan itu, sektor jasa yang selama ini relatif masih terbatas juga akan mengalami perubahan besar, di mana peranan modal dan keterampilan akan sangat menentukan. Alam lingkungan tidak begitu ramah lagi, antara lain disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang terus membengkak dan akan banyak mempengaruhi kebebasan dan kelestariannya.
Semua perubahan yang akan terjadi itu tentu akan mempengaruhi pendidikan madrasah. Sedangkan perubahan yang terjadi pada diri madrasah, dengan serinya rnembawa kemelut dalam wawasan yang dimilikinya. Madrasah tidak dapat mengubah wawasan pendidikannya begitu saja, tanpa kehilangan identitas diri semula.
Tanpa mampu memecahkan masalah dilematik seperti itu, madrasah jelas tidak mampu melakukan kerja pengembangan apapun yang bersifat konsepsional. Di sinilah madrasah dihadapkan kepada masa esok yang cerah atau suram, tergantung kemampuan madrasah mengembangkan dirinya sekaligus memecahkan masalah dilematik di atas.
Satu hal yang harus dilakukan oleh madrasah dalam pengembangan diri ialah, melihat masalah-masalah dasar yang dihadapi madrasah. Masalah-masalah dasar itu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, baik yang bersifat internal (seperti kualitas pimpinan dan pengelola pendidikan madrasah), maupun yang bersifat eksternal (seperti aspirasi umat, perkembangan sosial dll). Namun pada dasarnya, masalah utama yang dihadapi madrasah adalah:
a. Masalah identitas diri madrasah, dalam hubungannya dengan karakteristik dan kemandiriannya terhadap lembaga-lembaga lain di masyarakat.
b. Masalah jenis pendidikan yang dipilih sebagai alternatif dasar yang akan dikelola untuk menciptakan satu sistem pendidikan yang masih memiliki titik-tekan keagamaan, tetapi pengetahuan umum tetap diberi porsi cukup sebagai basis mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat.
c. Masalah sumber daya internal yang ada dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di masa esok.
SATU hal yang rumit bagi madrasah adalah, usaha pengembangan yang diarahkan untuk mendekatkan atau menghilangkan sama sekali polarisasi dua orientasi-orientasi agama dan orientasi umum- menuju keseimbangan dalam porsi yang sama. Tujuan itu juga erat korelasinya dengan identitas madrasah. Madrasah adalah madrasah, bukan sekolah umum dan tentu memiliki identitas sendiri, walaupun "madrasah" dari segi bahasa adalah nama lain dari "sekolah".
Madrasah sebagai lembaga pendidikan lslam, kecuali memiliki identitas sendiri, juga mempunyai tujuan bagi sasaran didiknya. Dilihat dari sudut sasaran ini, ada dua dimensi yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan tujuan pendidikan. Secara mikro dapat dipandang, peserta didik sebagai makhluk individu, dan secara makro dipandang sebagai makhluk sosial.
Sebagai individu, ia diharapkan menjadi manusia "akram” dan "shalih" dalam artinya yang luas. Sedangkan sebagai makhluk sosial diharapkan menjadi manusia yang bertanggung jawab kepada masyarakat, dalam rangka melaksanakan dua tugas utama 'khalifatullah" di atas bumi ini, yaitu ’ibadatullah dan 'imaratul ardli (beribadah kepada Allah dan membangun di atas bumi). Kesemuanya itu diarahkan untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni sa'adatud darain.
Madrasah yang juga sebagai media perjuangan rnempertahankan ajaran Islam, amat penting diusahakan kelestarian dan keberadannnya di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan akan tinggal landas. Madrasah harus mampu secara dinamis dan kreatif menjawab segala tantangan seraya memperkuat misinya, tanpa kehilangan identitasnya yang hakiki. Dalam hal ini, madrasah tidak boleh menutup mata sebelah terhadap kenyataan-kenyataan yang dihadapi, akan tetapi juga tidak selalu melihat (meniru) perkembangan kemajuan yang terjadi di sekelilingnya.
