Ada sejumlah karya ilmiah tentang peradaban Islam yang dipandang dan diakui telah didasarkan pada metodologi yang objektif. Disamping itu ada beberapa karya yang dipandang atau dituduh tidak didasarkan pada metodologi yang objektiv dan jujur, seperti Seven Sleepers. Salah satu buku yang telah mendapat pengakuan dari kalangan sarjana-sarjana studi Islam, baik Muslim maupun non-Muslim adalah The Venture Of Islam karya Marshall Hodgson, yang karyanya pada kesempatan ini akan direview.
Marshall, menurut kebanyakan sarjana juga oleh pemakalah, telah berhasil membuat suatu metodologi baru dalam kajian-kajian ke-Islaman. Metode yang ia kembangkan ini, yang berasal dari kritiknya terhadap para pengkaji Islam yang berasal dari Eropa, yang dahulunya disebut sebagai Orientalist, telah berhasil mempengaruhi sebagian besar kalangan pengkaji perdaban Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Metodologi yang ia perkenalkan ini mencakup beberapa term-term yang sudah umum dipakai oleh kalangan Orientalis, objek studinya, keluasan bidang studinya, komitment awal, sumber terjemahan yang dipakai, yang semua itu bermuara pada satu kritik dan ide;’’letakalanlah perdaban Islam sesuai dengan konteksnya dalam perdaban dunia, karena tidak ada dunia, baik dunia Islam atau dunia Kristen, yang ada adalah dunia ini yakni bumi’’.
Akan ada kesulitan yang sangat besar dan esensial dalam memahami karya Marshall Hodgson ini, dikarenakan kekomplekan pemikirannya, tingkat pemikirannya yang berlapis, pemakaian term-term yang baru yang sungguh segar. Kesulitan ini diakui oleh kalangan pembaca baik itu pembaca pribumi berbahasa Inggris, apa lagi kita orang-orang Indonesia. Menurut Mulyadi Kartanegara, seorang pembaca karya Hodgson harus mempunyai keseriusan yang bisa mengimbangi keseriusan Hodgson ketika menulis buku ini.
Kita, menurut pemakalah, sebaiknya terlebih dahulu melapisi pengetahuan dasar dan pertengahan dalam studi peradaban Islam sebelum mulai membaca dan memahami karya besar ini-karya yang dinobatkan sebagai buku abad 19-.
Visi Syari’at Islam yang merupakan salah satu sub bab dalam bukunya ini menjelaskan sejarah, perkembangan, pembentukan dan dilema pemikiran Hukum Islam, yang begitu besar dipengaruhi oleh masalah sosial, baik oleh sosial lokal ataupun non-lokal. Review ini akan mencoba mengulas kembali, dengan bahasa yang sesederhana mungkin, artikel The Shar’I Islamic Vision c 750-945 (apa sih isi artikel ini?). tentu saja isi artikel yang sungguh sangat komplek ini, termasuk asal-muasal sunnah, ijma’, bid’ah, prinsip dasar Syari’ah dan lain-lain, ini tidak akan bisa diutarakan dengan bahasa yang lazim, meski seperti di atas, pemakalah akan mencoba dengan sesederhana mungkin.
B. Sebuah Metodologi
Sub-bab ini perlu, menurut pemakalah, untuk memudahkan kita dalam memahami karya Marshall Hodgson dan review ini.
Syari’at yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai the Shar’i menurut sebagian besar para sarjana adalah Hukum Islam, yaitu jalan kebenaran. Memang definisi ini bahkan menjadi rancu pada sekarang ini karena adanya defenisi ideal dengan kenyataan yang ada di masyarakat Muslim. Idealnya Syari’ah harus dijalani dan ditaati, karena Syari’ah itu sendiri merupakan hukum yang diberikan oleh Allah SWT, akan tetapi ternyata dalam perkembangan baik itu abad-abad klasik dari sejak munculnya pemikiran Ilmu Fikih, syari’at ternyata adalah fikih, yang berarti pendapat para ulama yang dirumuskan berdasarkan metode tertentu.
Banyak buku-buku tentang hukum Islam dan sejarah perkembangannya-sepanjang yang pemakalah kaji-tidak bisa merumuskan dengan memuaskan apakah itu Syari’ah? Dalam ensiklopedi-ensiklopedi hukum Islam juga bahkan tidak mendefenisikan apa itu Syari’ah.[1]
Syari’ah[2] sering didefinisikan sebagai tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan pekerjaan seorang mukallaf baik berupa tuntutan, pemilihan, atupun larangan, sebab, syarat, penghalang, sah, batal , rukhsah atau azimah. [3] Tapi tampaknya, lebih tepatnya ini adalah hukum yang berkaitan dengan hukum perbuatan seorang muslim. Mukhtar Yahya memberikan defenisinya tentang Syari’ah bila dilihat dari sisi Ushul Fikih adalah seperti defenisi di atas, kecuali ia menambahkan ‘tidak berkaitan dengan dengan akhlak[4]
Sedangkan Joseph Schacht merumuskan Syari’ah sebagai seluruh kewajiban keagamaan, segala perintah Allah SWT yang mengatur segala aspek kehidupan muslim dalam setiap aspeknya, seperti ibadah, politik dan hukum dalam arti sempit. Kemudian ia membedakannya dengan yang ia sebut sebagai hukum Islam, yakni produk penyelidikan kritis dari sudut agama dan jauh dari keseragaman praktek karena mengandung komponen hukum Arabia dan sejumlah komponen yang dapat diterima oleh seluruh rakyat di daerah yang didudukinya.[5] Meskipun ini sebenarnya lebih cendrung kepada arti Syari’ah dan Hukum Islam pada masa abad ke-dua, tapi tampaknya ini dapat diterima.
Ada juga yang mendefinisikan syari’at sebagai hukum-hukum yang diadakan oleh Allah SWT untuk kaum muslimin yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, baik hukum yang berkenaan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu fikih ataupun yang berkenaan dengan keyakinan yaitu theologi.[6]
Begitulah rancunya defenisi Syari’ah. Apakah sama dengan fikih dan hukum Islam, apakah mencakup dengan dengan bidang keyakinan. Bila kita kembali kepada pengertian Syari’ah yang ideal seperti ketika term Syari’ah belum meluas atau menyempit, maka Syari’ah selain mencakup fikih dan teologi juga mencakup moral. Ada suatu definisi yang ideal juga sesuai dengan apa yang terjadi, yaitu definisi Ali At-Tamimy, menurutnya Syari’ah adalah hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hambanya yang dibawa oleh Nabi, baik yang berkaitan dengan cara perbuatan yang dinamakan dengan hukum-hukum cabang dan amaliah yang dikodifikasikan dalam ilmu Fikih ataupun yang berkaitan dengan kepercayaan yang dinamakan hukum-hukum pokok dan I’tiqadiyah yang dikodifikasikan dalam ilmu Kalam.[7]
Sedangkan syari’at yang dimaksud oleh Hodgson dalam artikel ini lebih cenderung kepada apa yang dihasilkan fikih. Memang Hodgson tidak mendefenisikannya secara jelas, tapi dapat disimpulkan bahwa yang beliau maksud adalah sejumlah hukum (peraturan) yang terpilih menurut yang menganutnya, sesuai daerah yang mereka duduki, yang berdasarkan ijtihad para ulama bersumber dari Qur’an, hadist, sunnah (baik sunnah Nabi maupun lokal), dengan metode ushul fikih, yang kemudian menjadi fikih lalu menjadi syari’at.[8]
Memang defenisi syari’at menurut Marshal ini berbeda dengan arus utama dalam mendefenisikan syari’ah, sebagaimana didefenisikan oleh mayoritas sarjana-sarajana muslim. Perbedaan dan persoalan yang timbul adalah, apakah Syari’ah itu merupakan hasil pemikiran ulama fikih, ataukah fikih hanyalah manifesatasi istimewa dari syari’at.[9] Akan tetapi bila kita mau memperhatikan antar definisi ideal dengan faktual, maka kita akan dapat menerima kedua corak definisi diatas. Karena Marshall lebih cenderung untuk mengatakan bahwa Syari’ah yang beliau maksud adalah Syari’ah dalam arti faktual, karena itu kami dapat memahami bila ia mengatakan Syari’ah itu merupakan turunan dari fikih.
Pendapat yang agak mirip juga diutarakan oleh Nurcholish Madjid, yang mengindikasikan adanya kesenjangan peran Syari’ah antara peran ideal dengan peran faktual. Menurutnya idealnya kata hukm itu berarti wisedom dalam bahasa Inggris, atau wicaksana dalam bahasa Jawa. Hingga kemudian kata hukm itu dalam arti luas tidak bisa diterjemahkan sebagai hukum atau hukum positif dalam bahasa Indonesia, karena hukm dalam arti luas ini merupakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT, baik itu hukum positif, ibadah, akhlak, pandangan hidup dan padangan dunia dan lain sebagainya. Dari situ kami dapat memahami bahwa beliau juga menemukan kesenjangan dalam peran Syari’ah.[10]
Sedangkan term ‘sunnah’ kadang-kadang dipakai dalam arti prilaku nabi atau prilaku yang disetujui Nabi, yang itu merupakan prilaku Sahabat yang beliau lihat atau prilaku orang lain yang Nabi ketahui dan disetujuinya, tapi kadang juga berarti sebagai tradisi lokal yang bisa saja tidak berkenaan dengan Nabi, tapi dianggap sebagai paling dekat kepada Nabi. Memang the origin of sunnah ini adalah tradisi lokal yang diklaim mempunyai pertalian dengan tradisi Nabi,[11] meskipun ternyata tidak. Untuk membedakan hal seperti ini, pemakalah akan menggunakan kata ‘sunnah’ untuk menunjukkan prilaku Nabi, sedangkan kata ‘tradisi’ akan mewakili tradisi lokal yang dianggap sebagai sunnah.
Sedangkan term ‘hadist’ adalah untuk maksud perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW sesuai dengan kebanyakan defenisi para sarjana ahli hadis.[12] Tapi Hadis tidaklah mencakup peryataan atau cerita tentang sahabat-sahabat, yang tidak ada sangkut pautnya dengan nabi, seperti defenisi hadist yang mulai berkembang sekarang ini, seperti juga yang banyak diketemukan dalam karya Imam Bukhari.[13]
Sedangkan kata ‘vision’ yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘visi’ berarti pandangan, juga berarti impian.[14] Maka kemudian, menurut pemakalah kata ini dalam artikel Marshall lebih cenderung kepada ‘pandangan dan impian’.
Kemudian ada satu kata yang agak kurang lazim dalam bahasa ilmiah kemudian banyak dipakai oleh Marshall dan juga oleh beberapa ahli-ahli Islam, yaitu ‘shalih’. Kata ini berarti dalam arti yang sesungguhnya yaitu ‘alim, baik’ yang pada dasarnya berarti menundukkan segala tingkah lakunya berdasar syar’iah.
C. Sekilas Uraian Marshal Dalam The Shar’i Islamic Vision
Marshal sangat meyakini bahwa praktek-praktek Muslim (kata ‘muslim’ ini oleh Marshal dipakai dengan kata ‘Islam’) awal pada masa Nabi dan sesudahnya terpengaruh dengan praktek-praktek Arab dan praktek-praktek agama selain Islam. bahkan menurut Marshall, bagaimana seharusnya Islam-dalam pandangan Muslim klasik-mengatur dan memberikan dasar-dasar bagi masyarakat terpengaruh dengan praktek dan pandangan kaum Yahudi, Nasrani dan Mazdean. Ini dituangkan dalam sub judul Islamic Aspirations (hal 317/4).
Salah satu sumber dan pola yang sangat signifikan yang nantinya akan memberikan contoh bagaimana seharusnya ummat Islam, hukumnya dan pemerintahannya berbuat dan berperan ditemukan di Madinah awal, pada masa Nabi. Menurut Marshall, banyak praktek-praktek muslim belakangan yakni pada masa munculnya mazhab-mazhab fikih, dirumuskan dari praktek Madinah (318/17).
Dalam usaha untuk mengadopsi pola-pola yang ditetapkan oleh nabi Muhammad di Madinah, para sarjanawan Muslim selanjutnya mendapatkan beberapa perbedaan mencolok yang itu kalau tidak dimodifikasi akan menyebabkan ketidakmungkinan pola Madinah diaplikasikan kedalam masayarakat selanjutnya. Modifikasi inilah selanjutnya yang akan menemukan apa sebenarnya yang esensial yang ingin diberikan oleh Muhammad (328/8).
Pada masa selanjutnya, jalan keluar inipun didapatkan, yakni kembali kepada cita-cita Nabi yang tergambar dalam prakteknya. Muncullah kemudian usaha untuk menjadikan sunnah Nabi sebagai salah satu acuan dalam merumuskan hukum, sebagai ganti tradisi penduduk setempat yang sebenarnya tidak berkaitan dengan praktek beliau (326/30).
Sejak saat itu, mulailah dirumuskan sistem Ushul Fikih untuk mengikat pendapat hukum, agar tidak menetapkan hukum kecuali berdasarkan sumber yang jelas. Munculnya Ushul Fikih ini kemudian memunculkan keseragaman berfikir sarjana-sarjana muslim pada masa Imam yang empat dan tetap berpengaruh kuat hingga masa sesudahnya (329/35).
Dengan munculnya sistem Ushul Fikih ini, maka pemikiran Hukum Islampun dapat dirumuskan dengan baik. Marshall, dalam kajiannya memberikan uarain tentang contoh-contoh hukum dalam hukum keluarga, semangat hukum, hukum personal, otoritas kolektif, legitimasi negara kekhalifahan dan lain sebagainya. Menurutnya, dengan munculnya Ushul Fikih kita dapat menemukan pola-pola Hukum Islam yang ada pada masa imam yang empat (333/1)
D. Aspirasi-Aspirasi Islam; Spiritualitas Universalitas Populistik (Review)
Menurut Marshall ada kecenderungan yang sangat umum yang dianut oleh semua masyarakat sosial religius terutama di kalangan para pemuka agama yang shaleh yaitu keinginan memurnikan ajaran agama dalam tingkah laku sosial dari ide-ide sekuler (Marshall, hal. 315, baris ke-12). Keinginan untuk menundukkan segala tata-cara tingkah laku masyarakat sesuai dengan tuntuan agama tergambar jelas dalam agama-agama sebelum Islam, khususnya dalam kajian ini seperti agama Yahudi, Mazdean[15] dan Kristen. Maka tentu saja agama Islam teramasuk salah satu yang mengalami kecenderungan itu.
Di kalangan yahudi dan Mazdean misalnya, ada suatu upaya yang jelas untuk membangun aturan hidup pribadi baik sosial yang harus bersumber pada setiap incinya pada agama. Ketundukan ini terus menerus dilakukan seraya terus menjalani kehidupan normal. Menurut Marshall, kebiasaan muslim nantinya juga mencerminkan hal-hal serupa. Islam mengatur moral para penganutnya, dengan sistem kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu. Ketertiban sosialpun pada satu aspek merupakan kewajiban atas individu dengan berlakunya amar ma’ruf nahy an munkar, tapi pada aspek lain ia merupakan kewajiban seorang yang diberi tanggung jawab-seperti yang tercermin dalam masyrakat Madinah awal yaitu masa Rasul dan Khalifah Rasyidah-.
Agama Mazdean atau Zoroaster, mengenal adanya cahaya dan kegelapan, juga mengenal hari pembalasan, yang setiap orang akan diadili sesuai dengan partisipasinya dalam membela cahaya dan memerangi kegelapan. Maka menurut agama ini tidak ada strifikasi sosial yang berdasarkan keturunan yang telah ditahbiskan oleh Ahura Mazda. Pendeta adalah sebagai pengatur yang telah diberikan oleh sang Ahura untuk melestarikan sistem sosial yang telah diridhoinya.[16]
Sedangkan agama Yahudi, seperti yang tertuang dalam kitab suci Talmud, mencerminkan perturan umum dan pribadi berdasarkan agama, dan menolak kehidupan model monastik.[17] Menjelang masa Muhammad SAW jumlah penganut Yahudi sangat signifikan mulai dari sungai Nil hingga ke Oksus, termasuk juga di Madinah. Maka pada ketika ada sebagain penting dari penganutnya telah masuk Islam, tentu saja akhirnya ini mempengaruhi Islam itu sendiri. Salah satu bentuknya adalah Israiliyat[18] yang mendominasi legenda awal Islam. Akan tetapi menurut Fazlurrahman aspek Yahudi dalam perdaban Islam terlalu dibesar-besarkan oleh para ahli-ahli Islam di Eropa.[19]
Selanjutnya akan tampak banyak semangat-semangat yang membentuk harapan-harapan Muslim tentang bagaimana seharusnya sebuah agama itu terilhami oleh contoh-contoh Yahudi (hal 317/4). Agama Islam yang seharusnya menjadi pengatur kehidupan sosial, politik dan ekonomi kemudian menguat setelah terjadinya beberapa pemberontakan pada masa Bani Umayyah, dan juga didukung oleh aspek meluasnya agama Islam yang kemudian dianut oleh berbagai masyarakat yang begitu heterogen. Semangat ini tumbuh sangat subur ketika orang-orang Yahudi di Iran memeluk Islam.
Agama Islam, seperti halnya agama Yahudi dan Mazdean, menginginkan tata-cara kehidupan sosial berdasarkan agama secara universal. Artinya keinginan untuk mengikuti contoh Nabi dalam semua aspek kehidupannya, baik sebagai kepala rumah tangga, pemimpin dan lain sebagainya. Begitu juga dalam tatanan masyarakat yang diinginkan oleh Islam sesuai dengn cita-cita orang shaleh. Agama Yahudi dan Mazdean seperti yang kita kemukakan diatas tidak akan memberikan peluang untuk munculnya tatanan aristokratis.
Akan tetapi agama Islam yang benar-benar baru dan segar tentu saja berbeda dengan agama Yahudi dan Mazdean,-tentu saja Kristen yang menganut trinitas, sangat jauh berbeda-. Salah satu perbedaan yang mencolok adalah konsep agama Islam yang ingin menyebarkan agama. Hal ini terjadi karena tidak ada konsep ummat terpilih seperti yang dianut oleh agama Yahudi, yang membiarkan ummat lain selain keturunan mereka tidak masuk dalam bimbingan agama mereka.
Karena itu Islam telah dibentuk dari sudut pandang pengharapan-pengharapan yang telah dibantu perkembangannya oleh tradisi-tradisi religius monotheistik besar, khususnya yang berkembang di kawasan Bulan Sabit Yang Subur.
E. Aspirasi-Aspirasi Hukum Islam yang; Pengaruh Budaya
Kultur masyarakat Arabia sangatlah banyak mempengaruhi hukum Islam, salah satu contoh yang paling jelas adalah konsep ‘Sunnah’ atau tradisi yang dikenal luas sebelum datangnya Islam, atau kalau anda setuju, bagai mana kemudian Alquran begitu banyak menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan istilah-istilah perdagangan yang begitu marak dalam masyarkat Arabia.[20]
Tidak ada lembaga hukum yang berkembang di kalangan masyarakat Arabia sebelum datangnya Muhammad SAW, baik di Mekkah ataupun Madinah. Hukum yang mereka anut adalah tradisi yang terus hidup di kalangan mereka. Seorang hakim, ditunjuk bebas oleh mereka yang bertikai. Biasanya hakim ini melanjutkan tradisi yang sudah ada. Semua kalangan yang bersengketa memberikan jaminan bahwa mereka akan mentaati keputusan hakim yang mereka angkat tersebut. Jaminan ini bisa berupa harta benda ataupun sumpah. Begitu juga dengan perkara pidana, seorang yang membunuh atau merugikan orang lain, maka seluruh klan pelaku tersebut akan dikenakan denda. Lihatlah betapa kemudian denda dikukuhkan oleh Islam.
Sedangkan dalam hukum keluarga hanya berdasarkan nasab. Arabia menganut sistem Patrineal yang begitu kuat, hingga wanita adalah manusia yang tidak dihormati, dikawini dan lalu diceraikan lalu bisa saja besoknya dikawini kembali tanpa ada aturan yang jelas. (masa iddah ditetapkan untuk menganggkat derajat wanita). Adapun kultur yang memberi ‘mahar’ kepada wanita kemudian dikukuhkan oleh Islam. Praktek poligami adalah masalah yang sungguh mewabah, kebiasaan mereka beristri tanpa batas terus berlanjut, baik dikumpulkan dalam satu rumah ataupun tidak. Sangat banyak aspek dan masalah kultur yang kemudian diatur oleh agama Islam.
Masyarakat Arabia, khusunya masyarakat Mekkah adalah yang paling konsisten dalam menentang trend perceraian politik yang sungguh mewabah pada saat itu, dimana kerajaan-kerajaan besar dan kecil dalam keadan perang. Mereka terus melakukan aktvitas ekonomi dengan berdagang, kaum Mekkah adalah masyarakat yang dikenal pandai dan liha dalam berdagang. Bahkan mereka mempunyai kesepakatan bersama untuk tidak melakukan persengketaan apapun dalam satu masa yang ditentukan yang dikenal dengan ‘haram’, tempat maupun waktu. Pada masa inilah dilakukan ibadah, orang-orang luar banyak datang untuk beribadah ke Mekkah, pada saat ini juga-tentu saja-merupakan saat yang tepat untuk berdagang dan berdamai.[21]
Sungguh sangat banyak contoh-contoh kulural yang kemudian dilarang ataupun yang dikuatkan oleh Islam. Semua itu biasanya merupakan pokok-pokok masalah, atau dengan kata lain merupakan masalah yang sungguh mencolok, trend, yang tidak hanya dalam masyarakat Arabia tapi juga di sebagian besar bangsa di seluruh dunia.
F. Citra Syar’i Kota Madinah Yang Murni Dan Esensial
Salah satu yang membedakan Islam dengan beberapa tradisi religius besar lainnya adalah, penekanan bahwa pertanggung jawaban manusia yang langsung dan universal di hadapan Allah SWT (318/17). Hal ini berarti siapapun harus bertanggung jawab dan wajib mentaati perintah Allah SWT, tidak ada perantara, tidak pertanggung jawaban kelompok, dan tidak boleh untuk metaati selain Allah SWT, apabila tidak sesuai dengan perintahNya.
Tapi kemudian, dari sudut pandang bahwa Islam harus mengatur kehidupan sosial sebagai suatu keseluruhan, maka akan timbul beberapa masalah. Islam tidak akan mengakui tatanan sosial seperti dalam agama Hindu, karena ketinggian seseorang hanya dipandang dari tingkat ketakwaanya. Islam tidak mengakui hak teroterial seperti kita sekarang ini, hak nasionalitas, karena seluruh ummat adalah sama mempunyai hak dan kewajiban menyembah tuhan. Bahkan menurut Marshal-yang kami sependapat dengannya- Islam pada dasarnya tidak mengatur negara, atau organisasi yang mengatur dan bertanggung jawab atas tata tertib umum, karena hal itu merupakan tanggung jawab individu pada dasarnya. Singkat kata tidak ada manusia, tidak ada lembaga yang dapat meringankan tanggung jawaban langsung dan universal di hadapan tuhan.
Masalah yang kami maksudkan adalah dengan begitu, komunitas muslim tentu saja tidak bisa menjadi masyarakat pertapa, yang terisolasi dari masyarakat sosial, tanpa ada lembaga-lembaga sosial, sementara agama menyuruh untuk hidup bersosial, menikah, dan lain-lain. Substansi dari kewajiban muslim adalah wakil tuhan di bumi, dengan memerintahkan kepada kebaikan dan melarang perbuatan munkar, artinya mereka bertanggung jawab secara universal atas ketertiban umum. Syari’ah tidak bisa mengabaikan kewajiban-kewajiban sosial tanpa meninggalkan kewajiban individu. Syari’ah perlu menemukan pola dimana kaum muslim bisa mengatur masalah sosial tapi juga bertanggung jawab atas dirinya. Pola ini ditemukan di masyarakat Madinah yang telah dibangun oleh Muhammad.
Pola yang ingin ditemukan ini bukanlah pola politik yang disuplemeni oleh kondisi sosial, tapi merupakan pola sosial yang akan membentuk masyarakat agamis. Untuk membangun pola tersebut, kemudian para ulama dari berbagai daerah menyatakan bahwa masyarakat dan tradisinyalah yang paling dekat dengan tradisi Madinah. Seperti Al-Auza’i (w 774) yang berpengaruh di Syiria megklaim bahwa tradisi mereka yang paling dekat dengan tradisi Madinah awal. Begitu juga dengan ulama Kufah, yaitu murid-murid Abu Hanifah juga menyatakan bahwa tradisi merekalah yang paling dekat. Akan tetapi tentu saja Imam Malik yang berpengaruh di Madinah lebih otoritatif untuk menyatakan hal yang demikian.
Imam Malik menegaskan bahwa tradisi Madinah pada masanyalah yang melestarikan tradisi Madinah awal, karena Madinah tidak terpengaruh oleh Bani Ummayah seperti masyarkat Syiria, aupun tidak terpengaruh oleh masyarakat Garnisun[22] seperti di Kufah. Masyarakat Madinah mengklaim bahwa tradisi mereka bukan hanya mencerminkan tradisi muslim awal tapi juga lebih awal yakni tradisi masyarakat Muhammad SAW. Kitabnya Muwaththo’ disusun untuk melestarikan tradisi ini.
Madinah awal memberikan beberapa prinsip dasar bagi perumus-perumus hukum sesudahnya. Prinsip yang pertama, yang nantinya menjadi basis perumusan hukum adalah observasi empiris atas perbuatan seorang yang disepakati oleh tuhan. Hal ini bukan legislasi sebuah dewan atau kesimpulan manusia. Bagi Malik yang penting adalah perbuatan tipikal yang diakui dan disepakati oleh Madinah. Artinya bisa saja bukan perbuatan Nabi, tapi perbuatan orang lain yang tidak ada keberatan dari Nabi. Intinya bukan siapa yang melakukan tapi perbuatan yang disetujui. Hal ini menjadi cikal bakal ijma’ pada masa pembentukan hukum dan dasar hukum.
Prinsip yang kedua adalah, basis bagi organisasi dalam komunitas yakni penditribusian tugas. Untuk tugas yang tidak harus dipenuhi oleh setiap orang maka Muhammad SAW mengangkat orang yang bertanggung jawab atas hal tersebut, dan jika mereka telah melakukannya maka yang lain tidak tidak diberikan beban. Hal ini kemudian dirumuskan sebagai fardhu kifayah, sementara tugas yang harus diemban sendiri yang Muhammad SAW tidak menunjuk orang untuk beratanggung jwab disebut fardhu ayn.
Prinsip yang ketiga adalah menyangkut dengan non muslim, yakni menyebarkan tata- cara tuhan yang benar keseluruh dunia. Mereka yang non muslim, bila tidak secara nyata-nyata menentang ketuhanan yang maha esa dan tidak menganggu ketertiban umum tetap diperbolehkan melaksanakan keyakinan mereka, mereka juga diberi tanggung jawab atas ketertiban masyarakat.
G. Cita-Cita Madinah Selama Masa KeKhalifahan Tinggi[23]
Ada beberapa perbedaan yang sungguh kontras yang terdapat pada masyarakat Madinah murni dengan masyarakat muslim pada masa Bani Marwan dan Abbasyiah. Diantaranya adalah kaum muslimin adalah merupakan minoritas yang berkuasa atas kekuasaan yang luas dan kaya, tapi kemudian banyak penduduk yang masuk Islam. Lalu bagaimana tradisi masyarakat Madinah yang murni bisa diaplikasikan pada masyarakat mereka (323/8).
Ada tiga ciri yang disyaratkan oleh tiap prinsip hukum yang dapat ditelusuri kembali ke Madinah. Yang pertama adalah orientasi kepada kehidupan yang shalih yang dicanangkan oleh Muhammad SAW dan komunitasnya memenuhinya. Kedua adalah semua orang mengenal orang lainnya. Ketiga adalah Madinah memberikan homoginity yang merupakan adat orang pada umumnya yang kemudian dimodifikasi dengan kesetiaan kepada Muhammad.
Ketika masalah bagaimana Islam kemudian harus membuktikan diri bisa menjadi basis bagi kehidupan sosial secara universal muncul, maka para ulama shalih harus bisa mendapatkan cara dan pemecahan tersebut.
Jawaban yang dihasilkan selanjutnya adalah, yang pertama; bahwa homoginitas Madinah yang murni diwakili oleh tradisi bersama kelas atas masyarakat Arabia, yang mempertahankan tradisi lama yang dimodifikasi dengan pembaharuan Muhammad SAW. Orang-orang shaleh menyimpulkan bahwa seluruh tradisi baik lokal dan dan yang sudah termodifikasi dan disetujui oleh ummat dianggap baik dan mendapat pentahbisan tuhan. Prinsip inilah yang menjadi konsep ijma’. Yang kedua adalah kesadaran bahwa ada ilmu dan esensi spesial yang ditinggalkan oleh masyarakat Madinah awal yang lebih penting daripada tradisi-tradisi mereka itu sendiri. Dari sini kemudian muncul penggantian tauladan dari tradisi kepada periwayatan-periwayatan tentang tradisi Madinah. Imam Malik dan pengikutnya berusaha untuk merekam seluruh riwayat ini agar bisa dibaca oleh seluruh muslim pada masa Marwan. Meskipun riwayat-riwayat ini tidak semuanya merupakan hadist, tapi ada usaha untuk menyandarkan seluruh riwayat tersebut kepada Nabi. Jadi dari tradisi Madinah kemudian beralih kepada cita-cita Muhammad SAW itu sendiri.
Sedangkan pada masa Abbasiah, pola seperti ini juga harus dirubah, karena jumlah kaum muslimin yang semakin banyak dan semakin heterogen. Sistem-sistem yang ada kemudian harus dirubah dan disitimatiskan dalam teknik yang kompleks. Tradisi Arab tidak bisa lagi menjadi pola, maka pada masa ini, sistem yang ada pada masa Marwani harus di dilembagakan sedemikian rupa untuk dapat mempertahankan kebaikan yang asli. Sistem ini sudah harus bisa dikuasai bersama oleh para orang-orang yang shaleh. Selanjutnya sikap mereka tidak lagi merujuk kepada tradisi atau sikap-sikap informal para pendahulu tapi berdasar sistem undang-undang terkodifikasi yang ketat. Adat dan ijma’ yang ada di kota-kota Garnisun harus di ganti dengan menyandarkan kepada riwayat-riwayat yang lebih dini. Semua aksi ini sebenarnya sudah dirancang atau disiapkan secara sadar ataupun tidak sadar pada masa Marwani. Yaitu ketika mereka menghilangkan Arabisme dan menggantinya denga Islamisme.
H. Syafi’i ; Hadist Dari Sang Nabi
Hadist pada mulanya adalah riwayat-riwayat apa saja yang menyangkut praktek Muslim yang masih sederhana.[24] Riwayat-riwayat hadist dikutip dengan menggunakan menggunakan otoritas kaum muslim awal yang terkenal, dan dibuktikan dengan mata rantai isnad yang bersambung kepadanya. Pada masa al-Mahdi (775-785) dan Harun Ar-Rasyid telah disepakati bahwa riwayat-riwayat yang dapat ditelusuri kepada Nabi harus diutamakan dari pada hadist yang hanya bisa ditelusuri kepada sahabatnya. Riwayat-riwayat model kedua ini kemudian diputuskan tidak mengikat (326/30).
Muhammad Bin Idris as-Syafi’i (94/716-179/820) adalah orang yang paling sukses dalam memurnikan hadist-hadist dari riwayat-riwayat yang bukan hadist. Dengan demikian ia membuang sandaran hukumnya dari tradisi lokal, bahkan dari tradisi Madinah dan menggantinya dengan hadist dan riwayat sang Nabi. Ia berpendapat hanya dengan bersandar kepada hadislah cita-cita nabi dapat dilihat dan disimpulkan. Menurutnya posisi Nabi dan hadistnya adalah sebagai penafsirnya. Otoritas Nabi adalah sejajar dengan Alquran sebagai sumber hukum, hadist tidak akan berseberangan dengan Alquran karena hadist merupakan penjelasan dari kitab tersebut.[25]
Hal ini tentu saja memberikan Nabi dan hadistnya sebuah posisi theologis yang lebih tinggi daripada posisi hadist menurut Ahli Hadist sendiri, yang menurut mereka bahwa bila ada perseberangan antara nash Alquran dengan hadist maka nash didahulukan. Tapi meskipun begitu Syafi’i memberikan kretria ketat terhadap hadist yang dapat diterima, yakni yang bisa dibuktikan isnadnya. Preseden-preseden sahabat tidak bisa diterima sebagai sumber hukum. Dengan demikian bid’ah[26] bisa dihilangkan dari praktek-praktek kaum Madinah awal.
Tapi pada prakteknya ternyata ini lebih rumit. Karena riwayat yang sudah beredar hanya sedikit yang bisa dikembalikan secara pasti kepada Nabi, kebanyakan adalah riwayat-riwayat yang menawarkan opini bahwa riwayat tersebut bersandar kepada Nabi. Menurut Marshall (juga menurut Joseph Schacht) ada kalangan orang-orang shalih yang tidak segan membuat isnad untuk dapat menyandarkan riwayat yang baik kepada Nabi. Hal ini beradasarkan opini bahwa seluruh yang baik haruslah diucapkan oleh Muhammad SAW.
Tampaknya munculnya kalangan yang menginkari sunnah tidaklah sesimpel seperti yang kita baca sebelum ini. Bila sunnah dan hadist sudah semakin begitu luas cakupannya, termasuk riwayat para sahabat, tradisi lokal, tradisi Madinah yang murni dan bahkan riwayat-riwayat tentang tabi’in awal, maka tentu tidak heran jikalau mereka akhirnya mengingkari sunnah sebgai sumber hukum. Menurut yang kami fahami dari beberapa literatur karya-karya sarjana seperti Fazlurrahman, Joseph Schacht dan Abdullah Ahmad An-Naim, bahwa inkar sunnah ini tidaklah mengingkari praktek Nabi dan perkataannya sebagai sumber hukum, tapi yang mereka tolak adalah hadist dan sunnah yang pada saat itu tidak bisa dibuktikan bersandar kepada nabi. Syafi’i kemudian diberi predikat pujian sebagai nashirul hadist yang maksudnya adalah yang menetapkan hadist dan sunnah sebagai sumber hukum yang otentik.[27]
Keraguan akan keotentisan hadist dan sunnah yang disandarkan kepada Nabi akhirnya tertutupi pada masa setelah Syafi’i, yakni dengan munculnya kritik isnad atau Ilmu Rijal dan Kritik Matan setelahnya. Dengan ilmu ini bisa diteliti apakah riwayat tersebut adalah Hadist dari Nabi atau tidak.
I. Sistem Ushul Fiqh Syafi’i
Ada suatu kecenderungan umum yang berlaku sejak masa Bani Marwan, bahkan sebelumnya, hingga masa Syafi’i, yakni penggunaan ra’yu atau pendapat pribadi. Maka ra’yu ini harus dibatasi pada masa munculnya ushul fiqh Syafi’i. Sistem ini tampaknya hanya bisa membatasi tanpa bisa menghilangkan, karena sudah begitu mewabah. Maka seluruh ra’yu harus disandarkan atas dalil yang bisa diakui dan dipertahankan degan jelas. Hingga muncullah qiyas yang menjadi sarana ra’yu.[28]
Kemudian ada satu hal lagi yang kemudian dipandang penting untuk melengkapi sistem Ushul Fikih ini, yakni ijma’ yang sudah mewabah sejak masa sebelumnya. Cikal bakal ijma’ ini berasal dari suatu keputusan bolehnya suatu tradisi lokal ketika orang-orang yang otoritatif telah sepakat untuk membolehkan tradisi tersebut (329/35). Tampaknya hal ini juga dipandang perlu oleh Syafi’i, karena selain ijma’ telah mengakar dalam pandangan orang-orang shalih, juga dirasakan perlu dalam merumuskan hukum bagi masyarakat yang sudah begitu beragam. Tapi tentu saja ijma’ ini harus dialihkan dari konsep ijma’ sebelumnya, juga kewenangannya harus dibatasi. Maka Syafi’i kemudian hanya mengakui ijma’ semua ummat Muhammad SAW.
Metode Syafi’i dipandang oleh Marshall sangatlah ketat, hampir tidak memberi peluang untuk berfantasi pribadi. Bahkan dalam menganalisa suatu kata. Menurut Syafi’i semua kata-kata praktek dari seseorang pasti berasal dari suatu sebab, dalam waktu tertentu dan kondisi tertentu dan untuk orang tertentu (sadar atau tak sadar telah memberi catatan pentingnya mendalami perbedaan-perbedaan kecil bahasa Arab Mudhari pada masa Muhammad SAW).
Metodenya inipun bisa menyngkirkan tradisi, sebagai sumber hukum pada masanya, tapi memberikan keleluasaan kepada pemikir-pemikir hukum untuk merumuskan hukum menurut selera mereka, asalkan dengan metode yang tepat. Bagi mereka yang ingin menggunakan ra’yu harus bisa membuktikan bahwa mereka memutuskan hukum tersebut beradasarkan dalil dan sumber yang jelas, baik linguistik maupun logis.
Sistem ini juga merupakan dorongan khusus terhadap munculnya Ilmu Kritik Isnad atau Ilmu Rijal, dengan begitu kesahihan hadist bisa dipertahankan. Ada suatu implikasi yang perlu kita catat dari Ilmu Kritik Isnad ini yaitu hadist tentang yang kurang menyenangkan bagi Sunni tapi sangat dipegang teguh oleh Syiah yang dahulunya bisa ditolak dengan alasan tidak otentiknya hadist tersebut, tapi apa bila ternyata setelah terbukti hadist tersebut shahih maka para sunni hanya bisa menangkis hadist tersebut dengan pentakwilan, seperti yang banyak terjadi sekarang ini.
J. Fikih Legal
Sesudah masa Syafi’i, sistem ini bukannya tidak mendapat tantangan. Ada juga kalangan yang menolak qiyas sebagai sumber hukum, begitu juga dengan yang menolak ijma’, karena dicurigai sebagai ijma’ atas tradisi lokal bukan ijma’ berdasarkan Alquran dan hadist. Akan tetapi pada umunya sistem ini menjadi standar dan pegangan bagi para ahli hukum. Bahkan mereka yang menolak sistem ini juga ikut-ikutan memakai term-term yang telah dirumuskan oleh Syafi’i (333/1).
Fikih didasarkan pada empat akar yaitu Alquran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Masing-masing sumber ini telah disinggung pada masa Bani Marwan, tapi pada masa Syafi’ilah sumber ini dijalin dengan sistematis dan komperehensif. Meski ini sudah menjadi standar tapi tentu ada juga yang mempertahankan ra’yu, tapi tidak sebagai sumber hukum, melainkan dalam pelengkap sebuah hukum.
Hal ini terjadi karena apapun yang diatur dalam Alquran dan Sunnah tidaklah terperinci hingga mendetil. Fikih harus diperinci sebelum menjadi Syari’ah, fikih harus diproses hingga matang hingga menjadi sistem hukum. Pertama-tama harus ditentukan relevansi dan kadar kemampuan pencerapan dari suatu hukum. Seperti apakah hukum itu terikat dengan masa tertentu saja, atau untuk orang dan kondisi tertentu saja dan lainnya. Dengan begitu sedapat mungkin kronologi kehidupan Muhammad SAW harus diketahui.
Yang kedua yang tidak kalah penting adalah seperangkat defenisi yang tidak diberikan oleh Alquran maupun Hadist. Pada bidang inilah ra’yu kemudian kembali diterapkan. Apakah yang dimaksud dengan pejualan, hak milik, wakaf, hadiah dan lain-lain. Dalam bidang ini pada umunya dipengaruhi oleh sistem hukum luar seperti Romawi, Yahudi dan lain-lain.[29]
Fikih telah mengalami proses yang panjang yang dipengaruhi oleh perdebatan-perdebatan di dalamnya. Semakin teknisnya fikih, banyak mazhab-mazhab hukum bermunculan yang cenderung bercorak ideologi ketimbang geografi. Syafi’i sendiri mendirikan mazhab Syafi’i. Mazhab lain berkaitan dengan Ahmad bin Hanbal (Baghdad 164/780-241/855)[30] yang mendukung keshalehan ahli hadist. Di irak ada Abu Hanifah (Kufah 80/699-150/767) yang tetap setia kepada tradisi Iraq, salah satu ciri mazhab ini yang tidak miliki mazhab orang lain adalah konsep hilah. Al-Auza’i (w 774) yang terkenal di Syiri’a. Di Hijaz ada Malik Bin Anas (94/716-179/795). Ada juga Daud Az-Zahiri yang literalis (w 883). Begitu juga dengan beberapa mazhab Syiah dan Khawarij.
K. Semangat Hukum: Tata Tertib Umum Dan Hak-Hak Individual
Pada masa Abbasiah telah dibentuk struktur fikih yang solid, yang mengatur bidang ibadah, etika, hukum pribadi dan bahkan hukum publik. Memang belum ada usaha yang benar-benar memperbincangkan semua unsur hukum dan praktek sosial. Biasanya praktek sosial ini diatur oleh Khalifah yang diberi wewengan oleh Syari’ah, meski dalam prakteknya Khalifah tidak menjalankannya berdasarkan Syari’ah (336/7).
Syari’ah pada masa itu juga mengatur masalah kemiliteran, kemudian hukum dagang sederhana, keluarga dan seluruh praktek lainnya yang jelas-jelas tidak bertentangan dengan Syari’ah.
Tampaknya perhatian utama Syari’ah terletak pada aspek ibadah. Dalam aspek ini Syari’ah memberikan dan mengatur hukum yang sangat rinci, baik itu ibadah pribadi atau ibadah yang bersifat umum. Semangat yang diberikan Syari’ah pada aspek ini adalah kesucian sebelum penghormatan kepada Allah SWT dilakukan. Tapi juga aspek niat para penyembah juga tidak kalah pentingnya dalam penilaian ibadah ini menurut Syari’ah.
Undang-undang pasar juga menjadi perhatian umum. Biasanya Syari’ah dalam undang-undang pasar lebih menekankan kepada substansi daripada bentuk. Seperti perjanjian, pada saat itu lebih menekankan pada saksi daripada surat tertulis, yang dikarenakan banyak orang belum melek huruf. Atau juga seperti seseorang tidak boleh meminjamkan uang kepada orang lain yang terjepit dengan maksud mengambil keuntungan dari keterjepitannya. Di Iraq yang nota bene sebagai ibu kota Daulah berkembang hilah, usaha untuk melegalkan suatu praktek. Kiat-kiat ini pada pertamanya dimaksudkan untuk memelihara semangat hukum, tapi kemudian ditentang oleh orang-orang shalih karena penggunaannya yang dipakai untuk praktek yang tidak diperkenankan diberi status legal. Hukuman pada masa itu pada umumnya berupa penghinaan umum, pemukulan jasmani, pemotongan, denda dan lain sebagainya yang memang disetujui oleh syari’at.
L. Hukum Keluarga
Konsep penekanan dalam hukum keluarga adalah penekanan terhadap persamaan dalam status pribadi. Tidak ada status berdasarkan hal-hal lain kecuali ketakwaannya kepada Allah SWT. Hukum ini juga biasanya pembatasan terhadap kebebasan yang diberikan tradisi kepada suami (340/4).[31]
Sedangkan dalam masalah poligami yang sudah marak di kalangan manusia pada saat itu, Islam memberi batasan dan arahan,[32] menetapkan hak-hak wanita dan anak hasil dari istri ke-dua dan seterusnya. Di kalangan bangsa-bangsa lain bahkan istri kedua tidak mempunyai hak atas warisan, begitu juga anaknya, tidak diberi mahar ketika mereka diceraikan, ketika mahar itu ditunggak. Maka oleh syari’at, istri-istri ini di beri hak yang sama, juga untuk anak-anaknya. Hal senada juga bagi budak yang diajak oleh tuannya untuk berhubungan intim, bila ternyata si budak tersebut hamil dan mempunyai anak, maka anak itu adalah anak bebas begitu juga dengan ibunya.
Seorang laki-laki tidak boleh meneyentuh harta yang murni milik istrinya kecuali seizin dari si istri. Wanita-wanita terhormat bisa menjalankan usahanya sendiri, biasanya mereka yang seperti ini adalah janda. Akan tetapi tentu saja ini akan membawa sebuah sisi negatif lain yakni percampuran laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Untuk mengatasi ini, Syari’ah mengambil dan mengukuhkan adat yang sudah berlaku, yakni sudah menjadi kebiasaan wanta-wanita terhormat untuk memakai cadar, yang kemudian diikuti oleh wanita kelas menengah lainnya hingga kelas bawah.
Tampaknya semua mazhab mengurangi hak-hak bagi suami dari hak-hak yang sudah muncul dari adat paterfamilias.[33] Pada umumnya semua mazhab memberikan peran sosial yang signifikan kepada wanita yang tidak diberikan oleh kultur lama Arab.
Anak yatimpun sangat kental diatur dalam Syari’ah juga hukum tentang anak. Anak yang dikawinkan oleh orang tuanya pada masa muda berhak untuk menanggalkan perkawinannya setelah ia dewasa jika merasa tidak cocok dengan suaminya. Seorang ayah tidak bisa mengancam anaknya untuk tidak diberikan warisan. Tidak ada pengutamaan anak sulung daripada yang lainnya.
Kaum muslimin didorong untuk membebaskan para budak. Usaha untuk menghapuskan perbudakan ini dilakukan dengan dua cara, dengan memperketat peluang seseorang untuk menjadi budak dan memperlebar jalan untuk keluar dari status budak. Disamping itu seorang yang memunyai budak hanya boleh memperbudak jasmani saja, tidak dalam keyakinan.[34]
M. Pembatasan Otoritas Kolektif
Banyak kekecewaan yang dialami oleh ummat muslimin ketika mempercayakan peraturan umum dan sosial kepada seorang Khalifah. Banyak Khalifah ternyata tidak punya kemampuan yang cukup untuk menjalankan amanatnya sesuai dengan Syari’ah. Meskipun begitu dengan konsep bahwa diperlukan pemimpin politik dan agama sebagai ganti tokoh Muhammad SAW di Madinah.
Untuk mengantisipasi kewenangan berlebihan bagi Khalifah dan penguasa, maka diaturlah pembatasan otoritas kolektif ini (344/27). Sebenarnya hal ini sudah ingin dicanangkan pada masa Umar Bin Abdul Aziz (717-720). Ada suatu doktrin yang diberikan ulama pensehatnya bahwa seorang khalifah tidak punya hak untuk bersuara kecuali dalam bidang yang tidak dibicarakan oleh Alquran. Pada masa selanjutnya Khalifah hanya diberi kewenangan politik sementara kewenangan agama diberikan kepada para ulama. Selain itu pada awal pemerintahan Bani Abbas, Ibn Muqaffa’pun sebagai sekretaris khalifah pernah mengajukan proposal untuk pembuatan unifikasi hukum, lalu sesudahnya juga oleh Abu Yusuf hal serupa juga diajukan kepada Harun ar-Rasyid. Unifikasi hukum tersebut bisa mengikat seluruh elemen negara, yang didasarkan kepada Alquran dan hadist, dengan demikian diharapkan para Khalifah akan ikut terikat.[35] Tapi sayangnya hal ini tidak pernah terlaksana.
N. Dua Tatanan Keadilan Daulah Abbasiah
Ada beberapa perbedaan yang terdapat dalam sistem hukum yang dianut oleh Bani Umayyah dan Bani Abbas, selain yang satu menekankan Arabisme dan yang lain Islamisme, juga ada perbedaan lain.[36]
1. Sistem Qodi yang merupakan sekretaris Gubernur pada masa Daulah Umayyah, sementara pada masa Daulah Abbasiah terlepas dari campur tangan pemerintah.
2. Selain itu pada masa Bani Ummayah para Qodi juga mendapat latihan militer karena memang selain mengadili perkara orang-orang sipil ia juga mengadili orang-orang militer, sedapat mungkin mereka berusaha mendasarkan keputusan berdasar hukum Islam yang tentu saja pada saat itu tidak terlepas dari unsur Arabismenya.
3. Masalah pengangkatan Qadhi, pada masa Bani Umayyah, diangkat oleh Gubernur, sedangkan selanjutnya diangkat oleh Khalifah.
4. Kemudian adanya dewan muhtasib yang sekarang mungkin terkategorikan sebagai penegak hukum. Muhasib bertugas antara lain sebagai eksekutor, mengawal orang kepengadilan, bertanggung jawab atas amr ma’ruf nahy munkar dan lain sebagainya, yang belum ada pada masa Bani Umayyah
Dengan kata lain pada masa Daulah Abbasiah ada dua pengadilan, yang pertama untuk rakyat sipil yang biasanya qadinya adalah seorang ulama, dan yang kedua adalah pengadilam militer yang tidak bersandar kepada Syari’ah dalam memutuskan perkara, yang biasanya qadinya adalah rijal syurthoh atau sejenis pengawal kerajaan (346/3).
Selain itu, tata-tertib hukum-dijantung Syari’ah-dibagi menjadi dua yang terpisah dan saling tertutup. Pada tingkat kota setempat, keputusan hukum dipandang dapat diterima sejauh mana ia berpadanan dengan Syari’ah. Pada tingkat pemerintahan seluruh wilayah, keputusan dan sangsinya dibuat berdasarkan tradisi Istana (346/27).
O. Legitmasi Negara Kekhalifahan
Setelah kekecewaan para oposisi orang-orang shaleh pada kejayaan Abbasiah, baik ulama Sunni maupun Syiah tidak ada yang mau memberikan terlalu banyak peran bagi Khalifah. Mereka memberi wewenang untuk memberikan keputusan hukum kepada para ulama. tapi ada akhirnya mau tidak mau, mereka harus memberikan peran besar juga bagi Khalifah, tapi mereka membatasinya dalam bidang administrasi saja, baik untuk Khalifah ataupun antek-anteknya. Mereka tidak diberikan keputusan politis akhir yang akan mewarnai ciri kepemimpinan Muhammad SAW dan Khalifah Rasyidah.
Dalam peran seperti itu mayoritas ulama dari kalangan Sunni maupun syiah memberikan syarat-syarat khusus dalam penyeleksian yang disetujui oleh seluruh masyarakat (349/18). Pemimpin harus dipilih dengan kriteria mampu menjalankan Syari’ah meski ia bukan yang tershalih dan terbijak. Mempunyai keputusan yang sehat dan efektif dan berasal dari keturunan Quraish. Tapi satu ide yang begitu fudamental yang dianut oleh seluruh ulama dari setiap aliran adalah keperluan untuk mengangkat dan mengakui seorang yang bisa memimpin seluruh daar Islam yang akan mejalankan Syari’ah di wilayah tersebut.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Visi Syari’at Islam Dari Tahun 750-945, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |