Istilah mengenai ‘peradaban’ merupakan sebuah istilah yang tidak asing dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah peradaban manusia pada dasarnya dimulai sejak awal kehidupan manusia di bumi ini. Ia memiliki banyak defenisi dalam berbagai variasinya, tergantung dari sudut mana orang mendefenisikan kata peradaban itu.
Konsep mengenai peradaban biasanya selalu dipertentangkan dengan konsep ‘barbarisme’ atau dalam bahasa Islam disebut ‘zaman jahiliyah’. Peradaban juga sering dikaitkan dengan ‘tidak tersosialisasikannya nilai-nilai yang merangsang timbulnya pencerahan dalam suatu masyarakat’. Antitesis dari peradaban ternyata bukanlah konsep mengenai sebuah “masyarakat atau negara yang tak tercerahkan,” melainkan lebih merupakan fenomena etnis dan antropologis yang terjadi pada suatu masyarakat, baik pada masyarakat primitif atau yang terjadi pada masyarakat modern.
Pengertian di atas bisa dicari pembenarannya melalui rekonstruksi sejarah peradaban bangsa-bangsa bahkan jauh sebelum datangnya agama Islam. Lebih kurang 3000 sebelum masehi misalnya, dunia menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan bangsa Sumeria. Konon itulah komunitas pertama manusia yang berhasil membangun kota, mengatasi luapan sungai Dajlah dan Furat. Merekalah yang pertama menggunakan weluku dan bajak secara intensif untuk menggarap tanah pertanian.
Masih pada masa yang kurang lebih sama, berkembang pula sebuah bangsa yang berambut keriting, berbibir tebal dan bermata agak sipit, tinggal di tepi sungai Shindu, di daratan Anak Benua Asia. Pusat kebudayaannya terletak di kota Mahenjro Daro (kini terletak di daerah Pakistan), ditemukan bekas reruntuhan kota, seperti struktur bangunan, jalan dan rumah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kota.
Di wilayah Afrika Timur Laut pada tahun 3400 SM hadir peradaban besar yang kelak dikenal dengan nama Peradaban Mesir Kuno. Herodotus seorang ahli sejarah Yunani pada tahun 350 SM mengunjungi Mesir dan mendapatkan Mesir sebagai wilayah subur yang mendapat aliran besar dari sungai Nil. Beberapa penggalian arkeologis menunjukkan bahwa peradaban zaman batu telah lama ditinggalkan dan Mesir tergolong bangsa yang paling awal memanfaatkan tembaga dan perunggu untuk keperluan memenuhi hajat hidupnya.
Kurang lebih pada 2000 SM, di lembah sungai Eufrat dan Tigris muncul kebudayaan Babilonia Awal dengan rajanya yang terkenal bernama Hammurabi. Di wilayah Asia Kecil tercatat pula pernah muncul peradaban bangsa Hatti (Hethit) kurang lebih dari tahun 1700-1400 SM. Bangsa Persia yang menjadi nenek moyang bangsa Iran saat ini, membangun peradabannya sejak 2500 SM. Bangsa Arya melakukan migrasi besar-besaran kurang lebih pada tahun 2000-1500 SM ke daratan India yang kemudian mengembangkan peradabannya di wilayah itu. Dari bangsa Aryalah, konon kepercayaan Hinduisme berasal dan kemudian dikembangkan.[1]
Pada masa sekarang ini, peradaban-peradaban itu telah runtuh. Kalau pun ada yang tersisa, seperti Persia, Mesir, Yahudi, Cina ataupun Arya, maka ia sudah pasti melebur ke dalam perubahan total yang terjadi tidak hanya pada tingkat material maupun sosial saja, melainkan juga pada tingkat mental-kognitif yang dialami oleh masyarakat bangsa itu. Hal ini adalah akibat dari intervensi dari munculnya ‘peradaban baru’ yang datang belakangan dan dengan kuat memberikan pengaruhnya terhadap peradaban-peradaban klasik itu. Peradaban-peradaban kuno tersebut pada akhirnya harus menerima kenyataan sebagai peradaban yang terkalahkan oleh peradaban yang lebih kuat dan maju dibanding peradaban yang mereka miliki. Dari hal itu dapat diketahui bahwa sebuah peradaban akan dapat dikalahkan oleh peradaban lain yang lebih besar dan kuat. Selain itu, sebuah peradaban tidak hanya diukur dari unsur-unsur material yang kongkrit saja, tetapi yang lebih penting bahwa sebuah peradaban dapat memproyeksikan dan menyebarluasan paham-paham dan ide-ide ke dalam cara berfikir dan pola hidup yang secara tak terelakkan dapat mereduksi nilai-nilai dan tradisi asli dari bangsa yang menerima peradaban itu.
Apa yang dimaksud dengan ‘peradaban’? Kata ‘peradaban’ diambil dari kata dasar ‘adab’. Kata ini merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab. Di dalam kamus Bahasa Indonesia diterangkan bahwa ‘adab’ adalah kehalusan, kesopanan, dan kebaikan akhlak. Sedangkan peradaban diartikan sebagai kemajuan budaya batin dan kecerdasan befikir.[2] Walaupun berasal dari bahasa Arab, kata peradaban sudah mempunyai istilah tersendiri yang disebut al-hadarah atau tamadun (Inggris: civilization). Dalam kamus-kamus Arab yang diketahui, istilah al-hadarah atau tamadun memiliki defenisi yang tidak jauh berbeda dengan defenisi yang disebutkan terdahulu.[3]
Menarik untuk dilihat bahwa Islam di Asia Tenggara, yang didominasi masyarakat melayu, merupakan kekuatan sosial politik yang patut diperhitungkan. Ia merupakan agama negara kerajaan Brunei Darussalam, Agama resmi negara Federasi Malaysia, agama yang dianut oleh sekitar 90% dari seluruh penduduk Indonesia, sebuah negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Selain itu, Islam merupakan kepercayaan yang dipeluk oleh sekelompok kaum minoritas di Filipina, Thailand, Kamboja dan Singapura. Dengan kenyataan ini, Asia Tenggara merupakan satu-satunya wilayah di dunia, di luar wilayah Islam yang terbentang dari Afrika Barat Daya hingga Asia Selatan, yang mempunyai penduduk Muslim terbesar.[4]
Meskipun kawasan Asia tenggara saat ini merupakan wilayah Islam yang mempunyai penduduk muslim terbesar, namun harus diakui bahwa kajian keislaman di kawasan ini masih minim. Peradaban Islam yang disorot dalam kajian-kajian Islam sampai saat ini hanya masih terbatas pada empat kebudayaan atau sub-peradaban Islam yang dominan. Semuanya berkaitan dengan empat kawasan, yaitu kawasan pengaruh kebudayaan Arab (Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Spanyol Islam), kawasan pengaruh kebudayaan Persia (Iran dan negara-negara Islam Asia Tangah), Kawasan pengaruh kebudayaan Turki, dan kawasan pengaruh kebudayaan India Islam.[5] Kajian Islam yang masih membatasi empat kawasan itu masih terlihat dalam tulisan-tulisan ilmuan kontemporer yang mengkaji persoalan keislaman. Dengan demikian, penulis berkeinginan untuk melihat dan mengadakan penelitian lebih jauh mengenai peradaban Islam di Asia Tenggara atau dengan kata lain, bagaimana Islam membangun peradabannya di Kepulauan Melayu, khususnya di Indonesia. Islam di Indonesia sebenarnya sudah berkembang pada Periode Pertengahan Sejarah Islam, tetapi kajiannya masih sedikit dan terpisah dari pembahasan periode itu.
Pada periode pertengahan, pembahasan yang paling banyak mendapat tempat adalah percaturan politik di ‘pusat Islam’ dan peradaban yang dibina oleh dinasti-dinasti Islam besar seperti Usmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India. Kajian keislaman di Asia Tenggara masih belum banyak mendapatkan perhatian yang memadai dan perlu untuk digali serta dikembangkan agar tidak menjadi kajian yang terabaikan dalam totalitas kajian keilmuan Islam.
Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat menguraikan pengaruh datangnya Islam di Asia Tenggara terhadap munculnya peradaban baru di kepulauan Melayu, khususnya di Indonesia. Mengapa dikatakan ‘baru’, adalah karena dimungkinkan sekali Islam telah membawa nuansa-nuansa baru, baik dari segi kepercayaan, pola pikir, adat istiadat, bahasa dan budaya dan bahkan politik serta ideologi yang akhirnya berinteraksi dengan peradaban kuno di Kepulauan Melayu. Hasil dari interaksi dan saling pengaruh mempengaruhi antara agama Islam dan peradaban pribumi tersebut memunculkan sebuah peradaban Melayu modern yang dipengaruhi oleh peradaban Islam.
Memang diakui kajian ini memang terlalu luas dan sulit untuk diteliti dalam waktu yang singkat dan ditambah dengan tidak banyaknya literatur-literatur yang memiliki otoritas dan kredibilitas yang mumpuni dalam kajian keislaman di Asia Tenggara, maka penelitian ini akan mengangkat tulisan-tulisan Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengenai sejarah pemikiran dan tentang Islamisasi di Kepulauan Melayu-Indonesia. Di antara tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kajian Islam di Kepulauan Melayu, Al-Attas adalah salah satu tokoh yang banyak punya kredibilitas mengenai hal itu. Tulisan-tulisannya mengenai sejarah pemikiran dan perkembangan tasawuf di Asia Tenggara, khususnya tentang tokoh tasawuf Nuruddin Al-Raniry dan Hamzah Fansuri, merupakan penelitian yang mendapat apresiasi tinggi di kalangan ilmuan dan intelektual. Selain itu, berbagai tulisannya yang berkaitan dengan filsafat, sejarah pemikiran, peradaban dan kebudayaan Melayu, pendidikan dan lain sebagainya membuat Al-Attas menjadi tokoh yang pantas untuk dikaji dan diteliti dari setiap tulisan dan pemikirannya.
B. Rumusan Masalah
Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa permasalahan utama yang menjadi fokus penelitian ini ialah tentang Islam dan Peradaban Melayu dalam Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Maka sub permasalahan di atas dapat dirincikan kepada tiga permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengenai Islam dilihat dari konsepnya sebagai agama?
2. Bagaimanakah proses Islamisasi Kepulauan Melayu dalam pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas?
3. Bagaimanakah dampak kedatangan Islam terhadap perkembangan peradaban Melayu-Indonesia?
Permasalahan-permasalahan pokok di atas merupakan hal penting yang ingin dijawab dalam penelitian ini. Perlu diketahui bahwa Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan seorang tokoh yang serius dalam memberikan perhatian terhadap sejarah pemikiran Islam Asia Tenggara khususnya tentang Sejarah peradaban dan kebudayaan Melayu. Oleh sebab itu, ketiga permasalahan inilah yang pada hakikatnya ingin dicari jawabannya dalam penelitian ini.
C. Batasan Istilah
Untuk memelihara konsistensi dalam penggunaan istilah yang digunakan dalam penelitian ini, beberapa istilah kunci yang terdapat di dalamnya akan diberikan batas pengertian sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya multi interpretasi dan kesimpangsiuran atas istilah-istilah yang digunakan. Adapun judul penelitian ini ialah “Islam Dan Peradaban Melayu: Analisis Terhadap Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengenai Islamisasi Di Kepulauan Melayu-Indonesia.” Judul penelitian ini mencakup beberapa istilah kunci yaitu Islam, Islamisasi, Peradaban, Melayu dan Kepulauan Melayu.
Istilah ‘Islam’, didefenisikan secara umum sebagai sebuah agama yang berisi ajaran-ajaran yang diturunkan Allah SWT kepada manusia melalui nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rasul pembawa ajaran tersebut. Agama Islam mengambil bentuk sikap penyerahan diri seluruhnya kepada kehendak Allah SWT atas segala kehendaknya.[6] Islam yang dimaksudkan dalam penelitian ini ialah agama Islam yang dibawa oleh para pendakwah Muslim untuk disampaikan kepada masyarakat di Kepulauan Melayu.
Islamisasi dalam kajian ini menunjukkan sebuah proses pengislaman. Yaitu suatu kegiatan yang berlangsung dalam suatu waktu dan tempat, yang mengakibatkan suatu perubahan dalam tataran konsep, pola pikir, budaya, dan aturan-aturan hidup pada suatu masyarakat. Islamisasi jika merujuk kepada yang dikemukakan Syed Muhammad Naquib Al-Attas ialah “Pembebasan manusia dari berbagai tradisi lama yang mengikatnya seperti tradisi magis, mitologis, animistis, nasional-kultural sehingga pada akhirnya menjadi manusia Islam yang nalar dan bahasanya tidak lagi dikendalikan oleh ilmu gaib, mitologi, animisme, takhyul, tradisi-tradisi nasional dan kulturalnya serta dari paham sekular”.[7]
Istilah ‘peradaban’ memang bisa mengandung banyak arti. Ia Memiliki kata dasar ‘adab’ yang berasal dari bahasa Arab yang berarti sopan, berbudi bahasa, dan berperilaku baik.[8] Kata peradaban ini memiliki kaitan erat dengan etika. Seorang yang beradab berarti memiliki kesopanan, terhormat, hidup diatur oleh hukum dan diikat oleh sistem adat masyarakatnya.