PROBLEMATIKA madrasah dewasa ini perlu disimak dan diamati secara akurat, sebagai bahan mengaca diri untuk memetakan prospeknya di masa mendatang. Upaya ini mesti berangkat dari kondisi objektif, utamanya di bidang pendidikan yang mempengaruhi proses perkembangan madrasah itu sendiri.
Dewasa ini, setiap anggota masyarakat dengan berbagai latar belakang stratifikasi sosialnya mempunyai persepsi dan antisipasi pendidikan yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya dari sisi kegunaan praktis sebagai suatu bidang usaha yang bersifat ekonomis. Di pihak lain pendidikan dipandang sebagai sarana pembinaan kehidupan nilai-nilai budaya.
Pandangan pertama menumbuhkan kecenderungan perlunya menempatkan usaha pendidikan sebagai sarana mutlak untuk membentuk kualitas manusia yang bertumpu pada produktivitas kerja. Sedangkan pandangan kedua menekankan pendidikan moral dan budaya. Sementara itu, tujuan pendidikan nasional seperti dalam GBHN, untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa-bangsa".
Pengertiannya, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam proses pembangunan yang mempunyai cakupan lebih luas lagi ketimbang kedua pandangan di atas.
Madrasah pada umumnya, terutama dalam dekade terakhir ini, tampaknya mempunyai kecenderungan mencari pemecahan problematika dengan caranya sendiri. Rumusannya bisa jadi terpengaruh berbagai pola pandangan di atas atau karena lingkungan yang menuntut sikap akomodatif pada dirinya.
Pada prinsipnya, bentuk pemecahan itu ialah mengkompromikan antara wawasan di atas dengan konsekuensi orientasinya sendiri menjadi tidak jelas, walaupun arah sasaran akhirnya jelas untuk mengejar kredibilitas atau akreditasi langsung mau pun tidak langsung, demi mensejajarkan dirinya dengan "sekolah" (baca: bukan madrasah). Lalu berdirilah Madrasah Aliyah IPA (sekarang ada A2), ada lagi Aliyah IPS (sekarang A3) dan lain sebagainya.
Madrasah tidak lagi mempermasalahkan "identitas". Otonomi madrasah yang notabene "swasta" dan "mandiri" mulai berkurang. Upaya pengembangan kurikulum tersendiri untuk mengatasi problem-problem yang dihadapi masyarakat -termasuk komponen pendidikan agama sekalipun- mulai kurang dihiraukan demi mengejar status. Etatisme (kehidupan serba-negara) mulai mempengaruhi sikap, pandangan ataupun wawasannya.
Ijazah formal menjadi amat penting, bahkan manfaat ekonomisnya selalu diintrodusir kepada para peserta didik sebagai motivasi kegairahan peningkatan proses belajar-mengajar. Ironisnya, menurut Dr. Ir. Seno Sastroamidjojo -guru besar Universitas Diponegoro- masyarakat sendiri mendukungnya. Opini umum mengatakan, ijazah merupakan legitimasi untuk memperoleh pekerjaan.
Jadi proses pendidikan sekarang ini tidak lagi memacu kreativitas alumninya untuk menciptakan pekerjaan, namun mencari dan menunggu datangnya pekerjaan. Ini suatu proses ketergantungan. Lebih tandas lagi, sosiolog Dr. Loekman Sutrisno dari UGM- mengatakan, “Yang ada sekarang adalah intelektual-intelektual yang hanya berorientasi pada ekonomi. Kemudian timbul erosi, di antaranya gejala mahasiswa ingin cepat selesai, dapat pekerjaan dan jadi birokrat".
DAMPAK dari kenyataan-kenyataan di atas, secara kurang disadari oleh madrasah, ialah adanya semacam ambivalensi wawasan pada diri madrasah yang mengakibatkan makin kurang jelasnya orientasi yang dimiliki.
Kredibilitas formal sebuah lembaga pendidikan dengan segala konsekuensinya, secara argumentatif tidak mungkin dihindari. Tapi secara sportif harus diakui, hal itu melemahkan, bahkan mendangkalkan misi madrasah yang mempunyai ciri intrinsik berupa tradisi keilmuan agama Islam. Tata nilai Islami sebagai sumber referensi yang mampu melakukan transformasi kultural dan membentuk sikap rasional Islami dalam membangun manusia seutuhnya, mulai diabaikan.
Problem masyarakat yang belum mendapat perhatian serius dari kalangan madrasah, ialah kian meledaknya secara dahsyat jumlah anak usia sekolah yang sangat memerlukan bimbingan dan pendidikan agama Islam. Sebagai indikatornya, mushala, masjid, majelis ta'lim dan madrasah yang secara kuantitatif meningkat, semuanya dibanjiri oleh sekurang-kurangnya 70% dari kalangan muda, pelajar dan mahasiswa.
Namun bersamaan dengan itu, eksponen Muslim yang mampu menguasai ajaran Islam semakin langka. Apalagi sampai menguasai totalitas ilmu agama yang meliputi akidah, syari'ah dan akhlak. Kenyataan ini menunjukkan kemunduran kualitas ajaran Islam bagi peserta didik. Tenaga ahli agama secara kuantitatif mau pun kualitatif tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat. Kesenjangan yang mendasar antara Islam dan pemeltak terelakkan lagi.
Giliran berikutnya, tidak mustahil akan terjadi pemahaman dangkal terhadap ajaran Islam, dan akan muncul persepsi eksklusif atas ajaran Islam yang universal. Terbukti di dalam proses transformasi kultural dewasa ini, ada kecenderungan masyarakat untuk berorientasi pada tata nilai yang non-Islami. Ini mungkin karena kurangnya intensitas upaya mengangkat nilainilai Islamiyah ke perrnukaan secara aplikatif di tengah-tengah perkembangan masyarakat.
Sebab lain adalah, masih sulitnya menampilkan aktivitas bercorak Islam yang bertolak dari falsafah Pancasila. Hal ini menyangkut hubungan antara agama dan dasar negara yang rumit. Kenyataan yang diilustrasikan itu, memerlukan pemecahan tuntas dengan tahapan-tahapan yang sesuai dengan kondisi objektif mau pun potensi dan misi madrasah.
Madrasah (di samping pesantren) dewasa ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang masih mempunyai kredibilitas dari masyarakat di dalam menanamkan nilai-nilai Islami maupun penyebaran ajaran Islam. Namun sejauh mana madrasah mampu mengemban amanat tersebut, akan bergantung pada kemampuan mencari alternatif-altematif pemecahan problematika madrasah itu sendiri. Madrasah mesti mampu merumuskan sendiri prospeknya yang lebih utuh dengan konsep-konsep strategis dan rencana operasional yang tidak semata-mata utopis.
ANALISIS mengenai eksistensi madrasah dan masyarakatnya di atas, mengantarkan kepada penglihatan lebih jauh mengenai prospek madrasah berangkat dari kerangka acuan strategis. Pendidikan di madrasah tidak hanya diarahkan bagi peserta didik sebagai individu, tetapi juga sebagai anggota masyarakat. Jangkauan waktu pun tidak hanya untuk sekarang, tetapi jauh ke depan. Pembinnan semacam ini perlu direncanakan matang, karena hal itu merupakan proses normatif dan teknis, yang tentu saja akan bisa dicapai melalui satu pertumbuhan panjang dan kompleks, di mana semua aspek-aspeknya tidak mudah dikuantifikasikan.
Di sinilah diperlukan sebuah strategi yang, di satu segi mengutamakan kenyataan-kenyataan yang hidup "di sini hari ini", sedangkan di segi lain mengutamakan, aspirasi pendidikan Islam yang perlu direalisasikan "di hari esok". Segi pertama berjangka pendek, yang kedua berjangka panjang.
Agar bernilai strategis, kebutuhan jangka pendek tidak dapat dibiarkan berhubungan semata-mata atas pengaruh kebutuhan pragmatis, tetapi harus ditetapkan dan dirancang; secara selektif agar dengan perkembangan itu dapat dicapai sisi kedua secara sinkron dan serasi. Dalam hal tersebut, sejak sekarang madrasah perlu merumuskan langkah-langkah kongkrit yang mempunyai nilai spesifik dalam konteks komunitas nasional.
Tapi intensitas pendidikan dan pengajaran Islam yang universal tetap dicernakan dalam suatu kerangka acuan paripurna dan terpadu antara pemenuhan kebutuhan pragmatis (produktivitas kerja) dan pembentukan watak dan karakter ''ke-akram-an" dalam arti "kelebihtakwaan". Watak ketakwaan itu tidak saja menekankan hal-hal yang semata-mata ritual formal, akan tetapi meliputi etika kemasyarakatan dan segala aspek kehidupan.
Dalam tahapan tertentu harus ditanamkan juga kemampuan menerima kenyataan hidup dan penyesuaian antara kebutuhan manusia dan ajaran agama. Demikian juga kebutuhan akan penafsiran atau reinterpretasi ajaran agama sampai titik tertentu, untuk menjaga aktualitas dan kontekstualitas ajaran agama serta untak mengenali kaitan kuat antara agama dan kehidupan.
Konsep ini akan mengantarkan madrasah mampu melaksanakan transformasi kultural yang sarat dengan motivasi dan nilai-nilai Islamiyah. Bila madrasah tidak mampu melakukan tugas transformasi kultural secara total, ia justru akan terbawa proses transformasi budaya di luarnya.
Karena itu, pendidikan agama harus mampu menumbuhkan sikap dan tingkah laku pribadi yang tanggap terhadap masalah sektoral yang terjadi dalam kehidupan, baik yang berwawasan mikro mau pun makro. Konsekuensinya, pendidikan agama harus menumbuhkan keberanian manusia didiknya untuk melakukan pilihan-pilihan yang dianggap tepat bagi kehidupan, untuk merumuskan sendiri jawaban yang dituntut oleh berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemampuan madrasah dalam hal membentak dirinya sendiri seperti di atas dengan konsep-konsep yang aplikatif serta dapat diproyeksikan dalam berbagai kegiatan nyata, diharapkan akan dapat membentuk imuan-ilmuan Muslim yang akram serta shalih. Di samping itu, ia juga memiliki kepekaan yang tinggi dan antisipasi jauh terhadap problem dan kemaslahatan makhluk dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, yakni 'ibadatullah dan 'imaratul ardli, yang pada gilirannya akan mampu rnencapai tujuan akhir dari kehidupan ini, yaitu sa'adatud darain.
Di sinilah letak tanggung jawab madrasah untuk mempertahankan identitasnya, menjadi lembaga tafaqquh fiddin secara utuh dan paripurna. Dalam komunitas nasional dan dalam lingkaran sistem pendidikan nasional, madrasah bisa menjadi alternatif ideal yang mampu melahirkan ilmuwan Muslim yang mempunyai integritas keagamaan dan sosial.
PENUTUP
Keberadaan madrasah sejak Indonesia merdeka sampai sekarang pada hakikatnya adalah kelanjutan dari keberadaan madrasah sejak awl berdirinya. Perbedaan utama tentang keberadaan madrasah di zaman ini terletak pada perhatian pemerintah yang sangat tinggi terhadap usaha peningkatan kualitas dan kuantitas madrasah baik negeri maupun swasta.
Madrasah terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui proses perubahan kurikulum dari tahun ke tahun.
REFERENSI
- Aly, Abdullah & Djamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1998
- Arifin, M, Kapita Selekta Pendidikan: (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi Aksara, 1995
- Daulay, Hardar Putra, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001
- Nata, Abudin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafindo, 2001
- Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang: UMM Press, 2006
- Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
- Mulyasa, E, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002
- Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007
------------
[1] Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 23.
[2] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan : (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 109.
[3] Hardar Putra Daulay, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 75.
[4] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2001), 206.
[5] Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 122.
[6] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan……,206.
[7] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 74.
[8] Ibid, 77.
[9] Ibid, 80.
[10] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 37.
[11] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), 8.