Dalam al-Qur’an dinyatakan hidup berpasangan-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah termasuk manusia. “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah Swt” Al-Zaariyat : 49 Dari makhluk yang diciptakan Allah SWT yang berpasang-pasangan inilah Allah menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam ujud aturan-aturan yang disebut dengan Hukum Perkawinan Islam.
Pada dasarnya Hukum Islam ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun akhirat. Kesejahteraan manusia akan tercapai dengan terciptanya keluarga yang sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Demikian juga kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya.
Islam mengatur keluarga bukan hanya secara garis besar saja, tetapi sampai terperinci. Yang demikian itu menunjukan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda :
“Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantaramu untuk kawin, maka kawinlah….”
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tercantum dalam surat al-Ra’ad ayat 38.
“Dan sesungguhnya kami tela mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan….
Tujuan perkawinan menurut Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan kelurga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia, dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan terpenuhinya keperluan lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Sementara itu manusia diciptakan Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada khaliknya dalam segala aktifitas hidupnya. Pemenuhan naluri mahasiswi manusia tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur manusia dengan aturan perkawinan.
Jadi aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinanpun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama, sehingga kalau diringkas sebenarnya ada dua tujuan orang melangsungkan perkawinan, yaitu memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama[1].
Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Satu-satunya norma ialah yang ada pada dirinya masing-masing, sedangkan masing-masing orang yang mempunyai kebebasan. Perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan kewajiban.
Tujuan perkawinan sebagaimana yang telah disebutkan diatas dapat tercapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Karena prinsip itulah, maka Islam tidak membenarkan akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu perkawinan, seperti halnya nikah Mut’ah.
Meskipun demikian fakta menunjukan bahwa tidak sedikit perkawinan yang awalnya dibangun dengan cinta dan kasih sayang pada akhirnya bubar dan berakhir dengan perceraian, karena kemelut rumah tangga yang menghantamnya. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut banyak menimbulkan masalah, diantaranya adalah masalah anak yang terlahir dari perkawinan itu. Tidak sedikit anak yang dilahirkan Dari perkawinan itu menanggung derita yang berkepanjangan. Adanya perbedaan keinginan dari orang tua anak tersebut menimbulkan berbagai masalah hukum antara lain, masalah penguasaan anak, misalnya siapa yang harus memelihara anak-anak mereka, hak-hak apa saja yang diperoleh anak dari orang tua mereka yang telah bercerai, dan lain-lain. Dengan putusnya perkawinan tentu saja ada dampakanya bagi anak, terutama bagi anak-anak yang masih dibawah umur. Biasanya berpengaruh terhadap pertumbuhan jiwa dan fisik sang anak, dan pengurusan kepentingann anak.
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga. Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa isteri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara suami dan isteri dalam memelihara anak dan menghantarkannya hingga anak tersebut dewasa[2].
Sa’id Hawa mengatakan bahwa hak-hak anak dari orang tuanya adalah memperoleh pakaian, makanan, pendidikan, perlakuan yang baik, adab, memberik nama yang baik-baik, serta membekali mereka untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka[3].
Demikian juga dalam perundang-undangan kita, yaitu Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bab VII pasal 41 sub a,b, dan c dinyatakan :
Baik ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihat dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
Bapak yang bertanggung jawab terhadap semua biaya pemelihatan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Anak-anak sangat membutuhkan kehadiran orang tuanya. Ia membutuhkan seorang ayah yang memberikan nafkah, perlindungan dan pendidikan. Ia membutuhkan seorang ibu yang akan merawat, memperhatikan dan mengayominya. Anak yang sehat psikologisnya adalah anak yang berkembang dalam keluarga utuh, tak bercerai berai, terjalinnya interaksi diantara anggota keluarganya dengan cinta dan kasih sayang, yang masing-masing anggotanya memperhatikan perasaan anggota yang lain. Tetapi setiap rumah tangga tentu mempunyai problematikan yang adakalanya berakhir dengan perceraian. Ditengah problematika dan konflik-konflik itu tumbuhlah anak-anak kecil yang mudah terwarnai[4]. Melihat betapa pentingnya pemeliharaan anak, Mustafa Hasan Wadong menyatakan bahwa :
“Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai cara. Proses perlindungan anak dimaksud disebutkan sebagai proses edukasional terhadap ketidak pahaman dan ketidak mampuan anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan hak asasi anak dapat diberikan dengan cara yang sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan, bimbingan sholat, permainan, dan dapat juga diberikan melalui bantuan hukum yang dinamakan advokasi dan hukum perlindungan anak.” [5].
Dalam masyarakat Indonesia, banyak dijumpai ketidak jelasan dalam pelaksanaan tanggung jawab dari orang tua terhadap anak setelah terjadi perceraian, sehingga masih dijumpai anak-anak yang tidak mendapatkan nafkah maupun pendidikan yang layak, yang seharusnya mereka dapatkan dari orang tuanya. Beberapa kasus ditemui setelah terjadi perceraian seorang ayah tidak lagi peduli dengan anak yang ikut dengan ibunya. Sedangkan sang ibu tidak ambil pusing dengan tindak si ayah meskipun untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri amatlah sulit.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimana sebenarnya tanggung jawab orang tua terhadap anaknya setelah terjadi perceraian?
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam penulisan ini, penulis perlu menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam judul penelitian ini, diantara yang perlu dijelaskan adalah :
Orang tua yang dimaksud adalah seseorang yang menyebabkan sang anak lahir, yaitu ayah dan ibu.
Pemeliharaan Anak (Hadhanah) adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, dengan menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani rohani dan akalnya.
Perceraian yang dimaksud disini adalah thalak yaitu melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri[6]. Selain itu juga, dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berakhirnya hubungan suami isteri yang disebabkan oleh kematian. Hukum Islam yang dimaksud disini adalah hukum figh Islam, yaitu yang terdapat dalam kitab-kitab figh, baik yang terdapat dalam kitab figh klasik atau kontemporer.
Kerangka Pemikiran
Melalui sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang pertama berlaku dan merupakan percerminan kesadaran hukum masyarakat Indonesia adalah hukum adat. Untuk jangka waktu yang cukup lama hukum adat ini, sebagai suatu norma hukum, bersama-sama dengan norma-norma sosial lainnya, memainkan peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.
Agama Islam yang masuk ke Indonesia pada abad-abad pertama Hijriyah telah membawa sistem nilai baru berupa aqidah dan syari’at. Ketika itu kondisi masyarakat Indonesia telah tertata lengkap dengan sistem nilai yang berlaku berupa peraturan-peraturan adat masyarakat setempat.
Sesuai dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai Islam itu diterima dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai adat setempat yang telah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai aqidah dan syari’at Islam. Pertemuan kedua sistem nilai itu-adat dan Islam berlaku dengan wajar tanpa menimbulkan banyak konflik antara kedua sistem nilai tersebut[7]. Sehubungan dengan berlakunya hukum Adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, muncullah beberapa teori yang dikenal dengan teori Reception in Complexu, teori Receptio (Resepsi), teori Receptie Exit, teori Receptio a Contrario, serta teori Eksistensi. Dua teori pertama muncul pada masa sebelum Indonesia merdeka dan tiga teori terakhir muncul setelah Indonesia merdeka[8].
1. Teori Reception in Complexu
Menurut toeri Reception in Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam, demikian juga bagi pemeluk agama lain. Toeri Reception in Complexu ini dikemukakan dan diberi nama oleh Lodewijk. Willem Christian van Den Berg (1845-1925) seorang ahli hukum Islam, politikus penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa timur dan hukum Islam.
2. Toeri Reception (Resepsi)
Menurut teori Resepsi hukum Islam tidak otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam kalau ia sudah diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum dapat mereka. Jadi yang berlaku bagi mereka bukan hukum Islam, tapi hukum Adat. Teori ini dikemukakan oleh Cornelis Van Volenhoven dan Christian Snouck Hurgronje.
3. Toeri Reception Exit
Menurut teori Reception exit pemberlakuan Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan kepada hukum dapat. Pemahaman demikian lebih dipertegas lagi, antara lain dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1), UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, instruksi Presiden no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI)
4. Teori Reception a Contrario
Teori ini adalah kebalikan dari teori resepsi, yaitu hukum dapat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
5. Teori Eksistensi
Teori Eksistensi adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia. Menurut teori ini bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam hukum nasional itu adalah : (1) Ada, dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai yang integral darinya ; (2) Ada, dalam arti adanya kemandiriannya diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional ; (3) Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia ; (4) Ada dalam hukum Nasional, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia[9].
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis cenderung berpendapat bahwa hukum dapat hukum Islam, keduanya saling mempengaruhi dalam berlakunya di Indonesia. Karena secara umum pada setiap daerah di Indonesia, kedua sistem hukum tersebut berlaku sebagai hukum yang hidup dan diakui ditengah-tengah masyarakat. Namun hukum dapat setempat sering menyatu dan menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Oleh sebab itu, maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.
Footnote
-------------
[1] Drs. Abdul Rahman MA, Fiqih Munakahat. (Jakarta: Prenada Media, 2003 ) h. 23
[2] Drs. Ahma Rofiq MA, Hukum Islam di Indonesia. ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 235
[3] Said Hawa, Al-Islam. (Kairo: Daral al-Hadits, 1981), h. 304
[4] Adnan Hasan Shalih Baharits, Mas’uliyyah al-Ab al-Muslim fi Tarbiyah al walad fi marhalah al- Thufulah, Edisi Indonesia : Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, Terjemahan Drs. Sihabuddin. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 446
[5] Maulana Hasan Madog, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2000), h. 36
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Juz. II. (Beirut: Dar al Fikri, 1983), h. 206
[7] Busthanul Arifin SH, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 34 – 35
[8] Suparman Usman SH, Hukum Islam. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 111
[9] Lihat Ibid., h. 111 – 119
[10] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI-Press , 1986), h. 52
[11] Ibid., h. 50
[12] Soerjono Soekanto, h. 21 – 27
[13] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 190
Pada dasarnya Hukum Islam ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun akhirat. Kesejahteraan manusia akan tercapai dengan terciptanya keluarga yang sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Demikian juga kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya.
Islam mengatur keluarga bukan hanya secara garis besar saja, tetapi sampai terperinci. Yang demikian itu menunjukan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda :
“Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantaramu untuk kawin, maka kawinlah….”
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tercantum dalam surat al-Ra’ad ayat 38.
“Dan sesungguhnya kami tela mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan….
Tujuan perkawinan menurut Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan kelurga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia, dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan terpenuhinya keperluan lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Sementara itu manusia diciptakan Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada khaliknya dalam segala aktifitas hidupnya. Pemenuhan naluri mahasiswi manusia tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur manusia dengan aturan perkawinan.
Jadi aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinanpun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama, sehingga kalau diringkas sebenarnya ada dua tujuan orang melangsungkan perkawinan, yaitu memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama[1].
Penyaluran cinta dan kasih sayang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma. Satu-satunya norma ialah yang ada pada dirinya masing-masing, sedangkan masing-masing orang yang mempunyai kebebasan. Perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan kewajiban.
Tujuan perkawinan sebagaimana yang telah disebutkan diatas dapat tercapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Karena prinsip itulah, maka Islam tidak membenarkan akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu perkawinan, seperti halnya nikah Mut’ah.
Meskipun demikian fakta menunjukan bahwa tidak sedikit perkawinan yang awalnya dibangun dengan cinta dan kasih sayang pada akhirnya bubar dan berakhir dengan perceraian, karena kemelut rumah tangga yang menghantamnya. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut banyak menimbulkan masalah, diantaranya adalah masalah anak yang terlahir dari perkawinan itu. Tidak sedikit anak yang dilahirkan Dari perkawinan itu menanggung derita yang berkepanjangan. Adanya perbedaan keinginan dari orang tua anak tersebut menimbulkan berbagai masalah hukum antara lain, masalah penguasaan anak, misalnya siapa yang harus memelihara anak-anak mereka, hak-hak apa saja yang diperoleh anak dari orang tua mereka yang telah bercerai, dan lain-lain. Dengan putusnya perkawinan tentu saja ada dampakanya bagi anak, terutama bagi anak-anak yang masih dibawah umur. Biasanya berpengaruh terhadap pertumbuhan jiwa dan fisik sang anak, dan pengurusan kepentingann anak.
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga. Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa isteri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara suami dan isteri dalam memelihara anak dan menghantarkannya hingga anak tersebut dewasa[2].
Sa’id Hawa mengatakan bahwa hak-hak anak dari orang tuanya adalah memperoleh pakaian, makanan, pendidikan, perlakuan yang baik, adab, memberik nama yang baik-baik, serta membekali mereka untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka[3].
Demikian juga dalam perundang-undangan kita, yaitu Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bab VII pasal 41 sub a,b, dan c dinyatakan :
Baik ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihat dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
Bapak yang bertanggung jawab terhadap semua biaya pemelihatan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Anak-anak sangat membutuhkan kehadiran orang tuanya. Ia membutuhkan seorang ayah yang memberikan nafkah, perlindungan dan pendidikan. Ia membutuhkan seorang ibu yang akan merawat, memperhatikan dan mengayominya. Anak yang sehat psikologisnya adalah anak yang berkembang dalam keluarga utuh, tak bercerai berai, terjalinnya interaksi diantara anggota keluarganya dengan cinta dan kasih sayang, yang masing-masing anggotanya memperhatikan perasaan anggota yang lain. Tetapi setiap rumah tangga tentu mempunyai problematikan yang adakalanya berakhir dengan perceraian. Ditengah problematika dan konflik-konflik itu tumbuhlah anak-anak kecil yang mudah terwarnai[4]. Melihat betapa pentingnya pemeliharaan anak, Mustafa Hasan Wadong menyatakan bahwa :
“Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai cara. Proses perlindungan anak dimaksud disebutkan sebagai proses edukasional terhadap ketidak pahaman dan ketidak mampuan anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan hak asasi anak dapat diberikan dengan cara yang sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan, bimbingan sholat, permainan, dan dapat juga diberikan melalui bantuan hukum yang dinamakan advokasi dan hukum perlindungan anak.” [5].
Dalam masyarakat Indonesia, banyak dijumpai ketidak jelasan dalam pelaksanaan tanggung jawab dari orang tua terhadap anak setelah terjadi perceraian, sehingga masih dijumpai anak-anak yang tidak mendapatkan nafkah maupun pendidikan yang layak, yang seharusnya mereka dapatkan dari orang tuanya. Beberapa kasus ditemui setelah terjadi perceraian seorang ayah tidak lagi peduli dengan anak yang ikut dengan ibunya. Sedangkan sang ibu tidak ambil pusing dengan tindak si ayah meskipun untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri amatlah sulit.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimana sebenarnya tanggung jawab orang tua terhadap anaknya setelah terjadi perceraian?
- Untuk lebih jelasnya dapat diajukan beberapa pertanyaan ?
- Bagaimanakah status anak dalam sebuah keluarga ?
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam penulisan ini, penulis perlu menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam judul penelitian ini, diantara yang perlu dijelaskan adalah :
Orang tua yang dimaksud adalah seseorang yang menyebabkan sang anak lahir, yaitu ayah dan ibu.
Pemeliharaan Anak (Hadhanah) adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, dengan menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani rohani dan akalnya.
Perceraian yang dimaksud disini adalah thalak yaitu melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri[6]. Selain itu juga, dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berakhirnya hubungan suami isteri yang disebabkan oleh kematian. Hukum Islam yang dimaksud disini adalah hukum figh Islam, yaitu yang terdapat dalam kitab-kitab figh, baik yang terdapat dalam kitab figh klasik atau kontemporer.
Kerangka Pemikiran
Melalui sejarah hukum dapat diketahui bahwa hukum yang pertama berlaku dan merupakan percerminan kesadaran hukum masyarakat Indonesia adalah hukum adat. Untuk jangka waktu yang cukup lama hukum adat ini, sebagai suatu norma hukum, bersama-sama dengan norma-norma sosial lainnya, memainkan peranannya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial.
Agama Islam yang masuk ke Indonesia pada abad-abad pertama Hijriyah telah membawa sistem nilai baru berupa aqidah dan syari’at. Ketika itu kondisi masyarakat Indonesia telah tertata lengkap dengan sistem nilai yang berlaku berupa peraturan-peraturan adat masyarakat setempat.
Sesuai dengan hakikat dakwah Islamiyah, nilai-nilai Islam itu diterima dengan penuh kedamaian tanpa menghilangkan nilai-nilai adat setempat yang telah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai aqidah dan syari’at Islam. Pertemuan kedua sistem nilai itu-adat dan Islam berlaku dengan wajar tanpa menimbulkan banyak konflik antara kedua sistem nilai tersebut[7]. Sehubungan dengan berlakunya hukum Adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, muncullah beberapa teori yang dikenal dengan teori Reception in Complexu, teori Receptio (Resepsi), teori Receptie Exit, teori Receptio a Contrario, serta teori Eksistensi. Dua teori pertama muncul pada masa sebelum Indonesia merdeka dan tiga teori terakhir muncul setelah Indonesia merdeka[8].
1. Teori Reception in Complexu
Menurut toeri Reception in Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam, demikian juga bagi pemeluk agama lain. Toeri Reception in Complexu ini dikemukakan dan diberi nama oleh Lodewijk. Willem Christian van Den Berg (1845-1925) seorang ahli hukum Islam, politikus penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa timur dan hukum Islam.
2. Toeri Reception (Resepsi)
Menurut teori Resepsi hukum Islam tidak otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam kalau ia sudah diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum dapat mereka. Jadi yang berlaku bagi mereka bukan hukum Islam, tapi hukum Adat. Teori ini dikemukakan oleh Cornelis Van Volenhoven dan Christian Snouck Hurgronje.
3. Toeri Reception Exit
Menurut teori Reception exit pemberlakuan Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan kepada hukum dapat. Pemahaman demikian lebih dipertegas lagi, antara lain dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1), UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, instruksi Presiden no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI)
4. Teori Reception a Contrario
Teori ini adalah kebalikan dari teori resepsi, yaitu hukum dapat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
5. Teori Eksistensi
Teori Eksistensi adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia. Menurut teori ini bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam hukum nasional itu adalah : (1) Ada, dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai yang integral darinya ; (2) Ada, dalam arti adanya kemandiriannya diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional ; (3) Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia ; (4) Ada dalam hukum Nasional, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia[9].
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis cenderung berpendapat bahwa hukum dapat hukum Islam, keduanya saling mempengaruhi dalam berlakunya di Indonesia. Karena secara umum pada setiap daerah di Indonesia, kedua sistem hukum tersebut berlaku sebagai hukum yang hidup dan diakui ditengah-tengah masyarakat. Namun hukum dapat setempat sering menyatu dan menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Oleh sebab itu, maka keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Qur’an dan Terjemahnya
- Adnan Hasan Shalih Baharits, Mas’uliyyah al-Ab al-Muslim fi Tarbiyah al-Walad fi Marhalah al-Thufulah, Edisi Indonesia : Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, Penerjemah Drs. Sihabuddin. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
- Drs. H Abdul Rahmad MA, Fiqih Munakahat. (Jakarta: Prenada Media, 2003)
- Drs. Ahmad Rofiq MA, Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997)
- Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999)
- Maulana Hasan Madong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. (Jakarta PT. Gramedia Widiasarana, 2000)
- Busthanul Arifin SH, Pelembangaan Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
- Suparman Usman SH, Hukum Islam. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001)
- Sa’id Hawa, al-Islam. (Kairo: Dar al-Hadits, 1981)
- Sayyid Sabiq, Figh al-Sunnah, Juz. II. (Beirut: Dar al-Fikri,1983)
- Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986)
Footnote
-------------
[1] Drs. Abdul Rahman MA, Fiqih Munakahat. (Jakarta: Prenada Media, 2003 ) h. 23
[2] Drs. Ahma Rofiq MA, Hukum Islam di Indonesia. ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 235
[3] Said Hawa, Al-Islam. (Kairo: Daral al-Hadits, 1981), h. 304
[4] Adnan Hasan Shalih Baharits, Mas’uliyyah al-Ab al-Muslim fi Tarbiyah al walad fi marhalah al- Thufulah, Edisi Indonesia : Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, Terjemahan Drs. Sihabuddin. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 446
[5] Maulana Hasan Madog, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2000), h. 36
[6] Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, Juz. II. (Beirut: Dar al Fikri, 1983), h. 206
[7] Busthanul Arifin SH, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 34 – 35
[8] Suparman Usman SH, Hukum Islam. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 111
[9] Lihat Ibid., h. 111 – 119
[10] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI-Press , 1986), h. 52
[11] Ibid., h. 50
[12] Soerjono Soekanto, h. 21 – 27
[13] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian kualitatif. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), h. 190