Peradaban dapat diartikan sebagai suatu entitas budaya[9]. Ia pada umumnya dipahami sebagai entitas sosial yang sangat besar dan konprehensif yang timbul melebihi individu, keluarga, atau bahkan negara. Satu peradaban dengan peradaban lainnya dibatasi oleh unsur-unsur objektif, seperti perbedaan sejarah, bahasa, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga; dan juga dibatasi oleh unsur subjektif, yaitu identifikasi-diri dari orang-orang itu. Peradaban juga dipahami sebagai kultur total dari suatu masyarakat. Kultur yang dimaksudkan adalah keseluruhan kompleks yang mengandung pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, tradisi-tradisi, adat istiadat, artifak-artifak, seni-seni, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dan diusahakan manusia sebagai anggota masyarakat.
Adapun pengertian Melayu, secara umum dapat menunjukkan kepada beberapa arti, yaitu melayu sebagai sebuah ras, melayu sebagai sebuah suku, melayu dalam kesatuan bahasa, melayu dalam kesatuan agama, dan melayu dalam kesatuan negara. Konsep melayu dalam penelitian ini lebih ditujukan kepada sebuah Ras atau rumpun yang didasarkan pada perbedaan ciri-ciri fisik, seperti warna kulit, bentuk muka, hidung, rambut, genetik, bahasa, dan budaya.[10]
Sementara mengenai istilah ‘Kepulauan Melayu’ yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sejumlah pulau-pulau yang didiami oleh masyarakat Melayu. Kepulauan Melayu pada dasarnya merupakan gugusan pulau-pulau yang tersebar merata dimulai dari pulau Madagaskar hingga ke pulau-pulau yang berada di samudera Fasifik, seperti pulau Solomon dan Hawai.[11] Namun, dalam penelitian ini, sebagaimana pengkhususan yang dibuat Al-Attas bahwa ketika ia membicarakan Kepulauan Melayu, ia hanya mengambil contoh pada pulau Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang). Hal ini wajar mengingat sejarah telah menunjukkan bahwa awal kedatangan Islam dan penyebaran Islam di Kepulauan Melayu itu diawali dari ketiga pulau tersebut.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang telah dibatasi pada rumusan masalah yang mengacu pada inventarisasi,[12] yakni mengumpulkan semua karya Syed Muhammad Naquib al-Attas yang berhubungan dengan pemaknaan agama Islam dan kaitannya terhadap pembentukan peradaban Melayu, kemudian berupaya untuk merumuskannya dengan metodologi yang jelas agar menjadi gagasan yang lebih utuh dan sistematis. Secara lebih khusus penelitian ingin mengetahui tentang:
1. Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengenai Islam dilihat dari konsepnya sebagai agama?
2. Proses Islamisasi Kepulauan Melayu dalam pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas?
3. Dampak kedatangan Islam terhadap perkembangan peradaban Melayu
E. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian yang diharapkan dari penelitian ini ialah untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan peradaban Islam di Kepulauan Melayu. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi siapa saja yang menaruh minat dan perhatian terhadap pemikiran sejarah Islam di Asia Tenggara, dilihat dari konteks sejarah pemikiran dan kebudayaan Islam yang berkembang di Kepulauan Melayu.
Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian ilmiah dan berfikir secara kritis dan sistematis. Hasil penelitian yang dibuat ini, semoga dapat dijadikan sebagai wawasan tambahan bagi siapa saja yang menaruh minat dan perhatian terhadap pemikiran tokoh Syed Muhammad Naquib Al-Attas serta tentang peradaban dan kebudayaan Islam yang sampai saat ini masih belum banyak disentuh oleh peneliti-peneliti sejarah pemikiran Islam di Indonesia.
