Sebenarnya gagasan umat Islam untuk mendirikan lembaga tinggi sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda. Organisasi-organisai Islam telah menerapkan pembaharuan pendidikan. Gagasan umat Islam untuk mendirikan perguruan tinggi berawal dari kenyataan yang ada di Indonesia bahwa umat Islam jauh tertinggal di bidang pendidikan. Sistem pendidikan di madrasah maupun pesantren lebih menekankan ilmu-ilmu agama tidak dapat dipertahankan untuk mengahadapi kemodrenan masyarakat maupun persaingan dengan sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1920-an berdiri lembaga pendidikan tinggi milik pemerintah Belanda, yaitu Sekolah Tinggi Teknik yang sekarang menjadi Institut Tegnologi Bandung (ITB), pada tahun 1924 berdiri Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, dan tahun 1927 berdiri Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Mahasiswa yang terdaftar di lembaga-lembaga yang didirikan oleh Belanda adalah berkebangsaan Indonesia,tetapi dari kalangan elit (priyai). Sedangkan bagi rakyat Indonesia dari kalangan rendah tidak memiliki kesempatan untuk belajar di lembaga itu.
Melihat keadaan ini, timbullah keinginan umat Islam untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam (PTI), sebuah pendidikan tinggi yang akan menampung kaum muslimin dari kalangan rendah. Tujuannya bukan saja ingin menampung calon-calon mahasiswa dari kalangan pribumi, melainkan juga menegaskan corak keislaman yang membedakannya dengan corak pendidikan kolonial Belanda yang hanya mementingkan pendidikan umum.
Sejak tahun 1930-an tepatnya pada tahun 1932, rencana untuk mendirikan PTI semakin gencar dibicarakan. Ki Halim dengan organisasi POI telah mendirikan Santi Ashrama di Majalengka. Pada tahun 1938, Dr Satiman Wirdjosandjojo melalui Majalah Pedoman Masyarakat Nomor 15 mencetuskan ide untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam sebagai tempat mendidik muballigh yang cakap dan berpengetahuan luas. ide ini disambut oleh majalah AID nomor 128 tahun 1938 yang memberitakan bahwa telah diadakan permusyawaratan antara tiga badan pendiri PTI di Jakarta, Surabaya, dan Solo. Rencana pendirian PTI ini akhirnya menjadi agenda pembicaraan dalam forum Kongres al-Islam II MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) pada tahun 1939 yang dihadiri oleh 25 organisasi Islam yang menjadi anggotanya. Dimasukkannya agenda pembicaraan tentang rencana mendirikan PTI berhasil mendapat dukungan dari organisasi-organi yang hadir, terbukti dengan didirikannya PTI di Solo dengan nama IMS (Islamische Medelbare School). Namun perguruan ini dapat hidup hanya hingga tahun 1941 dan bubar karena pecahnya Perang Dunia II. Di Padang, pada tahun 1940 didirikan juga PTI yang diperakarsai oleh Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Akan tetapi nasibnya sama dengan PTI di Solo, yakni bubar karena tidak diizinkan oleh Pemerintah Jepang.[1]
I. Pembahasan
A. Latar Belakang Lahirnya STI
Dalam perang dunia II, ternyata Jepang berhasil merebut Indonesia dari tangan Belanda pada tahun 1942. Sementara Indonesia terseret dalam kancah peperangan tersebut. Penguasa Jepang (Dai Nippon) dengan segera mengeluarkan larangan bagi kegiatan-kegiatan pergerakan nasional Indonesia. Bahkan banyak pemimpin Indonesia yang direkrut untuk membantu administrasi pemerintahan Jepang (pemerintahan Jepang di Indonesia), antara lain adalah KHA Kahar Muzakkir dan KH. Imam Zarkasyi. Gerakan perjuangan umat Islam Indonesia tak terlepas dari langkah Jepang untuk menutup gerakan kebangsaan. Partai-partai politik Islam dibubarkan kecuali MIAI. MIAI merupakan tempat bermusyawarah untuk kepentingan agama Islam dan dimaksudkan juga untuk tempat berkenalan, saling bertemu dan mejalin persahabatan agar dengan demikian dapat terwujud persatuan lahir dan batin di antara para alim ulama dan pemimpin Islam seluruh Indonesia.[2]
MIAI ini pun pada tahun 1943 diubah namanya menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia, berarti Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia).Masyumi yang merupakan penjelmaan baru dari MIAI itu merupakan federasi dari empat organisasi-organisasi Islam yang oleh Jepang diizinkan hidup terus (sebagai organisasi sosial dan dakwah),yakni : Nahdlatul Ulama (NU), didirikan di Surabaya, Muhammadiyah (didirikan di Yogyakarta), Persatuan Oemat Islam Indonesia (POI),didirikan di Majalengka, Persatuan Umat islam di Indonesia (PUII) didirikan di Sukabumi.[3]
Berbeda dengan MIAI yang mendapatkan tekanan dari pihak Jepang sehingga tuntutannya untuk mendirikan PTI gagal, Masyumi lebih beruntung memiliki “kedekatan” dengan penguasa Jepang yang pada tahun-tahun terakhir pendudukannya memberi peluang bagi federasi ini terlihat secara intens dalam organ-organ politik yang diciptakannya. Wajar bila keputusan untuk mendirikan STI tidak mendapat hambatan seperti yang dialami MIAI.[4]
Adanya larangan Jepang bagi kehidupan partai politik di Indonesia tidaklah menghilangkan cita-cita perjuangan umat Islam di Indonesia dalam bidang politik dan pendidikan. Dengan wadah Masyumi, meskipun menghadapi kerumitan dan tantangan berat, tokoh-tokoh umat Islam meneruskan perjuangan menurut kemampuan dan kemungkinan yang bisa dilakukan.[5]
Bagi umat Islam, pembentukan Masyumi membawa berkah yang besar. Pada tataran ini sebenarnya Islam memiliki posisi sedang naik daun yang pasti mempengaruhi perkembangan-perkembangan berikutnya sampai pada tingkat istimewa. Pada bulan April 1945, Masyumi segera menyelenggarakan pertemuan di Jakarta yang dihadiri oleh organisasi-organisasi Islam yang berfederasi (anggota Masyumi), kalangan intelektual dan ulama pemerintah. Nama-nama yang hadir mewakili unsur-unsur tersebut ikut mengambil keputusan lebih konkrit tentang rencana didirikannya STI.
1. PBNU : Abdul Wahab, Bisri Syansuri, Wahid Hasyim, Masykur, dan Zainal Arifin
2. PB Muhammadiyah : Ki Bagus Hadikusumo, Mas Mansur, Hasyim, farid ma’ruf, Mu’thi, M.Yunus Anis, dan Kertosudarmo
3. PB POI : A.Halim, dan H. Mansur
4. PB PUII : A. Sanusi dan Sumoatmojo
5. PB al-Islam : KH.Imam Ghazali
6. Shumubu : A. Kahar Muzakir, KH.A.Moh. Adnan, KH.Imam Zarkasi
7. Cendikiawan :Dr.Sukiman Wirdjosandojo, Dr.Satiman Wirdjosandojo, Wondoamiseno, Abukusno, Tjokrosujoso, Muh. Rum, dan lain-lain.
Melihat unsur-unsur yang hadir, forum musyawarah saat ini cukup refresentatif untuk melahirkan keputusan-keputusan yang bisa mencerminkan kehendak seluruh umat Islam Indonesia tanpa membeda-bedakan organisasi atau golongan.
Permusyawaratan tokoh-tokoh Islam yang disponsori oleh Masyumi bulan April tersebut betul-betul berhasil mengambil langkah maju untuk mewujudkan rencana mendirikan STI, yaitu dengan berhasilnya dibentuk panitia perencana STI di bawah pimpinan Moh.Hatta.
Dengan bantuan pemerintah Jepang, STI ini akhirnya dapat dibuka secara resmi pada tanggal 27 Rajab 1364 H, di saat peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw, bertepatan dengan 8 Juli 1945 di Jakarta. Upacara peresmiannya diselenggarakan di gedung Kantor Imigrasi Pusat Gondangdia Jakarta.
Pada mulanya, STI didirikan untuk melatih ulama-ulama yang berpendidikan baik yaitu orang yang telah mempelajari Islam secara meluas dan mendalam, dan telah memperoleh standar pengetahuan umum yang memadai seperti dituntut oleh masyarakat sekarang ini. Hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya STI yang pada dasarnya merupakan kebutuhan umat Islam Indonesia akan adanya Perguruan Tinggi yang memberikan pelajaran dan pendidikan tinggi tentang ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu agar menjadi peyiaran agama dan memberikan pengaruh Islam di Indonesia.
Menilik tujuan STI ini, jelas bahwa pemrakarsanya yang terdiri dari tokoh-tokoh reformis, politisi, ulama dan intelektual muslim berupaya mencari bentuk perpaduan pendidikan yang kelak diharapkan dapat melahirkan ulama yang pakar dalam dua bidang sekaligus mempelajari Islam secara luas dan mendalam dan memiliki kualifikasi ilmu-ilmu sekuler yang memadai.[6]
Keputusan Masyumi untuk mendirikan STI itu dilatar belakangi oleh beberapa hal :
1. Kemerdekaan Indonesia kelak pasti meminta pengisian intelektual Islam, calon-calon pemimpin yang sanggup memimpin dan mengurus negara menggantikan pemerintah kolonial penerus generasi yang akan datang.
2. Diperlukan satu perguruan tinggi yang dapat menghimpun keserasian antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, keseimbangan hidup duniawi dan ukhrawi.
3. Diperlukannya satu perguruan tinggi yang dimiliki oleh seluruh umat Islam yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam dan merupakan wadah persatuan seluruh umat Islam dalam usaha menanggulangi pengaruh kehidupan Barat yang dibawa oleh penjajah.
4. Pengaruh kebangkitan nasional dan kebangkitan dunia Islam pada umumnya yang melahirkan gerakan-gerakan melawan penjajah dengan memakai sistem modern yang dimulai dengan berdirinya Serikat Dagang Islam (1904), Muhammadiyah (1912), Jam’iyatul Washliyah (1930), Persatuan Oelama (1915), Musyawarah Thalibin (1932) dan lain-lain.
Ada beberapa hal yang juga dilakukan oleh panitia perencana untuk melangkah lebih maju dalam pendirian STI, yakni melengkapi peraturan dan perangkat yang meliputi :
1. Untuk keperluan biaya penyelenggaraannya telah diperoleh bantuan uang dari Departemen Agama Dai Nippon sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah).
2. Pelajaran-pelajaran yang akan diberikan di STI adalah meliputi ilmu-ilmu agama Islam dan kemasyarakatan yang mirip dengan rencana pelajaran pada fakultas yang Ushuluddin Universitas al-Azhar di Kairo.
3. Lamanya masa belajar di STI adalah 4 tahun yang dibagi ke dalam dua tingkatan, dua tahun memperoleh tingkat sarjana muda, ditambah dua tahun lagi memperoleh tingkat doktoral.
4. Untuk mendaftar dan menjadi mahasiswa dengan melalui test masuk adalah :
a. Tamatan AMS (Algemene Middelbare School), dan HBS (Hogere Burger School) 5 tahun.
b. Tamatan Madrasah Menengah Tinggi yang mempunyai pengetahuan umum setingkat dengan sekolah menengah umum.
5. Panitia ujian masuk bagi mahasiswa STI angkatan pertama dipimpin oleh KHA.Kahar Muzakir sebagai Rektor Magnificus. Waktu itu tercatat 78 orang yang mendaftar, namun yang dinyatakan lulus tes oleh panitia penguji hanya sebanyak 14 orang, yakni 11 orang dari sekolah Menengah Umum dan tiga dari sekolah Madrasah menengah. Sisanya (yang tidak lulus) sebanyak 64 orang yang diterima dan disalurkan (terlebuh dahulu) untuk masuk tingkat pendahuluan dari STI, yakni satu tingkat persiapan SLTA (setingkat dengan kelas terakhir SLTA) untuk dapat diterima menjadi mahasiswa.
Tingkat pendahuluan STI tersebut dibagi dua kelompok, yakni :
a. Kelompok A, ialah mereka berasal (dan berijazah) SLTA untuk diberi pelajaran agama dan bahasa Arab.
b. Kelompok B, ialah mereka yang berijazah Madrasah Menengah Tinggi untuk diberi pelajaran ilmu umum.[7]
Mengenai karir di masa depan para lulusan STI ini dapat menduduki jabatan :
1. Sebagai guru agama pada berbagai macam sekolah
2. Pejabat pada Peradilan Agama
3. Sebagai Pegawai Negeri dan Dinas Keagamaan[8]
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 yang berbarengan dengan itu tokoh-tokoh pendiri STI terlibat langsung pula dalam kancah perjuangan kemerdekaan RI. Besertaan dengan itu pula munculnya agresi Belanda ke Indonesia untuk kembali menjadikan Indonesia bagian dari negeri jajahan mereka, maka ibu kota Negeri RI dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan pindahnya Pemerintah RI ke Yogyakarta, maka STI pun ikut pindah.
Pada tanggal 10 April 1946 STI dibuka kembali di Yogyakarta dengan dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Dalam acara tersebut Moh. Hatta menyampaikan pidato yang berjudul “Sifat Sekolah Tinggi Islam”. Sedangkan KH. Hadjid menyampaikan pidato (kuliah umum) tentang Ilmu Tauhid.[9]
Demikian STI terus berjalan di Yogyakarta pada tahun 1946 dan tahun 1947 dengan agak kurang lancar karena waktu itu bangsa Indonesia sedang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan, apalagi hampir warga akademika STI ikut memanggul senjata melawan penjajah yang hendak kembali. Sekalipun ada gangguan sehingga perkuliahan tidak lancar, namun pada akhir tahun 1946/1947 masih sempat menyelenggarakan dua kali ujian untuk tingkat pendahuluan. Pihak pemerintah dalam keadaan seperti itu masih memberikan perhatian cukup baik bagi STI. Terbukti pada tahun 1947 Kementrian Agama RI memberikan bantuan uang sebesar Rp.60.000 (enam puluh ribu rupiah). Rencana pelajaran yang ada waktu itu sama seperti ketika di Jakarta.[10]
B. STI Diubah Menjadi UII
Pada bulan November 1947, STI dikembangkan menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) mengasuh empat fakultas yaitu agama, hukum, pendidikan dan ekonomi yang dibuka secara resmi pada tanggal 10 Maret 1948 bertepatan dengan 27 Rajab 1367 H. Perkembangan berikutnya adalah Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia dinegerikan menjadi Peguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN).[11]
Panitia perbaikan STI menjadi UII adalah KHR. Fatchurrahman Kafrawi, KH.Faried Ma’roef, KH. Malikus Suparto, Sulaiman, Mr. R. Sunandjo, Drs. A.Sigit, KHA. Kahar Muzakkir, Ustaz Sulaiman, Ustaz Husein Jahja, dan Kartosudarmo.
Untuk memulai secara resmi mengubah STI menjadi UII pada bulan Maret 1948 diadakanlah upacara pembukaan pendahuluan yakni pembukaan kelas pendahuluan di Yogyakarta. Setelah tingkat pendahuluan resmi dibuka maka berarti segala sesuatu yang diperlukan telah dipersiapkan untuk segera meresmikan perubahan STI menjadi UII. Acara penting yang disajikan pada upacara pembukaan UII adalah pembacaan Keputusan Dewan Pengurus tentang berdirinya UII, juga pidato oleh KHA. Kahar Muzakir, dan Dr. Mr. Kusumah Atmaja.
Dengan demikian UII berpusat pada Yogyakarta sekarang adalah UII yang merupakan kelanjutan dan pengganti dari STI yang dibuka pertama kali di Jakarta tanggal 27 Rajab 1361 H atau 8 Juli 1945.[12]
Dengan perubahan STI menjadi UII ini, tujuan yang semula dimaksudkan untuk memberikan pendidikan yang baik bagi para calon ulama, akhirnya bergeser titik beratnya pada fakultas-fakultas non-agama yang bersifat sekuler meskipun tetap berlandaskan agama dan semangat keagamaan. Perubahan orientasi ini bukan tanpa alasan. Kehadiran sebuah perguruan tinggi swasta non-Islam di yogyakarta yang didirikan pada bulan Maret 1948 dan berkembang menjadi Universitas Gajah mada (UGM) sejak tanggal 19 Desember 1949 memperoleh corak nasional. bukan tidak mungkin UGM ini menjadi saingan yang berat bagi UII.
Perubahan orientasi dalam UII ini berarti UII harus berkompetisi dengan universitas lain yang secara ideologis berbeda. UII bercorak keislaman, sedangkan UGM bercorak nasionalis. Pembukaan fakultas-fakultas sekuler merupakan suatu keharusan (kebutuhan) zaman spesialisasi ilmu menjadi tak terhindarkan. Ilmu-ilmu dalam Islam jelas tidak hanya menyangkut ilmu-ilmu agama tetapi termasuk ilmu-ilmu umum. UII jelas dengan penuh kesadaran melakukan perubahan-perubahan ini. Perubahan itu tidak keluar dari tujuan pengembangan ilmu yang hendak dicapai STI, yaitu memadukan ilmu agama dan ilmu umum dalam suatu universitas yang mencakup ilmu-ilmu Islam.
Sampai tahun 1950, UII merupakan satu-satunya perguruan tinggi yang dimiliki oleh umat Islam Indonesia dan cikal bakal lahirnya perguruan tinggi Islam di Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Dampak ikutan kehadiran UII ini secara kelembagaan mulai menggema pada tahun 1950-1960 yang ditandai dengan berdirinya PTIS (perguruan Tinggi Swasta) di berbagai kota.[13]
C. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
Kota Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan pusat Pemerintahan Republik Indonesia diberi penghargaan dengan menetapkan kota Yogyakarta sebagai kota universitas. Berkenaan dengan itu didirikanlah di Yogyakarta Universitas Gajah Mada yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Assat selaku Pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia. Sehubungan dengan itu pula kepada umat Islam diberikan pemerintah pula Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang dinegerikan dari Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1950. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No.K/I/14641 tahun 1951 (Agama) dan No. 28665/Kab.Tahun 1951 (Pendidikan tertanggal 1 September 1951). Tujuan PTAIN adalah untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Tujuan Praktis dari PTAIN adalah untuk memenuhi dan mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam.[14]
PTAIN mulai beroperasi secara praktis pada tahun 1951. Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah mahasiswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultasnya KH.Adnan. PTAIN ini mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah. Mata pelajarannya didampingi oleh mata pelajaran umum terutama yang berkenaan dengan jurusannya. Contohnya, Jurusan Tarbiyah memerlukan pengetahuan umum mengenai ilmu pendidikan, begitu juga pada jurusan lainnya, diberikan pula pengetahuan umum yang sesuai dengan jurusannya.[15]
Penegerian fakultas agama UII menjadi PTAIN, dianggap sebagai bentuk penghargaan negara atas Islam. Tujuan dibentuknya PTAIN adalah untuk mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang sangat diperlukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Tidak adanya lembaga pendidikan tinggi bidang ilmu agama di Indonesia mengakibatkan para lulusan madrasah dan pesantren selama kurun waktu yang lama melanjutkan studinya ke lembaga-lembaga pendidikan tinggi agama di Timur Tengah, Makkah maupun Kairo. PTAIN dalam sudut pandang ini diharapkan dapat menjadi pusat untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu tersebut. Mempertinggi taraf pendidikan dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan berarti mempertinggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan kerohanian (spiritualitas) maupun intelektualisme.
Ditinjau dari kerangka yang lebih luas dan dari sudut pandang kaum muslimin, pengambil-alihan fakultas agama UII oleh pemerintah (Kementrian Agama) yang kemudian menjadi PTAIN dapat dipandang positif karena dengan cara ini pemerintah dapat berbuat lebih banyak bagi kemajuan umat Islam dibandingkan dengan apa yang dapat dilakukan oleh universitas swasta.[16]
III. Kesimpulan
Sejak zaman penjajahan, Umat Islam Indonesia telah memiliki keinginan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam. Keinginan ini muncul karena umat Islam melihat bahwa umat Islam telah tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan. Pendidikan yang ada selama ini, dianggap lebih cenderung kepada pendidikan agama saja, tanpa adanya pendidikan umum tidak dapat untuk mengikuti perkembangan zaman yang semakin lama semakain maju. Sedangkan rakyat asing yang tinggal di Indonesia (Belanda) telah mendirikan perguruan tinggi yang lebih mementingkan pendidikan umum. Mahasiswa yang boleh belajar di perguruan tinggi yang didirikan Belanda sebagian bekebangsaan pribumi, hanya saja dari kalangan elit. Melihat hal ini, umat Islam merasa penting untuk mendirikan perguruan tinggi yang bertujuan mendidik kaum muslimin untuk menjadi seseorang yang ahli dibidang agama dan juga ahli di bidang ilmu pengetahuan.
Beranjak dari keinginan-keinginan tersebut, umat Islam secara serius membicarannya dan memasukkan pembicaraan tentang keinginan mendirikan PTI dalam musyawarah MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang dihadiri oleh organisasi-organisasi Islam. Dalam Musyawarah MIAI, ternyata ditanggap dengan serius dan akhirnya didirikanlah PTI di Surabaya, Jakarta dan Solo. Di padang juga didirikan Perguruan Tinggi, tetapi bubar karena pecahnya Perang Dunia II.
Pecahnya Perang Dunia II, yakni Jepang berhasil mengalahkan Belanda yang akhirnya Jepang yang berkuasa di Indonesia. Jepang tidak mengizinkan adanya MIAI, tetapi menggantinya dengan Masyumi (Majelis syuro Muslimin Indonesia) yang berdiri tahun 1943. Penggantian MIAI dengan Masyumi ini memberi arti bahwa Jepang tidak menyukai banyaknya organisasi-organisasi Islam di Indonesia yang dianggap sebagai penghambat Jepang dalam mewujudkan keinginannya menguasai Indonesia. Bagi umat Islam dibubarkannya MIAI dan digantikan dengan Masyumi tidaklah mengahambat keinginan mereka untuk mendirikan PTI. Beberapa organisasi yang diizinkan berdiri oleh Jepang bersatu untuk memajukan umat Islam. Para pejabat-pejabat yang bergabung dalam organisasi bermusyawara, dan menunjuk panitia untuk mendirikan STI (Sekolah Tinggi Islam). Setelah pembentukan panitia dan dengan bantuan Jepang, akhirnya STI dapat didirikan dan resmi dibuka pada tanggal 27 Rajab 1364 yang bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1945. Acara peresmiannya di Kantor Imigrasi Pusat, Gondangdia, Jakarta.
Setelah 40 hari STI dibuka, Belanda ingin kembali menjajah Indonesia yang menyebabkan peperangan. Melihat hal ini, rakyat Indonesia merasa tidak mungkin untuk melanjutkan perkuliahan lagi di Jakarta karena tidak aman. Akhirnya STI dipindahkan ke Yogyakarta yang resmi dibuka pada tanggal 10 April 1946 (27 Rajab 1365).
Kemudian untuk memperluas lagi pendidikan di tingkat perguruan tinggi, muncullah ide untuk merubah STI menjadi UII yang terdiri dari 4 fakultas yaitu agama, hukum, pendidikan dan ekonomi. Dengan dirubanya STI menjadi UII, diharapkan umat Islam mampu untuk menjadi seseorang yang memiliki pengetahuan yang luasntentang pendidikan agama dan juga memiliki pengetahuan yang luas tentang pendidikan umum. Pada tanggal 12 Agustus 1950 fakultas agama yang ada di UII dinegerikan oleh pemerintah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Dengan adanya lembaga pendidikan Agama di Indonesia, maka para alumni pesantren atau madrasah, tidak perlu lagi harus jauh ke Kairo untuk melanjutkan pendidikan yang sesuai dengan pendidikan mereka sebelumnya, tetapi di Indonesia pun mereka bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi Agama.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah LATAR BELAKANG LAHIRNYA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DI INDONESIA Oleh Anita, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |