BAB I
PENDAHULUAN
Hukum mempunyai kaitan yang sangat erat dengan msyarakat. Hukum adalah salah satu instrumen pengendalian sosial. Oleh karena itu, di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Hukum dengan demikian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat manusia. Betapapun primiifnya, masyarakat senantiasa berada dalam kehidupan yang dikendalikan oleh sistem hukum tertentu.[1] Namun persepsi masyarakat terhadap hukum tidak selalu sama. Persepsi masyarakat terhadap hukum, bagaimanapun, dipengaruhi oleh filsafat dan nilai-nilai, dan persepsi itu untuk selanjutnya membentuk sikap dan kesadaran terhadap hukum.[2] Persepsi yang tepat terhadap hukum akan menimbulkan rasa hormat dan kesadaran hukum yang positif.
Idealnya hukum itu mesti berfungsi sebagai “agent of change” atau “alat at-taghyir” (sarana pembentuk, penentu, pelopor dan perubah) terhadap prilaku masyarakat. Hal ini akan tercapai bila hukum tersebut terlebh dahulu mengambil tempat sebagai social control dan social enginering. Suatu hal yang fital dalam mewujudkan idealitas adalah kesadaran hukum. Terlepas dari hal itu semua, ada hal terpenting yang tidak boleh terabaikan yakni jika ingin memberlakukan suatu hukum pada suatu wilayah atau negara, maka terlebih dahulu hukum itu diproses menjadi hukum yang positif dalam arti “legis”, “legality”, dan “Qanuniyah”, yang dalam istilah hukum Islam disebut dengan at-Taqnin. Makalah ini membahas tentang permasalahan taqnin dari mulai pengertian, sejarah dan perkembangannya di negara-negara Islam dan dampak negatif serta positifnya.
A. Pengertian Taqnin
At-taqnin seakar kata dengan qanun yang berasal dari bahasa Yunani “canon”, kemudian masuk ke dalam bahasa Arab melalui bahasa Siryani). Secara etimologis, qanun berarti “ukuran segala sesuatu” (al-mistarah). Dalam perkembangan selanjutnya kata ini digunakan untuk menyebut “suatu peraturan” (al-qaidah). Pengertian inilah yang masyhur dan umum digunakan sampai sekarang di Eropa.
Ulama fiqh mengemukakan bahwa secara terminologis at-taqnin bisa diartikan sebagai penetapan –oleh penguasa- sekumpulan Undang-Undang yang mempunyai daya dan memaksa dalam mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat” atau bisa juga diartikan secara khusus sebagai “penetapan –oleh penguasa- sekumpulan undang-undang untuk mengatur masalah tertentu. Selanjutnya Imam Muhammad Abu Zahrah, seorang pakar hukum Islam Mesir dan mantan rektor Universitas al-Azhar, mendefinisikannya sebagai hukum-hukum Islam dalam bentuk buku atau kitab undang-undangg yng tersusun rapi, praktis dan sistematis, kemudian ditetapkan dan diundang-undangkan secara resmi oleh kepala negara, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang megikat dan wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh suluruh warga negara.[3]
B. Sejarah dan Perkembangan Taqnin
Pemikiran tentang at-taqnin dalam Islam sebenarnya telah dimulai sejak zaman al-khulfa ar-Rasyidun (empat khalifah besar), ketika Umar bin al-Khattab mengajukan usulan kepada khalifah Abu Bakar Siddiq untuk membukukan Alquran. Kemudian pada zaman Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah, dilakukan pula at-taqnin terhadap sunah Rasulullah SAW.
Adapun ide a-taqnin terhadap hukum Islam (fiqh) pertama kali dicanangkan oleh Abu Muhammad “Ibnu al-Muqaffa”, sekretaris negara di zaman pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur (memerintah tahun 137 – 159 H) dari Bani Abbasyiah. Ide ini diajukan oleh Ibnu al-Muqaffa kepada khalifah karena menurut pengamatannya terdapat kekacauan hukum dan peradilan ketika itu. Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam at-taqnin tersebut, antara lain untuk memberikan batasan jelas tentang hukum sehingga mudah disosialisasikan di masyaraka; dan untuk membantu para hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang dihadapi, tanpa harus melakukan “Ijtihad lagi. Inilah yang mendorong Ibnu al-Muqaffa sebagai sekretaris khalifah ketika itu untuk mengajukan usul kodifikasi hukum Islam, melalui bukunya ar-risalah as-Sahabah. [4]
Dalam buku tersebut, Ibnu al-Muqaffa berharap kekacauan hukum dan subyektifitas hakim di lembaga peradiln dapat dihindari dengan adanya kodifikasi hukum Islam. Dalam kodifikasi hukum Islam yang diinginkan Ibnu al-Muqaffa terkandung usulan agar hukum yang dikodifikasi tidak hanya berasal dari satu mazhab fikqh, melainkan diplih dan ditarjih dari berbagai pendapat mazhab fiqh yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemashlahatan yang menghendaki. Usulan ini secara otomatis berupaya menghilangkan sekap ta’asub (fanatik) mazhab yang merajalela ketika itu.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan hukum Islam adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para Ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.[5]
Akan tetapi, ide ini tidak mendapatkan dukungan dari pihak penguasa karena dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan bertaklid di pihak lain. Artinya, apabila hukum telah dikodifikasi, maka keterpakuan pada hukum yang teelah dikodifikasi merupakan bentuk taklid lain dan pemilihan hukut yang tepat dari berbagai mazhab ketika itu tudak mungkin pula dapat menghindarkan unsur subyektifitas sebagian ulama fiqh. Atas dasar ini, pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Selanjutnya, Abu Ja’far al-Mansur ketika bertemu dengan Imam Malik, meminta kepadanya untuk menuliskan sebuah buku yang mencakup semua persoalan fiqh. Semula Imam Malik secara diplomatis menolak permintaan khalifah tersebut dengan mengatakan : “Penduduk Irak tidak mungkin menerapkan pendapat saya tersebut”. Teapi, khalifah Abu Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam Malik bahwa kitb yang akan disusun itu akan diberlakukan si seluruh wilayah Abbasiyahdan mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk seluruh warganya. Ia memberi waktu bagi Imam Malik untuk menyelesaikan buku tersebut selama satu tahun kamariah. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Imam Malik menyusun kitabnya yang terkenal al-muwatta.
Sesuai dengan waktu yang ditentukan, buku itu diserahkan kepada Muhammad bin al-Mahdi, utusan khalifah. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, buku al-Muwatta’ ini merupakan bentuk kodifikasi fiqh ketika itu, akan tetapi, sesuai dengan jawaban Imam Malik diatas, keinginan khalifah untuk hanya memberlakukan hukum yang terkandung dalam kitab al-Muwatta’ dalam menyelesaikan berbagai kasud diberbagai tempat dan budaya, tidak berjalan mulus.
Kodifikasi hukum Islam (fiqh) baru terealisasi pada tahun 1293 H/1876 M oleh kerajaan Turki Usmani (kerajaan Ottoman) dengan lahirnya kodifikasi hukum Islam pertama dalam mazhab hanafi, yang disebut Majallah al-Ahkam al-adliyyah (Hukum perdata kerajaan Turki Usmani), yang diberlakuakn disegenap wilayah kekuasaan Turki Usmani ketika itu sampai dasawarsa abad ke-20. majallah al-ahkam al-adliyah memuat 1.851 pasal yang tersebar dalam 16 bab. Akan tetapi, kodifikasi hukum yang dihimpun oleh ulama fiqh di zaman turki Usmani ini hanya mencakup bidang muamalah dan berasal dari satu mazhab saja, yaitu mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah, yang tidak tunduk kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima kodifikasi hukum fiqh tersebut karena mayoritas umat Islam di kedua daerah itu bermazhab Syafi’i.[6]
Setelah perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab. Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi hukum di Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir di bidang perdata yang diambil secara murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut kodifikasi hukum di Mesir mengalami berbagaii perubahan antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan 1952. di irak pun muncul kodifikasi hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959. kodifikasi hukum Islam di yordania pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami perubahan pada tahun 1976. Libanon, yang merupakan bagian kerajaan Turki Usmani, melakukan kodifikasi pula pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah mulai mengkodifikasi hukum Islam pada tahun 1949, Libya pada tahunn 1953, Maroko pada tahun 1913, Sudan pada tahun 1967 dan negara-negara Islam lainnya.[7]
Sekalipun yang disebutkan di atas hanya sebagian yang berlaku di negara-negara tersebut, khususnya di bidang hukum keluarga, perlu dicatat bahwa ide Ibnu al-Muqaffa tentang kodifikasi hukum (taqnin) baru mendapatkan jawaban setelah negara-negara Islam dijajah oleh Barat. Dalam upaya menghindari pengaruh hukum Eropa, ulama dan pakar hukum Islam di berbagao negara tersebut berupaya untuk melakukan kodifikasi hukum Islam, walaupun tidak meliputi seluruh aspek.
C. Sisi Positif dan Negatif Taqnin
Ide Ibnu al-Muqaffa untuk melakukan kodifikasi hukum Islam (taqnin) tidak terlepas sama sekali dari analisis ulama di zamannya dan ulama sesudahnya. Mereka melakukan berbagai penelitian dan pembahasan mengenai sisi negatif serta positif kodifikasi hukum Islam yang diajukan Ibnu al-Muqaffa tersebut. Dalam pembahasan para ahli fiqh, dikemukakan beberapa sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut antara lain:
1. Munculnya kekakuan hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas.” Di sisi lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2. Mandeknya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun mandek.
3. Munculnya persoalan taklid baru. Kodifikasi. Kodifikasi hukum Islam bisa memunculkan persoalan taklid baru karena warga negara yang terikat pada kodifiksi hukum tersebut hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam masih dapat berkembang, berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap orang dapat mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri. Hal ini juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqh, serta berlawanan dengan ungkapan iktilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah (perbedaan pendapat dikalangan ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu hukkum telah dikodifikasi, maka hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga negara dan bersifat mengikat bagi para pelaku hukum. Apabila hakim menentukan hukum secara berbeda daengan hukum yang telah dikodifikasi, maka hakim tersebut melanggar perundang-undangan yang sah.
Disamping sisi negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :
1. memudahkan para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum, para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam literatur fiqh.
2. Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3. menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4. Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili, ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya, kalau dikemudian hari ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan sebagian materi hhukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan materi hukum tersebut.[8] Dalam kaitan dengan ini, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah berlaku kaidah, “Perubahan hukum sesuai perubahan situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya.
Sekalipun ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut, seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama Islam di zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri masing-masing karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio – kultural dan politik. Bahkan di berbagai negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum perdata, pidana perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara, administrasi negara dan keuangan negara.
D. Taqnin (Kodifikasi hukum Islam) di Indonesia
Kodifikasi hukum untuk umat Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan, tetapi statusnya masih berada di bawah dominasi hukum adat karena teori resepsi sangat berpengaruh dalam hukum saat itu. Karenanya dapat dikatakan bahwa kodifikasi tersebut dimulai pada tahun 1974 dengan munculnya kodifikasi Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dengan peraturan pelaksanaannya (PP No. 9/1979 dan PP No. 10/1983), yang mengatur secara khusus persoalan perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil dan ABRI.
Kemudian muncul lagi Undang-Undang peradilan agama (UU No. 7/1989). Undang – undang ini pada dasarnya merupakan tuntutan dari UU No. 14/1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang mengakui adanya empat macam peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama. Keempat peradilan ini memiliki kedudukan samam dan wewenang secara mandiri mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya.
Selanjutnya, keluar pula Inpres RI No. 1/1991 tentang Kompilasi hukum Islam dibidang hukum perkawinan, perceraian, waris, wakaf, wasiat dan hibah. Lahirnya kompilasi hukum Islam di Indonesia (KHI), merupakan rangkaian lanjutan dalam upaya penyajian referensi materi hukum Islam yang seragam bagi semua hakim di lingkungan peradilan Agama dan instansi terkait, khususnya bidang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Dengan adanya KHI tersebut semua produk hukum yang keluar dari lingkungan Peradilan Agama harus berpedoman dan mengacu kepada KHI tersebut.[9]
Sebelum muncul UU No. 1/1974, UU No 7/1989, dan Inpres RI No. 1/1991, di Indonesia telah ada peraturan yang mengatur peradilan agama serta materi hukumnya, namun semua itu adalah produk dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kodifikasi hukum Islam diatas merupakan produk putra-putra Indonesia, yang menyangkut hukum Islam di Indonesia.
Taqnin atau yang sekarang biasa disebutkan sebagai kodifikasi merupakan upaya untuk memproses sekumpulan Undang-Undang yang akan ditetapkan –oleh penguasa- sebagai hukum positif yang mempunyai daya dan memaksa dalam mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat” atau bisa juga diartikan secara khusus sebagai “penetapan –oleh penguasa- sekumpulan undang-undang untuk mengatur masalah tertentu.
Sejarah kodifikasi hukum Islam dimulai dari kekhalifahan Abu Bakar yang menerima anjuran Umar untuk mengumpulkan tulisan-tulisan Alquran yang tercecer diberbagai tempat, yang kemudian disempurnakan pada masa khalifah Usman. Khusus untuk taqnin fiqh (kodifikasi hukum Islam) yang dalam artian berusaha untuk diberlakukan secara serempak diwilayah Islam, dimulai oleh pemerintahan khalifah Abbasiah tepatnya saat pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur. Kodifikasi hukum Islam tersebut ditulis oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta’. Namun dalam pemberlakuannya bagi seluruh kawasan yang dibawah naungan kekhalifahan Bani Abbasyiah banyak mengalami kendala dan penolakan dari berbagai pihak terutama pengikut mazhab Hanafi. Sejarah kodifikasi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan. Hasil dari kodifikasi yang teranyar adalah kompilasi Hukum Islam yang menjadi rujukan utama bagi penyelesaian konflik yang ada dalam wewenang pengadilan agama.
[1] M. Yasir Nasution, Hukum Islam dan Signifikansinya dalam Kehidupan Masyarakat Modern, Istislah : Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan, vol III, No 1 (Januari – Juni 2004), hal. 1-2.
[2] Tituts, at.al, Persoalan-Persoalan Filsafat, terjemahan H. M. Rasyidi dari Living Issues in Philosophy (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 223.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqh (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 30.
[4] Prof. Dr. H. Nasrrun Haroen, MA, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : PT. Ictiar Baru van Hoeve, 2001), Hal. 960.
[5] Rahmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), Hal. 27.
[6] Nasrun, dkk, Ensiklopedi…, hal 961.
[7] Ibid.
[8] Wahbah Zuhailiy, Ushul al-fiqh al-Islamiy ( Beirut, dar al-Fikr, 1980), hal. 40.
[9] Prof. Dr. Suparman Usman, SH, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), Hal. 147.
Idealnya hukum itu mesti berfungsi sebagai “agent of change” atau “alat at-taghyir” (sarana pembentuk, penentu, pelopor dan perubah) terhadap prilaku masyarakat. Hal ini akan tercapai bila hukum tersebut terlebh dahulu mengambil tempat sebagai social control dan social enginering. Suatu hal yang fital dalam mewujudkan idealitas adalah kesadaran hukum. Terlepas dari hal itu semua, ada hal terpenting yang tidak boleh terabaikan yakni jika ingin memberlakukan suatu hukum pada suatu wilayah atau negara, maka terlebih dahulu hukum itu diproses menjadi hukum yang positif dalam arti “legis”, “legality”, dan “Qanuniyah”, yang dalam istilah hukum Islam disebut dengan at-Taqnin. Makalah ini membahas tentang permasalahan taqnin dari mulai pengertian, sejarah dan perkembangannya di negara-negara Islam dan dampak negatif serta positifnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Taqnin
At-taqnin seakar kata dengan qanun yang berasal dari bahasa Yunani “canon”, kemudian masuk ke dalam bahasa Arab melalui bahasa Siryani). Secara etimologis, qanun berarti “ukuran segala sesuatu” (al-mistarah). Dalam perkembangan selanjutnya kata ini digunakan untuk menyebut “suatu peraturan” (al-qaidah). Pengertian inilah yang masyhur dan umum digunakan sampai sekarang di Eropa.
Ulama fiqh mengemukakan bahwa secara terminologis at-taqnin bisa diartikan sebagai penetapan –oleh penguasa- sekumpulan Undang-Undang yang mempunyai daya dan memaksa dalam mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat” atau bisa juga diartikan secara khusus sebagai “penetapan –oleh penguasa- sekumpulan undang-undang untuk mengatur masalah tertentu. Selanjutnya Imam Muhammad Abu Zahrah, seorang pakar hukum Islam Mesir dan mantan rektor Universitas al-Azhar, mendefinisikannya sebagai hukum-hukum Islam dalam bentuk buku atau kitab undang-undangg yng tersusun rapi, praktis dan sistematis, kemudian ditetapkan dan diundang-undangkan secara resmi oleh kepala negara, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang megikat dan wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh suluruh warga negara.[3]
B. Sejarah dan Perkembangan Taqnin
Pemikiran tentang at-taqnin dalam Islam sebenarnya telah dimulai sejak zaman al-khulfa ar-Rasyidun (empat khalifah besar), ketika Umar bin al-Khattab mengajukan usulan kepada khalifah Abu Bakar Siddiq untuk membukukan Alquran. Kemudian pada zaman Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah, dilakukan pula at-taqnin terhadap sunah Rasulullah SAW.
Adapun ide a-taqnin terhadap hukum Islam (fiqh) pertama kali dicanangkan oleh Abu Muhammad “Ibnu al-Muqaffa”, sekretaris negara di zaman pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur (memerintah tahun 137 – 159 H) dari Bani Abbasyiah. Ide ini diajukan oleh Ibnu al-Muqaffa kepada khalifah karena menurut pengamatannya terdapat kekacauan hukum dan peradilan ketika itu. Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam at-taqnin tersebut, antara lain untuk memberikan batasan jelas tentang hukum sehingga mudah disosialisasikan di masyaraka; dan untuk membantu para hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang dihadapi, tanpa harus melakukan “Ijtihad lagi. Inilah yang mendorong Ibnu al-Muqaffa sebagai sekretaris khalifah ketika itu untuk mengajukan usul kodifikasi hukum Islam, melalui bukunya ar-risalah as-Sahabah. [4]
Dalam buku tersebut, Ibnu al-Muqaffa berharap kekacauan hukum dan subyektifitas hakim di lembaga peradiln dapat dihindari dengan adanya kodifikasi hukum Islam. Dalam kodifikasi hukum Islam yang diinginkan Ibnu al-Muqaffa terkandung usulan agar hukum yang dikodifikasi tidak hanya berasal dari satu mazhab fikqh, melainkan diplih dan ditarjih dari berbagai pendapat mazhab fiqh yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemashlahatan yang menghendaki. Usulan ini secara otomatis berupaya menghilangkan sekap ta’asub (fanatik) mazhab yang merajalela ketika itu.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan hukum Islam adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para Ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.[5]
Akan tetapi, ide ini tidak mendapatkan dukungan dari pihak penguasa karena dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan bertaklid di pihak lain. Artinya, apabila hukum telah dikodifikasi, maka keterpakuan pada hukum yang teelah dikodifikasi merupakan bentuk taklid lain dan pemilihan hukut yang tepat dari berbagai mazhab ketika itu tudak mungkin pula dapat menghindarkan unsur subyektifitas sebagian ulama fiqh. Atas dasar ini, pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibnu al-Muqaffa tersebut.
Selanjutnya, Abu Ja’far al-Mansur ketika bertemu dengan Imam Malik, meminta kepadanya untuk menuliskan sebuah buku yang mencakup semua persoalan fiqh. Semula Imam Malik secara diplomatis menolak permintaan khalifah tersebut dengan mengatakan : “Penduduk Irak tidak mungkin menerapkan pendapat saya tersebut”. Teapi, khalifah Abu Ja’far al-Mansur meyakinkan Imam Malik bahwa kitb yang akan disusun itu akan diberlakukan si seluruh wilayah Abbasiyahdan mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk seluruh warganya. Ia memberi waktu bagi Imam Malik untuk menyelesaikan buku tersebut selama satu tahun kamariah. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Imam Malik menyusun kitabnya yang terkenal al-muwatta.
Sesuai dengan waktu yang ditentukan, buku itu diserahkan kepada Muhammad bin al-Mahdi, utusan khalifah. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, buku al-Muwatta’ ini merupakan bentuk kodifikasi fiqh ketika itu, akan tetapi, sesuai dengan jawaban Imam Malik diatas, keinginan khalifah untuk hanya memberlakukan hukum yang terkandung dalam kitab al-Muwatta’ dalam menyelesaikan berbagai kasud diberbagai tempat dan budaya, tidak berjalan mulus.
Kodifikasi hukum Islam (fiqh) baru terealisasi pada tahun 1293 H/1876 M oleh kerajaan Turki Usmani (kerajaan Ottoman) dengan lahirnya kodifikasi hukum Islam pertama dalam mazhab hanafi, yang disebut Majallah al-Ahkam al-adliyyah (Hukum perdata kerajaan Turki Usmani), yang diberlakuakn disegenap wilayah kekuasaan Turki Usmani ketika itu sampai dasawarsa abad ke-20. majallah al-ahkam al-adliyah memuat 1.851 pasal yang tersebar dalam 16 bab. Akan tetapi, kodifikasi hukum yang dihimpun oleh ulama fiqh di zaman turki Usmani ini hanya mencakup bidang muamalah dan berasal dari satu mazhab saja, yaitu mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah, yang tidak tunduk kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima kodifikasi hukum fiqh tersebut karena mayoritas umat Islam di kedua daerah itu bermazhab Syafi’i.[6]
Setelah perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab. Sebelumnya, kodifikasi hukum Islam diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula dengan kodifikasi tahun 1883. kodifikasi hukum di Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan hukum Barat (Eropa). Setelah itu pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya, seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir di bidang perdata yang diambil secara murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut kodifikasi hukum di Mesir mengalami berbagaii perubahan antara lain pada tahun 1920, 1929, 1946 dan 1952. di irak pun muncul kodifikasi hukum Islam yaitu pada tahun 1951 dan 1959. kodifikasi hukum Islam di yordania pertama kali dilakukan pada tahun 1951 dan mengalami perubahan pada tahun 1976. Libanon, yang merupakan bagian kerajaan Turki Usmani, melakukan kodifikasi pula pada tahun 1917 dan 1934. kemudian suriah mulai mengkodifikasi hukum Islam pada tahun 1949, Libya pada tahunn 1953, Maroko pada tahun 1913, Sudan pada tahun 1967 dan negara-negara Islam lainnya.[7]
Sekalipun yang disebutkan di atas hanya sebagian yang berlaku di negara-negara tersebut, khususnya di bidang hukum keluarga, perlu dicatat bahwa ide Ibnu al-Muqaffa tentang kodifikasi hukum (taqnin) baru mendapatkan jawaban setelah negara-negara Islam dijajah oleh Barat. Dalam upaya menghindari pengaruh hukum Eropa, ulama dan pakar hukum Islam di berbagao negara tersebut berupaya untuk melakukan kodifikasi hukum Islam, walaupun tidak meliputi seluruh aspek.
C. Sisi Positif dan Negatif Taqnin
Ide Ibnu al-Muqaffa untuk melakukan kodifikasi hukum Islam (taqnin) tidak terlepas sama sekali dari analisis ulama di zamannya dan ulama sesudahnya. Mereka melakukan berbagai penelitian dan pembahasan mengenai sisi negatif serta positif kodifikasi hukum Islam yang diajukan Ibnu al-Muqaffa tersebut. Dalam pembahasan para ahli fiqh, dikemukakan beberapa sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut antara lain:
1. Munculnya kekakuan hukum. Manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkemdang dan perkembangan ini sering kali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fiqh menyatakan, “Hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas.” Di sisi lain, fiqh Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat dan zaman yang lain. Tidak jarang diteukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kodifikasi hukum bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2. Mandeknya upaya ijtihad. Kodifikasi hukum Islam dapat mengakibatkan kemandekan upaya ijtihad dikalangan ulama fiqh. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku pada fiqh yang telah dikodifikasi tersebut sehingga perkembangan berpikirnya pun mandek.
3. Munculnya persoalan taklid baru. Kodifikasi. Kodifikasi hukum Islam bisa memunculkan persoalan taklid baru karena warga negara yang terikat pada kodifiksi hukum tersebut hanya terikat pada satu pendapat. Padahal fiqh Islam masih dapat berkembang, berbeda antara satu pendapa dan pendapat lainnya, sehingga setiap orang dapat mengikuti pendapat mana saja selama belum mampu berijtihad sendiri. Hal ini juga memberikan kesan mengenai sempit dan sulitnya fiqh, serta berlawanan dengan ungkapan iktilaf ala al-aimmah rahmah li al-ummah (perbedaan pendapat dikalangan ulama merupakan rahmat bagi umat). Apabila suatu hukkum telah dikodifikasi, maka hukum itu harus dipatuhi olehh seluruh warga negara dan bersifat mengikat bagi para pelaku hukum. Apabila hakim menentukan hukum secara berbeda daengan hukum yang telah dikodifikasi, maka hakim tersebut melanggar perundang-undangan yang sah.
Disamping sisi negatif di atas, ulama fiqh juga mengemukakan sisi positif adanya kodifikasi hukum Islam tersebut, antara lain :
1. memudahkan para praktisi hhukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab fiqh yag tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya kodifikasi hukum, para praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam literatur fiqh.
2. Mengukuhkan fiqh Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fiqh Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan hanya antar mazhab, tetapi juga perbedaan antarulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu mazhab. Keadaan seperti ini sangat menyulitkan praktisi hukum (apalagi orang awam) untuk memilih hukum yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang itu bermazhab Hambali atau Syafi’I, sehingga hasil ijtihad Mazhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih prakti dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum, apabila di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3. menghindari sikap taklid mazhab di kalangan praktis hukum, yang selama ini menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4. Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga – lembaga peradilan. Apabila hukum dalam suatu negara tidah hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan hanya membingungkan umat, tetapi juga mengganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu peradian dan peradilann lainnya. Dalam kaitan ini, Wahbah Zuhaili, ahli fiqh dan usul fiqh kontemporer Suriah berkomentar bahwa kodifikasi hukum di zaman sekarang merupakan tuntutan zaman dan tidak dapat dihindari karena tidak semua orang mampu merujuk kitab-kitab fiqh dalam berbagai mazhab, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab. Namun demikian, menurutnya, kodifikasi hukum Islam tidak bersifat kaku. Artinya, kalau dikemudian hari ternyata tuntutan zaman dan perubahan masyarakat menghendaki hukum lain dan penerapan sebagian materi hhukum yang telah dikodifikasi tidak sesuai lagi dengan kemaslahatan masyarakat, maka pihak pemerintah harus melakukan perubahan materi hukum tersebut.[8] Dalam kaitan dengan ini, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah berlaku kaidah, “Perubahan hukum sesuai perubahan situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya.
Sekalipun ada kecemasan terhadap sisi – sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut, seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama Islam di zaman modern lebih banyak mendukung ide kodifikasi hukum di negeri masing-masing karena terdesak oleh situasi dan kondisi sosio – kultural dan politik. Bahkan di berbagai negara Islam, kodifikasi hukum disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan bidangnya masing-masing, seperti kodifikasi bidang hukum perdata, pidana perseorangan serta keluarga, peradilan, tata usaha negara, administrasi negara dan keuangan negara.
D. Taqnin (Kodifikasi hukum Islam) di Indonesia
Kodifikasi hukum untuk umat Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan, tetapi statusnya masih berada di bawah dominasi hukum adat karena teori resepsi sangat berpengaruh dalam hukum saat itu. Karenanya dapat dikatakan bahwa kodifikasi tersebut dimulai pada tahun 1974 dengan munculnya kodifikasi Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dengan peraturan pelaksanaannya (PP No. 9/1979 dan PP No. 10/1983), yang mengatur secara khusus persoalan perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil dan ABRI.
Kemudian muncul lagi Undang-Undang peradilan agama (UU No. 7/1989). Undang – undang ini pada dasarnya merupakan tuntutan dari UU No. 14/1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang mengakui adanya empat macam peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama. Keempat peradilan ini memiliki kedudukan samam dan wewenang secara mandiri mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya.
Selanjutnya, keluar pula Inpres RI No. 1/1991 tentang Kompilasi hukum Islam dibidang hukum perkawinan, perceraian, waris, wakaf, wasiat dan hibah. Lahirnya kompilasi hukum Islam di Indonesia (KHI), merupakan rangkaian lanjutan dalam upaya penyajian referensi materi hukum Islam yang seragam bagi semua hakim di lingkungan peradilan Agama dan instansi terkait, khususnya bidang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan. Dengan adanya KHI tersebut semua produk hukum yang keluar dari lingkungan Peradilan Agama harus berpedoman dan mengacu kepada KHI tersebut.[9]
Sebelum muncul UU No. 1/1974, UU No 7/1989, dan Inpres RI No. 1/1991, di Indonesia telah ada peraturan yang mengatur peradilan agama serta materi hukumnya, namun semua itu adalah produk dari zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kodifikasi hukum Islam diatas merupakan produk putra-putra Indonesia, yang menyangkut hukum Islam di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Taqnin atau yang sekarang biasa disebutkan sebagai kodifikasi merupakan upaya untuk memproses sekumpulan Undang-Undang yang akan ditetapkan –oleh penguasa- sebagai hukum positif yang mempunyai daya dan memaksa dalam mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat” atau bisa juga diartikan secara khusus sebagai “penetapan –oleh penguasa- sekumpulan undang-undang untuk mengatur masalah tertentu.
Sejarah kodifikasi hukum Islam dimulai dari kekhalifahan Abu Bakar yang menerima anjuran Umar untuk mengumpulkan tulisan-tulisan Alquran yang tercecer diberbagai tempat, yang kemudian disempurnakan pada masa khalifah Usman. Khusus untuk taqnin fiqh (kodifikasi hukum Islam) yang dalam artian berusaha untuk diberlakukan secara serempak diwilayah Islam, dimulai oleh pemerintahan khalifah Abbasiah tepatnya saat pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur. Kodifikasi hukum Islam tersebut ditulis oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatta’. Namun dalam pemberlakuannya bagi seluruh kawasan yang dibawah naungan kekhalifahan Bani Abbasyiah banyak mengalami kendala dan penolakan dari berbagai pihak terutama pengikut mazhab Hanafi. Sejarah kodifikasi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan. Hasil dari kodifikasi yang teranyar adalah kompilasi Hukum Islam yang menjadi rujukan utama bagi penyelesaian konflik yang ada dalam wewenang pengadilan agama.
DAFTAR PUSTAKA
- M. Yasir Nasution, Hukum Islam dan Signifikansinya dalam Kehidupan Masyarakat Modern, Istislah : Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan, vol III, No 1, Januari – Juni 2004.
- Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqh. Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
- Nasrrun Haroen, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT. Ictiar Baru van Hoeve, 2001.
- Rahmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999.
- Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002.
- Tituts, at.al, Persoalan-Persoalan Filsafat, terjemahan H. M. Rasyidi dari Living Issues in Philosophy Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
- Wahbah Zuhailiy, Ushul al-fiqh al-Islamiy. Beirut, dar al-Fikr, 1980.
[1] M. Yasir Nasution, Hukum Islam dan Signifikansinya dalam Kehidupan Masyarakat Modern, Istislah : Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan, vol III, No 1 (Januari – Juni 2004), hal. 1-2.
[2] Tituts, at.al, Persoalan-Persoalan Filsafat, terjemahan H. M. Rasyidi dari Living Issues in Philosophy (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 223.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ilmu Ushul Fiqh (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 30.
[4] Prof. Dr. H. Nasrrun Haroen, MA, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : PT. Ictiar Baru van Hoeve, 2001), Hal. 960.
[5] Rahmat Syafi’I, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999), Hal. 27.
[6] Nasrun, dkk, Ensiklopedi…, hal 961.
[7] Ibid.
[8] Wahbah Zuhailiy, Ushul al-fiqh al-Islamiy ( Beirut, dar al-Fikr, 1980), hal. 40.
[9] Prof. Dr. Suparman Usman, SH, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), Hal. 147.