F. Landasan Teori
1. Peradaban dan Kebudayaan
Para penulis dan pemikir telah banyak memberikan teori mengenai peradaban. Malik Bennabi menuliskan ‘civilization is the sum total those moral and material means that enable a society to provide each of it's members with all the social service needed for him to progress’.[13] (Peradaban merupakan keseluruhan total dari unsur material dan moral yang memungkinkan suatu masyarakat untuk menyediakan masing-masing anggotanya dengan semua layanan sosial yang diperlukan untuk mencapai kemajuan). Sementara menurut Huntington, peradaban adalah suatu entitas budaya.[14] Ia dipahami sebagai entitas sosial yang sangat besar dan komprehensif yang timbul melebihi individu, keluarga, atau bahkan negara. Secara panjang lebar Huntington menuliskan:
“Desa-desa, daerah-daerah, kelompok-kelompok keagamaan, semuanya mempunyai budaya yang berbeda-beda pada tingkat keragaman budaya yang berbeda-beda pula. Budaya di Italia Selatan mungkin berbeda dari budaya Italia Utara, tapi keduanya sama-sama berbudaya Italia sehingga membedakan mereka dari desa-desa di Jerman. Masyarakat Eropa yang berbeda-beda itu mempunyai budaya yang sama, yaitu budaya Barat, yang membedakan mereka dari masyarakat Arab atau Cina. Karena itu, suatu peradaban adalah pengelompokan tertinggi dari orang-orang dan tingkat identitas budaya yang paling luas yang dimiliki orang sehingga membedakannya dari spesies lainnya. Ia dibatasi oleh unsur-unsur objektif berupa bahasa, sejarah, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga; dan juga dibatasi oleh unsur subjektif, yaitu identifikasi-diri dari orang-orang itu. Masyarakat mempunyai tingkatan identitas: penduduk Roma mungkin mendefenisikan dirinya dengan derajad intensitas yang bervariasi sebagai orang Romawi, Italia, Katolik, Kristen, Eropa, dan akhirnya Barat. Peradaban adalah tingkat identifikasi yang paling luas yang dimiliki orang, dan dengan perdaban itu ia mengidentifikasi dirinya secara intens. Orang-orang atau bangsa-bangsa bisa dan dapat melakukan redefenisi identitas mereka. Karena redefenisi ini, komposisi dan batas-batas peradaban dapat berubah. Peradaban bisa mencakup sejumlah besar orang atau masyarakat, misalnya Cina (Suatu peradaban yang menjadi negara), atau sejumlah kecil orang atau masyarakat, seperti orang-orang Caribia Anglophone. Suatu perdaban bisa mencakup sejumlah negara-bangsa, seperti peradaban Barat, Latin Amerika dan Arab, atau hanya satu, misalnya peradaban Jepang atau Cina. Peradaban-peradaban jelas bercampur-aduk dan tumpang tindih, dan bisa mencakup sub-peradaban: Arab, Turki, dan Melayu. Peradaban merupakan entitas yang jelas, dan kalaupun garis-garis pemisah antara peradaban-peradaban itu biasanya tidak tajam, tetapi nyata. Peradaban-peradaban itu dinamis, mengalami pasang dan surut, bisa terpilah-pilah dan memencar. Seperti dikatakan para ahli sejarah, peradaban-peradaban menghilang dan terkubur zaman. Perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tapi juga mendasar. Peradaban terbedakan oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi, agama. Perbedaan peradaban melahirkan perbedaan dalam memandang hubungan manusia dengan Tuhan, individu dan kelompok, warga dan negara, orang tua dan anak, suami dan istri, hak dan kewajiban, kebebasan dan kekuasaan, dan kesejajaran atau kesamaan dan hirarki. Perbedaan ini hasil proses berabad-abad. Mereka tidak mudah hilang, dan jauh lebih mendasar daripada ideologi atau rezim politik. Perbedaan tidak mesti melahirkan konflik, dan konflik tidak dengan sendirinya melahirkan kekerasan. Tapi selama berabad-abad, perbedaan telah menimbulkan konflik yang paling keras dan lama”.[15]
Istilah peradaban sering juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan ‘Kebudayaan’. Sementara ‘kebudayaan’ dalam bahasa Arab adalah al-saqafah (Inggris: culture). Dalam ilmu Antropologi, kedua istilah ini jelas dibedakan. Menurut Koentjaraningrat,[16] kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Adapun Istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Kalau kebudayaan lebih banyak direflksikan dengan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terrefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.[17]
Pernyataan Koentjaraningrat di atas, sebenarnya bertentangan dengan konsepsi yang dikemukakan Huntington sebelumya. Koentjaraningrat telah memasukkan konsep peradaban ke dalam kebudayaan dan menyatakan bahwa peradaban sebuah masyarakat lebih tercermin pada sistem teknologi, politik, ekonomi, seni bangunan, seni rupa, dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Jadi baginya, peradaban adalah bagian dari kebudayaan. Sementara Huntington menyatakan bahwa peradaban adalah sekumpulan budaya-budaya dan merupakan identifikasi pada tingkat tertinggi dari suatu bangsa atau masyarakat. Dari hal tersebut dapat dinilai bahwa konsep peradaban itu bisa bertentangan dan tidak bersesuaian. Hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dalam melihat konsep peradaban tersebut. jika Koentjaraningrat mendefenisikan peradaban dari sudut pandang antropologi, maka Huntington melihatnya dari sudut pandang politik.
Yusuf al-Qardawi, seorang ulama modern Mesir, cenderung menyamakan kebudayaan dengan peradaban, konsep kebudayaan atau peradaban menurutnya adalah berbagai pemikiran, pengetahuan dan pencapaian yang dicampur dengan nilai-nilai, keyakinan dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan ibadah, adab dan perilaku, juga ilmu pengetahuan, berbagai jenis seni, serta hal-hal yang bersifat materi dan spiritual.[18]
Pada awal pendahuluan telah disebutkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan defenisi peradaban. Kita mendapati beberapa Ilmuan dan pemikir ternyata memiliki konsep-konsep yang berbeda mengenai peradaban. Di sisi lain juga ditemukan para ahli yang membedakan kebudayaan dengan peradaban, ataupun sebaliknya, menyamakan kedua konsep tersebut. Terlepas dari persoalan-persoalan di atas, suatu hal yang mungkin dapat menyeragamkan pemikiran kita mengenai konsep peradaban adalah bahwa sebuah peradaban itu dibentuk oleh teori pengetahuannya, atau dengan kata lain disebut epistimologi. Epistimologi begitu penting dalam mengatur segala aspek studi tentang manusia, mulai dari filsafat, ilmu pengetahuan murni, hingga ilmu-ilmu sosial.[19] Sementara ide utama tentang sejarah kebudayaan, yakni apa yang menjadi nilai instrinsik dalam sejarah manusia dan apa yang telah dihasilkan manusia dalam hal kepercayaan, sistem pemikiran, bentuk dan intuisi seni, dan bahwa setiap fase sejarah ditandai oleh semangat tertentu, seperti halnya dengan semua produk kebudayaan yang mempunyai kesamaan satu sama lain dan merupakan manifestasi dari realitas yang sama.[20] Peradaban atau kebudayaan manusia tidak bisa dilepaskan dan diawali oleh perubahan yang terjadi dalam sistem pemikiran, epistemologi, kepercayaan dan nilai-nilai instrinsik lainnya, sehingga akhirnya memunculkan suatu peradaban dan kebudayaan tertentu pada suatu masyarakat atau bangsa. Jadi, hal terpenting dari sebuah peradaban bukanlah diukur dari aspek yang bersifat lahiriyah, seperti struktur bangunan dan teknologi, namun aspek-aspek batiniyah atau nilai-nilai instrinsik, seperti sistem kepercayaan, sistem pemikiran, epistemologi, dan agama adalah sebagai motor penggerak utama bagi munculnya sebuah peradaban.
2. Islam Sebagai Agama Yang Melahirkan Peradaban
Sudah diyakini dan disepakati bersama bahwa agama Islam itu memunculkan sebuah peradaban yang disebut ‘peradaban Islam’. Perkembangan peradaban Islam, berjalan secara beriringan dengan perkembangan agama Islam yang di awali pada saat kelahirannya di Jazirah Arab. Landasan peradaban Islam adalah kebudayaan Islam, terutama dalam wujud idenya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi, dalam Islam, agama bukanlah kebudayaan atau peradaban, tetapi melahirkan kebudayaan dan peradaban.
Agama Islam yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Islam dengan cepat bergerak mengembangkan dunia, mengembangkan suatu dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang. Bahkan kemajuan Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. H.A.R. Gibb di dalam bukunya Whither Islam menyatakan, “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”. (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah sistem kepercayaan (agama), ia adalah sebuah peradaban yang sempurna).[21] Karena yang menjadi pokok kekuatan dan sebab timbulnya kebudayaan adalah agama Islam, kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau peradaban Islam.
Dalam pengembangan peradaban Muslim pertama, ilmu pengetahuan memiliki pengaruh yang sangat besar. Para sarjana Muslim pertama telah memberikan sejumlah pemikiran-pemikiran dan sumbangan ilmu pengetahuan yang hebat sekali pada seluruh level masyarakat. Bagi mereka, sebuah peradaban Islam tanpa ilmu pengetahuan tidak dapat dibayangkan akan seperti apa, sementara dalam agama Islam telah diterangkan dengan jelas betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam membangun sebuah peradaban yang luhur dan maju.
Demikianlah Islam membangun masyarakat Arab yang jahiliyah menjadi masyarakat yang memiliki peradaban yang tinggi dan luhur. Agama Islam tidak hanya berisi sebuah konsep yang menuntun manusia untuk dapat mengenal dan dekat kepada Tuhan. Tetapi lebih dari itu, ajaran Islam memiliki memiliki konsep-konsep yang dapat mengantarkan manusia dalam pencapaian tujuan di dunia dan akhirat. Sebagai landasan dan pedoman hidup, agama Islam menuntun manusia untuk membangun sebuah peradaban yang dapat menjadikan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi, sebagai khalifah yang dapat mengatur dan melaksanakan amanat-amanat yang telah dibebankan atas dirinya. Dengan begitu, manusia pada dasarnya telah menjalankan fitrahnya yang hakiki.
Al-Faruqi dalam bukunya yang berjudul Tauhid: Its Implications for Thought and Life, menyebutkan: “Dalam dimensi sosial, Islam sungguh unik di antara peradaban-peradaban dan agama-agama dunia yang pernah diketahui. Berlawanan dengan agama-agama di dunia, Islam menggambarkan dirinya sebagai seluruh urusan kehidupan, seluruh ruang-waktu, seluruh proses sejarah yang tidak salah, yang baik dan yang diinginkan dengan sendirinya sebab ia adalah menjadi ciptaan, dan hadiah dari Tuhan.[22]
Banyak penulis-penulis Barat yang mengidentikkan kebudayaan dan peradaban Islam dengan ‘kebudayaan Arab’ atau ‘peradaban Arab’. Untuk masa klasik, pendapat ini mungkin dapat dibenarkan, meskipun sebenarnya antara ‘Islam’ dan ‘Arab’ tetap bisa dibedakan. Karena pada masa itu pusat pemerintahan hanya satu dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa Arab di dalamnya sangat dominan. Semua wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa yang satu, yaitu bahasa Arab, sebagai bahasa administrasi. Akan tetapi pada masa sesudahnya, yaitu pada periode pertengahan dan modern, sudah terdapat kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban Islam. Walaupun pada masa pertengahan umat Islam masih memandang bahwa tanah airnya adalah satu, yaitu wilayah kekuasaan Islam dan agama masih dilihat sebagai tanah air dan kewarganegaraan. Tetapi setelah terjadi disintegrasi kekuatan politik Islam ke dalam beberapa kerajaan yang wilayahnya sangat luas, juga terjadi pergeseran nilai-nilai. Kebudayaan dan peradaban Islam tidak lagi diekspresikan melalui satu bahasa. Bahasa administrasi Islam sudah berbeda-beda, seperti Persia, Turki, Urdu di India, dan Melayu di Asia Tenggara. Bahkan, peran Arab kini sudah jauh menurun.
G. Kajian Terdahulu
Sebagai pemikir muslim terkenal,[23] kemungkinan besar sudah banyak penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang tersebar di dunia Muslim khususnya di Asia Tenggara, baik penelitian itu dilakukan oleh penulis-penulis muslim bahkan oleh peneliti asing. Namun dalam hal ini penelitian-penelitian tentang Syed Muhammad Naquib Al-Attas tersebut tidak dapat terdeteksi seluruhnya oleh penulis dikarenakan kesempatan dan waktu penulisan proposal yang singkat. Berdasarkan penelusuran penulis ke berbagai perpustakaan dan toko buku, maka penulis menemukan tiga penelitian yang dilakukan terhadap al-Attas, yaitu:
1. Wan Mohd Nor Wan Daud, yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 2003). Penelitian ini membahas pemikiran al-Attas tentang pendidikan Islam yang ide utamanya berkaitan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan sekaligus aplikasinya dalam pendidikan Islam.
2. S. Harahap, penelitian ini merupakan Skripsi yang dibuat untuk menyelesaikan pendidikan Strata-1 di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padang Sidempuan. Adapun judul penelitian tersebut ialah “Hakikat Pendidikan Islam Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas”. Sesuai judulnya, penelitian ini memusatkan perhatian terhadap hakikat hidup manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk pendidikan dalam tinjauan filsafat, khususnya filsafat pendidikan Islam.
3. Rosnita, penelitian ini berupa tesis yang mulai diteliti pada tahun 2005 berjudul Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas Tentang Kurikulum Pendidikan Islam. Penelitian ini masih terkait dengan masalah pendidikan karena yang menjadi pokok utama penelitian adalah tentang kurikulum pendidikan Islam. Penelitian ini lebih dikhususkan pada isi dan muatan pengetahuan yang terdapat dalam kurikulum berikut pola-pola pengorganisasian Kurikulum.
Memperhatikan kajian-kajian terdahulu mengenai pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dapat diketahui bahwa penelitian-penelitian yang telah dilakukan semuanya mengacu pada masalah pendidikan Islam. Padahal diketahui bahwa Syed Muhammad Naquib Al-Attas, selain sebagai pemikir pendidikan Islam, juga merupakan tokoh yang cukup berkompeten dalam bidang-bidang lainnya, seperti filsafat, sejarah pemikiran, tasawuf, dan peradaban Islam di Asia Tenggara. Karya-karya tulisnya mengenai bidang-bidang yang disebutkan di atas telah diakui sebagai karya tulis yang banyak mendapat apresiasi tinggi dari berbagai kalangan yang telah membaca tulisan-tulisannya. Syed Muhammad Naquib Al-Attas juga merupakan Professor Pemikiran dan Tamaddun (peradaban) Islam di Universitas Antar Bangsa Malaysia. Oleh sebab itu, cukup disayangkan apabila hanya aspek pendidikan saja dari sejumlah pemikiran yang dimiliki Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang banyak munculkan kembali oleh para pemikir dan intelektual muda Islam. Dengan demikian, penelitian ini akan mencoba memunculkan pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pemikiran sejarah Islam Asia Tenggara khususnya tentang peradaban dan kebudayaan Islam.
H. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang hendak dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tertulis mengenai ide, gagasan atau pemikiran Al-Attas mengenai Islam dan Peradaban Melayu sebagaimana terdapat dalam beberapa buku yang ditulisnya. Sementara sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kepada sumber primer dan sekunder. Sumber primer atau sumber pokok dalam penelitian ini, yaitu termuat dalam Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Cet.2, (Bandung: Mizan, 1977), dan Islam And Secularism, (Delhi: New Crescent Publishing Co, 2002). Kedua buku ini berisi pandangan Naquib Al-Attas tentang Islam dan peradaban Melayu.
Sedangkan sumber sekunder adalah sumber pendukung terhadap sumber pokok, yaitu sumber atau referensi baik dalam tulisan al-Attas sendiri, maupun dari tulisan orang lain berkaitan antara Islam dan peradaban Melayu. Adapun sumber-sumber sekunder tersebut antara lain: Karya-karya Syed Muhammad Naquib al-Attas: Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi & Muchtar Zoerni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986); Islam: The Concept of Religion and Foundation of Ethics and Morality, dalam Altaf Gauhar, (ed.), The Challenge of Islam (London: Islamic Council of Europe, 1978); Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj. Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1984); Mohd. Koharuddin Mohd. Balwi, Peradaban Melayu, (Johor Darul Ta’zim: Universiti Teknologi Malaysia, 2005) dan lain sebagainya.
2. Metode dan Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tokoh atau penelitian biografis. Penelitian ini digunakan untuk meneliti kehidupan seseorang dan hubungannya dengan masyarakat. Dalam penelitian ini, diteliti sifat-sifat, watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan ide dari tokoh tersebut pada masa hidupnya.[24] Sementara pendekatan yang digunakan ialah pendekatan sejarah (historical approach). Hal ini dapat dilakukan dengan mengetahui latar belakang dari tokoh tersebut. Latar belakang dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu latar belakang internal dan eksternal. Latar belakang internal mencakup kepada; latar belakang kehidupan (masa kecil dan keluarga), latar belakang pendidikan, pengaruh yang diterima tokoh tersebut, segala macam pengalaman yang membentuk pandangannya, serta perkembangan pemikirannya. Selanjutnya dari sudut eksternal, dapat dilihat kepada; keadaan khusus yang dialami seorang tokoh, yaitu keadaan sosio-ekonominya, politik, budaya, sastra dan filsafat. Hal ini penting mengingat seorang tokoh adalah anak zamannya. Tidak ada pemikiran seorang tokoh yang muncul tanpa konteks.[25]
Adapun dalam pencarian data, penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research) dengan membaca karya-karya al-Attas sebagai sumber pokok dan sumber pendukung. Begitu juga dengan penulis-penulis lain yang berbicara mengenai gagasan al-Attas tersebut atau yang berkaitan dengan isu-isu seputar masalah Islam dan peradaban Melayu.
3. Pedoman Teknis Penulisan
Adapun sebagai buku pedoman dalam teknis penulisan laporan penelitian, maka berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Proposal & Tesis yang diterbitkan oleh Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara tahun 2006. Akan tetapi jika pedoman dan teknik yang akan digunakan ternyata tidak ditemukan dalam buku tersebut, maka akan digunakan buku pedoman lainnya, terutama buku pedoman yang mempunyai model dan kemiripan yang sama dengan buku pedoman yang dikeluarkan oleh Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Akhlak Etika dan Moral, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |