Kurikulum merupakan salah satu perangkat dalam proses pembelajaran pada setiap lembaga pendidikan. Kurikulum memegang peranan yang cukup strategis dalam mencapai tujuan pendidikan, baik itu pendidikan umum maupun pendidikan agama. Sedangkan Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan perkembangan tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat serta didasari oleh pemikiran-pemikiran yang terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara.
Kurikulum sebagai salah satu komponen pendidikan sangat berperan dalam mengantarkan prose pembelajaran kepada tujuan pendidikan yang diharapkan. Untuk itu kurikulum merupakan kekuatan utama yang mempengaruhi dan membentuk proses pembelajaran. Kesalahan dalam penyusunan kurikulum akan menyebabkan kegagalan suatu pendidikan dan penzoliman terhadap peserta didik[1]. Untuk memenuhi kebutuhan dan penyesuaian dengan kondisi masyarakat, maka penyusunan kurikulum harus melibatkan beberapa pihak yang berkompeten.
Perumusan tujuan kurikulum, selain berdasrkan kebutuhan peserta didik dan kebutuhan masyarakat juga harus berdasarkan kepada kepada bagaian-bagian tertentu dalam penyusunan kurikulum. Herman H. Horne[2] menyebutkan bahwa ada tiga dasar yang harus diketahuai oleh penyusun kurikulum, diantaranya adalah:
1. Dasar Psikologis, digunakan untuk memenuhi dan mengetahui kemampuan yang diperoleh dan kebutuhan peserta didik (the ability and need of children).
2. Dasar sosiologis, digunakan untuk mengetahui tuntutan masyarkat (the legitimate demands of society) terhadap pendidikan.
3. Dasar filosofis, digunakan untuk mengetahui nilai yang akan dicapai (the kind of universe in which we live).
Berdasarkan tiga hal diatas, sebuah kurikulum disusun dan dikembangkan kembali. Selain tiga dasar diatas, pada kurikulum pendidikan agama islam secara sfesifik bertujuan untuk menciptakan manusia yang paripura serta ada usaha-usaha yang dilakukan untuk mentransfer dan menanamkan nilai-nilai agama sebagai titik central tujuan dan proses pendidikan islam[3]. Dengan demikian usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan islam akan dapat dilaksanakan dengan baik, serta tidak mengurangi nilai-nilai islam dalam penyusunan kurikukulum dimaksud.
Disisi lain banyak pihak yang tidak memperhatikan hal-hal tersebut diatas, sehingga dalam proses penyusunan kurikulum terkesan hanya mengcopy pastekan kurikulum yang sudah ada. Apabila kurikulum dibuat tanpa adanya proses perumusan kurikulum terlebih dahulu, serta kebutuhan akan kurikulum bagi peserta didik serta tidak melibatkan pihak-pihak tertentu, maka dikhawatirkan akan menemukan kendala dalam pengembangannya dan akan menyulitkan dalam mengevaluasi kurikulum.
Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan otonomi daerah, daerah diberi kewenangan dalam mengurusi daerahnya sendiri, dan juga tidak telepas kebijakan pendidikan juga ditangani oleh daerah. Pemberlakuan undang-undang ini juga menjadi tantangan terhadap daerah dalam menyelenggarakan pendidikan, termasuk perumusan kurikulum yang juga berpusat didaerah, serta menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik[4]. Banyak kalangan yang menilai, bahwa masih ada daerah yang belum siap menerima desentralisasi pendidikan. Sebaliknya banyak juga daerah merasa dengan diberlakukannya desentralisari pendidikan akan memberikan peluang kepada daerah untuk lebih memperhatikan pendidikan. Hal ini senada dengan pendapat Tilaar[5] yang mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurutnya ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan, yaitu, pertama, pengembangan masyarakat demokrasi, kedua, pengembangan social capital, dan ketiga, peningkatan daya saing bangsa.
Bila mencermati pendapat diatas, maka sudah waktunya daerah mempersiapkan diri dalam memajukan dunia pendidikan pada daerah masing-masing. Terlepas dari ketiga hal diatas, perumusan kurikulum juga menjadi tugas daerah untuk melakukan penyusuna kurikulum, mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan serta tidak meninggalkan keberadaan daerah dengan beragam budaya, dan mengevaluasi kurikulum yang akan dijadikan tolak ukur dari pelaksanaan proses pendidikan di daerah.
Makalah ini akan membahas beberapa sudut pandang tentang pengembangan kurikulum diera desentralisasi pendidikan, keterlibatan pendidikan budaya dan pendidikan karakter dalam kurikulum, yang akan berupaya memadukan kebutuhan kurikulum pendidikan dan peserta didik dalam prose pembelajaran.
B. PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pengembangan kurikulum serta perumusannya harus mencerminkan tujuan dari kurikulum itu sendiri. Disamping itu keterlibatan masyarakat dan pihak-pihak penyelenggara pendidikan harus dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum, terlebih pada era desentralisasai pendidikan saat ini. Untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan memenuhi kebutuhan kurikulum bagi peserta didik dan masyarakat, maka terlebih dahulu kurikulum dirumuskan dan didasarkan kepada beberapa prinsip dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum dapat dirumuskan menjadi empat bagian, yaitu, pertama, Tujuan yang akan dicapai, kedua Proses dalam pembelajaran, ketiga Materi yang akan disampaikan, keempat Evaluasi. Keempat rumusan ini saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Tujuan yang akan dicapai harus sesuai dengan proses yang akan dilakukan, materi yang akan disampaikan juga tidak terlepas dari metode yang digunakan dalam pembelajaran, sehingga tujuan akan dapat dicapai. Dengan demikian evaluasi akhir dari rumusan tersebut dapat menjadi umpan balik yang relevan terhadap pengembangan kurikulum selanjutnya.
Tujuan Akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Sedangkan rumusan tujuan didasarkan kepada, pertama, Perkembangan tuntutan, kebutuhan, dan kondisi masyarakat, kedua, Pencapaian nilai-nilai filosofis terutama falsafah negara (Tujuan Pendidikan Nasional).
Lias Hasibuan[6] mengemukakan beberapa prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu: 1. Prinsip berorientasi pada tujuan. 2. Prinsip Relevansi. 3. Prinsip Efesiensi. 4. Prinsip Fleksibilitas. 5. Prinsip Integritas. 6. Prinsip Kontinuitas. 7. Prinsip Sinkronisasi. 8. Prinsip Obyektivitas. 9. Prinsip Demokratis.
Dalam banyak hal desentralisasi pendidikan menuntut adanya keberpihakan budaya local (kearidan local) bisa termuat dalam kurikulum. Hal ini menurut banyak pihak akan menunjukan kualitas pemahaman tentang budaya daerah yang semakin ditinggalkan, juga mengingatkan akan pentingnya jati diri bangsa yang tercermin dari budaya local bangsa Indonesia. Disamping itu juga pengembangan kurikulum dituntut dapat mencerminkan pendidikan karakter dalam hal perumusan dan pelaksanaannya dilapangan. Hal ini cukup penting, mengingat semakin meningkatnya kemerosotan moral bangsa dan semakin kehilangan identitas sebagai bangsa yang menjunjung tinggi etika dan moral.
Beberapa kasus penyimpangan moral yang dilakukan beberapa oknum pejabat dan menajalar dikalangan generasi muda adalah gambaran dari system pendidikan kita yang tidak lagi mencerminkan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan tidak lagi menjunjung nilai-nilai luhur bangsa ini. System pendidikan ini juga dipengaruhi oleh kualitas kurikulum dan penyelanggara pendidikan yang menjadikan pendidikan objek pendidikan sebagai ajang bisnis dan pemenuhan kebutuhan oleh sebagian kalangan. Secara teori system pendidikan kita jauh lebih baik, dan tidak bias disangkal lagi bahwa tujan pendidikan kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun secara praktek konsep ini selalu bertentangan dengan apa ada dalam teori. Lebih jauh lagi dalam dunia pendidikan, kontra diksi antara teori dan praktek dapat dilihat dalam kebijakan tambal sulam, kebijakan yang hanya menekankan pada janji-jani, dan citra-citra. Akan tetapi pada pelaksanaannya ternyata kosong dan sekadar dilaksanakan ala kadarnya[7].
Menyikapi kasus diatas, kesalahan bukan terdapat pada teori dalam hal ini kurikulum, namun kesalahan yang harus segera diperbaiki adalah dalam hal pelaksanaan dilapangan. Disamping itu memang penguatan kapasitas kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan harus segera tersusun dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Untuk merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, perlu memperhatikan beberpa komponen dalam proses pengembangan kurikulum.
Wina Sanjaya[8] mengemukakan bahwa kurikulum merupakan suatu system yang memiliki komponen-komponen tertentu. Manakala salah satu komponen yang membentuk system kurikulum terganggu atau tidak berkaitan dengan komponen lainnya, maka system kurikulumpun akan terganggu pula. Komponen-komponen yang membentuk system kurikulum dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Evaluasi
Isi
Tujuan
Metode
Dari gambar diatas dapat jelaskan bahwa, komponen kurikulum terdiri dari empat bagian yang saling terhubung dan terkait satu sama lainnya. Bagian tersebut adalah komponen tujuan, isi kurikulum, motode atau strategi pencapaian kurikulum, dan komponen evaluasi.
1. Komponen Pengembangan tujuan kurikulum.
Komponen tujuan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan dan isi atau bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar[9].
Pencapaian komponen tujuan kurikulum akan menjadi sangat penting karena pencapaian komponen tujuan ini berakibat langsung terhadap pencapaian tujuan-tujuan pendidikan selanjutnya[10].
a. Klasifikasi Tujuan.
Menurut Bloom[11] bentuk prilaku sebagai tujuan yang harus dirumuskandapat digolongkan kedalam tiga klasifikasi atau tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotor.
1) Domain kognitif. Domain kognitif adalah tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berfikir seperti kemampuan mengingat dan kemampuan memecahkan masalah, domain kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu:
a) Pengetahuan (knowledge).b). Pemahaman. c). Penerapan. d) Analisa. e). Sintesis. f). Evaluasi.
2) Domain afektif. Domain afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai dan apresiasi. Domain ini merupakan kelanjutan dari domain kognitif. Krathwohl[12] mengemukakan bahwa domain afektif memiliki beberapa tingkatan, yaitu: a). Penerimaan. b). Merespon. c). Menghargai. d). Mengorganisasi. e). Karakterisasi nilai.
3) Domain psikomotor.
Domain psikomotor dalah tujuan yang berhubungan dengan kemampuan keterampilan seseorang. Domain ini dapat dibagi kedalam enam bangian, 1. Gerak reflex. 2. Keterampilan dasar. 3. Keterampilan perceptual. 4. Keterampilan fisik. 5. Gerakan keterampilan. 6. Komunikasi nondiskursif.
b. Hirarkis Tujuan.
Dilihat dari hirakisnya tujuan pendidikan terdiri atas tujuan yang sangat umum sampai dengan tutjuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur. Tujuan yang bersifat umum sampai dengan bersifat khusus dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian yaitu: pertama, Tujuan Pendidikan Nasional (TPN), mencakup tujuan jangka panjang, tujuan ideal pendidikan Bangsa Indonesia[13]. Kedua, Tujuan Institusional (TI), mencakup sasaran pendidikan sesuatu lembaga pendidikan. Ketiga, Tujuan Kurikuler (TK), mencakup tujuan yang ingin dicapai oleh sesuatu program studi. Keempat, Tujuan Instrkuksional atau tujuan pembelajaran (TP), mencakup target yang harus dicapai oleh sesuatu mata pelajaran[14]. Hubungan tujuan umum sampai ke tujuan khusus dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Institusional
Tujuan Pembelajaran
Tujuan Kurikule
Arah Pencapaian Tujuan
Arah Penjabaran Tujuan
2. Komponen Pengembangan materi kurikulum.
Pengembangan materi kurikulum pada hakikatnya adalah mengembangkan materi pembelajaran yang diarahkan untuk mencari tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran merupakan perangkat untuk mempermudah pemahaman suatu materi pembelajaran. Kekeliruan dalam memilih materi pembelajaran dapat menghamabt proses pembelajaran dan pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan demikian komponen pengembangan materi kurikulum sangat berpengaruh kepada tujuan pembelajaran yang akan dilakukan dalam kelas. Pemilihan materi ajar dalam kurikulum merupakan hal mutlak dalam komponen ini.
Materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus diketahui dan dimiliki peserta didik dalam rangka mencapai kemampuan atau kompetensi yang telah ditentukan[15].
Wina Sanjaya[16] mengemukakan bahwa bahan atau materi kurikulum (curriculum materials) adalah isi atau muatan kurikulum yang harus dipahami siswa dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Komponen materi merupakan bahan-bahan kajian yang terdiri dai ilmu pengetahuan, nilai, pengalaman, dan keterampilan yang dikembangkan kedalam proses pembelajaran guna mencapai komponen tujuan[17]. Kompenen pengembangan materi yang akan dikembangkan dalam bahan ajar merupakan factor penting dalam mencapai tujaun yang telah ditentukan. Ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap siswa tentang apa yang disampaikan oleh seorang guru dalam mencapai tujuan pembelajaran yang terdapat didalam kurikulum yang sudah tersusun. Dalam mengembangkan komponen materi, perlu diperhatikan sumber-sumber pengembangan materi yang dimaksudkan dalam suatu kurikulum.
1. Sumber-sumber materi kurikulum.
a. Masyarakat sebagai sumber kurikulum.
b. Siswa sebagai sumber kurikulum.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan siswa, yakni:
1) Kurikulum sebabaiknya disesuaikan dengan perkembangan anak.
2) Isi kurikulum sebaikanya mencakup keterampilan, pengetahuan dan sikap yang dapat digunakan siswa dalam pengalamannya sekarang dan juga berguna menghadapi kebutuhannya pada masa yang akan datang.
3) Siswa hendakany didorong untuk belajar berkat kegiatannya sendiri.
4) Apa yang dipelajari siswa hendaknya sesuai dengan minat dan keinginan siswa[18].
c. Ilmu pengetahuan sebagai sumber kurikulum.
2. Tahap penyeleksian materi kurikulum.
3. Jenis-jenis materi kurikulum.
4. Kriteria Penetapan materi kurikulum.
3. Komponen Metode.
Komponen metode dapat dibagai kedalam dua bahagian, (a). metode dalam pengertian luas tidak hanya sekedar metode mengajar saja akan tetapi menyangkut strategi pembelajaran, serta membangun nilai, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan pada diri anak didik, (b). metode dalam pengertian sempit adalah berupa penggunaan salah satu cara dalam mengajar atau belajar[19].
4. Komponen Evaluasi.
Evaluasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengetahui hasil pengajaran pada khususnya dan hasil pendidikan pada umumnya. Selain itu evaluasi juga berguna bagi perbaikan pengajaran (evaluasi sebagai feed back)[20].
Untuk melihat sejauh mana keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum diperlukan evaluasi. Komponen evaluasi merupakan satu komponen yang berhubungan erat dengan komponen lainnya, maka cara penilaian atau evaluasi akan menentukan tujuan kurikulum, materi atau bahan, serta proses belajar mengajar.
Penilaian sangat penting, tidak hanya untuk memperlihatkan sejauh mana tingkat prestasi anak didik, tetapi juga suatu sumber input dalam upaya perbaikan dan pembaharuan kurikulum. Penilaian dalam arti luas, tidak hanya dapat dilakukan oleh pendidik, namun juga kalangan masyarakat luas[21].
C. DESENTRALISASI PENDIDIKAN DAN OTONOMI DAERAH
Sejak diberlakukannya Undang-undang 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan otonomi daerah, semua kewenangan Pemerintah Pusat dilimpahkan kedaearah termasuk pengelolaan pendidikan. Pengelolaan ini mencakup kepada pengembangan kurikulum, menyusun rancangan biaya pendidikan, merancang tujuan pendidikan secara nasionla dan global, meningkatkan mutu pendidikan dan lain sebagainya.
Tilaar[22] mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurutnya ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan, yaitu, pertama, pengembangan masyarakat demokrasi, kedua, pengembangan social capital, dan ketiga, peningkatan daya saing bangsa. Namun bila dilihat dilapangan masih ada daerah yang belum siap menerima kewengan Pemerintah Pusat dalam rangka mengelola daerahnya masing-masing, termasuk dalam mengelola pendidikan.
Bila diperhatikan permasalahan tersebut diatas, maka ada beberapa factor yang mempengaruhi ketidak siapan daerah dalam menerima pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat terutama dalam desentraslisasi pendidikan, yaitu:
1. Sumber daya manusia (SDM) belum memadai.
2. Sarana dan Prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai.
3. Anggaran pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat rendah.
4. Secara psikologis, mental daerha belum siap menghadapai sebuah perubahan.
5. Daerah juga gamang atau takut terhadap upaya pembaharuan[23].
Berbicara masalah sumber daya manusia, memang ada beberapa daerah yang terus berupaya memacu peningkatan sumber daya manusia dalam berbagai sector kedaerahan, termasuk dalam bidang pendidikan, namun disisi lain ada juga beberpa daerah yang enggan mempersiapkan memacu peningkatan sumber daya manusianya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya rasa was-was terhadap banyaknya anggaran pemerintah daerah yang dikeluarkan untuk peningkatan sumber daya manusia. Sehingga ada beberpa sector dalam masyarakat tidak memili sumber daya yang mumpuni dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kelemahan ini juga dipengaruhi oleh kesiapan masyarakat dalam menerima perubahan yang berkaitan dengan implementasi kebiajakan. Dalam hal ini ada beberapa alasan masyarakat menolak perubahan yang berkaitan dengan implemtasi kebijakan, yaitu:
1. Adanya kekhawatiran masyarakat terhadap hadirnya perubahan.
Dengan ahdirnya perubahan berarti hadirnya kemapanan yang selama ini sudah terbangun, sehingga akan muncul ketidak pastian.
2. Penolakan masyarakat terhadap upaya implementasi kebijakan juga disebabkan oleh kekurangan informasi yang diterimanya berkenaan dengan kebijakan tersebut[24].
Dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional, daerah berperan khusus dalam meningkatkan status pendidikan, peningkatan ini berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan standar nasional. Berkaitan dengan kebijakan pendidikan yang dilimpahkan oleh pusat kedaerah, daerah dituntut untuk lebih intens dalam menangani pendidikan pada derahnya masing-masing. Dalam kacamata fakta, peningkatan kualitas pendidikan di daerah masih mengecap kritikan dari berbagai pihak, baik itu masyarakat, pemerhati pendidikan dan lembaga-lembaga lain yang berkompeten dalam dunia pendidikan. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya mutu pendidikan yang dicapai, penyelenggaraan pendidikan yang belum sesuai dengan apa yang diharapkan, pengembangan tenaga kependidikan yang belum merata, peningkatan sarana dan prasarana yang masih terhitunglambat.
Pada era otonomi tersebut kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang[25].
Dari persoalan-persoalan diatas, tanpak bahwa kesiapan daerah dalam mengelola pendidikan masih belum mapan, disamping ketersediaan SDM yang belum memadai. Hal ini juga tidak terlepas dari kebijakan pendidikan daerah yang masih bersifat lambat dan bersifat birokratis dalam menangani pendidikan, sehingga setiap kebijakan dianggab lamban dalam menangani permasalahan pendidikan yang terjadi. Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan public, sebagaimana yang diungkapkan oleh Pressman dan Wildavsky dalam Sutton dan Levinson[26], bahwa hari ini pendidikan adalah pusat wilayah kebijakan public. Kebijakan pendidiakan sebagai kebijakan public, adalah sebagai kebijakan sebagai keputusan yang tetap dicirikan oleh konsentrasi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi kepuusan tersebut. Konsistensi ditinjau beradasarkan hirarki kebijakan.
Didaerah-daerah maju seperti kota-kota besar transformasi menajdi sangat cepat sehingga proses pendidikan yang ada dalam keluarga mengalami perubahan yang sangat revolusioner dan bahkan mengalami tekanan dari banyak sumber kekuasaan yang mempengaruhi kehidupan keluarga, yaitu dari keluarga yang tertutup menjadi keluarga yang terbuka. Kekuasaan dalam pendidikan adalah bersifat kekuasaan yang transformative. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain[27].
Menelaah berbagai persoalan diatas, seharusnya dengan pemberlakuan undang-undang otonomi daerah, akan menjadikan daerah sebagai lumbung dari pengelolaan pendidikan yang mandiri yang mencerminkan sifat pendidikan kedaerahan yang didukung oleh budaya nasional sebagai tolak ukur dari peningkatan mutu pendidikan. Dengan kata lain, peningkatan mutu pendidikan pada era desentralisasi pendidikan merupakan tanggung jawab daerah yang akan menciptakan generasi-generasi yang mampu menghadapi tantangan global dimasa yang akan datang.
D. KURIKULUM PEMBELAJARAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER.
Desentralisasi pendidikan menuntut perubahan kurikulum yang dilakukan oleh daerah. Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan kurikulum yang dibuat dan dikembangkan oleh daerah serta dijalankan juga oleh setiap satuan pendidikan tanpa meninggalkan ciri kedaerahan didalam kurikulum dimaksud.
Pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan memungkinkan daerah membuat kebijakan baru terhadap proses pendidikan dalam menghadapi globalisasi. Dalam ruang lingkup pendidikan cermin kedaerahan dalam dunia pendidikan sangat dibutuhkan untuk mengangkat status daerah dalam ranah kebudayaan nasional. Banyak ahli mengatakan bahwa dunia pendidikan Indonesia telah kehilangan ruhnya. Pendapat ini memang ada benarnya, ini terbukti dengan hilangnya beberapa bidang studi yang memuat karakter dan pendidikan budi pekerti disekolah. Hilangnya bidang studi budi pekerti disekolah juga disebabkan oleh semakin mencuatnya keinginan sekolah menjadi unggul dalam beberpa bidang studi dengan menbghilangkan bidang studi ini.
Namun menghilangnya bidang studi budi pekerti saat initelah menuai beberapa kritikan dari berbagai pihak yang merasa bahwa lulusan dari berbagai sekolah dinegeri ini tidak lagi menghargai nilai-nilai moral dan etika dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat. Tidak hanya sebatas lulusan, para pelajar mulia dari tingkat dasar, menengah dan atas tidak lagi menghargai berbagai norma yang berlaku ditengah masyarakat serta berujung kepada pelanggaran nilai moral tersebut. Budaya local tidak lagi menjadi prioritas dalam kehidupan para pelajar, malainkan budaya barat menjadi tren dikalangan pelajar saat ini.
Lebih parah lagi adalah, Indonesia yang dikenal masyarakat luar memiliki penganut agama yang besar dan majemuk serta memiliki budaya yang multikultur telah ditinggalkan dikalangan pelajar kita. Agama tidaklagi dipandang sebagai hal yang sangat relegius dan penting dalam kehidupan melaikan hanya sebagai simbolitas belaka. Begitu juga dengan budaya, para generasi muda Indonesia saat ini hamper tidak lagi mengenal budayanya sendiri. Ditinggalkanya nilai-nilai seperti yang disebutkan diatas menjadi prolem yang sangat besar bagi generasi muda saat ini. Kekhwatiran itupun muncul dengan berbagai persoalan yang terjadi ditengah masyarakat. Pada era 80-an dan 90-an kenakalan remaja hanya terabatas kepada tauran antar sekolan dan antar kampus, namun saat ini kelakuan ini secara perlahan menghilang dari peredaran. Hilangnya peristiwa ini bukan serta merta masalah dikalangan pelajar kita menghilang dengan sendirinya, akan tetapi saat ini telah muncul kebiasaan buruk para generasi muda yang mengatas namakan hobi dan pencarian bakat. Pergaulan bebas dan sex bebas menjadi tren masa kini dikalangan pelajar dan mahasiswa serta hilangnya nilai-nilai agama, budaya, moral dan etika semakin meningkat akibat pengaruh globalisasi yang tidak terbendung lagi.
Dari kasus-kasus diatas, pada saat ini dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai persoalan untuk memperbaiki etika pelajar yang mengacu kepada keberadaan agama yang dianut ditengah-tengah masyarakat dan nilai-nilai budaya Indonesia yang sangat multikultur. Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah-masalah diatas adalah pemberlakuan pendidikan karakter disekolah, dan bahkan bukan hanya sekedar pemberlakuan namum pendidikan karakter juga harapkan dapat menjadi bagian kurikulum dari kurikulum satuan pendidikan pada setiap bidang studi.
Selain pendidikan karakter, keterlibatan kearifan lokal dalam pendidikan sangat diperlukan, ini bertujuan untuk kembali lebih memeperkenal budaya lokal dikalangan pelajar serta pengaflikasiannya ditengah masyarakat. Budaya lokal yang dimaksd adalah budaya yang tidak bertentangan dengan salah satu agama yang berlaku di Indonesia. Untuk meningkatkan kefektifan sekolah dalam pendidikan karakter diperlukan berbagai perubahan. Perubahan dimaksud bukan hanya oerubahan sekolah, tetapi perubahan terhadap lingkungan yang mempengaruhi proses dan hasil pendidikan disekolah. Perubahan yang diperlukan mencakup berbagai aspek, diantaranya adalah:
1. Membenahi cara pandang.
Meningkatkan peran sekolah dalam pendidikan karakter memerlukan perubahan cara pandang atau Mindset pada komunitas sekolah dan pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan tersebut mencakup bebebrapa perubahan[28], yaitu:
a. Sekolah adalah senuah komunitas, bukan pabrik.
b. Para siswa bukanlah para deretan gelas kosong.
c. Setiap jenis kecerdasan penting dan perlu dikembangkan dengan baik.
2. Pengembangan suasana lingkungan.
Suasana lingkungan pembelajaran mencakup suasana sekolah secara umum, suasana dikelas, dan suasana hubungan interpersonal. Suasana ini bisa tercermin dalam suasana fisik dan suasana lingkungan sosial[29], yaitu:
a. Susana Emosi positif yang meningkatkan kefektifan belajar secara umum.
b. Suasana yang menunjukkan bahwa karakter penting.
3. Pengembangan proses pembelajaran.
Membantu siswa dalam mempelajari kebajikan atau mengembangkan karakter berbeda dengan membantu seorang siswa belajar matematika atau fisika. Belajar nilai-nilai kebajikan dengan melibatkan kesadaran, keyakinan dan perasaan, disamping logika. Berikut ini berbagai cara yang dapat dilakukan dalam pendidikan karakter disekolah[30], yaitu:
a. Dengan teladan. Orang tua, kepala sekolah, ataupun guru dapat membantu seorang anak atau sisiwa belajar mengembangkan karakter dengan member contoh yang baik melalui prilaku, perkataan, dan sikap baik sehari-hari.
b. Dari dalam keluar (inside-out), dari luar kedalam (Outside-in). Proses terbentuknya karakter bias berawal dari tumbuhnya kesadaran dan pentingnya kebajikan. Kesadaran ini kemuadian menguat menjadi keyakinan dan keyakinan ini memepengaruhi sikap dan sikap ini memepngaruhi sikap orang yang bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Berpusat pada siswa-berpusat pada guru. Proses belajar karakter dapat dirancang sebagai proses belajar yang berpusat pada siswa atau berpusat pada guru.
d. Imlisit-Eksplisit. Pengembangan kakrakter dapat dilakukan secara implicit. Cara ini masuk kewilayah uncounscious awareness sehingga tumbuhnya kebiasaan baik berlangsung secara ilmiah. Disini proses belajar mengajar diarahkan untuk membangun situasi yang menggugah seorang siswa untuk memetik unsure-unsur kebaikan menurut perasaan dan pemahamannya sendiri, tanpa harus ditunjukan secara eksplisit oleh orang lain termasuk para guru.
e. Formal-informal. Proses ini juga dapat dilakukan untuk menumbuhkan pendidikan karakter dalam kelas atau secara informal dalam interaksi antara guru dan kepala sekolah dengan siswa diluar jam pelajaran.
f. Pengembangan karakter bersama dengan kemampuan pengembangan akademik. Dalam prosesnya pembangunan karakter dan pengembangan kemampuan akademik dijalankan secara bersamaan.
g. Pengembangan kemampuan kognitif. Pendekatan ini menekankan pentingnya meningkakatkan kemampuan nalar dan merumuskan pertimbangan moral dalam mengambil tindakan.
h. Bertumpu pada kekuatan. Pengembangan karakter dilakukan dengan mengapresiasikan kekuatan atau keunikan seorang siswa.
4. Pengembangan bahan pelajaran.
Dalam hal ini, seorang guru perlu mencari atau menemukan bagian materi pelajaran yang dapat dijadikan batu loncatan untuk menonjolkan aspek karakter yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan.
5. Pengembangan Kriteria dan cara menilai keberhasilan.
6. Pengembangan kapabalitas kepala sekolah.
7. Membangun kerja sama dengan orang tua siswa.
Dalam perkembangannya, pendidikan karakter tidak terlepas dari beberapa nilai yang harus dilaksanakan. Nilai-nilai tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Doni Koesoema A[31]. adalah sebagai berikut:
1. Nilai keuataman. Manusi memiliki keutamaan kalau ia menghayati dan melakasanakan tindakan-tindakan yang utma, yang membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.
2. Nilai keindahan. Nilai keindahan dalam tatanan yang lebih tinggi menyentuh dimensi interioritas manusia itu sendiri yang menjadi penentu kualitas dirinya sebagai manusia.
3. Nilai kinerja. Penghargaan atas nilai kerja yang menentukan kualitas diri seorang individu.
4. Nilai cinta tanah air.
5. Nilai demokrasi.
6. Nilai kesatuan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesi, nilai kesatuan ini menjadi dasar pendirian Negara.
7. Menghidupi nilai moral.
8. Nilai-nilai kemanusiaan. Apa yang membuat manusia sungguh-sungguh manusiawi itu merupakan bagian dari keprihatinan setiap orang.
Dalam analisa kurikulkum pendidikan, pendidikan karakter bukan hanya menjadi cerminan dari kurikulum namun pelaksanaan dilapangan merupakan hal sangat penting untuk diperhatikan. Konteks pengembangan murikulum dalam kaitannya dengan pendidikan karakter bersumber dari beberapa nilai yang sudah disebutkan diatas.
E. ANALIS KEARIFAN LOKAL DALAM KURIKULUM.
Berbicara tentang kearifan local, sama halnya dengan berbicara dengan berbagai budaya yang ada di Indonesia. Indonesia terkenal dengan budaya yang beraneka ragam serta memiliki berbagai suku bangsa yang menyatu dalam satu negera yaitu Negara Indonesia. Berkaitan dengan pendidikan dan kurikulum pendidikan kearifan local memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Sehingga sekolah memegang peranan penting bagi peserta didik dalam kontek cultural. Dalam konteks pendidikan kearifan local akan memberikan nilai tambah dalam mencetak generasi muda mendatang lebih unggul dalam penguasaan teknologi dan tanpa meninggalkan kebergaman budaya Indonesia.
Dalm prkasis pendidikan, nilai dan budaya local cenderung menempati posisi peripheral. Mainstream pendidikan dinegara-negara berkembang masih kurang member ruang pada nilai budaya dan budaya local. Akibatnya, sebagai mana diungkapkan oleh para pakar, sekolah memainkan peran dalam alienasi peserta didik dari konteks sosio kulturalnya. Sehingga ketika menyelesaikan pendidikan formalnya, sebahagian besar peserta didik mengalami kesenjangan cultural, disamping kesenjangan akademik, dan akupasional[32]. Menilik persoalan diatas perlu ada kurikulum muatan local yang mengacu kepada kearifan local pada masing-masing daerah di Indonesia.
Kesenjangan cultural yang terjadi dikalangan peserta didik tidak terlepas dari kurangnya pemahaman peserta didik terhadap budaya local yang disampaikan melalui proses pembelajaran. Kurangnya pemahaman siswa terhadap budaya local bukan semata-mata kesalahan siswa itu sendiri, namun pihak penyelenggara pendidikan tidak begitu jeli terhadap kearifan local yang ada disekitar sekolah. Peran orang tua juag sangat kurang dalam hal ini, mengingat kesibukan masyarakat sebagai orang tu asiswa disibukan dengan problem kelurga. Al hasil para peserta didik tidak lagi mengenal budayanya sendiri.
Penempatan kurikulum muatan local dalam proses pendidikan akan memeberika danfak yang positif terhadap peserta didik dan guru sendiri. Dibalik it juga kesenjangan akademik yang terjadi dikalangan pelajar tidak terlepas dari budaya local dimana sekolah tersebut berada. Tingginya nilai akademik pada biadng studi lain tidak menjamin peserta didik baik dalam hal yang lain. Sehingga dalam pelaksanaannya kurikulum muatan local hilang secara perlahan dalam tatanan pendidikan nasional pada saat ini.
Pengenalan kearifan local dalam lembaga pendidikan tidak terlepas dari keberagama budaya di Negara ini, sehingga muncullah isltilah Plurali-Multikultural. Dalam pandangan Pendidikan Islam, perbedaan kultur, suku bangsa, dan ras bukanlah halangan bagi umat untuk menjalankan ibadah kepada ALLAH. Dalam tatanan pendidikan Islam Pluralis multicultural di sekolah dapat dikembangkan dengan bebrapa cara, yaitu:
1. Pendidikan Islam Pluralis Multukultural adalah pendidika yang menghargai dan merangkul segala bentuk keberagaman.
2. Pendidikan Islam Pluralis Multukultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang Pluralis Multukultural.
3. Pendidikan Islam Pluralis Multukultural tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas, suku, agama, ras ataupun golongan.
4. Pendidikan Islam Pluralis Multukultural member kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sense of self kepada setiap anak didik[33].
Penilik bebebrapa persoalan diatas, maka dalam kurikulum pendidikan pengenalan budaya bagi peserta didik sangatlah dibutuhkan. Keberadaan kearifan local bukan hanya untuk dibanggakan kepada orang lain, namun untuk dipahami dan dikenalkan serta diajarkan kepada peserta didik. Penting kiranya kembali memberlakukan kurikulum muatan local dalam prose pendidikan dalam segala jenjang. Kurikulum muatan local juga kaan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan karakter pada setiap jenjang pendidikan kedepan.
F. EVALUASI KURIKULUM.
Dalam beberapa kajian kurikulum, khususnya lembaga pendidikan pada era desentralisasi pendidikan, evaluasi kurikulum sangat jarang dan bahkan tidak ada sama sekali dilaksanakan. Tingkat kepentingan melakukan evaluasi kurikulum bukan hanya isapan jempol semata, namun lebih luas evaluasi kurikulum berfungsi sebagai acuan dalam menetapkan kurikulum pendidikan dimasa yang akan datang. Evaluasi kurikulum merupaka tuga tenaga pendidik untuk menelaah kurikulum yang telah dilaksanakan kebelakang dan pengembangan kurikulum dimasa yang akan datang. Selain itu peran kepala sekolah dalam evaluasi kurikulum sangat menentukan masa depan kurikulum yang akan diberlakukan pada masa yang akan datang.
Dibawah ini akan diuraikan dengan singkat pendapat pakar tentang fungsi evaluasi kurikulum, seperti yang dikemukan oleh S. Hamid Hasan[34]. Fungsi tersebut adalah:
1. Evaluasi Kurikulum sebagai Kajian Akademik. Sebagaimana yang telah dikemukan, evaluasi yang dilakukan oleh guru sejak masa awal pendidikan berfokus pada evaluasi hasil belajar. Kedua konsep tersebut, evaluasi dan hasil belajar merupakan perpaduan yang sulit dipisahkan, sehingga orang cukup menyebutkan kata evaluasi sedangkan yang dimaksudkan adalah evaluasi hasil belajar.
2. Evaluasi sebagaio profesi. Suatu profesi adalah suatu pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang terdidik khusus untuk pekerjaan tersebut, meniti karirnya pada pekerjaan tersebut, dan melakukan tugas sesuai dengan nilai dan etika yang berlaku dalam profesi tersebut.
3. Evaluasi sebagai kebijakan publik. Evaluasi kurikulum tidak dapat berkembang jika tidak didukung oleh suatu kebijakan public. Bentuk dukungan tersebut adalah berupa ketentuan-ketentuan legal. Kondisi pemetaan pendidikan yang terjadi ditanah air dengan ketetapan bahwa pengembangan kurikulum berada dibawah wewenang pemerintah daerah, mensyaratkan pentingnya evaluasi kurikulum sebagai suatu kebijakan publik.
4. Evaluasi, pengukuran dan tes. Keterkaitan anatar evaluasi, pengukuran dan tes sedemikian kuat, sehingga pada masa awal perkembangannya, bidang kajian evaluasi sering disamakan dengan bidang pengukuran dan tes. Bidang kajian evaluasi kurikulum membuka dirinya untuk berbagai pendekatan, pendekatan yang paling tua adalah pendekatan kuantitatif.
5. Evaluasi dan penelitian. Evaluasi berbeda dengan penelitian. Evaluasi kurikulum berbeda dengan penelitian kurikulum. Evaluasi memiliki tugas melakukan pertimbangan. Evaluasi tidak dapat dipisahkan dari standard an kriteria dan berdasarkan keduanya pertimbangan tersebut diberikan. Penelitian bertujuan untuk menjelaskan hubungan berbagai variable berdasrkan data yang dikumpulkan secara empirik.
Bidang profesi evaluasi kurikulum adalah bidang yang digeluti oleh para evaluator yang berfikir, bekerja dan melaksanakan evaluasi dilapangan. Mereka juga adalah kelompok orang yang melakukan pemikiran mengenai filosofi, tujuan, pendekatan, prosedur, model dan etika evaluasi[35]. Pemahaman terhadap evaluasi kurikulm tidak terlepas dari evaluasi hasil belajar yang telah dilaksanakan didalam kelas. Pentingnya evaluasi kurikulum bukan hanya untuk mengetahui apakan tujuan tercapai atau tidak, akan tetapi lebih dari itu evaluasi kurikulum juga bermanfaat sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran dan pengembangan kurikulum dimasa-masa selnjutnya.
Pihak-pihak yang terkait dalam evaluasi kurikulum seperti yang telah disebutkan diatas adalah para guru, kepala sekolah, lembaga penyelenggara pendidikan, dan pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah dalam evaluasi kurikulum adalah untuk menentukan kebikajan public yang akan dijadikan standar acuan pendidikan daerah dan pemberlakuan kurikulum pada satuan pendidikan. Disamping itu, keberadaan masyarakat dalam lingkungan lembaga pendidikan juga memiliki keterlibatan terhadap evaluasi kurikulum, walaupun tidak secara keseluruhannya.
Di Indonesia pada umumnya evalusai kurikulum belum begitu marak dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Namun demikian usaha-usaha telah dilakukan untuk mengevaluasi kurikulum pendidikan diberbagai jenjang pendidikan. Pada tingkat satuan pendidikan evaluasi kurikulum bahkan tidak ada dilakukan sama sekali. Hal ini terjadi karena rendahnya sumber daya manusia dalam menangani permasalahan ini. Akibatnya kurikulum pendidikan dari tiap tahunnya tidak pernah berubah dan tidak pernah dilakukan penilaian yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibani, Oemar Muhammad Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. diterjemahkan Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Bloom, Benajamin S. Taxonomy of Education Objective: Cognitive Domain. New York: David McKay, 1964. Chan, Sam M. dan Tuti T. Sam. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010. Faizin, Muhammad. Anatomi dan Desain, dalam http://faizhijauhitam.blogspot.com/2009/10/anatomi-kurikulum.html, tanggal 15 April 2011. Hasan, S. Hamid. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009. Hasibuan, Lias. Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010. Hidayat. Otonomi Pendidikan. dalam http://meretasmasadepan.blogspot.com/2011/03/otonomi-pendidikan.html tanggal 30 Juni 2011. Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jogjakarta: Arruzz Media, 2007. Idrus, Ali. Manajemen Pendidikan Global, Visi, Aksi dan Adaptasi. Jakarta: Gaung Persada, 2009. Koesoema A., Doni. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT. Garsindo, 2010. Krathwohl, dkk. Taxonomy of Education Objectives: Affective Domain. dalam, Wina Sanjaya. Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarata: Kencana Media Group, 2010. Maunah, Binti. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jogjakarta: Teras, 2009. Munir. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan komunikasi. Bandung: Alfabeta, 2008. Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasinya. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Norne, Herman H. dalam Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 2, 2010. Raka, Gede, dkk. Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011. ________. Pendidikan: Beyond Competence. (Makalah), dalam Gede Raka, dkk. Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011. Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 2, 2010. Rohman, Arif dan Teguh Wiyono. Education Policy in Decentralization Era. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarata: Kencana Media Group, 2010. Soyomukti, Nurani. Teori-teori Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Sutton, Margaret dan Bradley A. U. Levinson. Policy as Practice Toward a Comparative Sosiocultural analysis of Educational Policy. dalam Sam M. Chan dan Emzir. Isu-isu Kritis Kebiajkan Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Tilaar, H. A. R. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Jakarta: Sinar Grafika. Zamroni. Paradigma Pendidikan Masa Depan. dalam Al Musanna, Revitalisasi Kurikulum Muatan local untk Pendidikan Karakter Melalui Evaluasi Responsif. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, 2010.
footnote
[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 2, 2010), 194. [2] Herman H. Norne, dalam Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 2, 2010), 195. [3] Lihat Oemar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, diterjemahkan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 485; Al-Syaibani memberikan kerangka dasar yang jelas tentang kurikulum pendidikan islam; Pertama, Dasar agama, yang menjadi ruh dan target tertinggi dalam kurikulum. Dasar agama dalam kurikulum pendidikan islam jelas harus didasarkan pada Al-Qur’a>n, al-sunnah dan sumber-sumber yang bersifat furu’ lainnya, kedua, Dasar Falsafah, dasar ini memberikan pedoman bagi tujuan pendidikan islam secara filosofis, sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran, bai ditinjau dari segi ontology, epistimologi maupun aksiologi, ketiga Dasar Psikologis, dasar ini memberikan landasan dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan psikis peserta didik, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, memeperhatikana kecakapan pemikiran dan perbedaan perorangan antara satu peserta didik denngan yang lainnya, keempat, Dasar Sosial, dasar ini memberikan gambaran bagi kurikulum pendidikan islam yang tercermin pada dasar social yang mengandung cirri-ciri masyarakat islam dan kebudayaannya, baik dari segi pengetahuan, nilai-nilai ideal, cara berfikir dan adat kebiasaan, seni dan sebagainya. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 195. [4] Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), 1. [5] H. A. R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 20. [6] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 86-87. [7] Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), 14. [8] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarata: Kencana Media Group, 2010), 99. [9] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), (Jakarta: Sinar Grafika). [10] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran, 38. [11] Benajamin S. Bloom, Taxonomy of Education Objective: Cognitive Domain, (New York: David McKay, 1964), 89. [12] Krathwohl, dkk, Taxonomy of Education Objectives: Affective Domain, dalam, Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarata: Kencana Media Group, 2010), 104. [13] Muhammad Faizin, Anatomi dan Desain, dalam http://faizhijauhitam.blogspot.com/2009/10/anatomi-kurikulum.html, tanggal 15 April 2011. [14] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 106-113. [15] Munir, Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan komunikasi, (Bandung: Alfabeta, 2008), 61. [16] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 114. [17] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran, 39. [18] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 116. [19] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran, 39. [20] Binti Maunah, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jogjakarta: Teras, 2009), 50. [21] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Jogjakarta: Arruzz Media, 2007), 57. [22] H. A. R. Tilaar, Membenahi Pendidikan …………, 20. [23] Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan…………, 4-5. [24] Arif Rohman dan Teguh Wiyono, Education Policy in Decentralization Era, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 10-11. [25] Hidayat, Otonomi Pendidikan, dalam http://meretasmasadepan.blogspot.com/2011/03/otonomi-pendidikan.html tanggal 30 Juni 2011. [26] Margaret Sutton dan Bradley A. U. Levinson, Policy as Practice Toward a Comparative Sosiocultural analysis of Educational Policy, dalam Sam M. Chan dan Emzir, Isu-isu Kritis Kebiajkan Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 8. [27] Ali Idrus, Manajemen Pendidikan Global, Visi, Aksi dan Adaptasi, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), 10. [28] Gede Raka, Pendidikan: Beyond Competence, (Makalah), dalam Gede Raka, dkk, Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011), 49. [29] Gede Raka, dkk, Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011), 54. [30] Ibid, 58-63. [31] Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: PT. Garsindo, 2010), 208-211. [32] Zamroni, Paradigam Pendidikan Masa Depan, dalam Al Musanna, Revitalisasi Kurikulum Muatan local untuk Pendidikan Karakter Melalui Evaluasi Responsif, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), 245. [33] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasinya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), 53-54. [34] S. Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009), 3-23. [35] Ibid, 29.
Kurikulum sebagai salah satu komponen pendidikan sangat berperan dalam mengantarkan prose pembelajaran kepada tujuan pendidikan yang diharapkan. Untuk itu kurikulum merupakan kekuatan utama yang mempengaruhi dan membentuk proses pembelajaran. Kesalahan dalam penyusunan kurikulum akan menyebabkan kegagalan suatu pendidikan dan penzoliman terhadap peserta didik[1]. Untuk memenuhi kebutuhan dan penyesuaian dengan kondisi masyarakat, maka penyusunan kurikulum harus melibatkan beberapa pihak yang berkompeten.
Perumusan tujuan kurikulum, selain berdasrkan kebutuhan peserta didik dan kebutuhan masyarakat juga harus berdasarkan kepada kepada bagaian-bagian tertentu dalam penyusunan kurikulum. Herman H. Horne[2] menyebutkan bahwa ada tiga dasar yang harus diketahuai oleh penyusun kurikulum, diantaranya adalah:
1. Dasar Psikologis, digunakan untuk memenuhi dan mengetahui kemampuan yang diperoleh dan kebutuhan peserta didik (the ability and need of children).
2. Dasar sosiologis, digunakan untuk mengetahui tuntutan masyarkat (the legitimate demands of society) terhadap pendidikan.
3. Dasar filosofis, digunakan untuk mengetahui nilai yang akan dicapai (the kind of universe in which we live).
Berdasarkan tiga hal diatas, sebuah kurikulum disusun dan dikembangkan kembali. Selain tiga dasar diatas, pada kurikulum pendidikan agama islam secara sfesifik bertujuan untuk menciptakan manusia yang paripura serta ada usaha-usaha yang dilakukan untuk mentransfer dan menanamkan nilai-nilai agama sebagai titik central tujuan dan proses pendidikan islam[3]. Dengan demikian usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan islam akan dapat dilaksanakan dengan baik, serta tidak mengurangi nilai-nilai islam dalam penyusunan kurikukulum dimaksud.
Disisi lain banyak pihak yang tidak memperhatikan hal-hal tersebut diatas, sehingga dalam proses penyusunan kurikulum terkesan hanya mengcopy pastekan kurikulum yang sudah ada. Apabila kurikulum dibuat tanpa adanya proses perumusan kurikulum terlebih dahulu, serta kebutuhan akan kurikulum bagi peserta didik serta tidak melibatkan pihak-pihak tertentu, maka dikhawatirkan akan menemukan kendala dalam pengembangannya dan akan menyulitkan dalam mengevaluasi kurikulum.
Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan otonomi daerah, daerah diberi kewenangan dalam mengurusi daerahnya sendiri, dan juga tidak telepas kebijakan pendidikan juga ditangani oleh daerah. Pemberlakuan undang-undang ini juga menjadi tantangan terhadap daerah dalam menyelenggarakan pendidikan, termasuk perumusan kurikulum yang juga berpusat didaerah, serta menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik[4]. Banyak kalangan yang menilai, bahwa masih ada daerah yang belum siap menerima desentralisasi pendidikan. Sebaliknya banyak juga daerah merasa dengan diberlakukannya desentralisari pendidikan akan memberikan peluang kepada daerah untuk lebih memperhatikan pendidikan. Hal ini senada dengan pendapat Tilaar[5] yang mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurutnya ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan, yaitu, pertama, pengembangan masyarakat demokrasi, kedua, pengembangan social capital, dan ketiga, peningkatan daya saing bangsa.
Bila mencermati pendapat diatas, maka sudah waktunya daerah mempersiapkan diri dalam memajukan dunia pendidikan pada daerah masing-masing. Terlepas dari ketiga hal diatas, perumusan kurikulum juga menjadi tugas daerah untuk melakukan penyusuna kurikulum, mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan serta tidak meninggalkan keberadaan daerah dengan beragam budaya, dan mengevaluasi kurikulum yang akan dijadikan tolak ukur dari pelaksanaan proses pendidikan di daerah.
Makalah ini akan membahas beberapa sudut pandang tentang pengembangan kurikulum diera desentralisasi pendidikan, keterlibatan pendidikan budaya dan pendidikan karakter dalam kurikulum, yang akan berupaya memadukan kebutuhan kurikulum pendidikan dan peserta didik dalam prose pembelajaran.
B. PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pengembangan kurikulum serta perumusannya harus mencerminkan tujuan dari kurikulum itu sendiri. Disamping itu keterlibatan masyarakat dan pihak-pihak penyelenggara pendidikan harus dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum, terlebih pada era desentralisasai pendidikan saat ini. Untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan memenuhi kebutuhan kurikulum bagi peserta didik dan masyarakat, maka terlebih dahulu kurikulum dirumuskan dan didasarkan kepada beberapa prinsip dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum dapat dirumuskan menjadi empat bagian, yaitu, pertama, Tujuan yang akan dicapai, kedua Proses dalam pembelajaran, ketiga Materi yang akan disampaikan, keempat Evaluasi. Keempat rumusan ini saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Tujuan yang akan dicapai harus sesuai dengan proses yang akan dilakukan, materi yang akan disampaikan juga tidak terlepas dari metode yang digunakan dalam pembelajaran, sehingga tujuan akan dapat dicapai. Dengan demikian evaluasi akhir dari rumusan tersebut dapat menjadi umpan balik yang relevan terhadap pengembangan kurikulum selanjutnya.
Tujuan Akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Sedangkan rumusan tujuan didasarkan kepada, pertama, Perkembangan tuntutan, kebutuhan, dan kondisi masyarakat, kedua, Pencapaian nilai-nilai filosofis terutama falsafah negara (Tujuan Pendidikan Nasional).
Lias Hasibuan[6] mengemukakan beberapa prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu: 1. Prinsip berorientasi pada tujuan. 2. Prinsip Relevansi. 3. Prinsip Efesiensi. 4. Prinsip Fleksibilitas. 5. Prinsip Integritas. 6. Prinsip Kontinuitas. 7. Prinsip Sinkronisasi. 8. Prinsip Obyektivitas. 9. Prinsip Demokratis.
Dalam banyak hal desentralisasi pendidikan menuntut adanya keberpihakan budaya local (kearidan local) bisa termuat dalam kurikulum. Hal ini menurut banyak pihak akan menunjukan kualitas pemahaman tentang budaya daerah yang semakin ditinggalkan, juga mengingatkan akan pentingnya jati diri bangsa yang tercermin dari budaya local bangsa Indonesia. Disamping itu juga pengembangan kurikulum dituntut dapat mencerminkan pendidikan karakter dalam hal perumusan dan pelaksanaannya dilapangan. Hal ini cukup penting, mengingat semakin meningkatnya kemerosotan moral bangsa dan semakin kehilangan identitas sebagai bangsa yang menjunjung tinggi etika dan moral.
Beberapa kasus penyimpangan moral yang dilakukan beberapa oknum pejabat dan menajalar dikalangan generasi muda adalah gambaran dari system pendidikan kita yang tidak lagi mencerminkan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan tidak lagi menjunjung nilai-nilai luhur bangsa ini. System pendidikan ini juga dipengaruhi oleh kualitas kurikulum dan penyelanggara pendidikan yang menjadikan pendidikan objek pendidikan sebagai ajang bisnis dan pemenuhan kebutuhan oleh sebagian kalangan. Secara teori system pendidikan kita jauh lebih baik, dan tidak bias disangkal lagi bahwa tujan pendidikan kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun secara praktek konsep ini selalu bertentangan dengan apa ada dalam teori. Lebih jauh lagi dalam dunia pendidikan, kontra diksi antara teori dan praktek dapat dilihat dalam kebijakan tambal sulam, kebijakan yang hanya menekankan pada janji-jani, dan citra-citra. Akan tetapi pada pelaksanaannya ternyata kosong dan sekadar dilaksanakan ala kadarnya[7].
Menyikapi kasus diatas, kesalahan bukan terdapat pada teori dalam hal ini kurikulum, namun kesalahan yang harus segera diperbaiki adalah dalam hal pelaksanaan dilapangan. Disamping itu memang penguatan kapasitas kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan harus segera tersusun dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Untuk merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, perlu memperhatikan beberpa komponen dalam proses pengembangan kurikulum.
Wina Sanjaya[8] mengemukakan bahwa kurikulum merupakan suatu system yang memiliki komponen-komponen tertentu. Manakala salah satu komponen yang membentuk system kurikulum terganggu atau tidak berkaitan dengan komponen lainnya, maka system kurikulumpun akan terganggu pula. Komponen-komponen yang membentuk system kurikulum dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Evaluasi
Isi
Tujuan
Metode
Dari gambar diatas dapat jelaskan bahwa, komponen kurikulum terdiri dari empat bagian yang saling terhubung dan terkait satu sama lainnya. Bagian tersebut adalah komponen tujuan, isi kurikulum, motode atau strategi pencapaian kurikulum, dan komponen evaluasi.
1. Komponen Pengembangan tujuan kurikulum.
Komponen tujuan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan dan isi atau bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar[9].
Pencapaian komponen tujuan kurikulum akan menjadi sangat penting karena pencapaian komponen tujuan ini berakibat langsung terhadap pencapaian tujuan-tujuan pendidikan selanjutnya[10].
a. Klasifikasi Tujuan.
Menurut Bloom[11] bentuk prilaku sebagai tujuan yang harus dirumuskandapat digolongkan kedalam tiga klasifikasi atau tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotor.
1) Domain kognitif. Domain kognitif adalah tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berfikir seperti kemampuan mengingat dan kemampuan memecahkan masalah, domain kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu:
a) Pengetahuan (knowledge).b). Pemahaman. c). Penerapan. d) Analisa. e). Sintesis. f). Evaluasi.
2) Domain afektif. Domain afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai dan apresiasi. Domain ini merupakan kelanjutan dari domain kognitif. Krathwohl[12] mengemukakan bahwa domain afektif memiliki beberapa tingkatan, yaitu: a). Penerimaan. b). Merespon. c). Menghargai. d). Mengorganisasi. e). Karakterisasi nilai.
3) Domain psikomotor.
Domain psikomotor dalah tujuan yang berhubungan dengan kemampuan keterampilan seseorang. Domain ini dapat dibagi kedalam enam bangian, 1. Gerak reflex. 2. Keterampilan dasar. 3. Keterampilan perceptual. 4. Keterampilan fisik. 5. Gerakan keterampilan. 6. Komunikasi nondiskursif.
b. Hirarkis Tujuan.
Dilihat dari hirakisnya tujuan pendidikan terdiri atas tujuan yang sangat umum sampai dengan tutjuan khusus yang bersifat spesifik dan dapat diukur. Tujuan yang bersifat umum sampai dengan bersifat khusus dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian yaitu: pertama, Tujuan Pendidikan Nasional (TPN), mencakup tujuan jangka panjang, tujuan ideal pendidikan Bangsa Indonesia[13]. Kedua, Tujuan Institusional (TI), mencakup sasaran pendidikan sesuatu lembaga pendidikan. Ketiga, Tujuan Kurikuler (TK), mencakup tujuan yang ingin dicapai oleh sesuatu program studi. Keempat, Tujuan Instrkuksional atau tujuan pembelajaran (TP), mencakup target yang harus dicapai oleh sesuatu mata pelajaran[14]. Hubungan tujuan umum sampai ke tujuan khusus dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Institusional
Tujuan Pembelajaran
Tujuan Kurikule
Arah Pencapaian Tujuan
Arah Penjabaran Tujuan
2. Komponen Pengembangan materi kurikulum.
Pengembangan materi kurikulum pada hakikatnya adalah mengembangkan materi pembelajaran yang diarahkan untuk mencari tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran merupakan perangkat untuk mempermudah pemahaman suatu materi pembelajaran. Kekeliruan dalam memilih materi pembelajaran dapat menghamabt proses pembelajaran dan pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan demikian komponen pengembangan materi kurikulum sangat berpengaruh kepada tujuan pembelajaran yang akan dilakukan dalam kelas. Pemilihan materi ajar dalam kurikulum merupakan hal mutlak dalam komponen ini.
Materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus diketahui dan dimiliki peserta didik dalam rangka mencapai kemampuan atau kompetensi yang telah ditentukan[15].
Wina Sanjaya[16] mengemukakan bahwa bahan atau materi kurikulum (curriculum materials) adalah isi atau muatan kurikulum yang harus dipahami siswa dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Komponen materi merupakan bahan-bahan kajian yang terdiri dai ilmu pengetahuan, nilai, pengalaman, dan keterampilan yang dikembangkan kedalam proses pembelajaran guna mencapai komponen tujuan[17]. Kompenen pengembangan materi yang akan dikembangkan dalam bahan ajar merupakan factor penting dalam mencapai tujaun yang telah ditentukan. Ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap siswa tentang apa yang disampaikan oleh seorang guru dalam mencapai tujuan pembelajaran yang terdapat didalam kurikulum yang sudah tersusun. Dalam mengembangkan komponen materi, perlu diperhatikan sumber-sumber pengembangan materi yang dimaksudkan dalam suatu kurikulum.
1. Sumber-sumber materi kurikulum.
a. Masyarakat sebagai sumber kurikulum.
b. Siswa sebagai sumber kurikulum.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan siswa, yakni:
1) Kurikulum sebabaiknya disesuaikan dengan perkembangan anak.
2) Isi kurikulum sebaikanya mencakup keterampilan, pengetahuan dan sikap yang dapat digunakan siswa dalam pengalamannya sekarang dan juga berguna menghadapi kebutuhannya pada masa yang akan datang.
3) Siswa hendakany didorong untuk belajar berkat kegiatannya sendiri.
4) Apa yang dipelajari siswa hendaknya sesuai dengan minat dan keinginan siswa[18].
c. Ilmu pengetahuan sebagai sumber kurikulum.
2. Tahap penyeleksian materi kurikulum.
3. Jenis-jenis materi kurikulum.
4. Kriteria Penetapan materi kurikulum.
3. Komponen Metode.
Komponen metode dapat dibagai kedalam dua bahagian, (a). metode dalam pengertian luas tidak hanya sekedar metode mengajar saja akan tetapi menyangkut strategi pembelajaran, serta membangun nilai, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan pada diri anak didik, (b). metode dalam pengertian sempit adalah berupa penggunaan salah satu cara dalam mengajar atau belajar[19].
4. Komponen Evaluasi.
Evaluasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengetahui hasil pengajaran pada khususnya dan hasil pendidikan pada umumnya. Selain itu evaluasi juga berguna bagi perbaikan pengajaran (evaluasi sebagai feed back)[20].
Untuk melihat sejauh mana keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum diperlukan evaluasi. Komponen evaluasi merupakan satu komponen yang berhubungan erat dengan komponen lainnya, maka cara penilaian atau evaluasi akan menentukan tujuan kurikulum, materi atau bahan, serta proses belajar mengajar.
Penilaian sangat penting, tidak hanya untuk memperlihatkan sejauh mana tingkat prestasi anak didik, tetapi juga suatu sumber input dalam upaya perbaikan dan pembaharuan kurikulum. Penilaian dalam arti luas, tidak hanya dapat dilakukan oleh pendidik, namun juga kalangan masyarakat luas[21].
C. DESENTRALISASI PENDIDIKAN DAN OTONOMI DAERAH
Sejak diberlakukannya Undang-undang 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan otonomi daerah, semua kewenangan Pemerintah Pusat dilimpahkan kedaearah termasuk pengelolaan pendidikan. Pengelolaan ini mencakup kepada pengembangan kurikulum, menyusun rancangan biaya pendidikan, merancang tujuan pendidikan secara nasionla dan global, meningkatkan mutu pendidikan dan lain sebagainya.
Tilaar[22] mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurutnya ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan, yaitu, pertama, pengembangan masyarakat demokrasi, kedua, pengembangan social capital, dan ketiga, peningkatan daya saing bangsa. Namun bila dilihat dilapangan masih ada daerah yang belum siap menerima kewengan Pemerintah Pusat dalam rangka mengelola daerahnya masing-masing, termasuk dalam mengelola pendidikan.
Bila diperhatikan permasalahan tersebut diatas, maka ada beberapa factor yang mempengaruhi ketidak siapan daerah dalam menerima pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat terutama dalam desentraslisasi pendidikan, yaitu:
1. Sumber daya manusia (SDM) belum memadai.
2. Sarana dan Prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai.
3. Anggaran pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat rendah.
4. Secara psikologis, mental daerha belum siap menghadapai sebuah perubahan.
5. Daerah juga gamang atau takut terhadap upaya pembaharuan[23].
Berbicara masalah sumber daya manusia, memang ada beberapa daerah yang terus berupaya memacu peningkatan sumber daya manusia dalam berbagai sector kedaerahan, termasuk dalam bidang pendidikan, namun disisi lain ada juga beberpa daerah yang enggan mempersiapkan memacu peningkatan sumber daya manusianya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya rasa was-was terhadap banyaknya anggaran pemerintah daerah yang dikeluarkan untuk peningkatan sumber daya manusia. Sehingga ada beberpa sector dalam masyarakat tidak memili sumber daya yang mumpuni dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kelemahan ini juga dipengaruhi oleh kesiapan masyarakat dalam menerima perubahan yang berkaitan dengan implementasi kebiajakan. Dalam hal ini ada beberapa alasan masyarakat menolak perubahan yang berkaitan dengan implemtasi kebijakan, yaitu:
1. Adanya kekhawatiran masyarakat terhadap hadirnya perubahan.
Dengan ahdirnya perubahan berarti hadirnya kemapanan yang selama ini sudah terbangun, sehingga akan muncul ketidak pastian.
2. Penolakan masyarakat terhadap upaya implementasi kebijakan juga disebabkan oleh kekurangan informasi yang diterimanya berkenaan dengan kebijakan tersebut[24].
Dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional, daerah berperan khusus dalam meningkatkan status pendidikan, peningkatan ini berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan standar nasional. Berkaitan dengan kebijakan pendidikan yang dilimpahkan oleh pusat kedaerah, daerah dituntut untuk lebih intens dalam menangani pendidikan pada derahnya masing-masing. Dalam kacamata fakta, peningkatan kualitas pendidikan di daerah masih mengecap kritikan dari berbagai pihak, baik itu masyarakat, pemerhati pendidikan dan lembaga-lembaga lain yang berkompeten dalam dunia pendidikan. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya mutu pendidikan yang dicapai, penyelenggaraan pendidikan yang belum sesuai dengan apa yang diharapkan, pengembangan tenaga kependidikan yang belum merata, peningkatan sarana dan prasarana yang masih terhitunglambat.
Pada era otonomi tersebut kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang[25].
Dari persoalan-persoalan diatas, tanpak bahwa kesiapan daerah dalam mengelola pendidikan masih belum mapan, disamping ketersediaan SDM yang belum memadai. Hal ini juga tidak terlepas dari kebijakan pendidikan daerah yang masih bersifat lambat dan bersifat birokratis dalam menangani pendidikan, sehingga setiap kebijakan dianggab lamban dalam menangani permasalahan pendidikan yang terjadi. Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan public, sebagaimana yang diungkapkan oleh Pressman dan Wildavsky dalam Sutton dan Levinson[26], bahwa hari ini pendidikan adalah pusat wilayah kebijakan public. Kebijakan pendidiakan sebagai kebijakan public, adalah sebagai kebijakan sebagai keputusan yang tetap dicirikan oleh konsentrasi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi kepuusan tersebut. Konsistensi ditinjau beradasarkan hirarki kebijakan.
Didaerah-daerah maju seperti kota-kota besar transformasi menajdi sangat cepat sehingga proses pendidikan yang ada dalam keluarga mengalami perubahan yang sangat revolusioner dan bahkan mengalami tekanan dari banyak sumber kekuasaan yang mempengaruhi kehidupan keluarga, yaitu dari keluarga yang tertutup menjadi keluarga yang terbuka. Kekuasaan dalam pendidikan adalah bersifat kekuasaan yang transformative. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain[27].
Menelaah berbagai persoalan diatas, seharusnya dengan pemberlakuan undang-undang otonomi daerah, akan menjadikan daerah sebagai lumbung dari pengelolaan pendidikan yang mandiri yang mencerminkan sifat pendidikan kedaerahan yang didukung oleh budaya nasional sebagai tolak ukur dari peningkatan mutu pendidikan. Dengan kata lain, peningkatan mutu pendidikan pada era desentralisasi pendidikan merupakan tanggung jawab daerah yang akan menciptakan generasi-generasi yang mampu menghadapi tantangan global dimasa yang akan datang.
D. KURIKULUM PEMBELAJARAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER.
Desentralisasi pendidikan menuntut perubahan kurikulum yang dilakukan oleh daerah. Kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan kurikulum yang dibuat dan dikembangkan oleh daerah serta dijalankan juga oleh setiap satuan pendidikan tanpa meninggalkan ciri kedaerahan didalam kurikulum dimaksud.
Pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan memungkinkan daerah membuat kebijakan baru terhadap proses pendidikan dalam menghadapi globalisasi. Dalam ruang lingkup pendidikan cermin kedaerahan dalam dunia pendidikan sangat dibutuhkan untuk mengangkat status daerah dalam ranah kebudayaan nasional. Banyak ahli mengatakan bahwa dunia pendidikan Indonesia telah kehilangan ruhnya. Pendapat ini memang ada benarnya, ini terbukti dengan hilangnya beberapa bidang studi yang memuat karakter dan pendidikan budi pekerti disekolah. Hilangnya bidang studi budi pekerti disekolah juga disebabkan oleh semakin mencuatnya keinginan sekolah menjadi unggul dalam beberpa bidang studi dengan menbghilangkan bidang studi ini.
Namun menghilangnya bidang studi budi pekerti saat initelah menuai beberapa kritikan dari berbagai pihak yang merasa bahwa lulusan dari berbagai sekolah dinegeri ini tidak lagi menghargai nilai-nilai moral dan etika dalam pergaulan ditengah-tengah masyarakat. Tidak hanya sebatas lulusan, para pelajar mulia dari tingkat dasar, menengah dan atas tidak lagi menghargai berbagai norma yang berlaku ditengah masyarakat serta berujung kepada pelanggaran nilai moral tersebut. Budaya local tidak lagi menjadi prioritas dalam kehidupan para pelajar, malainkan budaya barat menjadi tren dikalangan pelajar saat ini.
Lebih parah lagi adalah, Indonesia yang dikenal masyarakat luar memiliki penganut agama yang besar dan majemuk serta memiliki budaya yang multikultur telah ditinggalkan dikalangan pelajar kita. Agama tidaklagi dipandang sebagai hal yang sangat relegius dan penting dalam kehidupan melaikan hanya sebagai simbolitas belaka. Begitu juga dengan budaya, para generasi muda Indonesia saat ini hamper tidak lagi mengenal budayanya sendiri. Ditinggalkanya nilai-nilai seperti yang disebutkan diatas menjadi prolem yang sangat besar bagi generasi muda saat ini. Kekhwatiran itupun muncul dengan berbagai persoalan yang terjadi ditengah masyarakat. Pada era 80-an dan 90-an kenakalan remaja hanya terabatas kepada tauran antar sekolan dan antar kampus, namun saat ini kelakuan ini secara perlahan menghilang dari peredaran. Hilangnya peristiwa ini bukan serta merta masalah dikalangan pelajar kita menghilang dengan sendirinya, akan tetapi saat ini telah muncul kebiasaan buruk para generasi muda yang mengatas namakan hobi dan pencarian bakat. Pergaulan bebas dan sex bebas menjadi tren masa kini dikalangan pelajar dan mahasiswa serta hilangnya nilai-nilai agama, budaya, moral dan etika semakin meningkat akibat pengaruh globalisasi yang tidak terbendung lagi.
Dari kasus-kasus diatas, pada saat ini dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai persoalan untuk memperbaiki etika pelajar yang mengacu kepada keberadaan agama yang dianut ditengah-tengah masyarakat dan nilai-nilai budaya Indonesia yang sangat multikultur. Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah-masalah diatas adalah pemberlakuan pendidikan karakter disekolah, dan bahkan bukan hanya sekedar pemberlakuan namum pendidikan karakter juga harapkan dapat menjadi bagian kurikulum dari kurikulum satuan pendidikan pada setiap bidang studi.
Selain pendidikan karakter, keterlibatan kearifan lokal dalam pendidikan sangat diperlukan, ini bertujuan untuk kembali lebih memeperkenal budaya lokal dikalangan pelajar serta pengaflikasiannya ditengah masyarakat. Budaya lokal yang dimaksd adalah budaya yang tidak bertentangan dengan salah satu agama yang berlaku di Indonesia. Untuk meningkatkan kefektifan sekolah dalam pendidikan karakter diperlukan berbagai perubahan. Perubahan dimaksud bukan hanya oerubahan sekolah, tetapi perubahan terhadap lingkungan yang mempengaruhi proses dan hasil pendidikan disekolah. Perubahan yang diperlukan mencakup berbagai aspek, diantaranya adalah:
1. Membenahi cara pandang.
Meningkatkan peran sekolah dalam pendidikan karakter memerlukan perubahan cara pandang atau Mindset pada komunitas sekolah dan pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan tersebut mencakup bebebrapa perubahan[28], yaitu:
a. Sekolah adalah senuah komunitas, bukan pabrik.
b. Para siswa bukanlah para deretan gelas kosong.
c. Setiap jenis kecerdasan penting dan perlu dikembangkan dengan baik.
2. Pengembangan suasana lingkungan.
Suasana lingkungan pembelajaran mencakup suasana sekolah secara umum, suasana dikelas, dan suasana hubungan interpersonal. Suasana ini bisa tercermin dalam suasana fisik dan suasana lingkungan sosial[29], yaitu:
a. Susana Emosi positif yang meningkatkan kefektifan belajar secara umum.
b. Suasana yang menunjukkan bahwa karakter penting.
3. Pengembangan proses pembelajaran.
Membantu siswa dalam mempelajari kebajikan atau mengembangkan karakter berbeda dengan membantu seorang siswa belajar matematika atau fisika. Belajar nilai-nilai kebajikan dengan melibatkan kesadaran, keyakinan dan perasaan, disamping logika. Berikut ini berbagai cara yang dapat dilakukan dalam pendidikan karakter disekolah[30], yaitu:
a. Dengan teladan. Orang tua, kepala sekolah, ataupun guru dapat membantu seorang anak atau sisiwa belajar mengembangkan karakter dengan member contoh yang baik melalui prilaku, perkataan, dan sikap baik sehari-hari.
b. Dari dalam keluar (inside-out), dari luar kedalam (Outside-in). Proses terbentuknya karakter bias berawal dari tumbuhnya kesadaran dan pentingnya kebajikan. Kesadaran ini kemuadian menguat menjadi keyakinan dan keyakinan ini memepengaruhi sikap dan sikap ini memepngaruhi sikap orang yang bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Berpusat pada siswa-berpusat pada guru. Proses belajar karakter dapat dirancang sebagai proses belajar yang berpusat pada siswa atau berpusat pada guru.
d. Imlisit-Eksplisit. Pengembangan kakrakter dapat dilakukan secara implicit. Cara ini masuk kewilayah uncounscious awareness sehingga tumbuhnya kebiasaan baik berlangsung secara ilmiah. Disini proses belajar mengajar diarahkan untuk membangun situasi yang menggugah seorang siswa untuk memetik unsure-unsur kebaikan menurut perasaan dan pemahamannya sendiri, tanpa harus ditunjukan secara eksplisit oleh orang lain termasuk para guru.
e. Formal-informal. Proses ini juga dapat dilakukan untuk menumbuhkan pendidikan karakter dalam kelas atau secara informal dalam interaksi antara guru dan kepala sekolah dengan siswa diluar jam pelajaran.
f. Pengembangan karakter bersama dengan kemampuan pengembangan akademik. Dalam prosesnya pembangunan karakter dan pengembangan kemampuan akademik dijalankan secara bersamaan.
g. Pengembangan kemampuan kognitif. Pendekatan ini menekankan pentingnya meningkakatkan kemampuan nalar dan merumuskan pertimbangan moral dalam mengambil tindakan.
h. Bertumpu pada kekuatan. Pengembangan karakter dilakukan dengan mengapresiasikan kekuatan atau keunikan seorang siswa.
4. Pengembangan bahan pelajaran.
Dalam hal ini, seorang guru perlu mencari atau menemukan bagian materi pelajaran yang dapat dijadikan batu loncatan untuk menonjolkan aspek karakter yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan.
5. Pengembangan Kriteria dan cara menilai keberhasilan.
6. Pengembangan kapabalitas kepala sekolah.
7. Membangun kerja sama dengan orang tua siswa.
Dalam perkembangannya, pendidikan karakter tidak terlepas dari beberapa nilai yang harus dilaksanakan. Nilai-nilai tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Doni Koesoema A[31]. adalah sebagai berikut:
1. Nilai keuataman. Manusi memiliki keutamaan kalau ia menghayati dan melakasanakan tindakan-tindakan yang utma, yang membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.
2. Nilai keindahan. Nilai keindahan dalam tatanan yang lebih tinggi menyentuh dimensi interioritas manusia itu sendiri yang menjadi penentu kualitas dirinya sebagai manusia.
3. Nilai kinerja. Penghargaan atas nilai kerja yang menentukan kualitas diri seorang individu.
4. Nilai cinta tanah air.
5. Nilai demokrasi.
6. Nilai kesatuan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesi, nilai kesatuan ini menjadi dasar pendirian Negara.
7. Menghidupi nilai moral.
8. Nilai-nilai kemanusiaan. Apa yang membuat manusia sungguh-sungguh manusiawi itu merupakan bagian dari keprihatinan setiap orang.
Dalam analisa kurikulkum pendidikan, pendidikan karakter bukan hanya menjadi cerminan dari kurikulum namun pelaksanaan dilapangan merupakan hal sangat penting untuk diperhatikan. Konteks pengembangan murikulum dalam kaitannya dengan pendidikan karakter bersumber dari beberapa nilai yang sudah disebutkan diatas.
E. ANALIS KEARIFAN LOKAL DALAM KURIKULUM.
Berbicara tentang kearifan local, sama halnya dengan berbicara dengan berbagai budaya yang ada di Indonesia. Indonesia terkenal dengan budaya yang beraneka ragam serta memiliki berbagai suku bangsa yang menyatu dalam satu negera yaitu Negara Indonesia. Berkaitan dengan pendidikan dan kurikulum pendidikan kearifan local memegang peranan penting dalam proses pembelajaran. Sehingga sekolah memegang peranan penting bagi peserta didik dalam kontek cultural. Dalam konteks pendidikan kearifan local akan memberikan nilai tambah dalam mencetak generasi muda mendatang lebih unggul dalam penguasaan teknologi dan tanpa meninggalkan kebergaman budaya Indonesia.
Dalm prkasis pendidikan, nilai dan budaya local cenderung menempati posisi peripheral. Mainstream pendidikan dinegara-negara berkembang masih kurang member ruang pada nilai budaya dan budaya local. Akibatnya, sebagai mana diungkapkan oleh para pakar, sekolah memainkan peran dalam alienasi peserta didik dari konteks sosio kulturalnya. Sehingga ketika menyelesaikan pendidikan formalnya, sebahagian besar peserta didik mengalami kesenjangan cultural, disamping kesenjangan akademik, dan akupasional[32]. Menilik persoalan diatas perlu ada kurikulum muatan local yang mengacu kepada kearifan local pada masing-masing daerah di Indonesia.
Kesenjangan cultural yang terjadi dikalangan peserta didik tidak terlepas dari kurangnya pemahaman peserta didik terhadap budaya local yang disampaikan melalui proses pembelajaran. Kurangnya pemahaman siswa terhadap budaya local bukan semata-mata kesalahan siswa itu sendiri, namun pihak penyelenggara pendidikan tidak begitu jeli terhadap kearifan local yang ada disekitar sekolah. Peran orang tua juag sangat kurang dalam hal ini, mengingat kesibukan masyarakat sebagai orang tu asiswa disibukan dengan problem kelurga. Al hasil para peserta didik tidak lagi mengenal budayanya sendiri.
Penempatan kurikulum muatan local dalam proses pendidikan akan memeberika danfak yang positif terhadap peserta didik dan guru sendiri. Dibalik it juga kesenjangan akademik yang terjadi dikalangan pelajar tidak terlepas dari budaya local dimana sekolah tersebut berada. Tingginya nilai akademik pada biadng studi lain tidak menjamin peserta didik baik dalam hal yang lain. Sehingga dalam pelaksanaannya kurikulum muatan local hilang secara perlahan dalam tatanan pendidikan nasional pada saat ini.
Pengenalan kearifan local dalam lembaga pendidikan tidak terlepas dari keberagama budaya di Negara ini, sehingga muncullah isltilah Plurali-Multikultural. Dalam pandangan Pendidikan Islam, perbedaan kultur, suku bangsa, dan ras bukanlah halangan bagi umat untuk menjalankan ibadah kepada ALLAH. Dalam tatanan pendidikan Islam Pluralis multicultural di sekolah dapat dikembangkan dengan bebrapa cara, yaitu:
1. Pendidikan Islam Pluralis Multukultural adalah pendidika yang menghargai dan merangkul segala bentuk keberagaman.
2. Pendidikan Islam Pluralis Multukultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang Pluralis Multukultural.
3. Pendidikan Islam Pluralis Multukultural tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas, suku, agama, ras ataupun golongan.
4. Pendidikan Islam Pluralis Multukultural member kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sense of self kepada setiap anak didik[33].
Penilik bebebrapa persoalan diatas, maka dalam kurikulum pendidikan pengenalan budaya bagi peserta didik sangatlah dibutuhkan. Keberadaan kearifan local bukan hanya untuk dibanggakan kepada orang lain, namun untuk dipahami dan dikenalkan serta diajarkan kepada peserta didik. Penting kiranya kembali memberlakukan kurikulum muatan local dalam prose pendidikan dalam segala jenjang. Kurikulum muatan local juga kaan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan karakter pada setiap jenjang pendidikan kedepan.
F. EVALUASI KURIKULUM.
Dalam beberapa kajian kurikulum, khususnya lembaga pendidikan pada era desentralisasi pendidikan, evaluasi kurikulum sangat jarang dan bahkan tidak ada sama sekali dilaksanakan. Tingkat kepentingan melakukan evaluasi kurikulum bukan hanya isapan jempol semata, namun lebih luas evaluasi kurikulum berfungsi sebagai acuan dalam menetapkan kurikulum pendidikan dimasa yang akan datang. Evaluasi kurikulum merupaka tuga tenaga pendidik untuk menelaah kurikulum yang telah dilaksanakan kebelakang dan pengembangan kurikulum dimasa yang akan datang. Selain itu peran kepala sekolah dalam evaluasi kurikulum sangat menentukan masa depan kurikulum yang akan diberlakukan pada masa yang akan datang.
Dibawah ini akan diuraikan dengan singkat pendapat pakar tentang fungsi evaluasi kurikulum, seperti yang dikemukan oleh S. Hamid Hasan[34]. Fungsi tersebut adalah:
1. Evaluasi Kurikulum sebagai Kajian Akademik. Sebagaimana yang telah dikemukan, evaluasi yang dilakukan oleh guru sejak masa awal pendidikan berfokus pada evaluasi hasil belajar. Kedua konsep tersebut, evaluasi dan hasil belajar merupakan perpaduan yang sulit dipisahkan, sehingga orang cukup menyebutkan kata evaluasi sedangkan yang dimaksudkan adalah evaluasi hasil belajar.
2. Evaluasi sebagaio profesi. Suatu profesi adalah suatu pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang terdidik khusus untuk pekerjaan tersebut, meniti karirnya pada pekerjaan tersebut, dan melakukan tugas sesuai dengan nilai dan etika yang berlaku dalam profesi tersebut.
3. Evaluasi sebagai kebijakan publik. Evaluasi kurikulum tidak dapat berkembang jika tidak didukung oleh suatu kebijakan public. Bentuk dukungan tersebut adalah berupa ketentuan-ketentuan legal. Kondisi pemetaan pendidikan yang terjadi ditanah air dengan ketetapan bahwa pengembangan kurikulum berada dibawah wewenang pemerintah daerah, mensyaratkan pentingnya evaluasi kurikulum sebagai suatu kebijakan publik.
4. Evaluasi, pengukuran dan tes. Keterkaitan anatar evaluasi, pengukuran dan tes sedemikian kuat, sehingga pada masa awal perkembangannya, bidang kajian evaluasi sering disamakan dengan bidang pengukuran dan tes. Bidang kajian evaluasi kurikulum membuka dirinya untuk berbagai pendekatan, pendekatan yang paling tua adalah pendekatan kuantitatif.
5. Evaluasi dan penelitian. Evaluasi berbeda dengan penelitian. Evaluasi kurikulum berbeda dengan penelitian kurikulum. Evaluasi memiliki tugas melakukan pertimbangan. Evaluasi tidak dapat dipisahkan dari standard an kriteria dan berdasarkan keduanya pertimbangan tersebut diberikan. Penelitian bertujuan untuk menjelaskan hubungan berbagai variable berdasrkan data yang dikumpulkan secara empirik.
Bidang profesi evaluasi kurikulum adalah bidang yang digeluti oleh para evaluator yang berfikir, bekerja dan melaksanakan evaluasi dilapangan. Mereka juga adalah kelompok orang yang melakukan pemikiran mengenai filosofi, tujuan, pendekatan, prosedur, model dan etika evaluasi[35]. Pemahaman terhadap evaluasi kurikulm tidak terlepas dari evaluasi hasil belajar yang telah dilaksanakan didalam kelas. Pentingnya evaluasi kurikulum bukan hanya untuk mengetahui apakan tujuan tercapai atau tidak, akan tetapi lebih dari itu evaluasi kurikulum juga bermanfaat sebagai umpan balik dalam proses pembelajaran dan pengembangan kurikulum dimasa-masa selnjutnya.
Pihak-pihak yang terkait dalam evaluasi kurikulum seperti yang telah disebutkan diatas adalah para guru, kepala sekolah, lembaga penyelenggara pendidikan, dan pemerintah daerah. Keterlibatan pemerintah daerah dalam evaluasi kurikulum adalah untuk menentukan kebikajan public yang akan dijadikan standar acuan pendidikan daerah dan pemberlakuan kurikulum pada satuan pendidikan. Disamping itu, keberadaan masyarakat dalam lingkungan lembaga pendidikan juga memiliki keterlibatan terhadap evaluasi kurikulum, walaupun tidak secara keseluruhannya.
Di Indonesia pada umumnya evalusai kurikulum belum begitu marak dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Namun demikian usaha-usaha telah dilakukan untuk mengevaluasi kurikulum pendidikan diberbagai jenjang pendidikan. Pada tingkat satuan pendidikan evaluasi kurikulum bahkan tidak ada dilakukan sama sekali. Hal ini terjadi karena rendahnya sumber daya manusia dalam menangani permasalahan ini. Akibatnya kurikulum pendidikan dari tiap tahunnya tidak pernah berubah dan tidak pernah dilakukan penilaian yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibani, Oemar Muhammad Al-Toumy. Filsafat Pendidikan Islam. diterjemahkan Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Bloom, Benajamin S. Taxonomy of Education Objective: Cognitive Domain. New York: David McKay, 1964. Chan, Sam M. dan Tuti T. Sam. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010. Faizin, Muhammad. Anatomi dan Desain, dalam http://faizhijauhitam.blogspot.com/2009/10/anatomi-kurikulum.html, tanggal 15 April 2011. Hasan, S. Hamid. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009. Hasibuan, Lias. Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010. Hidayat. Otonomi Pendidikan. dalam http://meretasmasadepan.blogspot.com/2011/03/otonomi-pendidikan.html tanggal 30 Juni 2011. Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Jogjakarta: Arruzz Media, 2007. Idrus, Ali. Manajemen Pendidikan Global, Visi, Aksi dan Adaptasi. Jakarta: Gaung Persada, 2009. Koesoema A., Doni. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT. Garsindo, 2010. Krathwohl, dkk. Taxonomy of Education Objectives: Affective Domain. dalam, Wina Sanjaya. Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarata: Kencana Media Group, 2010. Maunah, Binti. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jogjakarta: Teras, 2009. Munir. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan komunikasi. Bandung: Alfabeta, 2008. Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasinya. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Norne, Herman H. dalam Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 2, 2010. Raka, Gede, dkk. Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011. ________. Pendidikan: Beyond Competence. (Makalah), dalam Gede Raka, dkk. Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011. Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 2, 2010. Rohman, Arif dan Teguh Wiyono. Education Policy in Decentralization Era. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarata: Kencana Media Group, 2010. Soyomukti, Nurani. Teori-teori Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Sutton, Margaret dan Bradley A. U. Levinson. Policy as Practice Toward a Comparative Sosiocultural analysis of Educational Policy. dalam Sam M. Chan dan Emzir. Isu-isu Kritis Kebiajkan Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Tilaar, H. A. R. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Jakarta: Sinar Grafika. Zamroni. Paradigma Pendidikan Masa Depan. dalam Al Musanna, Revitalisasi Kurikulum Muatan local untk Pendidikan Karakter Melalui Evaluasi Responsif. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, 2010.
footnote
[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 2, 2010), 194. [2] Herman H. Norne, dalam Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Cet. 2, 2010), 195. [3] Lihat Oemar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, diterjemahkan Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 485; Al-Syaibani memberikan kerangka dasar yang jelas tentang kurikulum pendidikan islam; Pertama, Dasar agama, yang menjadi ruh dan target tertinggi dalam kurikulum. Dasar agama dalam kurikulum pendidikan islam jelas harus didasarkan pada Al-Qur’a>n, al-sunnah dan sumber-sumber yang bersifat furu’ lainnya, kedua, Dasar Falsafah, dasar ini memberikan pedoman bagi tujuan pendidikan islam secara filosofis, sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran, bai ditinjau dari segi ontology, epistimologi maupun aksiologi, ketiga Dasar Psikologis, dasar ini memberikan landasan dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan psikis peserta didik, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, memeperhatikana kecakapan pemikiran dan perbedaan perorangan antara satu peserta didik denngan yang lainnya, keempat, Dasar Sosial, dasar ini memberikan gambaran bagi kurikulum pendidikan islam yang tercermin pada dasar social yang mengandung cirri-ciri masyarakat islam dan kebudayaannya, baik dari segi pengetahuan, nilai-nilai ideal, cara berfikir dan adat kebiasaan, seni dan sebagainya. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 195. [4] Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), 1. [5] H. A. R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 20. [6] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 86-87. [7] Nurani Soyomukti, Teori-teori Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), 14. [8] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarata: Kencana Media Group, 2010), 99. [9] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), (Jakarta: Sinar Grafika). [10] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran, 38. [11] Benajamin S. Bloom, Taxonomy of Education Objective: Cognitive Domain, (New York: David McKay, 1964), 89. [12] Krathwohl, dkk, Taxonomy of Education Objectives: Affective Domain, dalam, Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarata: Kencana Media Group, 2010), 104. [13] Muhammad Faizin, Anatomi dan Desain, dalam http://faizhijauhitam.blogspot.com/2009/10/anatomi-kurikulum.html, tanggal 15 April 2011. [14] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 106-113. [15] Munir, Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan komunikasi, (Bandung: Alfabeta, 2008), 61. [16] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 114. [17] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran, 39. [18] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, 116. [19] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran, 39. [20] Binti Maunah, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jogjakarta: Teras, 2009), 50. [21] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Jogjakarta: Arruzz Media, 2007), 57. [22] H. A. R. Tilaar, Membenahi Pendidikan …………, 20. [23] Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan…………, 4-5. [24] Arif Rohman dan Teguh Wiyono, Education Policy in Decentralization Era, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 10-11. [25] Hidayat, Otonomi Pendidikan, dalam http://meretasmasadepan.blogspot.com/2011/03/otonomi-pendidikan.html tanggal 30 Juni 2011. [26] Margaret Sutton dan Bradley A. U. Levinson, Policy as Practice Toward a Comparative Sosiocultural analysis of Educational Policy, dalam Sam M. Chan dan Emzir, Isu-isu Kritis Kebiajkan Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 8. [27] Ali Idrus, Manajemen Pendidikan Global, Visi, Aksi dan Adaptasi, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), 10. [28] Gede Raka, Pendidikan: Beyond Competence, (Makalah), dalam Gede Raka, dkk, Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011), 49. [29] Gede Raka, dkk, Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2011), 54. [30] Ibid, 58-63. [31] Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: PT. Garsindo, 2010), 208-211. [32] Zamroni, Paradigam Pendidikan Masa Depan, dalam Al Musanna, Revitalisasi Kurikulum Muatan local untuk Pendidikan Karakter Melalui Evaluasi Responsif, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, 2010), 245. [33] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasinya, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), 53-54. [34] S. Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009), 3-23. [35] Ibid, 29.