Dinasti Umayyah Timur yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah yang didirikan oleh keturunan Umayyah atas rintisan Muawiyyah yang berpusat di Damaskus. Setting cikal bakal dinasti ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah menggantikan kedudukan khalifah Usman bin Affan, salah satu kebijakan awal dari Ali adalah pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan oleh Usman kepada keluarganya dan memecat gubernur-gubernur dan pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan jabatannya, namun Muawiyyah gubernur Syiria menolak pemecatan itu sekaligus tidak mau membaiat Ali sebagai khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang kuat dan menolak untuk memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian khalifah Usman, atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakan Muawiyyah akhirnya tertumpah dalam perang Shiffin.[1] Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyyah dikalahkan pasukan Ali, tapi berkat siasat penasehat Muawiyyah yaitu Amr bin ‘Ash , agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al Qur’an di ujung lembing mereka, pertanda seruan untuk damai. Bukan saja perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan Muawiyyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir terjadi peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang Khawarij hanya 8 orang yang selamat jiwanya sehingga dari delapan orang itu menyebar ke Amman, Karman, Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.[2] Namun begitu, kaum Khawarij selalu berusaha untuk merebut massa Islam dari pengikut Ali, dan Muawiyyah , sebab mereka yakin bahwa kedua pemimpin itu merupakan sumber dari pergolakan-pergolakan, mereka bertekad membunuh kedua pemimpin itu, namun hanya Ali yang terbunuh pada 20 Ramadlan 40 H di Masjid Kuffah pada saat Ali Shalat Subuh.
Setelah Ali meninggal, rakyat segera membaiat Hasan bin Ali sebagai Khalifah. Karena melihat banyaknya perselisihan diantara sahabat-sahabatnya dan melihat pentingnya persahabatan umat, maka Hasan bin Ali melakukan kesepakatan damai dan menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada Muawiyyah pada bulan Rabiul Awal 41 H yang selanjutnya tahun itu disebut Aam Jama’ah atau tahun jamaah, karena kaum Muslimin sepakat menjadikan satu orang khalifah untuk menjadi pimpinan mereka yaitu Muawiyyah dari Bani Umayah.[3]
Berangkat dari penyerahan kekuasaan Hasan bin Ali kepada Muawiyyah Bani Umayah tersebut, dalam makalah ini akan dibahas tentang kebangkitan pemerintahan Dinasti Umayyah Timur ( Damaskus ) sebagai penguasa baru. Mulai dari sejarah berdirinya, masa pemerintahannya dengan kemajuan yang dicapai terutama dinamika Politik, sosial dan ekonomi, intelektual dan keagamaan hingga dinasti ini mengalami keruntuhan.
B. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah Timur ( Damaskus ).
Sebagaimana telah disinggung pada bagian pendahuluan, berdirinya Dinasti Umayyah ini adalah tekad Muawwiyah untuk menjadi khalifah, jauh setelah terbunuhnya Usman bin Affan namun terkendala oleh Ali sebagai khalifah keempat karena beliau masih ada. Namun wafatnya Ali adalah satu jembatan emas bagi Muawwiyah guna mewujudkan tekadnya. Semula ada upaya Hasan bin Ali untuk menuntut balas kematian ayahnya dan ditambah usulan dari kelompok masyarakat agar Hasan bin Ali menggantikan posisi ayahnya, akan tetapi Hasan menyangsikan kemampuan diri dan kekuatan yang dimilikinya sehingga akhirnya ia bersedia mengakui Muawiyyah sebagai khalifah dengan syarat : Muawiyyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Irak dan bersedia menjamin keamanan serta memaafkan kesalahan mereka, pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepada Hasan dan diberikan tiap tahun, dan pemberian untuk Bani Hasyim harus lebih banyak dari pada Bani Abdi Syam. Keputusan-keputusan perjanjian perdamaian (tahkim) itu di setujui oleh Muawiyyah sehingga pada tahun 41H Muawiyyah memasuki kota Kuffah guna mengucapkan sumpah jabatan di hadapan dua putra Ali, yaitu Hasan dan Husein yang disaksikan oleh rakyat banyak. Dinasti ini ibukota pemerintahannya berada di Damaskus, yang sejak khalifah Usman, Muawiyyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya dan menyiapkan daerah Syiria sebagai pusat kekuasannya di kemuadian hari.[4] Selama 91 tahun , dinasti ini diperintah beberapa orang khalifah, mereka itu adalah :
1. Muawiyyah bin Abu Sofyan 661 s/d 680
2. Yazid bin Muawiyyah 680 s/d 683
3. Muawiyyah bin Yazid 683 s/d 684
4. Marwan bin Hakam 684 s/d 685
5. Abdul Malik bin Marwan 685 s/d 705
6. Walid I bin Abdul Malik 705 s/d 715
7. Sulaiman bin Abdul Malik 715 s/d 717
8. Umar bin Abdul Aziz 717 s/d 720
9. Yazid bin Abdul Malik 720 s/d 724
10. Hisyam bin Abdul Malik 724 s/d 743
11. Walid II bin Yazid II 743 s/d 744
12. Yazid III 744
12. Ibrahim bin Walid II 744
13. Marwan II bin Muhammad II 744 s/d 750[5]
Diantara sekian banyak khalifah Dinasti Umayyah tersebut hanya beberapa khalifah yang menduduki jabatan dalam waktu yang cukup panjang yaitu: Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hasyim bin Abdul Malik
Terbentuknya Dinasti Umayah Timur ini adalah berkat jasa Muawiyyah bin Abu Sofyan, sosok seorang politikus, tokoh militer, sahabat Nabi yang sempat dipercaya untuk menuliskan wahyu, dan pada pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, dia dipercaya sebagai gubernur Syiria hampir selama 20 tahun dan pada khalifah Usman bin Affan diangkat juga sebagai Amir al Bahr (prince of the sea) yang menguasai daerah Syiria sampai ke Laut Tengah.[6] Track record ini sangat mendukung Muawiyyah mendapatkan hegemoni politik dari masyarakat Syiria untuk merancang dan meletakkan sendi dasar sebuah Dinasti Umayyah yang berbasis masyarakat rasional, sehingga solid dalam pembangunan politiknya dimasa depan.
Soliditas yang dibangun Muawiyyah untuk sebuah Dinasti ditopang oleh beberapa faktor yaitu: Pertama dukungan yang kuat dari masyarakat Syiria dan Bani Umayyah, disatu sisi masyarakat Syiria sudah terbentuk jiwa militansi dan sebagai tentara yang tangguh di bawah kepemimpinan Muawiyyah, dan Bani Umayah terkenal dengan kelompok bermodal, berkedudukan dan disegani masyarakat Arab di sisi yang lain, sehingga kedua variabel tersebut mendukung Muawiyyah untuk mendapatkan stimulasi dan insentif sebagai kekuatan yang memiliki akar kuat dalam bidang politik dan ekonomi di Syiria. Kedua sebagai seorang administrator, Muawiyyah dengan kebijakan politiknya dapat dengan mudah menempatkan pembantunya pada jabatan yang strategis, diantara mereka adalah: ‘Amar bin ‘Ash, Mughirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi. Ketiga tokoh ini mempunyai kemampuan dan reputasi politik yang dikagumi masyarakat Arab. Ketiga Muawiyyah memiliki kemampuan sebagai negarawan sejati.[7] Dari faktor itulah Dinasti Umayyah Timur kemudian menjadi Dinasti yang besar dan berpengaruh terutama di Jazirah Arab Khususnya dan dunia umumnya.
C. Kemajuan Yang Dicapai
Terbentuknya Dinasti Umayyah Timur merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 – 750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual dan peradaban.[8]
1.Dinamika politik, sosial dan Ekonomi
Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus[9] Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat, dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun (monarchi heridetis).[10] Penggantian khalifah secara turun temurun dimulai dari sikap Muawiyyah yang mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota. Sikap ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria yang menjadi wilayah kekuasaan selama dia menjadi gubernur dan memang bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran Bizantium.
Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum, dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri muslim dan non muslim, dan dalam memperlakukan orang Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya lebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.[11]
Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi penguasa dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,[12] yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.[13]
Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi’ berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di sebelah timur, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani.Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.[14]
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penakluk yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan ke timur mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordova yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).[15]
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dan Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk mengakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.[16]
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H.Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina diurungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.[17]
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India.Pada tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. Ia memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.[18]Peta kekuasaan dapat dilihat pada lampiran I dalam makalah ini.
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah.[19] Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara.[20] Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk lalu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan.[21]Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz“La Ilaaha Illa Allah“.Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.[22]
Dibidang pemerintahan, dinasti membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.[23]Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah, di angkat seorang Amir al Umara (Gubernur Jenderal)yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan oleh empat departemen pokok (diwan) yaitu :
Kementerian Pajak Tanah (diwan al kharraj) yang bertugas mengawasi departemen keuangan
Kementerian Khatam (diwan al khatam) yang bertugas merancang dan mengesahkan peraturan/ordonansi pemerintah
Kementerian surat menyurat (diwan al rasail) dipercaya untuk mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur
Kementerian urusan perpajakan (diwan al mustagallat).[24]
2. Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani Iskandariyah, Antiokia, Harran dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani dan Zoroaster[25] Khalifah Khalid bin Yazid bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimaristan, yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat , perawatan orang sakit dan studi kedokteran yang berada di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan Ibn Abjar, seorang dokter dari Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[26]
Para ilmuwan yang berasal dari agama lain, meski ada yang beralih agama kepada Islam dan ada yang masih tetap bertahan dalam agamanya, diantaranya Yahya al Diamsyqi seorang pejabat di masa Abdul Malik bin Marwan, penganut Kristen fanatik yang berusaha mempertahankan akidahnya. Dengan metode logikanya ia mempertahankan “al masih sebagai Tuhan yang ke dua”.[27]Dari sikap mereka mendorong umat Islam menyelidiki keyakinannya dan mempelajari logika untuk mempertahankan Islam sekaligus untuk mematahkan hujjah mereka, kelompok ini kemudian dianggap sebagai golongan rasionalis atau kelompok Mu’tazilah.[28]
Pengaruh lain dari ilmuwan kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan menurut aturan–aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan non Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi : ilmu pengatahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat.[29] Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhry, Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Muslim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir).
D. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Umayyah Timur
Dinasti yang didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa khalifah yang memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain : Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik, selain mereka itu merupakan khalifah yang lemah. Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin Abdul Malik dan kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.[30]
Diantara faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan adalah :
1.Pengangkatan Dua Putera Mahkota
Perubahan sistem kekuasaan, dari sistem demokrasi kepada monarchi yang dirintis Muawiyyah bin Abu Sofyan , berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga dinasti dan ditambah dengan langkah pengangkatan dua putera mahkota yang diberi mandat agar putera mahkota yang kedua sebagai pelanjut sesudah yang pertama, hal itu dilakukan khalifah Marwan bin al Hakim dengan mengangkat Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz, berikutnya adalah Abdul Malik mengikuti jejak mendiang ayahnya dengan mengangkat puteranya, yatu al Walid dan Sulaiman. Langkah ini tidak hanya menjadi permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga merembet masuk di lingkungan para panglima dan pejabat.[31]
2. Munculnya Fanatisme Suku
Setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku menyebar di tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan Bani Umayyah dari rongrongan kekuatan lain yang menginginkan kehancurannya sebagai pemegang supremasi politik umat Islam.
Kondisi tersebut masih dapat dikendalikan terlebih dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah , ia seorang yang saleh dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah.Ia terbebas dari fanatisme suku, karena ia tidak mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan.[32]
Namun ketika Umar bin Abdul Aziz wafat, dan kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan perselisihan diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar) /suku Qais dengan Arab selatan (Arab Yaman) /bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi perang Murj Rahith,[33] yang mengkibatkan terbunuhnya al Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia seorang yang telah mengabdi seluruh hidup dan potensinya pada Bani Umayyah, yaitu pembelaannya dalam perang al Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang memerangi penduduk Khurasan dan al Khazar serta orang-orang Turki. Sepeninggal al Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuhan pihak Arab Yamani untuk merongrong kedaulatan Dinasti Umayyah Timur. Namun demikian Bani Umayyah sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab Yaman.
Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin Abdul Malik mengangkat saudaranya yaitu Maslamah sebagai gubernur wilayah timur setelah mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al Mulahhab, dan juga mengangkat Umar bin Hubairah yang berasal dari suku Qais.
Ketika Yazid wafat dan saudaranya yaitu Hisyam naik tahta maka khalifah baru menilai bahwa posisi orang-orang Qais dalam pemerintahan sudah terlalu kuat, dan hal ini, menurut Hisyam adalah membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil tindakan dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik berpihak kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kedua unsur tersebut berimbang.[34]Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak, dan juga mengangkat saudara Khalid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dan kekuatan unsur Qaisi melemah, kemudian orang-orang dari unsur Yamani berkesempatan menumpahkan balas dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi.
Demikianlah fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti Umayyah, sehingga negara menjadi ajang bagi tumbuhnya beragam fitnah dan kerusuhan dan kemudian keruntuhan dinasti ini terjadi.
3.Terlena Dalam Kemewahan
Pola hidup sebagian khalifah Dinasti Umayyah yang sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup para penguasa Bizantium adalah faktor lain yang telah menanam andil besar bagi keruntuhan dinasti ini. Yazid bin Muawiyyah adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah sangat terkenal sebagai pengagum berat wanita, memelihara para penyanyi wanita, memelihara burung buas, singa padang pasir dan seorang pecandu minuman keras.[35]
Prilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih baik dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta pora. Begitu pula dengan puteranya yaitu al Walid, ia seorang khalifah yang sangat senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.[36]
4. Fanatik Arab
Dinasti Umayyah adalah murni daulat Arab, sehingga ia sangat fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non Arab ( mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah diantara sesama kum Muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan nasionalisme di dalam Islam.Bibit daripada geraka tersebut adalah anggapan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling utama dan mulia dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling tingga dibanding dengan yang lain.
Tindakan diskriminatif tersebut telah membangkitkan kebencian kaum mawali kepada Bani Umayyah, akhirnya sebagai kaum tertindas mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka menggabungkan diri dengan al Mukhtar dan kaum khawarij untuk bersekutu dan ditambah dengan propagandis kaum abassi untuk memberontak dan menggulingkan Dinasti Umayyah.[37]
Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi terhadap Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian dilanjutkan kedua puteranya yaitu ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh masyarakat pendukung Ali di Khurasan. Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan bahkan dalam pertempuran di Zab Hulu sebelah timur Mosul, Marwan II, khalifah terakhir Dinasti Umayah dapat dikalahkan, Marwan II di bunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah SEJARAH DINASTI UMAYYAH TIMUR ( DAMASKUS ), anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |