PENDAHULUAN
Perlu dipahami bersama, bahwa majunya suatu negara sangat ditentukan oleh majunya pendidikan di negara tersebut. Dengan demikian pembenahan pendidikan, ter-utama untuk memperbaiki proses penyelenggaraan pendidikan agar tidak tertinggal jauh dari negara lain. Perubahan kurikulum merupakan sesuatu yang wajar dilakukan oleh negara manapun dalam rangka mengakomodasikan segala perubahan dan kemajuan di bidang IPTEK dan tuntutan masyarakat yang semakin modern (Olivia, 1992 : 3).
Sebagai bangsa yang berbudaya dan memiliki falsafah/pandangan hidup yang diyakini kebenarannya sampai saat ini, bangsa Indonesia mulai menyadari pentingnya akhlak mulia diutamakan dalam proses pendidikan. Hal ini tercermin dalam acuan operasional penyusunan KTSP dimana acuan pertama disebutkan ”peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia”, baru kemudian pada acuan kedua disebutkan ”peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik”. Jadi, bangsa kita telah menyadari hanya mereka yang memiliki iman dan taqwa serta akhlak mulia yang baik yang dapat dididik menjadi peserta didik yang mudah diarahkan dan berhasil, sehingga akan terbentuk generasi penerus bangsa yang berkarak-ter dan berkualitas akhlaknya sekaligus cerdas intelektualnya.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Nilai, Norma, Etika, Moral, dan Karakter
Ada 4 (empat) istilah yang memiliki kemiripan arti, yaitu nilai, norma, etika, dan moral. Nilai diartikan sebagai sifat-sifat atau hal-hal penting/berguna bagi kemanusiaan (KBI, 1990) atau sesuatu yang berharga bagi kehidupan manusia (Vembriarto, 1982). Nilai bersifat abstrak, hanya dapat dipikirkan, dipahami, dan dihayati. Sebagai contoh nilai kejujuran tidak dapat dikonkretkan dalam bentuk perilaku yang baku. Jika ada peserta didik yang ketika ujian tidak mencontek, maka “tidak mencontek” hanyalah salah satu contoh nilai kejujuran, bukan bentuk baku kejujuran.
Ada empat sumber nilai dan empat jenis nilai, yaitu nilai yang bersumber dari:
a. ratio: jenis nilai benar-salah (nilai hukum);
b. kehendak: jenis nilai baik-buruk (nilai moral);
c. perasaan: jenis nilai indah-tidak indah (nilai estetika);
d. agama: jenis nilai religius-tidak religius (nilai agama);
Norma adalah ukuran, garis pengarah, atau aturan kaidah bagi pertimbangan dan penilaian atau aturan mengenai cara bertingkah laku dalam kehidupan manusia. Norma bersumber dari nilai dan berisi perintah atau larangan.
Etika dan moral sering diartikan sama, namun sebenarnya ada sedikit perbedaan antara keduanya. Etika (ilmu) mempunyai arti lebih luas daripada moral (ajaran). Etika adalah ilmu yang mempelajari tentang hal yang baik dan hal yang buruk (KBI, 1990). Moral adalah ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai tingkah laku atau perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBI, 1990). Moral mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Dapat terjadi seorang guru bermoral jujur, tetapi berperilaku kurang baik dalam mengajar.
Etika dan moral bersumber pada norma, dan norma bersumber pada nilai. Etika bersifat ilmiah (struktur kehidupan), sedang moral bersifat aplikatif (bagaimana manusia harus hidup). Nilai-nilai yang dianut seseorang bersumber pada kepribadian orang yang bersangkutan. Kejujuran adalah suatu nilai, larangan menipu atau larangan berbohong adalah norma kejujuran, dan tidak menipu atau tidak berbohong adalah moral kejujuran.
Istilah nilai sama dengan istilah karakter atau tabiat. Nilai terdiri atas sejumlah sikap dan sejumlah nilai menyusun kepribadian seseorang. Nilai luhur artinya nilai yang sangat baik, nilai luhur bangsa Indonesia adalah kumulasi nilai suku-suku bangsa Indonesia. Nilai luhur suku bangsa Indonesia merupakan kumulasi dari nilai perorangan penduduk Indonesia. Warga negara Indonesia memperoleh pendidikan nilai/karakter melalui pendidikan, pemuka agama, pemuka adat, pemuka pemerintahan, dan sebagainya.
Pendidikan nilai/karakter di pendidikan dasar dan menengah diperoleh dari semua mata pelajaran yang ada, proporsi terbesar didapat dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kewarganegaraan. Pendidikan sains juga menyumbang pendidikan nilai/karakter melalui pendidikan sikap ilmiah dan kerja ilmiah yang merupakan bagian metode ilmiah. Pendidikan nilai/karakter yang saat ini sedang digalakkan tidak berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, tetapi harus dipadukan dengan materi pendukung kompetensi dasar yang sesuai.
2. Pendidikan Karakter
Pendidikan nilai/karakter bagi peserta didik, akhir-akhir ini mendapat perhatian khusus dari Kementerian Pendidikan Nasional dan jajarannya, serta ahli-ahli kependi-dikan, dan sampai pada kesimpulan bahwa pendidikan nilai/karakter peserta didik perlu ditingkatkan. Hal tersebut disebabkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Dalam UU Sisdiknas Nomor 20/2003 Pasal 3 disebutkan ”Pendidikan nasional (a) berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Tujuan pendidikan nasional tersebut sangat luhur dalam pembentukan peserta didik untuk menjadi anak bangsa yang memiliki nilai/karakter luhur.
3. Pentingnya Pendidikan Karakter
Sebenarnya selama ini tanpa disadari semua guru SD khususnya telah menanam-an nilai-nilai yang baik dalam pembentukan karakter peserta didiknya. Namun hal itu hanya sebagai sisipan yang tidak termuat dalam silabus maupun RPP. Oleh karena itu perlu adanya optimalisasi pendidikan karakter dalam pembelajaran, agar gaung pena-naman karakter melalui pembelajaran dapat benar-benar dirasakan peserta didik.
Pada era globalisasi saat ini memang bangsa kita telah mampu menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang secara kuantitas sudah memadai, namun dari segi kualitas masih sangat perlu ditingkatkan agar dihasilkan SDM yang mampu berkompetisi dengan negara berkembang, bahkan negara maju. Selain SDM yang demikian, masih ada satu hal penting yang harus ditekankan, yaitu menghasilkan SDM yang beretika, bermoral, sopan santun, dan mampu berinteraksi dengan masyarakat secara baik, dengan tetap memegang teguh kepribadian bangsa. Dengan kata lain, bangsa kita menginginkan terbentuknya generasi penerus bangsa yang berkarakter dan berkualitas akhlaknya sekaligus cerdas intelektualnya. Banyak contoh anak didik yang cerdas, tetapi kualitas akhlaknya kurang baik, maka mereka tidak dapat diharapkan untuk menjadi generasi penerus yang dapat membangun bangsa kita.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika menunjukkan kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill), tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia dapat berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan, karena otak yang hebat tanpa disertai kepribadian yang baik, maka akan sulit diterima di masyarakat nasional maupun internasional.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang beerkualiatas akhlaknya. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
4. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Mata Pelajaran
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari Standar Nasional Pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di tingkat SD, SMP, dan SMA sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasa-lahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimal-kan agar peningkatan mutu hasil belajar, terutama pembentukan karakter peserta didik sesuai tujuan pendidikan dapat dicapai.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan ekstra kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemam-puan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut meliputi nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di sekolah perlu segera dikaji, dan dicari alternatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah. Arti pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dila-kukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginter-nalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
DAFTAR PUSTAKA
- Borba, Michele. (2008). Membangun kecerdasan moral: Tujuh kebajikan utama agar anak bermoral tinggi. Terj. oleh Lina Yusuf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Doni Koesoema A. (2007). Pendidikan karakter: Strategi mendidik anak di zaman global. Jakarta: Grasindo. Cet. I.
- Depdikbud. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
- Depdiknas. (2001). Applied Approach-Mengajar di Perguruan Tinggi, Buku 2.01: Etika dan Moral dalam Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
- ________ (2003). Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Bandung: Citra Umbara.
- ________ (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
- Kemendiknas. (2010). Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kemendiknas
- Kevin Ryan & Karen E. Bohlin. (1999). Building character in schools: Practical ways to bring moral instruction to life. San Francisco: Jossey Bass.
- Olivia, Peter, F.. (1992). Developing the Curriculum. New York: Harper Collins Publishers.
- Paul Suparno, dkk. 2002. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah, Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- Suseno, Franz Magnis. (1989). Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.