Istilah 'wahabi' sebenarnya bukan istilah baku dalam literatur Islam. Dan pengindentifikasian wahabi kepada sebagian umat Islam pun kurang objektif. Dan orang-orang yang dijuluki sebagai 'wahabi' juga menolak penamaan ini kepada diri mereka. Gerakan paderi yang oleh ummat Islam dinilai sebagai salah satu gerakan anti kolonialisme ini dituduh terlibat dalam pembunuhan massal, pembantaian dan penjualan manusia. Lebih lanjut lagi, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai yang merupakan pemimpin Paderi diminta untuk dipertanyakan dan dicopot statusnya sebagai pahlawan nasional.
II. Wahabi |
a. Biografi Muhammad Bin Abdul Wahab
Dunia Islam diliputi kegelapan. Tapi tiba-tiba, bergemalah seruan dari padang pasir yang luas – tempat lahir Islam di tanah Arab – memanggil Umat Islam kembali ke jalan yang benar. Adalah Muhammad bin Abdul Wahab yang menggemakan seruan itu. Ia menggerakkan Umat Islam untuk memperbaiki jiwa dan membangkitkan kemegahan dan kebesaran Islam.
Abdul Wahab adalah sosok pembaharu yang cukup berpengaruh sekaligus berhasil menggedor mata hati umat. Ia melancarkan gerakan pembaharuannya berdasarkan ide-ide Ibnu Taimiyah. Gerakannya ini dikenal dengan Wahabiyah atau Wahabisme, suatu gerakan pemurnian ajaran Islam yang berkembang menjadi gerakan pembaharuan pemikiran umat Islam.
Muhammad bin Abdul Wahab lahir di desa Ainiyah Nejed pada tahun 1703M/1115H. Ia lahir di tengah lingkungan masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang sederhana dan asli, sesuai dengan watak Arabnya.
Semenjak kecil Abdul Wahab amat tertarik mendalami agama. Pada tahap awal, ia belajar agama pada ayahnya sendiri, yaitu Abdul Wahab, seorang ulama Ahlussunah wal Jama’ah. Pada usia remaja, seusai menunaikan ibadah haji, untuk kedua kalinya ia pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu dan tinggal di sana. Di Madinah ia berguru pada dua orang ulama bernama Sulaiman al Kurdi dan Muhammad Hajad al Sindi. Setelah itu, ia melanjutkan petualangannya ke Irak, tepatnya ke Basrah selama 4 tahun dan Baghdad 5 tahun.
Di Baghdad ia menikah dengan wanita kaya raya. Ketika istrinya meninggal, ia merantau lagi ke Kurdistan selama 1 tahun, dan selama beberapa tahun ke Hamadan dan Isfahan (Iran). Ia pun mendalami ilmu filsafat dan tasawuf selama di Iran. Akhirnya, ia kembali lagi ke Nejed.
Dalam perantauannya, Abdul Wahab menyaksikan berbagai bentuk praktek agama yang – menurutnya – jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Ia melihat maraknya pemujaan terhadap wali, kuburan, dan lain-lain. Salah satu aspek yang cukup mendapat perhatian dari Abdul Wahab adalah masalah taklid (mengikuti pendapat/paham orang lain secara membabi buta) yang merupakan sumber kebekuan atau kejumudan pemikiran Umat Islam sendiri. Padahal untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadits, orang harus berijtihad. Karena itu, pintu ijtihad tidak perlu ditutup.
Ketika kembali ke Nejed Abdul Wahab bertekad untuk menyebarkan reformasi dan pemurnian Islam, menggedor pintu hati dan pikiran umat. Pada tahun 1714 M, di usia yang masih muda, ia memulai gerakan pembaharuannya berdasarkan ide-ide pembaharuan Islam Ibnu Taimiyah yang telah didalaminya melalui kitab-kitabnya. Lahirnya Wahabisme yang kata Rifyal Ka’bah dalam Islam dan Fundamentalisme (1984), menyalahkan pemujaan orang-orang shaleh dan menentang semua khurafat dan bid’ah. Wahabisme telah menjiwai gerakan untuk kembali pada monoteisme (tauhid) seperti yang ada di masyarakat Islam pada permulaan sejarah Islam.
Praktek-praktek bid’ah dan syirik dipandang Abdul Wahab sebagai situasi jahiliyah. Pokok pemikirannya lebih terarah pada “gerakan pemurnian ajaran tauhid” yang muncul sebagai reaksi atas paham ajaran tauhid yang berkembang (dan menyimpang).
Gerakan Wahabisme makin berkembang berkat dukungan seorang penguasa Nejed, yakni Muhammad Ibnu Saud. Lambat laun padang pasir Arab ditempa oleh “duet” Wahab – Saud dan menjadi kesatuan politik keagamaan, seperti yang diwujudkan Nabi Muhammad SAW. Muhammad Ibnu Saud memang menjadi pengikut Wahabisme fanatik pertama dan utama. Keturunannya pun hingga sekarang, yakni keluarga kerajaan Arab Saudi, menjadi pendukung utama Wahabisme.
Abdul Wahab wafat tahun 1787M/1206H. Awal abad XX Wahabisme bangkit kembali di bawah kepemimpinan putera Muhammad Ibnu Saud, yakni Abdul Aziz Ibnu Saud. Penguasa Nejed yang baru, berhasil menaklukan Makkah (1924), Madinah (1925), Jeddah, dan daerah sekitarnya. Pada tahun 1926 ia mengumumkan dirinya sebagai raja Hijaz. Tahun 1932 ia mendirikan kerajaan Arab Saudi. Secara turun temurun, keturunannya pun menjadi Raja Saudi, hingga Raja Fahd saat ini.[1]
b. Pengertian Wahabi dan Hubungannya dengan Mazhab Fiqh
Istilah 'wahabi' sebenarnya bukan istilah baku dalam literatur Islam. Dan pengindentifikasian wahabi kepada sebagian umat Islam pun kurang objektif. Dan orang-orang yang dijuluki sebagai 'wahabi' juga menolak penamaan ini kepada diri mereka. Meski mereka pendukung Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, namun mereka bilang bahwa yang ulama adalah Muhammad, bukan Abdul Wahhab. Abdul Wahhab adalah ayahnya.Tetapi untuk memudahkan menyebutannya, untuk sementara bolehlah kita gunakan istilah ini, meski kita letakkan di tengah tanda kutip.
Sebenarnya penyebutan `Wahabi` bila kita runut dari asal katanya mengacu kepada tokoh ulama besar di tanah Arab yang bernama lengkap Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H atau 1703-1791 M).Beliau lahir di Uyainah, salah satu wilayah di jazirah Arab. Sebenarnya secara fiqih, beliau lahir dan dibesarkan serta belajar Islam dalam mazhab Hanbali.
Dakwah beliau banyak disambut ketika beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh penguasa setempat sat yaitu amir (pangeran) Muhammad bin Su`ud, yang berkuasa 1139-1179 H. Oleh Amir Muhammad bin Su'ud, dakwah beliau ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini.
Sebenarnya agak sulit juga untuk menjelaskan hubungan antara 'wahabi' dengan keempat mazhab fiqih. Sebab keduanya tidak saling terkait dan bukan dua hal yang bisa dibandingkan.
Kalau mazhab fiqih adalah gerakan ilmiyah dalam bidang ilmu fiqih, sehingga mampu membuat sistem dan metodologi ilmiyah dalam mengistimbath hukum dari dalil-dalil yang bertaburan baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah, maka gerakan wahabi lebih merupakan gerakan dakwah memberantas syirik dan bid'ah, ketimbang aktifitas keilmuan.
Kalau para ahli fiqih empat mazhab adalah pelopor di bidang ijtihad dan mereka hidup di awal perkembangan Islam, sekitar abad pertama dan kedua hijriyah, maka sosok Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sosok yang hidup di akhir zaman, muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan berpikir pemikiran dunia Islam.Sekitar 2 abad yang lampau atau tepatnya pada abad ke-12 hijriyah. Intinya, apa yang beliau lakukan adalah menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada pemurnian arti tauhid dari syirik dengan segala manifestasinya.
Fenomena umat yang dihadapi antara para imam mazhab dengan Muhammad bin Abdul Wahhab sangat berbeda konteksnya. Di zaman para fuqaha mazhab, umat Islam sedang mengalami masa awal dari kejayaan, peradaban Islam sedang mengalami perluasan ke berbagai penjuru dunia. Sehingga dibutuhkan sistem hukum yang sistematis dan bisa menjawab problematika hukum dan fiqih.
Sementara fenomena sosial umat di zaman Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat berbeda. Saat itu umat Islam sedang mengalami masa kemundurannya.Salah satu fenomenanya adalah munculnya banyak penyimpangan dalam praktek ibadah, bahkan menjurus kepada bentuk syirik dan bid'ah. Banyak dari umat Islam yang menjadikan kuburan sebagai tempat pemujaan dan meminta kepada selain Allah. Kemusyrikan merajalela. Bid`ah, khurafat dan takhayyul menjadi makanan sehari-hari. Dukun, ramalan, sihir, ilmu ghaib seolah menjadi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan umat Islam. Itulah fenomena kemunduran umat saat di mana Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidu saatitu. Maka beliaumengajak dunia Islam untuk sadar atas kebobrokan aqidah ini.
Berbeda dengan para fuqaha fiqih di zaman awal yang mendirikan madrasah keilmuan sera melahirkan jutaan judul kitab fiqih dan literatur, Syeikh Muhammad bin Abdul WAhhab tidak pernah melahirkan buku berjilid-jilid, beliau hanya menulis beberapa risalah (makalah pendek) untuk menyadarkan masyarakat dari kesalahannya. Salah satunya adalah Kitab At-Tauhid yang hingga menjadi rujukan banyak ulama aqidah.
Dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dibantu oleh penguasa, kemudian melahirkan gerakan umat yang aktif menumpas segala bentuk khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam yang asli. Dalam prakteknya sehari-harinya, para pengikutnya lebih mengedepankan aspek pelarangan untuk membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir dan tukang teluh. Mereka juga melarang ber-tawassul dengan menyebut nama orang shaleh sepeti kalimat bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan fulan.
Dakwah beliau lebih tepat dikatakan sebagai dakwah salafiyah. Dakwah ini telah membangun umat Islam di bidang aqidah yang telah lama jumud dan beku akibat kemunduran dunia Islam.
Sebenarnya kalau mau dirunut di atas, para pendukung gerakan wahab ini -suka atau tidak suka- tidak bisa lepas dari sebuah metode penyimpulan hukum tertentu. Dan secara umum, yang berkembang secara alamiyah di negeri mereka adalah mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Dan nama-nama tokokh ulama rujukan mereka, semuanya secara alamiyah bermazhab Hanbali.
Meski banyak dari pendukung wahabi ini mengaku tidak terikat dengan mazhab fiqih tertentu, namun tulisan, makalah, buku pelajaran serta fatwa-fatwa ulama mereka, nyaris tidak bisa dipisahkan dari mazhab Al-Hanabilah.
Memang ada sebagian dari pendukung atau sosok yang ditokohkan oleh para pendukung gerakanini yang secara tegas memisahkan diri dari mazhab mana pun. Katakanlah salah satunya, Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah. Beliau sejak muda telah mengobarkan semangat anti mazhab fiqih. Seolah mazhab-mazhab fiqih itu lebih merupakan sebuah masalah ketimbang solusi di mata beliau. Maka muncul perdebatan panjang antara beliau dengan para ulama fiqih mazhab. Salah satunya perdebatan antara beliau dengan Syeikh Dr. Said Ramadhan Al-Buthy. Para ulama fiqih tentu tidak terima kalau dikatakan bahwa mazhab fiqih itu merupakan bentuk kebodohan, kejumudan, taqlid serta suatu kemungkaran yang harus diperangi.
Sayangnya, sebagian dari murid-murid beliau ikut-ikutan memerangi para ahli fiqih dengan berbagai literatur mazhabnya dan hasil-hasil ijtihad para fuqaha'.. Padahaldi sisi lain, pendapat-pendapat Syeikh Al-Albani pun tetap merupakan ijtihad dan tidak bisa lepas dari penafsiran dan pemahaman, meski tidak sampai berbentuk sebuah mazhab.Yang sering dijadikan bahan kritik adalah beliau melarang orang bertaqlid kepada suatu mazhab tertentu, namun beliau membiarkan ketika orang-orang bertaqlid kepadadirinya.
Awalnya, oleh banyak kalangan, gerakan ini dianggap sebagai pelopor kebangkitan pemikiran di dunia Islam, antara lain gerakan Mahdiyah, Sanusiyah, Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh di Mesir dan gerakan lainnya di benua India. Namun para penerusnya kelihatan lebih mengkhususkan diri kepada bentuk penghancuran bid'ah-bid'ah yang ada di tengah umat Islam. Bahkan hal-hal yang masih dianggap khilaf, termasuk yang dianggap seolah sudah bid'ah yang harus diperangi. Mungkin memang sebagian umat Islam ada yang merasakan arogansi dari kalangan pendukung dakwah Wahabiyah ini. Hal itu mungkin disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Syeikh Abdul Wahhab dan Penguasa
Sebagaimana kita ketahui, di jazirah Arabia, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkolaborasi dengan penguasa. Maka lewat tangan penguasa, beliau melancarkan dakwahnya. Dan ciri khas penguasa, segala sesuatu ditegakkan dengan kekuasaan. Karena penguasa pegang harta, wewenang dan hukum, maka wajar bila pendekatannya lebih bersifat vonis dan punnishment. Inilah barangkali yang unik dari dakwah wahabi dibandingkan dengan dakwah lainnya yang justru biasanya ditindas oleh penguasa.
2. Fenomena Kultur Masyarakat
Barangkali gaya yang lugas, kalimat yang menukik, vonis dan kecaman kepada para penyeleweng memang tepat untuk kultur masyarakat tertentu. Misalnya kultur masyarakat padang pasir di jazirah arab yang memang keras.
Kalau dakwah hanya menghimbau dan merayu, mungkin dianggap kurang efektif dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Maka ketika pendekatan yang agak 'keras' dirasakan cukup efektif, jadilah pendekatan ini yang terbiasa dibawakan. Sayangnya, ketika masuk ke negeri lain yang kultur masyarakatnya tidak sejalan, metode pendekatan ini seringkali menimbulkan kesan 'arogan'. Dan rasanya, memang itulah yang selama ini terjadi.[2]
|
c. Wahabisme dan Gerakan Pemurnian Pemikiran Islam dan Streotip Negatif
III. Paderi
Pada diri anak-anak Indonesia sudah tertanam sejak sekolah dasar bahwa gerakan Padri adalah gerakan antikolonial. Dua tokohnya, Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, adalah pahlawan nasional. Gerakan Padri diketahui sebagai gerakan anti-Belanda, tapi tujuan utamanya memurnikan syariat Islam. Kelompok Padri berpaham Wahabi itu ingin Islam di Sumatera Barat bersih dari unsur kultural.
Gerakan perang Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud Raja Arab Saudi kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekkah dari tangan Turki, 1802. Mereka tidak dihukum mati. Kompensasinya, mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman. [6]
a. Asal-Usul Kelompok Paderi
Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan pada Kolonel Haji Piobang. Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud, cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak.
Dengan meriam, pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegunungan Bukit Barisan dan lembah Danau Toba. Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan pasukan Paderi memancung kepala Singamangaradja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibukota Dinasti Singamangaradja tahun 1819.
Pongkinangolngolan merupakan anak hasil perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak dari Singamangaradja X. Pongkinangilngolan seperti dituturkan Onggan Parlindungan dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga.
Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau dan bekerja pada Datuk Bandaharao Ganggo. Pada waktu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik tiga tokoh pembaharuan abad ke-19 baru kembali dari Mekah, mereka mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mashab Hambali ke Mandailing mendapat dukungan Tuanku Nan Renceh. karib Datu Bandaharao. Renceh terkesima dengan mengetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngloan. Pongkinangolngolan rupanya sangat baik digunakan dalam rangka merebut dan menduduki tanah Batak. Oleh Tuanku Nan Renceh, Pongkinangolngolan diberi nama Panglima Umar bin Katab. Sebagai perwira Paderi, Pongkinangolngolan diang\kat dengan gelar Tuanku Rao. [7]
b. Paderi dan Anarkhisme
Adalah merupakan kecenderungan umum, meski tentu saja tidak benar, bahwa gerakan pemurnian maupun fundamentalisme selalu dituduh merupakan bentuk lain dari anarkhisme. Baik Wahabisme di Arab maupun Paderi di Indonesia dituduh telah melakukan gerakan anarkhis.
Gerakan padri yang oleh ummat Islam dinilai sebagai salah satu gerakan anti kolonialisme ini dituduh terlibat dalam pembunuhan massal, pembantaian dan penjualan manusia. Lebih lanjut lagi, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai yang merupakan pemimpin Paderi diminta untuk dipertanyakan dan dicopot statusnya sebagai pahlawan nasional.
Alasan yang dikemukakan mengagetkan, sekaligus ironis. Imam Bonjol bertanggung jawab atas pembantaian lokal. Gerakan Padri diketahui sebagai gerakan anti-Belanda, tapi tujuan utamanya memurnikan syariat Islam. Kelompok Padri berpaham Wahabi itu ingin Islam di Sumatera Barat bersih dari unsur kultural. Sayangnya, pemurnian memakan korban besar. Keluarga Istana Pagaruyung dijagal, di Tanah Batak terjadi pembunuhan massal. Dalam tragedi itu disebutkan banyak perempuan dirampas, diperjualbelikan. [8]
Tuanku Imam Bonjol dan Tambusai dianggap mengetahui segala kekerasan itu tapi tidak mencegahnya. Mereka yang berusaha memahami kedua tokoh itu beranggapan adab lokal yang melegalkan perbudakan membuat keduanya memaklumi penjualan gadis. Penyerbuan ke Pagaruyung dan Tanah Batak, di mata yang pro, seakan dibenarkan sebab dua daerah itu memihak kolonial.
|
Penutup..Daftar Pustaka dan Footnote