PENDAHULUAN
Reformasi telah membawa pemikiran dan praktek baru dalam proses governance di Indonesia. Salah satu pemikiran ‘baru’ tersebut adalah adanya keyakinan yang lebih besar terhadap proses partisipatoris dalam penataan ruang.[3] Konsep partisipasi itu sendiri terus mengalami evolusi. Ke depan, partisipasi yang dikembangkan adalah partisipasi yang bersifat “transformatif” yang memiliki daya ubah terhadap praktek-praktek pembangunan yang telah memelihara bentuk-bentuk ketidakadilan sosial.[4] Bagi para pendukungnya, partisipasi dipercaya akan memberikan efek individual seperti diperolehnya pengetahuan baru, terjadinya perubahan sikap, terbangunnya kepemimpinan dan rasa percaya diri. Selain efek individual tersebut, partisipasi juga dapat meningkatkan kualitas dari kebijakan yang dihasilkan, yaitu menjadi lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat, lebih diterima dan dengan demikian lebih mudah diterapkan.
PEMBAHASAN
A. Intensitas dan Dampak Partisipasi
Pelajaran dari pengalaman setelah reformasi menunjukkan bahwa partisipasi di tingkat lokal sedang dan terus mengalami perubahan. Dapat dikatakan bahwa kuantitas maupun kualitas partisipasi sedang mengalami peningkatan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa akses warga terhadap proses kepemerintahan di tingkat lokal secara bertahap telah terkuak. Kelompok-kelompok warga melalui berbagai forum menjadi lebih aktif menuntut agar disertakan dalam pengambilan keputusan baik yang terkait dengan program-program pembangunan maupun partisipasi politik secara lebih umum. Perubahan yang mengindikasikan bahwa peran serta masyarakat dalam local governance di Indonesia bertambah antara lain adalah[5]:
- Semakin banyak peraturan yang telah diterbitkan yang mendorong partisipasi yang lebih efektif.
- Semakin banyaknya kota-kota maupun kabupaten yang menetapkan partisipasi sebagai visinya.
- Semakin luasnya kesempatan dan ruang yang dibuka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
- Semakin tingginya kapasitas dan kompetensi civil society untuk menerapkan pendekatan-pendekatan baru (partnership) maupun menyediakan asistensi teknis dalam mendorong perubahan dalam praktek governance.
- Semakin banyak forum-forum di komunitas yang bersifat deliberatif, dan berorientasi pada isu-isu governance dan kebijakan publik.
- Semakin besar keinginan dari kelompok perempuan dan kelompok marjinal untuk berpartisipasi.
- Semakin besarnya sumber daya yang ditransfer ke tingkat lokal.
- Semakin banyak informasi yang dapat diakses oleh kelompok masyarakat sehingga mengundang keinginan yang lebih besar untuk melakukan monitoring
Tentu saja kesimpulan bahwa partisipasi telah mengalami peningkatan saja tidak akan memuaskan. Selalu ada pertanyaan lanjutan yang perlu didiskusikan lebih dalam agar pengalaman ini menjadi lebih bernilai bagi ilmu pengetahuan, dan yang lebih penting lagi, akan memberikan sumbangan yang lebih berarti bagi upaya penguatan peran serta masyarakat. Memang realitas pun menunjukkan walaupun sudah banyak capaian seperti yang dikemukakan di atas, partisipasi di Indonesia masih dirasakan bermasalah, beberapa masalah yang dihadapi diantaranya adalah:
- Tidak semua peraturan yang mendorong partisipasi memiliki daya paksa untuk mengubah atau dapat diterapkan.
- Partisipasi masih berada di tataran kebijakan yang aman seperti perencanaan pembangunan, tetapi masih sangat terbatas di proses penganggaran dan tata ruang.
- Fungsi partisipasi lebih untuk mengemukakan keinginan dan kebutuhan lokal belum pada mengontrol sumber daya, termasuk ruang.
- Peluang dan keuntungan dari partisipasi banyak ditangkap oleh pemimpin lokal, elit dan para oportunis.
- Metode dan mekanisme partisipasi yang digunakan mengalami proses involusi.
- Civil society menunjukkan kelemahan dalam berkoalisi dan berjejaring, yang dalam banyak kasus telah memperlemah efek advokasi yang dilakukan.
- Masalah internal forum seperti problem kepemimpinan, mobilitas vertikal dan regenerasi, problem ketergantungan dana dari sumber luar, tidak adanya habit voluntir dan akuntabilitas, problem patronase pada LSM, Donor, kooptasi Pemerintah dan Partai Politik.
- Kurangnya kompetensi dalam bidang ilmu tata ruang mengurangi rasa percaya diri dan hasrat masyarakat untuk berperan serta secara aktif.
- Pemerintah kurang memberikan penghargaan (respek) terhadap peran serta masyarakat.
Salah satu pertanyaan yang muncul terkait dengan partisipasi dalam pengendalian pemanfaat ruang adalah efeknya terhadap perilaku politik dan kompetensi kewargaan. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa selama ini warga telah memiliki dan memanfaatkan kesempatan untuk berpartisipasi, namun kegagalan-kegagalan dan terbatasnya pengaruh dari partisipasi yang berjalan telah mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri dan memunculkan rasa apatis. Tantangan yang paling besar saat ini adalah mengembalikan rasa percaya diri yang mulai hilang ini. Pengalaman Forum Warga menunjukkan banyaknya hambatan yang dihadapi oleh masyarakat untuk berpartisipasi efektif dan mencapai efek “transformasi” yang lebih bermakna.
B. Pengalaman Peran Serta Masyarakat Melalui Forum Warga
Walaupun diperlukan, forum multi stakeholders yang menjadi arena dialog untuk mendiskusikan persoalan sehari-hari dan meningkatkan kepedulian warga yang terkait dengan isu penataan ruang kurang berkembang. Padahal, melalui forum ini warga memiliki tempat untuk merumuskan dan mengkonsolidasikan tuntutan politiknya dalam aspek penataan ruang. Lama kelamaan warga memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk berinteraksi dengan pengambil keputusan secara setara. Forum juga bisa menjadi wadah advokasi dalam rangka mendorong perubahan, pembentukan, sosialisasi atau pelaksanaan peraturan tertentu yang relevan dengan penyelenggaraan penataan ruang yang lebih baik dan berpihak pada kepentingan masyarakat banyak selain membangun kapasitas anggota forum dan masyarakat umum dalam aspek-aspek penataan ruang (spatial planning literacy) seperti mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi, melakukan pelatihan dan workshop, melakukan analisis kritis produk-produk penataan ruang.
Analisis terhadap pengalaman pengorganisasian partisipasi di dalam bidang tata ruang telah memberikan pelajaran yang penting tentang berbagai pendekatan untuk mengorganisasikan suara warga. Forum Warga di Jatinangor, misalnya, mencoba menerapkan strategi partnership dalam interaksinya dengan aparat negara. Pendekatan dialog publik telah diterapkan oleh Forum Warga Jatinangor yang mendapatkan dukungan dari Departemen Planologi ITB. Melalui metode dialog yang bersifat deliberatif ini Forum Warga memperoleh titik masuk untuk merespons berbagai permasalahan pemanfaatan ruang yang dihadapi. Keberadaan Forum Warga telah meningkatkan posisi tawar warga vis a vis aparat negara. Forum Warga juga meletakkan networking atau membangun jaringan sebagai strategi utama. Melalui Forum Warga masyarakat bisa memperluas aliansinya dengan berbagai gerakan pro demokrasi lain. Namun mengapa Forum Warga Jatinangor saat ini mengalami kemandegan?
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Partisipasi
Kasus Forum Warga Jatinangor, Majalaya, dan beberapa Forum serupa yang aktif dalam proses perencanaan maupun pengendalian pemanfaatan ruang mengemukakan dengan cukup gamblang persoalan dan kesulitan yang dihadapi dalam menjalani proses untuk mendorong partisipasi.[6] Ada masalah-masalah yang terkait dengan resistensi birokrasi, aspek historis dan kebiasaan sehari-hari dari masyarakat maupun perusahaan konsultan tata ruang seperti sifat pragmatisme dan opportunisme yang menghargai perolehan yang sifatnya materialis dan berjangka pendek. Masalah lain terkait dengan manajemen pembangunan secara umum, yang sangat berorientasi proyek dan seringkali tidak bersesuaian dengan pendekatan partisipatif.
Menciptakan dan mempertahankan partispasi bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi meningkatkan efektivitasnya. Tantangan yang paling besar ke depan adalah bagaimana agar akses yang telah diperoleh warga dalam pengambilan keputusan pada akhirnya akan menghasilkan kemajuan ekonomi dan keadilan sosial. Bagaimana akses yang sudah mulai terkuak untuk warga berpartisipasi bisa menjadi alat untuk mencapai tujuan-tujuan lain, misalnya meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja, mempertahankan kualitas lingkungan hidup, memperbaiki pelayanan publik, dll. Dukungan dari para pengambil keputusan di tingkat lokal juga akan menjadi bagian penting dari masa depan partisipasi. Antusiasme pada birokrat dan politisi bisa memperkuat motivasi masyarakat untuk berperan serta dan sebaliknya.
D. Partisipasi Masyarakat sebagai Indikator Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Salah satu dimensi yang dapat dijadikan ukuran adalah tersedianya mandat dan legal framework (berupa renstra, visi kota, perda, surat keputusan kepala daerah, dll) untuk membuka ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Kerangka regulasi yang bisa bisa menjadi ukuran adanya komitmen.
Dimensi kedua adalah lingkup partisipasi yang telah diterapkan. Apakah terbatas pada proses konsultasi dan pemberian informasi apakah hanya dalam proses perencanaan, dsb. Selain itu, karena salah satu tujuan partisipasi adalah untuk mengemukakan kepentingan publik. Indikator penting dalam partisipasi dengan demikian adalah aspek inclusiveness dari partisipan yang terlibat, sehingga interest atau kepentingan publik yang sesungguhnya bisa terjaga. Jangan sampai partisipasi hanya menjadi alat kepentingan individual atau vested interest yang bersifat opotunistik atau hanya menjadi alat kepentingan elit semata.
Sejauh mana masyarakat memperoleh akses terhadap informasi yang diperlukan yang terkait dengan ruang adalah indikator yang juga penting. Transparansi dan komunikasi yang berlangsung antara masyarakat dengan pihak eksekutif maupun legislatif menjadi salah satu ukuran kinerja dalam partisipasi. Salah satu bentuk partisipasi bisa dilakukan melalui pendekatan konfrontatif seperti melalui protes dan penekanan. Namun ke depan, pendekatan partnership yang setara dan koordinasi menjadi tujuan yang lebih diinginkan. Partisipasi juga diharapkan berorientasi jangka panjang dan akan mempengaruhi kebijakan secara berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
- Winarso, Haryo, et,al, Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia, Departemen Teknik Planologi ITB, dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, 2002
- Hickey, Samuel and Mohan, Giles (eds), Participation: from Tyranny to Transformation?: Exploring New Approaches to Participation in Development, London, Zed Books, 2004
- Sj Sumarto, Hetifah, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia, Yayasan Obor, 2003
_____________________________
[3] Winarso, Haryo, et,al, Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia, Departemen Teknik Planologi ITB, dan Yayasan Sugijanto Soegijoko, 2002.
[4] Hickey, Samuel and Mohan, Giles (eds), Participation: from Tyranny to Transformation?: Exploring New Approaches to Participation in Development, London, Zed Books, 2004.
[5] Sjaifudian, Hetifah, et.al., Policy Study: Lessons learned from Innovative Practices of Civic Engagement in Local Governance in Indonesia, LGSP-USAID, 2006.
[6] Sj Sumarto, Hetifah, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia, Yayasan Obor, 2003.