Kata keadilan merupakan hal yang diinginkan oleh mayoritas manusia di dunia ini. Akan tetapi ternyata keadilan, yang dalam makalah ini merupakan keadilan yang dihasilkan melalui keputusan pengadilan. Beberapa kasus menunjukkan betapa ternyata banyak pihak-pihak yang berperkara menyatakan sangat tidak puas, dan merasa bahwa keputusan para hakim tidak adil, meskipun ternyata klaim-klaim seperti ini tidak hanya muncul dari satu faktor saja, akan tetapi ini merupakan hasil dari perpaduan beberapa faktor.
Peluang untuk munculnya keberpihakan hukum ini muncul dari beberapa hal baik, hal inilah yang akan kami coba uraikan pada makalah ini, dengan tidak mengesampingkan beberapa contoh yang akan bisa membantu untuk memahami kondisi dan peluang keberpihakan hukum tersebut.
Tentu saja dalam melihat bagaimana kondisi peradilan di Indonesia, khususnya peradilan agama, kita harus lebih memfokuskan analisa kita terhadap kondisi yang ada dan aktual. Dengan begitu, akan bisa didapatkan faktor-faktor apa saja yang memberikan peluang untuk munculnya keberpihakan dalam hukum. Kapan dan bagaimana munculnya keberpihakan hukum tersebut, kepada siapakah hukum ini berpihak, dan lain sebagainya adalah hal yang akan kami coba uraikan dalam makalah ini.
B. Sejarah Indenpendensi Hukum dan Peradilan.
Peradilan yang merupakan institusi untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang sesuai dengan hak dan kewajiban, yang tidak berat sebelah, tidak memihak,[1] sejak dahulu telah diupayakan untuk bisa berperan dan menjalankan tugasnya tanpa intervensi dan campur tangan orang yang tidak berhak ikut campur di dalamnya menurut undang-undang.[2]
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 dan 25, tentang kekuasaan kehakiman, dapat difahami bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubungan dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.[3]
Pada perjalanan sejarah kemerdekaan peradilan dan kehakiman kemudian mencatat penetapan UU no. 19 Tahun 1964, pasal 19. Secara implisit undang-undang ini menghendaki adanya ketergantungan hukum kepada kekuasaan pemerintah.
“Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan rakyat yang mendesak, presiden dapat turun tangan atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan”.( UU no. 19 Tahun 1964, pasal 19).
Meskipun ketetapan ini memang dibuat pada zaman revolusi, akan tetapi ternyata undang-undang ini bepengaruh signifikan pada masa selanjutnya. Pada tahun 1956, suatu ketetapan yang sangat merugikan kebebasan dan kemerdekaan peradilan kehakiman dan peradilan kembali disuarakan asas bahwa hakim adalah tak berfihak, merdeka dari instansi manapun tidak dapat dipertahankan lebih lama dan telah dikubur.
Pada masa munculnya orde baru pada tahun 1966, kebebasan hukum dan peradilan kembali ramai didiskusikan. Dimunculkanlah opini penting bahwa kebebasan hukum adalah ciri penting dan khas bagi negara hukum.[4]
Tidak lama kemudian, dibentuklah sebuah tim peninjau kembali undang-undang tentang peradilan. Tim ini kemudian menghasilkan tiga rancangan undang-undang, yang dua diantaranya mengenai pokok-pokok kekuasaan kehakiman dan susunan kekuasaan dan hukum acara MA.
Setelahnya kemudian, disetujui kembali bahwa segala campur tangan dalam urusan pengadilan diluar kekuasaan hakim adalah dilarang kecuali yang tersebut dalam undang-undang. Dalam merespon ketetapan ini, pada tanggal 17 Agustus 1968, dalam pidato kenegaraannya, presiden menyerukan hukum yang bebas dari kekuasaan pemerintah.[5]
Mekipun begitu, tentu saja apa yang diharapkan sering jauh dari apa yang terjadi. Sejarah mencatat bagaimana kekuasaan kehakiman di Indonesia ternyata disetir oleh para penguasa, hingga beberapa saat sebelum sekarang. Bahkan reformasi yang digalakkan di Indonesia belumlah secara sempurna bisa menghapuskan keberpihakan hukum.[6]
Peradilan Yang Bebas
Secara sederhana yang dimaksud dengan peradilan yang bebas itu adalah peradilan yang terpisah dan tidak terpengaruh oleh kekuatan lain di luar lingkungan peradilan. Dengan adanya ajaran trias politika, yakni pembagian kekuasaan kepada eksekutif, legislatif, dan yudikatif, diharapkan peradilan dapat memainkan perannya dengan sempurna tanpa ada campur tangan pemerintah dan badan legislatif.
C. Kondisi Hukum Dan Peradilan di Indonesia.
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.
Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negri maupun luar negri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.
Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Di tahun 2005, kita dapat mengatakan semua institusi penegak hukum dalam proses pidana mendapat sorotan yang tajam. Dari kepolisian kita akan mendengar banyaknya kasus penganiayaan dan pemerasan terhadap seorang tersangka yang dilakukan oknum polisi pada saat proses penyidikan. Terakhir perihal pemerasaan terhadap seorang tersangka tersebut telah meyeret beberapa perwira tinggi di kepolisian.
Institusi kejaksaan juga tidak luput dari cercaan, dengan tidak bisa membuktikannya kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan terakhir muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima. Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan dengan tidak profesional dan bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu.
Akhirnya proses pidana sampai di tangan hakim (pengadilan) untuk diputus apakah terdakwa bersalah atau tidak. Hakim sebagai orang yang dianggap sebagai ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput juga dari cercaan masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh masyarakat telah menyebabkan adanya berbagai aksi yang merujuk pada kekecewaan pada hukum.
Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan merebaknya isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang pengayoman tersebut. Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat menyeret nama pimpinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan. Meskipun kebenarannya sampai saat ini belum terbukti, namun kasus ini menunjukkan bahwa pengadilan masuk sebagai lembaga yang tidak dipercaya oleh masyarakat. Jika kita sudah tidak percaya lagi pada pengadilan, pada institusi mana lagi kita akan meminta keadilan di negri ini?
Mafia peradilan ternyata tidak hanya menyeret nama hakim semata, tetapi justru sudah merebak sampai pegawai-pegawainya. Panitera pengadilan yang tugasnya tidak memutus perkara ternyata juga tidak luput dari jerat mafia suap. Bahkan kasus suap ini telah menyeret beberapa nama sampai ke pengadilan. Ironisnya mafia ini juga sampai ke tangan para petugas parkir atau petugas lain yang aa pada institusi pengadilan. Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita lihat sampai akhir tahun ini, terkait dengan mafia peradilan. Pengacara (advokat) sebagai salah satu komponen yang seharusnya ikut menegakkan hukum ternyata juga ikut andil dalam mafia peradilan yang semakin membuat bopeng wajah hukum Indonesia. Pengacara sebagai profesi yang biasa dikatakan sebagai profesi independen juga telah menyeret mantan hakim untuk masuk dalam mafia peradilan.
Uraian di atas menunjukkan betapa memprihatinkannya hukum di Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru setelah berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana.
Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat di tahun 2005 ini, dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse of the law).[7]
Sejumlah masalah yang layak dicatat berkenaan dengan bidang hukum antara lain:[8]
1. Sistem peradilan yang dipandang kurang independen dan imparsial
2. Belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial
3. Inkonsistensi dalam penegakan hukum
4. Masih adanya intervensi terhadap hukum.
5. Lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat
6. Rendahnya kontrol secara komprehensif terhadap penegakan hukum.
7. Belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum.
8. Proses pembentukan hukum yang lebih merupakan power game yang mengacu pada kepentingan the powerfull daripada sebuah kebutuhan.
Selain lembaga-lembaga yang telahh disebut di atas masih ada lembaga lain yang terkait dengan penegakan hokum di Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan. Keberadaan MK yang didasarkan pada UU 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu control atas peran DPR yag berperan sebagai lembaga legislative. Mekanisme control ini diwujudkan dengan kewenangannya untuk melakukan uji materil atas Undang-Undang yang dibuat oleh DPR. Seperti telah disebut di atas bahwa ada kalanya pembuatan Undang-Undang yang ada di Indonesia tidak dilakukan dalam rangka mewujudkan keadilan, sehingga perlu adanya suatu kontrol untuk menilai apakah Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Selama hampir dua tahun menjalankan tugasnya kiranya MK telah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai garda penjaga konstitusi. Sebagai penafsir konstitusi yang tertinggi, apa pun yang diputuskan oleh MK memang harus diikuti, terlepas dari perdebatan yang ada di MK dalam menilai suatu perkara. Dalam tugas lain juga saya menilai MK dapat berperan dengan baik, ini karena tugas MK yang senantiasa terkait dengan penafsiran terhadap UUD 1945 dan selama ini senantiasa berpegang teguh pada pendiriannya tanpa terpengaruh oleh pihak lain.
Hal yang perlu diperbaiki dalam kaitannya dengan MK adalah terkait dengan hukum acara MK. Yang belum jelas. Artinya perlu diabuatkan suatu UU yang mengatur tata cara berperkara di MK, mengingat selama ini pengaturannya masih menggunakan pedoman dari MK.
D. Peluang Munculnya Keberpihakan Hukum.
Di tengah-tengah berbagai pemberantas kejahatan, berbagai pihak mengeluhkan penegakan hukum di Indonesia. Berbagai media massa memberitakan aparat penegak hukum yang terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap. Mafia peradilan marak dituduhkan. Hukum seolah dapat dimainkan, diplintir, bahkan hanya berpihak pada mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.
Tidak terlalu berlebihan bila berbagai kalangan menilai penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat. Masyarakat menjadi apatis, mencemooh dan dalam keadaan tertentu kerap melakuan proses pengadilan jalanan. Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan, “mengapa hukum sulit ditegakkan?” Bahkan lebih sarkastis masyarakat bertanya “apakah hukum di Indonesia sudah mati?”.
Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan hukum sebagai tidak ada dan seolah mereka berada dalam hutan rimba. Sebaliknya, bila penegakan hukum oleh aparat kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk.
Dalam melihat peluang untuk munculnya keberpihakan hukum, kita bisa menganalisa beberapa faktor terkait, seperti politik hukum, sistem hukum, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya.
I. Politik Hukum.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa politik hukum Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keadilan berdasarkan kemakmuran, ketertiban dan kepastian hukum.[9] Politik hukum juga akan memberikan ruang dan peluang untuk mengarahkan kepada siapakah hukum akan berpihak.[10]
Tiga fungsi hukum, social enginering, alat justifikasi dan social control[11] tampaknya perlu juga mendapatkan perhatian. Bagaimanapun juga, keinginan para pembuat hukum untuk mengarahkan masyarakat kepada suatu kondisi dengan hukum mungkin akan ternodai dengan kepentingan pribadi atau kelompok.
II. Sistem Pembuatan Undang-Undang.
Idealnya pembuatan hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai yang disepakati oleh rakyat.[12] Akan tetapi ketika hak untuk membuat dan menetapkan hukum ini ada ditangan para wakil rakyat, maka hukumpun bisa jadi tidak mencerminkan nilai-nilai yang disepakati oleh rakyat, akan tetapi seperti pada faktanya di Indonesia, hukum merupakan kesepakatan pembuat hukum yang berlabel wakil rakyat, meskipun pada sebagian oknum, fungsinya bukan sebagai wakil rakyat.
Dengan begitu, peluang untuk munculnya keberpihakan hukumpun muncul dalam proses ini. Kepentingan-kepentingan individual ataupun kelompok pembuat hukum bisa jadi memunculkan hukum yang pandang “bulu”.
Dalam pemilihan nilai-nilai ini, akan sering terjadi konflik antara pembuat hukum. Dalam hal ini, menurut Chambliss, ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam pembuatan hukum:
1. Pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, dimana negara merupakan senjata ditangan lapisan yang berkuasa.
2. Sekalipun terdapat pertentangan nilai, mungkin saja mereka yang berpartisipasi dalam hal ini bisa tetap dipandang sebagai seorang yang netral.[13]
Bila dalam proses pembuatan hukum ini muncul peluang keberpihakan hukum, maka mereka yang ingin menyelewengkan hukum bisa mendekati dan mempengaruhi tim pembuat hukum agar hukum yang ditetapkan nantinya sesuai dengan kepentingannya.
Selain itu juga ternyata pada faktanya, suatu penetapan hukum belakangan bisa menjadi peluang untuk munculnya keberpihakan hukum. Bila seseorang diputus menjalani hukuman penjara selama 20 tahun, akan tetapi beberapa tahun setelah keputusan itu ditetapkan, diaturlah undang-undang yang menetapkan bahwa terpidana penjara akan mendapatkan keringanan hukum bila berlaku baik. Apakah undang-undang ini tidak dibuat untuk kepentingan seseorang saja?[14]
III. Sistem Peradilan.
Dalam hal ini, kami lebih cenderung untuk mengangkat sistem peradilan pidana, karena dalam peradilan inilah keberpihakan hukum lebih banyak disorot.
Peradilan adalah tiang teras dan landasan negara hukum. Sistem peradilan pidana merupakan sistem penanggulangan kejahatan, yang berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya terbaca dengan jelas bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.
Pada umumnya, penerapan kebijakan/kewenangan penjatuhan pidana (yang pada hakikatnya juga berarti penerapan kebijakan/kewenangan penegakan hukum pidana) sesuai sumber bacaan: "Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana", dilakukan melalui empat tahap/proses sebagai berikut: (1)penerapan kebijakan/kewenangan penyidikan; (2)penerapan kebijakan/kewenangan penuntutan ;(3)penerapan kebijakan/kewenangan pemidanaan; dan (4) penerapan kebijakan/kewenangan pelaksanaan/eksekusi pidana.
Keempat tahap/proses ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana itu pun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.
Kenyataannya, peradilan pidana sebagai suatu sistem, terdapat juga empat komponen yang telah diketahui umum bekerja sama satu sama lain, yaitu kepolisian-kejaksaan-pengadilan dan lembaga) pemasyarakatan. Keempat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu "integrated criminal justice administration".
Sistem penunjukan hakim atau majlis hakim oleh ketua pengadilan di setiap tingkat pengadilan juga merupakan salah satu peluang untuk munculnya keberpihakan hukum.[15] Hak absolut untuk menunjuk hakim atau majlis hakim yang akan mengadili sebuah perkara ada di tangan ketua pengadilan, maka dengan begitu, mereka yang ingin melakukan penyimpangan-penyimpangan prilaku peradilan bisa memanfaatkan momen ini. Bila polisi dan jaksa tidak mau bersikap koperatif terhadap tindak pidana yang akan diajukan ke meja hijau, maka peluang yang muncul untuk melakukan tindakan-tindakan yang merugikan peradilan, seperti menyogok, bisa meminta ketua pengadilan bagaimnapaun caranya agar menunjuk hakim yang kemungkinan berpihak kepadanya.
Bila hak absolut penunjukan hakim ada di tangan ketua pengadilan, maka begitu juga dengan penunjukan jaksa penuntut umum yang ada di tangan ketua kejaksaan di setiap tingkatnya. Peluang keberpihakan hukumpun akan muncul di sini.
IV. Aparat Penegak Hukum.
1. Polisi.
Peluang untuk munculnya keberpihakan hukum kemungkinan besar pertama-kalinya muncul ketika sebuah perkara ada ditangan polisi. Ada banyak contoh dan fakta yang sering kita dengar dimana aduan masyarakat yang tidak mempunyai uang tidak mendapat perhatian serius.
Selain itu, instansi polisi, yang dalam kehidupan sehari-seharinya tentu saja berinteraksi dengan masyarakat luas. Interaksi ini sedikit banyaknya akan berpengaruh kepada kekuatan polisi untuk menegakkan keadilan yang tidak berpihak.
Beberapa kelas masyarakat yang terpandang akan mencoba untuk memberikan pengaruhnya kepada polisi untuk memuluskan kepentingan-kepentingan individu, kelompok ataupun masyarakatnya.
2. Jaksa.
Kejaksaan ini merupakan instansi yang lebih ditakuti oleh tersangka. Kedua instansi ini, baik polisi dan kejaksaan adalah dua lembaga yang sangat urgen dalam memakaikan hukum kepada pelanggar.
Dalam proses pra-peradilan suatu perkara, kejaksaan sebagai penuntut dalam peradilan sangat rentan sekali menjadi ruang untuk munculnya keberpihakan. Sering terjadi penyuapan kejaksaan agar perkara tidak dilayangkan ke pengadilan, atau agar tuntutan yang diberikan jauh dibawah tuntuan layaknya. Cara ini bisa dengan menyatakan kasus tidak cukup bukti, atau pengalihan kasus kepada pasal yang lebih ringan dan sebagainya.
3. Advokat.
Lembaga ke-advokatan ini tidak lagi bernaung dibawah instansi pemerintahan. Akan tetapi dengan begitu, ternyata peluang untuk munculnya keberpihakan semakin besar. Peran para penasehat ataupun kuasa hukum dalam peradilan sangatlah signifikan. Sebuah alur kasus bisa dimodifikasi untuk membentuk keyakinan para hakim dalam memutuskan perkara.
Honor para pengacara yang terkenal dan lihai sungguh jauh diatas honor apra jaksa bahkan hakim sekalipun. Dengan begitu sumber daya manusia hukum akan lebih condong kepada advokat daripada ke kejaksaan ataupun sekalipun menjadi hukum.
Sering terjadi kesalah-pahaman dalam peran pengacara dalam peradilan. Apakah bisa dikatakan para pengacara memutarbalikkan fakta? Meskipun kemungkinan itu bisa terjadi, akan tetapi peran pengacara itu adalah mendudukkan porsi hukum pada tempatnya. Apabila klien tidak mengaku bersalah, maka pengacara akan berjuang untuk membela, apabila tuntutan yang diberikan berlebihan, maka pengacara akan berusaha untuk mendudukan tuntutan pada tempatnya. Singkatnya pengacara dan jaksa merupakan lembaga pembantu hakim untuk menemukan kebenaran dalam peradilan.
4. Hakim.
Bagaimanapun usaha aparat penegak hukum yang lain, tetap saja keputusan akhir ada ditangan hakim. Dalam hal ini ternyata para hakim juga sering terbukti mendapat uang suap dari para pihak yang berperkara.[16]
Pendidikan dan pengalaman hakim dalam membentuk kemampuannya untuk melahirkan keputusan-keputusan yang benar sangat perlu mendapat perhatian besar. Hakim tentu saja harus bisa tetap berinteraksi dengan masyarakat umum dalam lingkungan sosialnya, sementara itu ia juga harus bisa menjaga agar interaksi itu tidak berdampak negatif terhadap keputusan yang akan ia ambil nantinya.
5. Lembaga Pemasyarakatan dan Eksekutor.
Setelah pengadilan mencapai keputusan dan keketetapan berkekuatan hukum, maka yang berperan kemudian adalah eksekutor dalam hal ini bisa jadi lembaga pemasyarakatan dalam kasus pidana ataupun ekskutor baik juru sita dalam perkara perdata.
Peluang untuk munculnya keberpihakan hukum juga muncul di sini. Kita mungkin telah banyak mendengar bahwa para terpidan korupsi, atau yag lainnya yang mempunyai banyak uang ataupun kekuasaan tetap bisa hidup “enak” di penjara. Uang sogokan kepada para sipir memang sangat berpengaruh dalam mengadakan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan di penjara.
Penjara sudah tidak menjadi alternatif yang efektif untuk membuat para pelaku kejahatan pidana untuk jera. Dalam kasus-kasus pidana umum, seperti pencurian, di berita kita sering melihat bahwa kebanyakan mereka yang tertangkap adalah para residivis.
Sementara, memang dalam kasus penyitaan, tidak terdengar keberpihakan sebanyak keberpihakan hukum di penjara, mekipun tentu saja ada peluang dan peristiwa keberpihakan hukum di sini.
V. Pers, Lembaga Sosial dan Masyarakat.
Mereka inilah yang diharapkan akan bisa menjadi pengawas dan pengontrol adanya keberpihakan umum dalam teori maupun praktek. Pers dengan segala medianya mampu memakasakan sebuah opini baik benar atau tidak kepada masyarakat. Dengan penyiaran pers pengontrolan keberpihakan hukumpun dapat diharapkan.[17]
Akan tetapi pengontrolan ini tentu saja tidak semata-mata berada di tangan pers saja, mahasiswa, masyarakat dan lembaga-lembaga sosial lainnyapun bisa berperan sama.[18] Demonstrasi penuntutan untuk mengadili sebuah kasus atau seorang terdakwa yang digelar merupakan paksaan moral bagi instansi yang terkait. Akan tetapi meskipun begitu, ini hanyalah sebuah paksaan moral saja, tidak ada sanksi bila ternyata instansi terkait tidak mendengarkan apa yang dipaksakan oleh mereka.
E. Problem Dalam Menegakkan Hukum Tanpa Keberpihakan.
Ada beberapa problem yang akan dihadapi oleh masyarakat dalam mewujudkan hukum tanpa keberpihakan. Beberapa diantara problem tersebut kami uraikan sebagai berikut:
Pertama, sulitnya penegakan hukum berawal sejak peraturan perundang-undangan dibuat. Paling tidak ada dua alasan untuk mendukung pernyataan ini. Pertama, pembuat peraturan perundang-undangan tidak memberi perhatian yang cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dijalankan atau tidak. Di tingkat nasional, misalnya, UU dibuat tanpa memperhatikan adanya jurang untuk melaksanakan UU antara satu daerah dengan daerah lain. Konsekuensinya UU demikian tidak dapat ditegakkan di kebanyakan daerah di Indonesia bahkan menjadi UU mati. [19]
Kedua, peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis. Ini terjadi terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang merupakan pesanan dan dianggap sebagai komoditas. Peraturan perundang-undangan yang menjadi komoditas, biasanya kurang memperhatikan isu penegakan hukum, sepanjang trade off telah didapat.
Selanjutnya, problem muncul karena masyarakat Indonesia terutama yang berada di kota-kota besar merupakan masyarakat pencari kemenangan, bukan pencari keadilan. Sebagai pencari kemenangan, tidak heran bila semua upaya akan dilakukan, baik yang sah maupun yang tidak.
Tipologi masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi penegakan hukum, terutama bila aparat penegak hukum kurang berintegritas dan rentan disuap. Masyarakat pencari kemenangan akan memanfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman.[20]
Problem selanjutnya sebagai penyebab keberpihakan hukum adalah pengaruh uang. Di setiap lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat penegak hukum, sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktek korupsi atau suap. Uang dapat berpengaruh pada saat polisi melakukan penyidikan perkara. Dengan uang, pasal sebagai dasar sangkaan dapat diubah-ubah sesuai jumlah uang yang ditawarkan. Pada tingkat penuntutan, uang bisa berpengaruh terhadap diteruskan tidaknya penuntutan. Apabila penuntutan diteruskan, uang dapat berpengaruh pada seberapa berat tuntutan.
Di institusi peradilan, uang berpengaruh pada putusan yang akan diterbitkan oleh hakim. Uang dapat melepaskan atau membebaskan seorang terdakwa. Bila terdakwa dinyatakan bersalah, dengan uang, hukuman bisa diatur agar serendah dan seringan mungkin. Bahkan di lembaga pemasyarakatan uang juga berpengaruh karena yang memiliki uang akan mendapat perlakuan yang lebih baik dan manusiawi.
Problem berikut adalah penegakan hukum telah menjadi komoditas politik. Pada masa pemerintahan Soeharto penegakan hukum sebagai komoditas politik sangat merajalela. Penegakan hukum bisa diatur karena kekuasaan menghendaki. Aparat penegak hukum didikte oleh kekuasaan, bahkan diintervensi dalam menegakkan hukum.
Penegakan hukum akan dilakukan secara tegas karena penguasa memerlukan alasan sah untuk melawan kekuatan pro-demokrasi atau pihak-pihak yang membela kepentingan rakyat. Tetapi penegakan hukum akan dibuat lemah oleh kekuasaan bila pemerintah atau elit-elit politik yang menjadi pesakitan.
Problem lain adalah penegakan hukum dilakukan secara diskriminatif. Tersangka koruptor dan tersangka pencuri sandal akan mendapat perlakuan dan sanksi yang berbeda. Tersangka yang mempunyai status sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakat akan diperlakukan secara istimewa.
Penegakan hukum seolah hanya berpihak pada si kaya tetapi tidak pada si miskin. Bahkan hukum berpihak pada mereka yang memiliki jabatan dan koneksi dari para pejabat hukum atau akses terhadap keadilan. Ini semua karena mentalitas aparat penegak hukum yang lebih melihat kedudukan seseorang di masyarakat daripada apa yang diperbuat.
Problem lain terkait dengan sumber daya manusia. Di awal kemerdekaan, institusi hukum diisi oleh sumber daya manusia yang terbaik kala itu. Tidak sedikit dari hakim ataupun jaksa menjadi guru besar di berbagai fakultas hukum universitas ternama. Profesi hakim dan jaksa sangat dihormati.
Penghasilan profesi hakim dan jaksa ketika itu sangat baik bila dibandingkan dengan advokat. Namun pada tahun 1970-an, dunia keadvokatan mengalami perubahan yang sangat mendasar. Kompensasi yang didapat sebagai advokat jauh melebihi hakim dan jaksa.
Akibatnya, para lulusan terbaik dari universitas ternama cenderung ingin menjadi advokat dan menjauhkan diri dari profesi hakim dan jaksa. Ini berarti banyak sumber daya manusia yang baik dan memiliki integritas lebih memilih bekerja di sektor swasta, sementara yang biasa-biasa dari segi kemampuan dan integritas akan memasuki sektor publik.
Bila sektor publik gagal menarik para individu yang memiliki ilmu dan integritas maka penegakan hukum akan terus lemah dan akan terus terlanggengkan peranan uang dalam penegakan hukum.
Dunia advokat pun tidak terbebas dari masalah penegakan hukum. Dalam dunia advokat dapat dibedakan antara advokat yang tahu hukum dan advokat yang tahu hakim, jaksa, polisi, pendeknya advokat yang tahu koneksi.
Mengingat tipologi masyarakat di Indonesia sebagai pencari kemenangan maka bila berhadapan dengan hukum mereka lebih suka dengan advokat yang tahu koneksi daripada advokat yang tahu hukum. Mafia peradilan pun terpicu untuk terjadi.
Problem lain dari lemahnya penegakan hukum adalah penganggaran bagi infrastruktur hukum oleh negara tidak dialokasikan secara memadai. Insitusi pengadilan yang seharusnya menunjukkan kewibawaan melalui bangunannya masih banyak yang memprihatinkan, bahkan dalam ukuran yang tidak sebanding dengan ke-angkeran-nya.
Problem berikutnya adalah, disadari ataupun tidak, penegakan hukum di Indonesia telah memasuki situasi yang dipicu oleh pers. Tentu ini positif, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah dampak sesaatnya. Timbul tenggelamnya penegakan hukum terhadap suatu kasus seolah bergantung pada media massa. Tidak dapat dihindari kesan bahwa penegakan hukum sebatas apa yang diselerakan oleh media massa. Adalah bukan suatu harapan bila penegakan hukum sekedar dikendalikan oleh pers .[21]
F. Reformasi Hukum: Menuju Hukum dan Peradilan Tanpa Keberpihakan.
Dari semua uraian diatas, akhirnya kami menyimpulkan bahwa dunia hukum Indonesia membutuhkan reformasi hukum, atau meluruskan dan menjalankan reformasi yang telah digagas sebelumnya. Ada beberapa konsep dan gagasan reformasi hukum dalam menuju hukum tanpa keberpihakan. Gagasan dan konsep ini kami simpulkan dari berbagai sumber.
Pada dasrarnya, hukum memiliki tujuan untuk mewujudkan tertib masyarakat yang damai dan adil. Jika ketertiban umum harus merupakan ketertiban hukum, maka ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan tertib yang adil, sesuai pengertian keadilan sebagai substansi dari tertib hukum dan ketertiban hukum, sehingga fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk menegakkan keadilan. Adil tidak adilnya hukum ditentukan oleh sikap yang diambil terhadap hubungan antara hukum dan keadilan. Pelaksanaan hukum dan penerapan hukum yang adil mengandung arti yang sama bagi setiap orang dan yang berjalan sesuai dengan peraturan dan asas-asas hukum, ini tergantung pada struktur sosial yang adil, yaitu masyarakat yang ciri khasnya tidak terdapat perbedaan kekuasaan yang besar dan yang tidak diatur oleh hukum, dalam aneka ragam bentuk dan variasinya.
Kita mungkin menghendaki adanya suatu penegakan hukum di Indonesia yang betul-betul berpihak kepada rakyat kecil. Namun, ternyata kita mengetahui bahwa penerapan hukum di mana pun di dunia ini selalu tidak berpihak pada rakyat kecil yang miskin, "Laws grind the poor, and rich men rule the law" - Hukum melindas yang miskin, sementara yang kaya mengatur hukum-dan "Laws like spider's web; if some poor weak creature come up against them, it is caught; but a bigger one can breakthrough and get away" - Hukum seperti sarang laba-laba; bila yang miskin dan lemah datang melawan, maka akan terjaring; tetapi yang besar dapat menerobos dan lolos. Bahkan di Indonesia telah lama terdengar plesetan KUHP sebagai "Kasih Uang Habis Perkara".
Yusuf Leonard Henuk, dalam artikelnya, mengemukakan cara untuk mewujudkan hukum yang adil tanpa keberpihakan bahwa kapan saja bila ketiga komponen peradilan pidana di Indonesia (kepolisian, kejaksanaan, pengadilan) melaksanakannya secara jujur dan terbuka (trial and fair) maka penegakan hukum yang benar dan adil yang bertitik tolak dari postulat peradilan, kemasyarakatan, kepatutan akan tercapai.[22]
Hanya penegakan hukum yang mengandung nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan dan kepatutan yang dapat mencapai kebenaran (truth) dan keadilan (justice). Penegakan hukum bukan semata-mata menegakkan peraturan perundang-undangan dan hukum saja, tetapi harus ditujukan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice), alasannya adalah sesuatu yang wetmatig (legal) belum tentu rechvaardig (justice); sesuatu yang rechmatig (lawful) belum tentu rechvaardig (justice). Akan tetapi sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan dan kepatutan, pasti mengandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan
Konsep Reformasi Hukum
Setelah melihat kondisi hukum yang terpuruk tersebut maka tidak ada kata lain selain terus mengedepankan reformasi hukum yang telah digagas oleh bangsa ini. Kegiatan reformasi Hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Beberapa konsep yang perlu diwujudkan antara lain:[23]
1. Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara
2. Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
3. Aparatur penegak hukum yang profesional.
4. Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan
5. Pemajuan dan perlindungan HAM.
6. Partisipasi publik.
7. Mekanisme kontrol yang efektif.
Pada dasarnya reformasi hukum harus menyentuh tiga komponen hukum yang meliputi:[24]
1. Struktur Hukum
Struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat hukum, dan proses serta kinerja mereka.
2. Substansi Hukum.
Substansi hukum merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untukmenciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.
3. Budaya Hukum.
Budaya hukum ini terkait dengan profesionalisme para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, dan tentunya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum itu sendiri.
Kiranya dalam rangka melakukan reformasi hukum tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:[25]
1. Penataan kembali struktur dan lembaga-lembaga hukum yang ada termasuk sumber daya manusianya yang berkualitas.
2. Perumusan kembali hukum yang berkeadilan.
3. Peningkatan penegakkan hukum dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum.
4. Pengikutsertaan rakyat dalam penegakkan hukum.
5. Pendidikan publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap hukum.
6. Penerapan konsep Good Governance.
Banyak solusi yang dilontarkan oleh berbagai pihak. Sebagian telah diakomodasi sebagai kebijakan oleh pemerintah. Hanya saja solusi yang diberikan terkadang tidak komprehensif, hanya memadai untuk sesaat, tidak terlalu memperhatikan konsekuensi ikutan, sekedar untuk memenuhi suatu kebutuhan, bahkan diadopsi agar pemerintah mendapat dukungan publik.
Ada beberapa fundamen yang harus diperhatikan menurut beberapa tokoh hukum, dalam mewujudkan hukum yang mempunyai keadilan. Solusi dibawah ini adalah solusi yang lebih konkrit yang ditawarkan oleh dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.[26]
Fundamen terpenting dan utama adalah para pengambil kebijakan harus dalam posisi dapat menerima berbagai problem penegakan hukum. Pengambil kebijakan tidak seharusnya dalam posisi menyangkal berbagai problem yang ada karena penyangkalan sama saja menjadikan apapun solusi menjadi tidak relevan.
Fundamen kedua bagi solusi adalah pembenahan memerlukan kesabaran yang tinggi karena harus disadari bahwa tidak ada quick solution atau solusi instan. Sayangnya pengambil kebijakan ataupun pakar hukum kerap menyederhanakan jalan keluar. Penyederhanaan solusi dilakukan dengan cara membuat peraturan perundang-undangan dengan substansi ‘anti’ dari masalah yang dihadapi. Dalam kenyataannya, solusi demikian tidak memberikan hasil, justru menjurus pada pengambilan kebijakan yang tidak dibenarkan menurut hukum dan ilmu pengetahuan hukum.
Fundamen berikut adalah problem yang dihadapi harus diakui dan diterima oleh komunitas hukum sebagai problem yang tidak secara eksklusif dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmu hukum.
Problem penegakan hukum harus dicarikan solusi dalam konteks kajian Law and Development yang membuka kesempatan berbagai disiplin ilmu untuk berperan. Bahkan para ahli hukum yang terlibat dalam mencari solusi harus memiliki pengetahuan lain selain hukum, khususnya ilmu sosial.
Fundamen keempat adalah kesejahteraan aparat penegak hukum harus mendapat perhatian. Mengedepankan kesejahteraan harus dilihat sebagai fundamen dari solusi dengan dua tujuan. Pertama, agar pengaruh uang dalam penegakan hukum dapat diperkecil. Kedua, untuk menarik minat lulusan fakultas hukum yang berkualitas dan berintegritas dari berbagai universitas ternama.
Selanjutnya, untuk menghindari kesan tebang pilih perlu meletakkan fundamen yang kuat agar aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dapat menjaga konsistensi, paling tidak semua pihak, termasuk pemerintah, dapat menciptakan suasana kondusif agar penegakan hukum dilakukan secara konsisten.
Fundamen kelima adalah upaya membersihkan institusi hukum dari personil nakal dan bermasalah. Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan harus memahami bahwa mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia adalah takut pada hukum. Oleh karena itu, perlu diciptakan penegakan hukum yang tegas bagi para pejabat hukum yang melakukan penyelewengan jabatan dengan mekanisme yang dapat bekerja dan dapat dipercaya oleh masyarakat.
Fundamen berikutnya adalah pembenahan pada institusi hukum, harus dipahami sebagai pembenahan yang terkait dengan manusia. Pembenahan terhadap manusia hukum harus dilakukan secara manusiawi yang sedapat mungkin tidak menyinggung harga diri, bahkan merendahkan diri mereka yang terkena kebijakan. Bila tidak, akan ada perlawanan. Perlawanan akan menjadikan proses pembenahan semakin rumit dan panjang. Oleh karenanya fundamen dari solusi yang dicari adalah pembenahan yang seminimal mungkin dapat menekan rasa dendam atau perlawanan.
Terakhir, dalam pembenahan penegakan hukum, penting untuk disadarkan dan diintensifkan partisipasi publik. Semua pihak mempunyai peran dalam pembenahan penegakan hukum. Partisipasi publik harus dilakukan secara bottom up, bila perlu dilakukan secara virtual dan tidak dirasakan.
Menurut Dr. Pagar Hasibuan, seorang pakar hukum Islam di Medan, bahwa salah satu cara untuk mengurangi keberpihakan hukum ini adalah dengan mengusahakan jalan damai bagi pihak-pihak yang berperkara. Karena dalam perdamaian diharapkan kedua pihak akan saling share tentang jalan keluar yang akan mereka dapatkan. Teori “keadilan tanpa peradilan” adalah sebuah teori yang pantas dilaksanakan dari pada peradilan tanpa keadilan, akan tetapi tentu saja idealnya adalah keadilan dengan peradilan.
Masih menurut beliau, bahwasanya keberpihakan hukum memang akan terus terjadi dan harus terjadi, akan tetapi keberpihakan ini adalah keberpihakan semua pihak terhadap hukum atau kebenaran, bukan keberpihakan pihak terhadap kemenangan dan bukan pula keberpihakan hukum terhadap salah satu pihak atau lebih.
G. Penutup.
Keinginan untuk mewujudkan hukum dan perangkatnya telah muncul sejak lama, karena memang hukum pada esensinya haruslah adil, dilakukan, dan ditaati. Hukum yang tidak dilaksanakan dan tidak ditaati pada dasarnya telah berhenti menjadi hukum. Keinginan mewujudkan hukum tanpa keberpihakan mengalami pasang surut dalam sejarahnya.
Kondisi hukum Indonesia saat ini menggambarkan keberpihakan hukum yang begitu kental. Hal ini memang mungkin adalah sebuah warisan budaya penjajahan. Meskipun begitu tetap saja ada usaha untuk mengikis keberpihakan hukum ini.
Dalam mengikis peluang untuk munculnya keberpihakan hukum, kita harus benar-benar memperhatikan beberapa faktor dan bidang-bidang tertentu, seperti politik hukum, sistem hukum, asas-asas hukum, aparat penegak hukum, masyarakat dan pers.
Di Indonesia, peluang untuk munculnya keberpihakan hukum ini paling rentan muncul pada aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, advokat, hakim hingga lembaga pemasyarakatan. Dengan meperhatikan faktor dan bidang-bidang diatas, dengan menekankan moral yang baik, niscaya hukum tanpa keberpihakan akan dapat diharapkan.