Politik Islam di Indonesia : Masyumi di awali dari lahirnya keinginan untuk membangun negara islam. masyumi merupakan organisasi yang berkeinginan untuk menciptakan suatu negara yang bertolak ukur kepada undang-undang Islam. Politik Islam di Indonesia : Masyumi adalah sebuah kajian yang dikaji berdasarkan sejarah dari lingkup pendidikan. Makalah ini akan mencoba menguraikan tentang Masyumi sebagai salah satu wadah berkembangnya nilai-nilai politik Islam di Indonesia dan perjuangan Islam sebagai dasar negara.
Pendahuluan
Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat dengan Masyumi, partai politik, didirikan di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Masyumi lahir dari kancah Majlis Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang pada zaman pendudukan jepang dipaksa membatasi perannya menjadi majlis syura saja. Menurut anggaran dasarnya tahun 1952, Masyumi bertujuan untuk “terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan seseorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhoan ilahi”: menuju “baldatun thayyibatun wa rubbin ghafur”. Susunan oraganisai Masyumi terdiri dari:
Dalam pemilihan umum yang pertama dilaksanakan pada tanggal 29 November 1955, Masyumi merupakan salah satu partai peserta terbesar yang mendapatkan 50 kursi DPR dan 112 kursi dalam konstituante lembaga DPR. Perolehan parta-partai besar lainnya adalah:
Sementara untuk kursi konstituante:
Dengan tindak lanjut dikeluarkannya DEKRIT PRESIDEN 5 Juli 1959 yang dikenal tidak menguntungkan Masyumi, partai ini dinyatakan terlarang. Dalam pembentukan DPR, partai ini dikesampingkan sama sekali, beberapa pemimpinnya dipenjarakan. Di bawah pemerintahan Orde Baru, para pemimpin tersebut dibebaskan tanpa proses pengadilan, tetapi Masyumi sebagai partai tetap belum dizinkan untuk aktif kembali. MIAI, badan federasi perhimpunan Islam didirikan di Surabaya pada bulan September 1937. Pendorong utamanya adalah KH. Mas Mansur dibantu oleh KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah dan KH. Abdul Wahab (NU). Hal ini bertujuan untuk mengeratkan hubungan antara perhimpunan-perhimpunan Islam Indonesia dengan kaum Islam di luar Indonesia dan mempersatukan suara-suara untuk membela keluhuran Islam. Kegiatan dimulai dengan mempersiapkan kongres al-Islam yang berlangsung pada 26 February-1 Maret 1938 dan dihadiri oleh perhimpunan-perhimpunan keagamaan, wakil PARINDRA dan Taman Siswa. MIAI menyatakan bukan sebagai badan politik, tetapi karena pengaruh keadaan dan perkembangan pergerakan nasional, pada tahun-tahun berikutnya makin mengarah ke lapangan politik. Bertalian dengan seruan GAPI, MIAI menyatakan setuju dengan aksi untuk memperoleh parlemen yang berdasarkan perundang-undangan Islam (akhir 1939). Disetujui juga rencana Kongres Rakyat Indonesia. Pada pembentukan Persatuan Perserikatan Pemuda-Pemuda Islam Indoensia pada bulan Februari 1941, MIAI menyatakan bersedia menjadi penasehat. Terhadap memorandum GAPI tentang susunan kenegaraan Indonesia, pada bulan April 1941, MIAI menyatakan mufakat dengan catatan bahwa kepadal negara dan dua pertiga dari menteri dijabat oleh orang-orang Islam dan diselanjutnya harus diadakan kementrian urusan Islam khusus. MIAI ikut duduk dalam Majlis Rakyat Indonesia hasil bentukan GAPI yang menggantikan kongres Rakyat Indonesia pada bulan Juli 1941. Pada saat pendudukan Jepang, MIAI berubah menjadi Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia).
Suasana sosial politik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan memperlihatkan tidak adanya hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara arus utama intelektual Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dengan negara seperti terhenti. Paling tidak untuk sementara, kedua kelompok ini mempunyai perbedaan ideologis. Pada saat itu, tampaknya muncul kesadaran bahwa seluruh bangsa harus menumpahkan energi dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda kebali memasuki wilayah Indonesia.[10] Harus diakui bahwa selalu saja ada benturan, khususnya di tingkat horizontal, antara kelompok Islam dan nasionalis. Akan tetapi tokoh-tokohnya tetap mampu menyeimbangkan hubungan politik yang harmonis. Kelompok nasionalis tetap memagang kendali kepemimpinan. Menyusul diserahkannya kekuasaan oleh Belanda kepada Republik Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai menunjukkan potensinya yang besar dalam percaturan politik nasional. Melalu Masyumi, sebuah federasi organisasi Islam yang belakangan dirubah menjadi partai politik bagi ummat Islam, berhasil memobilisasi kekuatan politik yang cukup besar. Karena perkembangan yang demikian, pada awal 1946, Sutan Sjahrir, ketua umum Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang tiga kali menjabat sebagai perdana menteri semasa revolusi, memperediksikan bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan di tahun itu maka Masyumi yang merupakan gabungan antara kalangan muslim modernis dan tradisionalis akan memenangkan pemilu dengan perkiraan 80 % suara. Kekuatan politik Masyumi antara tahun 1946 hingga 1951 benar-benar mencolok. Dalam hal ini, Herbert Feith menyatakan bahwa pada pemilihan umum tingkat regional yang diselenggarakan di beberapa wilayah tertentu di daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1951, Masyumi memperoleh kemenangan mutlak atau paling tidak lebih banyak suara dibandingkan kontestan manapun. Karenanya, Masyumi diharapkan tampil sebagai partai terkuat dalam pemilihan umum tingkat nasional. Gambaran lebih jauh mengenai potensi kekuatan politik kelomok Islam yang besar pasca revolusio ini bisa dilihat dari catatan sejarah bahwa: pertama, pada sekitar bulan Agustus 1950, aktivitas partai politik di Indenesia mengalami penyegaran kembali dan bangkit setelah masa kelesuan akibat perang pada tahun 1949, dalam parlemen yang beranggotakan 236 orang, Masyumi tampil sebagai partai tersbesar dengan menduduki 49 kursi. Namun demikian, karena banyaknya partai, organisasi dan asosiasi yang diwakili oleh parlemen bersama PSSI, kelompok Islam hanya memperoleh 54 kursi (23%). Kedua, melihat besarnya potensi yang dimiliki, pada beberapa kesempatan, Masyumi dipercaya memimpin kabinet seperti kabinet Natsir, kabinet Sukiman dan kabinet Burhanuddin. Selain itu, ketika kabinet Ali I dan II dari PNI terbentuk, golongan Islam tetap menjadi koalisi pemerintah yang diwakili oleh organisasi NU yang pada saat itu sudah memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi organisasi partai politik tersendiri yakni partai NU pada tahun 1952, sementara Masyumi menjadi partai oposisi. Oleh karena tidak ada perdebatan politik ideologis terbuka saat itu, hubungan politik yang harmonis antara kelompok Islam dan nasionalis benar-benar tercipta. Perkembangan yang demikian terus berlangsung selama 5 tahun politik indinesia pasca revolusi (antara 1950-1953). Ungkapan yang secara jelas-jelas mempersoalkan Pancasila jarang terdengar dari para pemimpin politik Islam. Bahkan Muhammad Natsir, ketua umum Partai Masyumi, yang pada masa-masa sebelumnya giat mengkampanyekan gagasan negara Islam, pada sekitar tahun 1951 menyatakan bahwa karena dimasukkannya prinsip “percya kepada tuhan” ke dalam Pancasila berarti Indonesia tidak mengingkari atau menyingkirkan agama dari masalah negara. Melihat kenyataan di atas, perkembangan hubungan politik antara Islam dengan negara pada dasarnya relatif baik. Penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara tidak dianggap sebagai perwujudan keinginan untuk memisahkan agama (Islam) dari negara. Bahkan dengan dimasukkannya pernyatakan monoteistik “Ketuhanan Yang Maha Esa” ke dalam dasar negara, Indonesia sudah dipandang seolah-olah sebuah negara Islam. Sebuah pernyataan Muhammad Natsir mungkin dapat menggambarkan bagaimana sikap penerimaan para pemimpin muslim saat itu: “Pakistan merupakan negara Islam berdasarkan penduduknya dan berdasarkan pilihan sebagaimana tegas dinyatakan dalam konstitusi Islam adalah agama negara. Dengan demikian juga Indonesia adalah sebuah negara Islam berdasarkan kenyataan bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia. Meskipun tidak pernyataan tertulis dalam konstitusi kami bahwa Islam adalah agama negara. Karena, toh! Indonesia juga tidak menyatakan akan mengeluarkan agama dari masalah-masalah kenegaraan. Bahkan negara telah memasukkan keyanikan monteistik sebagai sila pertama dari Pacasila yakni sila yang diterima sebagai landasan spritual, moral dan etis negara dan bangsa”.[11] Pernyataan politik yang disampaikan oleh Muhammad Natsir tersebut diharapkan memberikan nuansa yang menyegarkan bagi kelompok Islam dalam mewujudkan cita-cita Islam sebagai dasar negara, ternyata para kaum nasionalis merasa hal tersebut kurang tepat bagi perkembangan bangsa sehingga harapan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara tidak terwujud. Di samping itu, para pemimpin politik Islam juga tidak sepakat dan berlainan ide tentang bagaimana Islam menjadi dasar negara, hingga akhirnya dijadikanlah Pancasila sebagai dasar negara yang diharapkan bisa menjadi pemersatu bangsa untuk kesejahteraan dan kedamaian bangsa Indonesia. Perlu dipahami bahwa politik harus diwarnai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaan dan kemashlahatan. Dengan pemahaman ini, politik mempunyai nilai yang luhur, sakral dan tidak bertenangan dengan agama.[12] |
Daftar Pustaka dan FootNote
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Politik Islam di Indonesia : Masyumi, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |