Studi Teologi Islam disebut juga ‘ilm al kalam, teolog dalam Islam diberi nama mutakallimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata. Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas ushul sebagai suatu aqidah tentang keEsaan Allah swt, wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.
Makalah Studi Teologi Islam oleh : Ummi Kamilah MG
Pendahuluan
Pengertian Istilah-istilah Kunci
Pertumbuhan dan Perkembangan Kajian Teologis dalam Islam |
Pada zaman Rasul saw sampai masa pemerintahan Usman bin Affan (644-656 M) problem teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Problema itu baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) dengan munculnya kelompok Khawarij, pendukung Ali yang memisahkan diri karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase) dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam pada waktu perang Shiffin.12 Harun Nasution mengikuti Asy Syahrastani dalam pengungkapannya bahwa persoalan politik merupakan alasan pertama munculnya persoalan teologi dalam Islam.13 Khawarij berpendapat, tahkim adalah penyelesaian masalah yang tidak didasarkan kepada al Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak memutuskan hukum dengan al Qur’an adalah kafir. Dengan demikian orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen mereka sebenarnya sangat sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-pendukung mereka semuanya kafir karena mereka murtakib al Kabirah atau “pendosa besar”.14 Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij tidak hanya memandang orang yang tidak menghukumkan sesuatu dengan al Qur’an sebagai kafir, tetapi setiap muslim yang melakukan dosa besar bagi mereka adalah kafir. Pendapat ini mendapat reaksi keras dari kaum muslimin lain sehingga muncul aliran baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Menurut pendapat aliran ini, muslim yang berbuat dosa besar tidak kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya terserah Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir aliran baru lagi, Mu’tazilah yang berpendapat muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).15 Masuknya filsafat Yunani dan pemikiran rasional ke dunia Islam pada abad kedua Hijriah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran teologis di kalangan umat Islam. Mu’tazilah mengembangkan pemikirannya secara rasional dengan menempatkan akal di tempat yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat kaum tradisional. Pertentangan pendapat di antara dua kelompok inipun terjadi dan mencapai puncaknya ketika al Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan memaksakan paham Mu’tazilah kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan pendukung aliran Mu’tazilah Khalifah al Makmun memandang perlu untuk memberikan pelajaran terhadap kelompok ahli hadis karena keteguhan mereka untuk mempertahankan bahwa Alquran bukanlah “diciptakan” (makhluq) yang semakin merajalela, khususnya di Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok ahli hadis dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan keamanan di ibukota tersebut. Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan dukungan kaum Syi’ah tidak mengherankan kalau ia menunjukkan sikap bermusuhan terhadap ahli hadis. Alquran sebagai topik kontroversial mungkin lebih merupakan alasan yang diciptakan guna memberikan casus belli terhadap tokoh-tokoh ahli hadis. Hal ini akan menjadi jelas kalau diperhatikan berkobarnya debat dan diskusi antara golongan Mu’tazilah dan para penentang mereka, terutama ahli hadis. Juga tindakan-tindakan yang berlebihan oleh unsur-unsur ahli hadis terhadap kelompok Mu’tazilah semasa pemerintahan Harun ar-Rasyid telah mengundang reaksi, semacam penebusan. Kecenderungan ini menjadi lebih memungkinkan berkat dukungan yang diberikan para pembantu khalifah, baik karena dasar politik maupun ideologis.16 Khalifah al Makmun melaksanakan mihnah (inkuisisi) di kalangan aparat pemerintah yang bertujuan memberlakukan paham bahwa Alquran adalah makhluq. Ketika masalah itu ditanyakan kepada Imam Ahmad (164-241 H), dengan tegas ia menentang paham tersebut. Karena berpegang teguh pada pendapatnya ini, Ahmad dipenjarakan pada tahun 218 H. Bahkan ia terus mempertahankan pendapatnya, meskipun banyak di antara para perawi hadis pada masa itu yang lantas sependapat dengan al Makmun. Baru pada tahun 233 H kebijaksanaan mihnah dihapuskan oleh khalifah al Mutawakkil dan Ahmadpun dibebaskan. Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al Buwaiti (w. 231 H), murid terbesar asy Syafi’i, di akhir hayatnya menjadi korban mihnah (inkusisi) karena mempertahankan pendapatnya bahwa Alquran bukan makhluq (tidak diciptakan, karena Alquran adalah kalam Allah, sedangkan Allah SWT adalah pencipta). Ia kemudian dipenjara hingga wafat.17 Al Mutawakkil naik tahta pada tahun 232/847 melalui berbagai intrik dan persaingan di kalangan para perwira Turki. Tindakannya yang perlu dicatat adalah menghentikan mihnah dan pembicaraan mengenai apakah Alquran makhluq atau tidak. Kaum Mu’tazilah yang semula mempunyai pengaruh besar atas istana, tidak lagi mendapatkan tempat istimewa. Sebaliknya kaum ahli hadis yang semula mendapatkan banyak kesulitan dengan adanya mihnah kini mendapat angin, walaupun tidak berarti bahwa mereka menggantikan posisi lawan mereka yang berpengaruh sebelumnya atas para khalifah.18 Reaksi keras kaum tradisional menentang Mu’tazilah, pada akhirnya berwujud dalam bentuk sebuah aliran teologi yang dikenal dengan nama Ahlussunnah waljamaah, dengan tokoh utamanya Abu al Hasan Ali al Asy’ari dan abu Mansur al Maaturidi. Terkecuali beberapa aliran teologi sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi beberapa aliran teologi dalam Islam seperti Syiah, Qadariyah dan Jabariyah. Aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah adalah aliran yang berkembang pada masa lampau. Sekarang yang dianut mayoritas umat Islam adalah aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dalam soal iman menganut paham moderat Murji’ah. Tetapi, pemikiran rasional Eropa yang berasal dari Islam abad kedua belas itu masuk kembali ke dunia Islam abad kesembilan belas dan kedua puluh, dan menghidupkan kembali pemikiran rasional Mu’tazilah masa silam. Dalam pada itu, kaum Syi’ah dari sejak semula tetap menganut aliran rasional dan filosofis Mu’tazilah. Inilah salah satu sebab yang membawa golongan intelektual muda Islam di Indonesia tertarik kepada buku-buku yang dikarang penulis-penulis Syi’ah. Tulisan-tulisan para pengarang al Asy’ariah pada umumnya bercorak tradisional deskriptif dan jarang bercorak analisis rasional apalagi filosofis. Fazlur Rahman membenarkan bahwa aliran-aliran teologi semata-mata semakin menjadi bertambah bertentangan dalam pengertian teoritis.19 Selanjutnya akhir-akhir ini muncul gagasan dari sebagian pakar di Indonesia yang menghendaki agar diadakan kajian terhadap teologi yang lebih memusat pada manusia (antropo centris) dan bukan teologi yang terlalu memusat pada Tuhan (theo centris). Untuk ini perlu adanya pembaharuan teologi, yaitu pemikiran keagamaan yang merefleksikan respons manusia terhadap wahyu Allah. Meskipun di kalangan umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, pembaharuan teologi ini kurang populer karena cara berfikir fiqh telah begitu mapan di kalangan umat Islam Indonesia, tetapi walau bagaimanapun pembaharuan teologi mesti dilakukan kalau umat Islam ingin menerapkan ajaran Islam dalam kerangka kehidupan sosial yang baru dan dalam kerangka budaya universal sebagai pedoman dalam merumuskan konsep-konsep hidupnya.20 Gagasan untuk mencari dan memilih (antropo centris) sebagaimana dikehendaki itu sebenarnya terdapat dalam teologi Mu’tazilah. Mu’tazilah misalnya menganut paham Qadariyah yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. Perbuatan yang dilakukannya itu adalah perbuatannya sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Paham serupa ini mendorong manusia menjadi kreatif dan dinamis, bertanggung jawab dan berani mengambil inisiatif. Sikap manusia yang demikian ini sejalan dengan pola hidup modern. Demikian pula paham Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan adalah sangat mengandung pesan anthropo centris itu. Menurut paham ini Tuhan harus berbuat sesuai dengan kesanggupan yang ada pada manusia, dan tidak boleh berbuat di luar kesanggupan manusia itu. Manusia juga dianggap dapat menentukan baik dan buruk berdasarkan kreatifitasnya sendiri, tanpa menunggu komando wahyu dari Tuhan. Dengan demikian terbukalah gagasan inovatif dan kreatif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Demikian pula keharusan menjauhi perbuatan yang buruk atau jahat sekalipun wahyu belum datang sudah harus dilakukan. Dengan demikian tidak akan terjadi perbuatan sekehendak hati melainkan ada aturan yang disepakati dan kemudian berkembang menjadi norma. Selain itu manusia juga dituntut untuk mengembangkan sikap berbuat baik dan menjauhi perbuatan munkar. Teologi Mu’tazilah nampaknya akan menjadi teologi yang sejalan dengan tuntutan zaman, dan akan diperhitungkan karena sifatnya yang banyak melahirkan kreatifitas manusia walaupun ini baru dalam dataran teoritis yang masih perlu dibuktikan.21 Sebaliknya adanya dominasi teologi Asy’ariyah dengan beberapa karakteristiknya mendorong sementara pengamat dan peneliti mengambil kesimpulan, bahwa aliran teologi ini bertanggung jawab atas keterbelakangan sosial-ekonomi kaum muslim di Indonesia. Aliran Asy’ariyah yang bersifat Jabariyah (predestinasi) dipandang telah melemahkan etos sosial-ekonomi umat Islam, sehingga mereka lebih cenderung menyerah kepada takdir daripada melakukan usaha-usaha kreatif untuk memperbaiki dan memajukan diri dan masyarakat mereka. Dalam segi-segi tertentu argumen bahwa paham teologi semacam Asy’ariyah tidak mendorong terjadinya dinamika dalam masyarakat Islam belum tentu sepenuhnya benar. Secara teoritis, anggapan atau argumen itu mungkin benar. Namun, pada tingkat praktis dan empiris, boleh jadi terdapat kenyataan lain yang berlawanan dengan asumsi teoritis tersebut.22 |
Islam Sebagai Sumber Kepercayaan
Aliran Utama dan Pendekatannya
a. Aliran Khawarij |
Aliran ini lahir bersamaan dengan lahirnya Syi’ah yakni pada masa Ali bin Abi Thalib r.a. Orang-orang Khawarij dulunya adalah pendukung Ali, meskipun demikian Syi’ah datang lebih dahulu dari pemikiran Khawarij.36 Timbulnya aliran ini adalah akibat dari peristiwa tahkim (arbitrase), Khawarij menghukum para peserta tahkim sebagai orang-orang yang telah menjadi kafir. Di antara tokoh-tokoh Khawarij yang terpenting adalah; Abdullah bin Wahab al Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pemimpin Khawarij pertama), Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah al Asadi, Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al Azraq (pemimpin al Azariqah), Abdullah bin Basyir, Zubair bin Ali, Qathari bin Fujaah, Abd al Rabih, Abd al Karim bin Ajrad, Ziad bin Asfar dan Abdullah bin Ibad. Tokoh-tokoh tersebut masing-masing memimpin sekte-sekte dalam aliran Khawarij. Sekte-sekte tersebut di antaranya ialah Muhakkimah, Azariqah, Najdat, Bahaisiyah, Ajaridah, Tsalabah, Ibadhiyah, dan sufriyah.37 Secara umum ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah: orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir; orang-orang yang terlibat pada perang Jamal (perang antara Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib) dan para pelaku tahkim (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumkan kafir; dan khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
Pokok-pokok pikiran al Asy’ari yang terpenting antara lain ialah: Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam al Qur’an, al Qur’an adalah qadim bukan makhluk (diciptakan). Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat kelak. Perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Antropomorphisme; Tuhan bertahta di ‘Arsy, mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya tetapi bentuknya tidak sama dengan makhluk. Keadilan Tuhan; Tuhan tidak wajib memasukkan orang baik ke surga dan memasukkan orang jahat ke neraka. Muslim yang melakukan dosa besar dan meninggal dunia sebelum sempat bertobat tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada di antara mukmin dan kafir sebagaimana pendapat Mu’tazilah.43
Di antara pemikiran al Maturidi yang penting adalah:45 Tuhan mempunyai sifat-sifat; pendapat ini sejalan dengan pendapat al Asy’ari; dalam hal ini al Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Al Qur’an adalah kalam Allah yang qadim bukan diciptakan sebagaimana paham Mu’tazilah; untuk ini al Maturidi sepaham dengan al Asy’ari. Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu; pendapat ini sejalan dengan Mu’tazilah. Ia berpendapat seperti pendapat al Asy’ari bahwa muslim yang melakukan dosa besar tidak mukmin, tidak kafir dan tidak pula berada di antara dua tempat. Tuhan tidak akan mungkir terhadap janjinya, pendapat ini sejalan dengan Mu’tazilah. Antropomorphisme, al Maturidi berpendapat ayat-ayat al Qur’an yang menggambarkan seolah Tuhan mempunyai bentuk jasmani seperti manusia harus ditakwil diberi arti majazi, bukan diartikan secara harfiah. Pendapat ini juga sejalan dengan Mu’tazilah dan bertolak belakang dengan al Asy’ari. |
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Makalah Studi Teologi Islam, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |