PENDAHULUAN
Kehadiran agama Islam di muka bumi ini memuat tendensi agung, yakni rahmatan lil’alamin. Perannya secara global dicatat dengan apik lewat tinta emas dalam banyak lembaran sejarah. Di bawah kendali Islam, pandangan terhadap kemerdekaan berideologi dan sikapnya terhadap aturan hidup sangat jelas, yang ditandai dengan syumuliah (keuniversalan) karena ia memang diturunkan sebagai sistem hidup. Dalam safari sejarah dunia intelektual muslim, kebebasan berekspresi merupakan hak asasi bagi setiap individu untuk merilis pendapat sekaligus meretas jalan menuju kemakmuran ilmu pengetahuan. Islam telah memberikan ruang kepada pencari kebenaran untuk bebas dari ketakutan, jauh sebelum Peter Druker berstatement bahwa masyarakat modern mendatang adalah masyarakat knowledge society, dan siapa yang menduduki posisi penting adalah educated person.
Artinya suatu masyarakat yang setiap anggotanya merupakan manusia yang bebas dari ketakutan, bebas berekspresi, dan bebas untuk menentukan arah kehidupannya di dalam wadah sebuah negara. Islam telah mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi tersebut serta telah pula tertanam kuat dalam tradisi masyarakat luas. Kebebasan ini, bagi ilmuan sangat berpengaruh dalam mengembangkan karya akademiknya tanpa intervensi kehendak dari siapapun. Catatan sejarah manusia mengungkapkan bahwa kebangkitan peradaban suatu bangsa ternyata tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di daerah tersebut. Adalah anugerah terbesar bagi suatu kaum/bangsa yang memberikan apresiasi positif terhadap upaya kebebasan dalam melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Islam, sebenarnya telah memberikan dorongan dan motivasi itu dengan menyediakan modal awal berupa doktrin dasar untuk memasuki wilayah tersebut.
PEMBAHASAN
A. Definisi Kebebasan Akademis
Definisi universal dari kebebasan akademis sebenarnya sulit untuk diungkapkan karena literatur mengenai hal itu hampir bisa dikatakan tidak ada. Definisi kebebasan akademis sering dipengaruhi oleh ideologi dimana definisi itu digagas. Dalam lintasan sejarah sosial pendidikan, beragam definisi tentang kebebasan akademis muncul sesuai dengan kepakaran dan tinjauan yang diberikan oleh para pakar tersebut. Di antaranya secara individual didefinisikan sebagai tiadanya pengekangan, hukuman dan intimidasi berkenaan dengan usaha tradisional manusia secara khusus, berkaitan dengan pengkajian, penelitian, penyajian lisan pandangan-pandangan mereka, penerbitan penemuan-penemuan dan pendapat-pendapat mereka, betapapun kuno dan subversifnya baik bijaksana maupun dungu.[1]
Lebih lanjut, Parsudi Suparlan sebagaimana dikutip oleh Hasan Asari mengemukakan sebagai berikut:
Kebebasan akademis adalah kebebasan sebagai sarjana untuk menggali kebenaran dan menerbitkannya dan membuat hasil-hasil temuan atau pandangan-pandangannya tersebut untuk dibahas secara kritis dalam komuniti ilmiah yang relevan untuk ditolak, diperbaiki atau diakui dan dimantapkan. Kebebasan adalah juga kebebasan dari seorang sarjana dalam bidang keahliannya di dalam memberi pelajaran dan mendidik mahasiswa-mahasiswanya mengenai bagaimana kebenaran dalam ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh atau diketahui melalui proses-proses yang berlaku menurut metode ilmiah atau logika yang masuk akal.[2]
Kedua definisi di atas bersumber dari dunia barat, yang secara tersirat merefleksikan kerangka ideologi mereka. Definisi pertama lebih menekankan pada aspek kebebasan bagi tugas fungsional guru, sementara yang kedua cenderung merefleksikan makna kebebasan yang tak terbatas dalam menjalankan aktifitas akademis. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Jujun S. Suriasumantri menjelaskan:
Dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Pertama, ilmu harus netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuan adalah menemukan pengetahuan dan terserah pada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.[3]
George Makdisi mengemukakan bahwa kebebasan akademis itu berhubungan erat dengan universitas di mana para guru besar dan mahasiswa bergelut dengan hal-hal yang berhubungan dengan percobaan-percobaan, penelitian dan kemudian mempublikasikannya.[4].Kebebasan akademis pada paruh abad pertengahan bukanlah kebebasan dalam konteks pemikiran filosofis. Kebebasan akademis, baik dalam Islam maupun dalam Kristen di barat, berhubungan dengan lisensi untuk mengajar dan metode pengajaran yang mengarah kepada kelancaran proses belajar mengajar.[5]
Dalam literatur Islam, definisi kebebasan akademis tidak ditemukan, akan tetapi dasar kebebasan akademis itu sendiri tampak pada kerangka berfikir para ilmuan muslim, dimana mereka tidak mengekang daya fikir seseorang, bahkan sejarah pun mencatat istilah-istilah kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berfikir, kebebasan bergerak, kebebasan berideologi dan kebebasan lainnya sering juga ditemukan dalam tradisi intelektual muslim klasik.
B. Manifestasi Ajarannya Dalam Sejarah Intelektualisme Islam
Catatan sejarah mengungkapkan bahwa kebebasan yang diinfakkan Islam terhadap dunia akademik tak terbantahkan. Terbukti banyak ilmuan handal dalam berbagai bidang keilmuan telah pernah dilahirkan oleh induk sejarah dunia Islam dari masa ke masa. Muslim era klasik dalam mencari titik terang kebenaran tidak pernah segan apalagi malu mempelajari ilmu-ilmu dari bangsa asing, kalaulah itu menjadi wasilah bagi pencapaian kebenaran.
Legitimasi al Qur’an dan Sunnah terhadap kebebasan akademis di dunia muslim telah menghantarkan umat ini ke puncak peradaban yang tak tertandingi di masanya. Ini dapat dibuktikan bahwa pada zaman klasik, berbagai cabang ilmu pengetahuan berkembang di dunia Islam, baik dalam bidang tafsir, hadist, hukum, filsafat, fisika, sejarah dan lan-lain.[20]Islam adalah agama yang komprehensif dan elastis dalam mengatur setiap aspek kehidupan manusia. Ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada ritual formal saja, tetapi juga melibatkan seluruh dimensi kehidupan manusia.
Tak ketinggalan sikap Islam terhadap ilmu pengetahuan begitu besar, sehingga landasan iman seseorang sering diukur dengan barometer pengetahuan mengenai keyakinan yang dimiliki seseorang. Komprehensifitas ajaran Islam secara filosofis menjadi dasar atau landasan pijak bagi kebebasan akademis. Aktifitas intelektual dan peran akademis dalam dunia Islam harus mengacu pada identitas ajaran Islam itu sendiri.
Dinamika kebebasan akademis era klasik terlihat pada kearifan para ilmuan dalam menyikapi perbedaan di antara mereka. Setiap orang yang memiliki keahlian dengan bebas boleh mengemukakan dan mempublikasikan pandangan-pandangannya, betapapun berbeda dari pandangan ahli lain.[21]Dari kelapangan hati menerima setiap perbedaan dalam dunia intlektual muslim, maka zaman tersebut melahirkan tokoh-tokoh ilmuan yang sangat terkenal di bidang ilmunya masing-masing, bahkan karya monumentalnya masih menjadi rujukan ilmiah di zaman sekarang.
Abu Hamid al Ghazali (450 – 505 H), merupakan tokoh ulama serba bisa yang bergelar Hujjatu al Islam abad XII, dimana maha karyanya seperti Ihya Ulumuddin, Maqasidu al Falasifah, Tahafut al Falasifah dan lain-lain menjadi inspirasi bagi ilmuan era taknologi untuk mengkaji, meneliti dan mempublikasikan ilmu-ilmu baru yang muncul saat ini. Begitu juga dengan Ibnu Sina, yang tak saja dinilai sebagai pakar kedokteran, tetapi juga bapak di bidang ilmu kedokteran. Karyanya berjudul Al Qanun fi attib (The Canon), disebut sebut sebagai inspirator dan sumber utama kebangkitan barat di bidang kedokteran. Ada pula Ibnu Khaldun, bapak sosiologi politik, juga Al Biruni, penemu gaya gravitasi, Jabir Ibn Hayyan sang penemu ilmu kimia, Abu Marwan Abdul al Malik Ibn Zuhr, bapak parasitologi dan pelopor tracheotomy, Ibn Majid, sipenemu kompas dan navigator, serta masih banyak yang lainnya.[22] Mereka rata-rata hidup di abad pertengahan (sekitar tahun 750– 450 M).
Kemerdekaan dalam menginterpretasi teks-teks suci sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing lepas dari otoritas yang dapat memaksanya merupakan bagian dari ekspresi kebebasan akademis di kalangan ilmuan muslim masa lampau. Makdisi seperti dikutip oleh Hasan Asari menulis:
…seorang faqih bebas merumuskan pandangannya, lepas dari semua kekuatan luar. Tidak ada kekuasaan atau otoritas yang dapat memaksanya secara sah untuk menganut pendapat yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Seorang faqih tidak saja bebas dan independen untuk melaksanakan penelitiannya dan mengumumkan hasilnya, tetapi juga didorong untuk melakukannya dengan sebuah janji ganjaran pahala akhirat.[23]
Nukilan di atas memperlihatkan, betapa secara tegas seorang ilmuan tidak bergantung dan terikat dengan seseorang atau sesuatu dalam menghadirkan sebuah karya. Ijtihad yang mereka lakukan merupakan kejernihan dari buah fikiran yang bebas dari intervensi. Di balik itu, ada asa transenden yang tersirat sebagai motivasi akhir dari sebuah perjalanan suci dalam pengabdian ilmu pengetahuan.
Di samping itu, perjalanan ilmiah (rihlah ‘ilmiyyah) yang dipraktekkan oleh sejumlah ilmuan era klasik untuk mengejawantahkan sabda Nabi dalam menuntut ilmu pengetahuan dan sekaligus mengembangkannya, kebebasan yang tergambar bahwa para hamba ilmu sangat menikmati sebuah dunia intelektual yang sangat luas dan terbentang secara bebas. Tak heran seorang al Ghazali yang lahir di desa Thus, negeri Khurasan, mengabdikan ilmunya di negeri Baghdad di perguruan al Nizamiyah. Begitu juga dengan seorang imam syafi’i yang merantau sampai ke negeri Mesir dan masih banyak tokoh-tokoh ilmuan yang mengembangkan ilmunya ke seantero jagat ini.
Kemerdekaan untuk tidak harus membebek kepada ajaran guru juga diperlihatkan dalam dunia intelektual muslim saat itu. Seorang murid memang harus menghormati gurunya, namun guru tersebut tidak berhak mengekang apalagi memaksa muridnya untuk mengikuti alur pikirannya. Contoh yang dipaparkan sejarah adalah Imam Syafi’i, dia merupakan murid paling brillian imam Malik. Dia bahkan menghafal secara sempurna karya gurunya yaitu al Muwatta’. Namun syafi’i ternyata tidak serta merta harus menjadikan ajaran gurunya sebagai pilihan hidupnya. Dia malah menghadirkan sebuah mazhab yang berlainan dengan gurunya, dan imam Malik pun tidak pernah memaksanya untuk mengekor dengan mazhabnya. Ini adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan bahwa dunia akademis muslim era lalu benar-benar merdeka dan bebas.
Kebebasan berekspresi dalam lintasan sejarah akademis selanjutnya tak semulus realitas yang ada, karena pada saat tertentu kebebasan tersebut juga mengalami masa-masa sulit. Pembunuhan dan pemberangusan kebebasan dalam geliat intelektual sering dipertontonkan oleh pernyataan dan prilaku “atas nama”. Sebagaimana terjadi di Aceh, pelarangan faham wujudiah yang diprakasai Hamzah al Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani oleh pemerintah Iskandar Tsani atas anjuran ilmuan Nuruddin al Raniry[24] merupakan refleksi dari operasi “pembebasan” yang secara tragis harus dibayar mahal dengan penghancuran nilai-nilai kebebasan. Atas nama pelurusan ajaran yang menyeleweng dan kestabilan situasi politik negara, maka keagungan nilai-nilai kebebasan akademis di negeri itu dikucilkan.
C. Peranan Kebebasan Akademis Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan.
Legalisme moralitas kebebasan akademis merupakan pemahaman terhadap etos budaya dan nilai-nilai yang lebih mendalam yang mengacu kepada perjuangan kebebasan individu dan gagasan inti kebesaran peradaban sebuah bangsa. Pencapaian kemajuan ilmu pengetahuan sangat ditentukan pada kebebasan seseorang dalam berekspresi, kebebaasan dalam berpendapat, kebebasan dalam berkarya dan kebebasan dalam berideologi.
Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.[25]
Namun kualitas dan kekuatan yang dimiliki manusia tetap dalam batas-batas kemanusiaan, tidak absolut seperti Tuhan. Bahkan, upaya melampaui keterbatasan itu justeru dianggap sebagai pemberontakan terhadap perintah Tuhan.[26] Kualitas dan kekuatan yang dimiliki manusia ini menjadi potensi dasar sekaligus sarana bagi kebebasan akademis dalam dunia Islam.
Keluasan wilayah akademis yang pernah dipraktekkan dalam tradisi intelektual muslim era lampau adalah sejauh kreatifitas berfikir para ilmuan serta selama tidak melanggar batasan keilmiahan, yakni logika ilmiah dan etis-praktis. Statement Ibn Jama’ah, seperti dikutib Hasan Asari dalam kitabnya Tazkirah al Sami’ wa al Mutakallim fi Adab al Alim wa al Muta’allim tentang etika akademis mengilustrasikan secara spesifik pentingnya etika bagi para ilmuan, karena status mereka sebagai pewaris Nabi. Jadi menurut Ibn Jama’ah, para ilmuanlah, berkat ilmu dan statusnya, yang paling berhak sekaligus paling dituntut untuk memelihara etika yang mulia.[27] Hal ini menunjukkan bahwa keterkaitan antara ilmu dan etika sangat erat. Bahkan menjadi suatu syarat mutlak bagi kesuksesan sebuah aktifitas keilmiahan. Biografi para ilmuan Islam merupakan saksi tidak saja terhadap bagaimana mereka menekankan pentingnya etika, tetapi juga bagaimana etika tersebut termanifestasi dalam segenap tingkah laku ilmiah mereka. Dan bagi para ilmuan klasik Islam, kegiatan ilmiah hanya akan bermakna bilamana dilakukan dengan memperhatikan dasar-dasar etika yang solid.[28]
Peranan konkrit kebebasan akademis bagi pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana diungkapkan dalam catatan sejarah Islam bahwa perjalanan kemajuan intelektual Islam selalu diawali dengan tingginya apresiasi yang diberikan terhadap doktrin Islam tentang kebebasan akademis yang ujungnya melahirkan keberanian intelektual untuk menghasilkan produk ilmiah ulama Islam klasik.
Sejarah menunjukkan kepada generasi selanjutnya, betapa kayanya peradaban Islam dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan, mulai dari yang secara sempit dapat digolongkan kepada disiplin-disiplin keagamaan, maupun yang berada di luarnya. Kita misalnya bisa mengambil contoh perkembangan ilmu kalam, fiqh, tasawuf, kedokteran, seni, astronomi, filsafat, dan lain-lain dalam Islam. Kesemuanya ini jelas merupakan bagian dari kebebasan akademis yang pernah dipraktekkan dalam dunia Islam. Secara longgar bisa dikatakan bahwa keseluruhan pemikiran yang berkembang dan produktifitas ilmiah era klasik merupakan hasil olah fikir dan budi daya umat Islam yang dilakukan dalam kerangka pengamalan ajaran-ajaran kedua sumber utama yakni al Qur’an dan hadist. Hal ini tak bisa dipungkiri, bahwa semangat intelektualisme yang dinamis dan kreatif dalam menghasilkan kualitas keilmuan merupakan partisipasi aktif dari kebebasan berfikir dan kebebasan berkarya yang ada pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmed Othman Al-twaijri, Kebebasan Akademis Menurut Konsep Islam dan Barat, terj. F. Rozi Dalimunthe dan Nur. A. Fadhil Lubis (Medan: Lembaga Ilmiah IAIN-SU, 1988)
- Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah (Bandung: Citapustaka Media, 2006)
- Abdullah Nashih ‘Ulwan, Kebebasan Berpendapat, terj. Ahmad Adnan (Jakarta: Studia Press, 1997)
- Suyadi, “Peserta Didik Zaman Keemasan Islam,” dalam Suwito dan Fauzan (ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005),
- Hasan Asari, Modernisasi Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2002),
- George Makdisi, “Magisterium And Academic Freedom in Classical Islam and Medieval Christianity,” dalam Nicholas Heer (ed.), Islamic Law and Jurisprudence (Seattle: University of Washington Press, 1990)
- Tarmizi Taher, “Pengantar.” Dalam Hery Sucipto, Cahaya Islam; Ilmuan Muslim Dunia Sejak Ibnu Sina Hingga B.J.Habibie (Jakarta: Grafindo, 2006)
- Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
______________________
[1]Ahmed Othman Al-twaijri, Kebebasan Akademis Menurut Konsep Islam dan Barat, terj. F. Rozi Dalimunthe dan Nur. A. Fadhil Lubis (Medan: Lembaga Ilmiah IAIN-SU, 1988), h. 21.
[2]Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah (Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 167.
[3]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 123.
[4]George Makdisi, “Freedom in Islamic Jurisprudence; Ijtihad, Taqlid and Academic Freedom“ dalam Religion, Law, and Learning in Classical Islam (Hampshire: Variorum, 1990), h. 80.
[5]Ibid., 81
[23]Asari, Menguak Sejarah, h. 173.
[24]Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 280.
[25]Al-twaijri, Kebebasan Akademis, h. 82.
[26]Ibid., h. 86.
[27]Asari, Menguak Sejarah, h. 85.
[28] Ibid., h. 86.