Field research yang karakternya dapat menyelam langsung ke pusat komunitas sasaran menawarkan solusi yang menarik untuk mengeliminasi keterbatasan-keterbatasan penelitian yang ditimbulkan penggunaan metode lain. Di lain pihak pula, beberapa kendala yang dihadapi tidak dapat dipandang remeh. Peneliti field research dikatakan oleh Neuman haruslah mampu “berpikir sembari berdiri”. Maksudnya, peneliti sebagai instrumen penelitian dalam menghadapi kejadian yang serba tidak pasti di lapangan, perlu bereaksi dengan pemikiran yang cepat. Keadaan ketidakpastian dibarengi dengan informasi yang sangat besar jumlahnya juga membuat field research secara psikologis maupun fisik relatif lebih berat.
Metode field research diperkenalkan di kancah akademik pada paruh kedua abad 19. Pada umumnya metode ini diterapkanoleh peneliti antropologi.[1] Menurut Bronislaw Malinoski -salah seorang pelopornya di tahun 1920an- peneliti sosial harus berinteraksi langsung dan hidup bersama masyarakat pribumi, mempelajari adat istiadat, kepercayaan serta proses sosialnya. Seiring berjalannya waktu, metode field research mulai digunakan pula oleh disiplin ilmu lain. Penerapan metode field research untuk penelitian lainnya merupakan langkah yang tepat, dikarenakan kemampuannya untuk sekaligus memetakan aspek budaya, tata nilai dan aktivitas dari masyarakat di mana sebuah objek penelitian tersebut tumbuh dan berkembang. Namun demikian, terdapat beberapa masalah yang perlu dicermati dalam penerapan metode field research..
Bagi banyak peneliti, field research merupakan tantangan sekaligus keasyikan tersendiri. Bergabung dengan komunitas yang sama sekali asing, tinggal di daerah pelosok yang jauh dari peradaban, bertemu dengan banyak hal baru dan lain sebagainya merupakan sebuah petualangan yang tidak dapat diterangkan dengan sekedar kata-kata. Fieldresearch, seperti halnya penelitian kualitatif lainnya dirasakan lebih dekat pada kenyataan lapangan, ketimbang penelitian kuantitatif yang dilakukan dengan statistik yang rumit serta rumus-rumus matematika yang cenderung lebih “dingin”. Field research lebih mengutamakan interaksi antar muka dengan komunitas masyarakat dalam lingkungannya yang natural. Kedekatan pada lingkungan yang natural ini membuat field research memiliki kecocokan untuk diterapkan pada penelitian-penelitian kemasyarakatan dan kebudayaan.
B. METODE FIELD RESEARCH
Field research adalah bentuk penelitian yang bertujuan mengungkapkan makna yang diberikan oleh anggota masyarakat pada perilakunya dan kenyataan sekitar. Metode field research digunakan ketika metode survai ataupun eksperimen dirasakan tidak praktis, atau ketika lapangan penelitian masih terbentang dengan demikian luasnya. Field researchdapat pula diposisikan sebagai pembuka jalan kepada metode survai dan eksperimen. Unaradjan[2] dengan jenaka menggambarkan perbedaan metode-metode survai dan eksperimen dibandingkan dengan field research, melalui sebuah kisah perumpamaan pemburu burung dan anjing pemburunya. Dituliskannya, “....pada suatu lokasi perburuan yang cukup luas, pemburu datang bersama seekor anjing yang memang untuk berburu. Anjing tersebut berjalan memasuki lokasi tanpa arah dan tujuan yang jelas (I). Ia terus berjalan sampai suatu ketika menemukan sesuatu; dari tempat tersebut si anjing mulai mengubah kelakuannya dengan lebih terarah menuju arah bau tersebut (II). Selanjutnya berhenti menunggu si pemburu. Pemburu memberi perintah untuk mendekati sasaran sampai burung terbang. Lalu pemburu menembaknya.Sementara itu si anjing tiarap sampai burung jatuh dan diperintahkan untuk mengambil burung yang telah mati itu (III).”
Bagian (I) dalam cerita di atas merupakan proses field research, proses (II) menggambarkan metode survai, dan bagian (III) melukiskan eksperimen. Dalam field research peneliti masuk ke lingkungan penelitian dengan benar-benar defocus, bebas dari prakonsepsi dan mengalir mengikuti arus di lingkungan penelitiannya tersebut. Observasi merupakan teknik pengumpulan informasi utama yang dilakukan. Berbeda dengan penelitian lain, data dan informasi yang diperoleh pada field research langsung dianalisis pada kesempatan pertama, bersamaan dengan pengumpulan informasi berikutnya. Proses ini berlangsung terus menerus, tanpa perangkat pedoman yang pasti dan lebih mengikuti perkembangan di lapangan. Bahkan, fokus pada aspek-aspek yang khusus baru dilakukan menjelang akhir dari penelitian.
Neuman[3] melukiskan langkah-langkah field research sebagai berikut:
1. Peneliti mempersiapkan diri, membaca literatur dan defocus.
2. Cari lapangan penelitian dan dapatkan akses ke dalamnya.
3. Masuki lapangan penelitian, kembangkan hubungan sosial dengan anggota komunitas.
4. Adopsi sebuah peran sosial ke dalam diri, bergaul dengan anggota komunitas.
5. Lihat, dengar, kumpulkan data kualitatif.
6. Mulai menganalisis data dan mengevaluasi hipotesa kerja.
7. Fokus pada aspek spesifik dan gunakan sampling teoritikal.
8. Gunakan wawancara lapangan dengan anggota komunitas dan informan.
9. Putuskan hubungan dan tinggalkan lapangan penelitian secara fisik.
10. Sempurnakan analisis dan tuliskan laporan enelitian.
Metode survai dan eksperimen yang sering diterapkan dalam penelitian kebudayaan dan kemasyarakatan lainnya yang dapat dikontraskan dengan field research, seperti yang digambarkan oleh Unaradjan.[4] Survai meliputi pembatasan yang drastis, ibarat melihat melalui teropong, tempat yang terlihat sangat terbatas. Dengan demikian, apa yang hendak dipelajari harus sudah diketahui sebelumnya, gagasan atau prakonsepsi yang tidak boleh ada di field research, dalam survai sangat berperan.
Eksperimen, merupakan pembatasan lebih lanjut lagi dari survai, dengan jumlah variabel sangat sedikit serta dapat dikendalikan. Dalam penelitian berkaitan dengan arsitektur, field research dipergunakan manakala subjek penelitian masih membuka kemungkinan eksplorasi yang seluas-luasnya, topik penelitian merupakan suatu hal baru yang jarang atau tidak pernah terbahas sebelumnya, sedemikian hingga gambaran seutuhnya hanya dapat diperoleh dengan pendekatan pada real groups untuk mencapai naturalness.
Sebagaimana halnya penelitian kualitatif lainnya, field research meneliti permasalahan dalam setting yang natural dalam upaya untuk memaknai, menginterpretasi fenomena yang teramati[5] (Groat & Wang, 2002). Sebagai contohnya, sebuah penelitian yang dilakukan untuk mengungkapkan ruang dan persepsi akan ruang dari sebuah komunitas sekte kepercayaan tertentu yang sangat tertutup, akan menjadi fenomena menarik dalam masyarakat. Penelitian survai murni tidak akan mampu menjelaskan fenomena ini, karena “peta” jalan yang harus dilalui belum ada. Peta semacam itulah yang dapat diperoleh melalui field research.
Berdasarkan keterangan di atas, menurut Groat & Wang (2002), ada 4 komponen kunci berkaitan dengan field research sebagai bagian dari penelitian kualitatif:
• Penekanan pada setting natural
Seting natural berarti subjek penelitian tidak berpindah dari tempat asli kejadian. Peneliti menerapkan berbagai taktik untuk menempatkan diri dalam konteks penelitiannya. Konteks tidak perlu berubah demi pelaksanaan penelitian.
• Fokus pada interpretasi dan makna
Peneliti tidak hanya mendasari penelitiannya pada realitas empiris dari observasi dan wawancara yang dilakukannya, namun juga memainkan peran penting dalam menginterpretasi dan memaknai data.
• Fokus pada cara responden memaknai keadaan dirinya
Tujuan dari peneliti adalah mempresentasikan gambaran menyeluruh dari setting atau fenomena studi, sesuai dengan pemahaman dari responden sendiri.
• Penggunaan beragam taktik
Sebagai bagian dari pengamatan realitas yang cenderung cair, field research tidak memiliki kecenderungan untuk hanya mengandalkan taktik tunggal, melainkan beragam sebagai paduan dari berbagai taktik sesuai keadaan lapangan.
Dalam field research dikenal istilah verstehen, artinya melihat kenyataan melalui pandangan subjek di lapangan. Demikianlah observasi dilakukan. Namun begitu, analisisnya melibatkan diri peneliti sebagai instrumen penelitian. Dengan demikian, field research menjadi semacam pertemuan budaya, culture encounter antara budaya peneliti sendiri di satu pihak, budaya subjek penelitian di lain pihak dan bahkan budaya dari pembaca hasil penelitian tersebut. Titik permulaannya adalah saat di mana terjadi penyimpangan, atau dipersepsikannya penyimpangan antara si peneliti dengan lingkungan, suatu pengamatan terhadap budaya, kejadian, manusia dan nilai-nilainya yang asing dan tidak dapat dimengerti serta dijelaskan menurut tradisi asli si peneliti. Hal ini dikenal sebagai breakdown, yang timbulnya sangat tergantung pada tradisi si peneliti, tradisi kelompok dan tradisi khalayak yang terlibat di dalamnya.
Breakdown amat penting dan menentukan apakah field research yang dilakukan akan menghasilkan penelitian yang berhasil ataukah tidak. Oleh sebab itu, salah satu aspek penting dalam field research adalah si peneliti sebaiknya memiliki apa yang oleh Neuman[6] diistilahkan sebagai sikap keasingan. Peneliti sebaiknya berasal dari kalangan yang sama sekali berbeda latar belakang dengan subjek penelitian sehingga memiliki kemampuan untuk menyerap informasi yang terasa asing dari lingkungan penelitian, serta menjadi peka akan detail yang sekecil mungkin. Apabila peneliti memiliki latar belakang budaya yang relatif serupa, maka kondisi breakdown tidak tercipta. Peneliti menjadi lebih mudah “dibutakan” oleh aspek-aspek keseharian rutin yang menurutnya sudah biasa dan tidak perlu tercatat sebagai informasi penting, padahal di mata peneliti yang awas hal itu merupakan informasi yang sangat berharga.
Menurut Neuman[7], pemilihan lokasi penelitian field research harus didasari tiga hal yaitu:
1. kepantasan,
2. kekayaan informasi dan
3. keunikan.
Peneliti dengan latar belakang yang terlalu dekat dengan subjek penelitian masih akan dapat melihat kepantasan, namun akan lebih sulit memperoleh informasi yang kaya serta merasakan keunikan.
Dengan demikian, berdasarkan pembahasan di atas, secara umum karakteristik field research dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Lingkup permasalahan belum tegas.
2. Variabel yang akan diteliti belum terlalu dipahami.
3. Model teoritis tidak tegas.
4. Operasionalisasi tidak dilakukan.
5. Tidak terdapat pembakuan teknik pengumpulan data.
6. Tidak ada analisis statistika dengan rumus-rumus baku.
7. Dimulai dari breakdown.
8. Proses resolusi melalui verstehen.
Partisipasi aktif dari peneliti dalam field research menuntut agar peneliti:
• tinggal bersama kelompok masyarakat yang diteliti,
• mengunjungi kejadian dan menghadiri pertemuan atau upacara,
• mengembangkan dan memelihara hubungan informal dengan anggota-anggota kelompok sosial, serta
• menghabiskan sejumlah waktu yang umumnya cukup panjang untuk kegiatan-kegiatan tersebut di atas.
Keempat butir di atas, merupakan kekuatan dari field research di dalam memberikan gambaran mengenai subjek penelitian. Namun demikian, tidak jarang kelebihan-kelebihan tersebut, khususnya butir keempat menerbitkan problematika tersendiri bagi peneliti.
C. Problem Dalam Penelitian Lapangan.
Beberapa permasalahan tersebut dapat disimak di bawah ini.
Waktu
Dalam field research yang umum dilakukan sarjana antropologi, waktu yang dialokasikan untuk penelitian bisa sangat panjang. Neuman[8] melukiskannya dalam rentang antara beberapa minggu hingga bertahun-tahun. Hal ini bisa dipahami karena subjek penelitian di lingkungan antropologi umumnya memang memiliki karakteristik berubah secara evolusi. Penelitian yang dilakukan mengenai inkulturasi misalnya, dilakukan dalam rentang puluhan tahun. Peneliti datang dan tinggal bersama sebuah komunitas masyarakat selama beberapa bulan hingga satu tahun, untuk kemudian menuliskan laporan awal penelitiannya. Sepuluh tahun kemudian si peneliti kembali ke lokasi yang sama dan memulai lagi penelitiannya. Dari sini, dibandingkanlah inkulturasi yang terjadi pada saat tersebut dan sepuluh tahun silam. Proses apakah yang berlangsung, siapa yang terlibat, bagaimana saluran-saluran inkulturasi tercipta serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap perubahan dalam jangka waktu sepuluh tahun tersebut.
Biaya
Berkaitan dengan masalah waktu adalah biaya. Field research dalam hal ini membutuhkan dana yang cukup besar. Sebagaimana penelitian ilmu sosial lainnya, 80% biaya penelitian tercurah kepada biaya peneliti, menyisakan 20% untuk keperluan lain-lainnya. Bagi penentu kebijakan, sering hal ini menjadi masalah karena dianggap tidak efisien. Dengan biaya yang kecil, permasalahan baru timbul, yaitu dengan waktu yang terpaksa disingkat, universum yang besar tidak dapat dijangkau.
Etika
Etika merupakan salah satu permasalahan yang lain lagi. Dalam survai dan eksperimen, etika jarang disebut-sebut, namun etika menjadi kendala yang mencolok dalam field research khususnya ketika penelitian dilakukan atas kelompok atau individu yang sifatnya tertutup atau dianggap menyimpang oleh masyarakat. Untuk memperoleh informasi mengenai ruang dan arsitektur yang dibentuk oleh ritual atau liturgi dari kelompok tersebut, peneliti mau tidak mau harus masuk ke inner circle kelompok. Kelompok semacam ini kebanyakan sangat tertutup dan tidak ramah terhadap orang luar. Dengan demikian untuk mengatasi kesulitan akses peneliti kerap terpaksa melakukan penyamaran. Hal ini merupakan permasalahan tersendiri, karena penelitian seharusnya dilandasi dengan sikap jujur penuh keterbukaan. Sebaliknya, berterus terang mungkin pula bukan solusi yang tepat oleh karena dapat sangat membatasi akses peneliti, atau malahan menimbulkan sikap reaktif. Padahal, field research menuntut keadaan senatural mungkin, yang hanya dapat dicapai dengan keadaan non reaktif dari subjek. Erlinda[9] merahasiakan benar identitas sebenarnya sebagai peneliti, untuk menjaga sifat kewajaran dari subjek penelitian. Identitas sebagai peneliti hanya dibuka kepada ustadz yang menjadi salah seorang informan kunci dalam penelitiannya. Dengan menjaga kerahasiaan identitas, peneliti meyakini akan dapat memotret keadaan yang sebenarnya serta memperoleh akses yang lebih luas. Kekhawatiran akan hilangnya aspek kewajaran pada komunitas ditepis oleh Unaradjan.[10]
Menurutnya, ketidakwajaran hanya terjadi beberapa saat di awal penelitian. Setelah beberapa minggu, disertai dengan telah diterimanya peneliti menjadi bagian dari komunitas maka irama kehidupan akan berjalan normal kembali.
Masalah etika juga terkait dengan pelaporan atau publikasi hasil penelitian. Dalam banyak kasus, peneliti merahasiakan identitas dari informan untuk melindungi privasi yang bersangkutan. Erlinda[11] mengganti nama-nama informan dan tokoh-tokoh dalam penelitiannya dengan nama-nama fiktif.
Bahkan lokasi lapangan penelitian pun hanya disebut inisialnya saja. Cara penggambaran yang terkesan menutup-nutupi semacam ini membuat publikasi penelitian dibaca sembari bertanya-tanya.
Objektivitas Peneliti
Karakteristik dari field research adalah saling pengaruh-memengaruhi antara peneliti dengan subjek penelitian, walaupun secara teori dapat dikatakan penelitian harus diusahakan senon reaktif mungkin. Seiring lamanya waktu di lapangan, objektivitas peneliti dapat saja meluntur disertai hilangnya sikap keasingan. Peneliti menjadi kehilangan jati dirinya sebagai peneliti dan berubah menjadi “orang dalam”. Lebih jauh dikemukakan oleh Neuman, risikonya meliputi teradopsinya nilai-nilai lokal secara berlebihan oleh peneliti sehingga menjadi pribadi yang sama sekali berbeda, termasuk di antaranya pindah agama. Bila hal ini terjadi tentu kurang menguntungkan. Untuk mengatasinya, Unaradjan menyarankan peneliti agar memiliki semacam pengawas yang berada di luar lokasi penelitian, dengan perspektif yang total “orang luar”. Dalam periode waktu tertentu, peneliti bertemu dengan pengawas ini untuk berdiskusi. Dengan masukan berupa pandangan-pandangan dari pengawas ini, objektivitas peneliti dapat dengan cepat dikoreksi atau dipulihkan bila terjadi ketidakakuratan.
Masalah-Masalah Lainnya
Field research secara umum menuntut peneliti yang dalam banyak hal lebih tangguh dibandingkan dengan peneliti metode lain, baik fisik maupun mental. Secara intelektual, dibutuhkan peneliti yang prima oleh karena beberapa kesulitan yang ditimbulkan nantinya oleh metode field research sendiri. Misalnya, proses generalisasi yang dilakukan di field research adalah jauh lebih sulit dibandingkan penelitian lainnya. Field research sangat terkait dengan tradisi si peneliti sendiri yang dibenturkan dengan tradisi masyarakat subjek penelitian. Selain itu, kejadian-kejadian yang timbul juga banyak yang bersifat kebetulan meski banyak pula yang dibangun dengan kesengajaan. Secara mental, field research pada fase awal sangat berat. Tidak jarang terjadi penolakan dari pihak masyarakat penerima. Y.B. Mangunwijaya dalam action researchnya di Kali Code mengalami hal ini, penolakan yang kerap dilakukan pula dengan diimbuhi kekerasan. Jikapun akses dapat diperoleh, pengoleksian informasi serta pengodean merupakan proses yang melelahkan, dengan hasil yang tidak bisa dipastikan. Bukannya jarang terjadi, setelah berminggu-minggu meneliti tidak ditemui kemajuan yang berarti. Dalam hal ini, ketekunan, keuletan dan kesabaran benar-benar akan diuji, baik pada diri peneliti sendiri, pengawas maupun juga informan yang harus bolak balik meluangkan waktu bagi peneliti.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah AField Research (Penelitian Lapangan), anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |