Makalah Mengenal al-Mashalih al-Mursalah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Secara Bahasa
Secara bahasa, al-mashalih al-mursalah (المصالح المرسلة) terdiri dari dua kata, yaitu al-mashalih (المصالح) dan al-mursalah (المرسلة). Al-mashalih berposisi sebagai kata yang disifati (الموصوف), dan al-mursalah berposisi sebagai kata sifat (الصفة). Al-mashalih merupakan jama’ taksir dari kata al-mashlahah (المصلحة). Al-mashlahah sendiri merupakan bentuk mashdar mimi dari kata shalaha – yashluhu (صلح – يصلح), dan mempunyai makna yang sama dengan kata ash-shalah (الصلاح) yaitu ضد الفساد (lawan dari kerusakan).[1] Sedangkan kata al-Mursalah (المرسلة) merupakan isim maf’ul dari kata arsala – yursilu (ارسل – يرسل), yang berarti المطلقة (yang tidak terikat).[2] Bisa disimpulkan, secara bahasa al-mashalih al-marsalah berarti ‘kemaslahatan yang tidak terikat’.
2. Secara Istilah
Secara istilah, ada beberapa definisi al-mashalih al-mursalah atau al-mashlahah al-mursalah yang dikemukakan oleh para ulama. Berikut beberapa di antaranya:
- Imam al-Ghazali mendefinisikannya dengan “(maslahat) yang tidak ada nash khusus yang ditunjukkan oleh syari’at tentang pembatalan atau penetapannya.”[3]
- Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikannya dengan “maslahat yang tidak disyari’atkan oleh pembuat syari’at ketetapan hukum untuk pelaksanaannya, dan tidak ditunjukkan penetapan ataupun pembatalannya oleh dalil syar’i .”[4]
- Dr. Wahbah az-Zuhaili mendefinisikannya dengan “sifat-sifat yang sesuai dengan tindakan dan tujuan pembuat syari’at, tetapi tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau membatalkannya, dan dengan penetapan hukum dari sifat-sifat tersebut akan tercapai kemaslahatan dan terhindar kerusakan pada manusia.”[5]
- Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah mendefinisikannya dengan “maslahat yang tidak terdapat dalil khusus tentangnya dari pembuat Syari’at, baik yang menunjukkan disyari’atkannya atau tidak disyari’atkannya maslahat tersebut.”[6]
B. Jenis-Jenis Maslahat
Sebelum lebih jauh membahas tentang al-mashalih al-mursalah, perlu dibahas dulu tentang maslahat secara umum. Ada dua sudut pandang dalam pembagian jenis-jenis maslahat ini, yang pertama dilihat dari sisi kekuatannya, dan yang kedua dari sisi diakui atau tidak diakuinya oleh asy-Syari’.
1. Dilihat Dari Sisi Kekuatannya
Maslahat, yang definisinya dikemukakan di atas, dari sisi kekuatannya terbagi menjadi tiga, yaitu[7]:
a) Adh-Dharuriyat (الضروريات)
Yaitu maslahat yang keberadaannya sangat diperlukan oleh manusia, baik dalam urusan agama maupun dunia, jika maslahat ini tidak ada maka rusaklah kehidupan dunianya, dan di akhirat ia akan kehilangan kenikmatan dan mendapat siksa. Maslahat jenis ini terdiri dari penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan harta. Semua hal yang bisa merusak maslahat jenis ini diharamkan oleh Allah ta’ala.
Dalam hal ini, Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman yang memabukkan untuk memelihara akal, melarang zina untuk memelihara nasab dan kehormatan, serta melarang pencurian untuk memelihara harta.
b) Al-Hajiyat (الحاجيات)
Yaitu maslahat yang keberadaannya akan menghilangkan kesempitan (الحرج) pada manusia. Maslahat jenis ini berada di bawah adh-dharuriyat karena ketiadaannya tidak serta merta menghilangkan penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan harta. Contoh maslahat jenis ini adalah disyari’atkannya jual beli, sewa-menyewa, dan berbagai aktivitas mu’amalah lainnya. Contoh lainnya adalah diberikannya rukhshah untuk mengqashar dan menjama’ shalat bagi musafir, dibolehkannya berbuka puasa di bulan Ramadhan bagi orang hamil dan menyusui, diwajibkannya menuntut ilmu agama, diharamkannya menutup aurat, dan lain-lain.
c) At-Tahsiniyat (التحسينيات)
Yaitu maslahat yang keberadaannya akan menghasilkan kebaikan dan kemuliaan bagi kehidupan manusia. Maslahat ini berada di bawah adh-dharuriyat dan al-hajiyat, karena ketiadaannya tidak langsung merusak penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan harta. Contoh maslahat jenis ini adalah kewajiban thaharah untuk shalat dan pengharaman makanan-makanan yang buruk serta kotor. Bila terjadi benturan antara adh-dharuriyat, al-hajiyat dan at-tahsiniyat, maka yang didahulukan adalah adh-dharuriyat baru al-hajiyat dan yang terakhir baru at-tahsiniyat. Bahkan, sesama adh-dharuriyat pun urutannya dibedakan lagi, dan penjagaan terhadap agama adalah yang utama. Sebagai contoh, jihad fi sabilillah disyari’atkan untuk menegakkan agama walaupun harus mengorbankan jiwa dan harta. Allah ta’ala berfirman:
وجاهدوا بأموالكم وأنفسكم في سبيل الله
Artinya: “Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.” [al-Maidah ayat 41]
Ayat di atas menunjukkan keharusan mendahulukan penjagaan terhadap agama atas jiwa dan harta.
2. Dari Sisi Diakui atau Tidak Diakuinya Oleh asy-Syari’
Sedangkan dari sisi diakui atau tidak diakuinya oleh asy-Syari’ (pembuat syari’at), maslahat terbagi menjadi 3, yaitu[8]:
a) Al-Mashalih al-Mu’tabarah (المصالح المعتبرة)
Yaitu maslahat yang diakui oleh asy-Syari’, dan terdapat hukum-hukum yang terperinci yang berasal dari nash yang akan mencapat maslahat ini. Maslahat ini misalnya untuk menjaga agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan, dan harta. Sebagai contoh, jihad dan hukum bunuh terhadap orang murtad disyari’atkan untuk menjaga diin. Qishash disyari’atkan untuk memelihara jiwa. Pengharaman minuman yang memabukkan dan had terhadap peminumnya akan memelihara akal. Pengharaman pencurian dan hukuman potong tangan untuk pelakunya akan menjaga harta. Pengharaman zina dan hukuman dera bagi pelakunya akan memelihara nasab dan kehormatan. Kebolehan mengqashar dan menjama’ shalat bagi musafir akan menghilangkan kesempitan dan kesulitan bagi musafir tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili, tidak ada perbedaan pendapat akan kebolehan menggunakan maslahat jenis ini untuk menunjukkan bahwa penerapan hukum-hukum syari’ah akan mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat (kerusakan).
b) Al-Mashalih al-Mulghah (المصالح الملغاة)
Yaitu sesuatu yang disangka sebagai maslahat, namun asy-Syari’ menolak hal tersebut, dan menunjukkan hal yang sebaliknya. Misalnya fatwa Yahya ibn Yahya, seorang ahli fiqih madzhab Maliki terhadap khalifah ‘Abdurrahman ibn al-Hakam al-Umawi yang telah bersenggama dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan, ulama tersebut berkata, “Anda harus berpuasa dua bulan berturut-turut”. Ia tidak mendahulukan membebaskan budak, ia berkata, “Jika saya memerintahkannya untuk itu (membebaskan budak), maka itu terlalu mudah baginya dan ia akan memandang remeh hal tersebut, yang lebih maslahat adalah mewajibkan ia puasa dua bulan berturut-turut agar ia bisa tercegah dari mengulangi hal tersebut”. Fatwa ini bathil karena bertentangan dengan hadits Nabi yang mendahulukan membebaskan budak dari berpuasa dua bulan berturut-turut.
Contoh yang lain adalah berlebih-lebihan dalam beragama. Sebagian shahabat menyangka bahwa berpuasa terus menerus, tidak menikah dan tidak tidur di malam hari untuk mengerjakan shalat akan mendatangkan maslahat bagi mereka, namun hal ini ditolak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui hadits beliau:
أما والله إنى لأخشاكم الله وأتقاكم له ، لكني أصوم وأفطر ، وأصلي وأرقد ، وأتزوج النساء ، فمن رغب عن سنتي فليس مني
Artinya: “Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur malam, dan saya juga menikah dengan perempuan. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasai dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu]
Menurut Mahmud ‘Abdul Karim Hasan, tidak ada khilaf tentang ketidak bolehan menggunakan maslahat jenis ini.
c) Al-Mashalih al-Mursalah (المصالح المرسلة)
Yaitu maslahat yang tidak ada keterangan dari asy-Syari’ tentang diakui atau tidak diakuinya maslahat jenis ini. Untuk maslahat jenis ini, ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya penggunaannya sebagai sumber hukum.
C. Kehujjahan al-Mashalih al-Mursala1. Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Sebagai dalil syar’i, kehujjahan al-mashalih al-mursalah diperselisihkan oleh para ulama. Mengingat di beberapa referensi yang saya baca ada perbedaan penisbahan pendapat ulama tentang kehujjahan al-mashalih al-mursalah, maka untuk mempermudah saya hanya akan mengambil rujukan dari kitab “al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah” karya Syaikh Mahmud ‘Abdul Karim Hasan.
Di kitab tersebut disebutkan bahwa ulama ada pendapat tentang hal ini, ada yang menerima kehujjahan al-mashalih al-mursalah dan ada yang menolak kehujjahannya. Mayoritas ulama menyatakan bahwa al-mashalih al-mursalah bukan dalil syar’i. Pendapat ini dinisbahkan kepada imam asy-Syafi’i, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Amidi. Pendapat ini juga disandarkan kepada banyak ulama Syafi’iyah, misalnya al-Amidi, al-Ghazali dan ‘Izzuddin ibn ‘Abd as-Salam. Penyandaran ini juga bisa dilihat dari pernyataan yang masyhur dari asy-Syafi’i, yaitu “man istahsana faqad syarra’a”, dan istihsan yang tercela menurut asy-Syafi’i juga mencakup al-mashalih al-mursalah menurut kalangan Malikiyah. Artinya, pernyataan asy-Syafi’i tersebut menunjukkan asy-Syafi’i tegas menolak al-mashalih al-mursalah sebagai dalil.
Sebagian ulama madzhab Hanabilah juga menolak menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai hujjah, misalnya Ibn Qudamah al-Maqdisi dan Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah berkata, “sesungguhnya al-mashalih al-mursalah telah membuat syariat dalam agama dengan sesuatu yang tidak diizinkan”. Demikian pula, sebagian ulama Malikiyah juga menolak penggunaan al-mashalih al-mursalah, misalnya Ibn al-Hajib al-Maliki.
Pendapat yang menyatakan al-mashalih al-mursalah bukan dalil juga dinisbahkan pada kalangan Hanafiyah. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Ibn Hamam ad-Diin al-Iskandari al-Hanafi, ia berkata, “dan bagian ini dinamakan al-mashalih al-mursalah, dan pendapat yang terpilih adalah menolaknya (sebagai hujjah)”. Al-mashalih al-mursalah juga tidak digunakan oleh madzhab Zhahiriyah dan Syi’ah Itsna ‘Asyariah. Di masa sekarang, ulama yang menolak kehujjahan al-mashalih al-mursalah misalnya adalah syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah dan syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah.
Sedangkan pendapat yang menerima al-mashalih al-mursalah sebagai dalil syar’i dinisbahkan kepada imam Malik[10]. Demikian pula, al-mashalih al-mursalah juga dianggap hujjah oleh ulama Malikiyah seperti asy-Syathibi dan al-Qarafi. Asy-Syathibi bahkan menyatakan bahwa imam Abu Hanifah dan imam asy-Syafi’i juga menggunakan al-mashalih al-mursalah, namun pernyataan ini bertentangan dengan yang disampaikan oleh al-Amidi. Dan yang tepat adalah Abu Hanifah dan asy-Syafi’i tidak menggunakan al-mashalih al-mursalah.
Di masa sekarang, banyak ulama yang menerima kehujjahan al-mashalih al-mursalah, mereka misalnya adalah Muhammad al-Khudhri Bek, Jad al-Haq ‘Ali Jad al-Haq, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, ‘Abdul Karim Zaidan, ‘Abdul Wahhab Khallaf dan Muhammad Ibrahim al-Khafnawi. Al-Buthi bahkan menyatakan bahwa al-mashalih al-mursalah diterima berdasarkan kesepakatan shahabat, tabi’in, dan imam yang empat. Namun, syaikh Mahmud Abdul Karim Hasan membantah pernyataan tersebut.
2. Argumentasi Ulama yang Menolak al-Mashalih al-Mursalah
Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang menolak menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil, diantaranya adalah[11]:
a) Mengambil al-mashalih al-mursalah akan membawa pada penetapan hukum syari’ah sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu. Terdapat banyak nash yang melarang penggunaan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil, diantaranya:
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
Artinya: “Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah).” [an-Nisaa’ ayat 59]
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [an-Nisaa’ ayat 65]
Menjadikan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil berarti tidak kembali Allah dan Rasul, dan juga berarti tidak menjadikan Rasul sebagai hakim.
b) Islam adalah diin yang sempurna, sebagaimana firman Allah ta’ala:
اليوم أكملت لكم دينكم
Artinya: “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” [al-Maaidah ayat 3]
وأنزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” [an-Nahl ayat 89]
Dan menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil berarti menunjukkan bahwa nash-nash syar’i masih kurang dan tidak sempurna.
c) Menggunakan al-mashalih al-mursalah berarti merujuk kepada akal, sedangkan akal pikiran setiap manusia berbeda-beda. Dan hukum yang lahir daripadanya tidak syar’i, karena ia menjadikan baik dan buruk atas pertimbangan akal, dan ini bertentangan dengan kewajiban untuk berhakim hanya kepada Allah, firman-Nya:
إن الحكم إلا لله
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” [al-An’aam ayat 57]
d) Menggunakan al-mashalih al-mursalah akan menyebabkan hukum syara’ bisa berubah-ubah mengikuti perubahan zaman, keadaan, tempat dan perbedaan orang-orang yang menerapkannya. Bisa jadi sesuatu itu haram –berdasarkan pertimbangan maslahat– menurut seseorang atau di suatu negeri, namun oleh orang lain atau di negeri lain hal itu boleh saja. Ini bertentangan dengan prinsip Islam yang universal dan lestari sepanjang masa bagi umat Islam hingga hari kiamat.
e) Al-mashalih al-mursalah berada di tengah-tengah dua kutub, yaitu maslahat yang diakui oleh asy-Syari’ dan maslahat yang tidak diakui. Karena tidak diketahui apakah maslahat dalam al-mashalih al-mursalah ini diakui oleh asy-Syari’ atau tidak, maka tidak boleh berhujjah dengannya.
Al-Amidi berkata, “Al-mashalih al-mursalah diragukan keadaanya apakah termasuk maslahat yang diakui oleh asy-Syari’ atau yang tidak diakui. Dan mengutamakan salah satunya[12] tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu berhujjah dengannya tidak bisa dilakukan, karena tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa ia termasuk maslahat yang diakui oleh asy-Syari’.”
f) Mengambil al-mashalih al-mursalah yang tidak didukung oleh nash syar’i akan menyebabkan lepasnya dari hukum-hukum syari’ah dan malah akan melahirkan kezaliman atas nama maslahat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penguasa yang zalim.
Ibn Taimiyah berkata: “Dari sisi maslahat, ia akan menghasilkan kekacauan yang besar dalam urusan agama. Banyak pemimpin dan ahli ibadah melihat suatu maslahat kemudian kemudian mengerjakannya atas dasar ini. Padahal diantara maslahat tersebut ada yang terlarang menurut syari’ah yang tidak mereka ketahui.”
3. Argumentasi Ulama yang Menggunakan al-Mashalih al-Mursalah
Ulama yang menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil juga mempunyai argumentasi, diantaranya[13]:
a) Sesungguhnya kehidupan terus berkembang, dan cara manusia untuk memenuhi kemaslahatannya terus berubah di setiap zaman dan tempat. Jika hanya membatasi diri pada hukum-hukum yang telah diakui atau terdapat dalam nash, maka banyak sekali maslahat manusia yang akan terhalangi, dan pensyari’atan akan menjadi jumud. Hal ini akan melahirkan bahaya yang besar dan tidak sesuai dengan tujuan syari’ah yaitu mewujudkan maslahat dan menghilangkan mafsadat.
b) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima pernyataan Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mengutusnya ke Yaman, bahwa ia akan berijtihad dengan akal pikiran (ra’yu), jika hukumnya tak terdapat di Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
c) Jika mengikuti ijtihad sebagian shahabat dan orang-orang setelah mereka, maka bisa ditemukan bahwa mereka berfatwa dalam banyak hal berdasarkan maslahat yang terpilih, tanpa membatasi diri hanya pada maslahat yang langsung diakui oleh nash. Dan kenyataan adanya ijtihad semacam ini tidak diingkari oleh satu orang pun di antara mereka.
Contoh ijtihad semacam ini misalnya adalah:
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an yang terpisah-pisah pada satu mushaf berdasarkan saran dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah kebaikan dan maslahat bagi Islam.”‘Umar radhiyallahu ‘anhu membatalkan bagian zakat bagi muallaf, padahal bagian zakat tersebut ada dalam nash. Hal ini dilakukan oleh beliau dengan alasan bahwa sudah tidak ada lagi hajat untuk melunakkan hati mereka (ta’lif quluubihim) setelah kejayaan Islam.‘Umar radhiyallahu ‘anhu juga menggugurkan (tidak melaksanakan) had untuk pencurian di masa paceklik, padahal nash-nash tentang had pencurian berlaku umum.Beliau juga menetapkan ucapan thalaq tiga yang diucapkan dalam satu waktu sebagai thalaq tiga, agar orang-orang tidak begitu mudah melakukannya.‘Utsman radhiyallahu ‘anhu menetapkan mushaf al-Qur’an hanya pada satu huruf[14], dan membaginya ke setiap negeri, kemudian beliau membakar mushaf-mushaf yang lain.
d) Sesungguhnya maslahat –jika bersesuaian dengan tujuan syari’ah–, maka mengambil maslahat tersebut akan sesuai dengan tujuan syari’ah dan mengabaikannya akan mengakibatkan terabaikannya tujuan syari’ah. Dan mengabaikan tujuan syari’ah adalah perkara batil dan tidak boleh dilakukan.
4. Syarat-Syarat Penggunaan al-Mashalih al-Mursalah Bagi Ulama yang Menggunakannya
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa menggunakan al-mashalih al-mursalah, berikut syarat-syarat tersebut[15]:
a) Maslahat tersebut harus sesuai dengan tujuan syari’ah, tidak bertentangan dengan pokok-pokok syari’ah dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qath’i.
b) Maslahat tersebut harus bisa diterima oleh akal bahwa ia memang mengandung maslahat secara pasti, bukan hanya berupa dugaan apalagi sangkaan yang lemah. Artinya penerapan maslahat tersebut benar-benar harus menghasilkan manfaat dan menghindarkan dari bahaya. Dari sini, tidak dibenarkan mencabut hak thalaq dari seorang suami dan menyerahkan hak tersebut kepada hakim. Ini karena hal tersebut bertentangan dengan nash, dan tidak ada maslahat yang benar-benar terwujud dari penerapan hal ini.
c) Maslahat yang dihasilkan dari penerapan al-mashalih al-mursalah ini harus berlaku umum untuk seluruh manusia, bukan hanya dirasakan oleh individu atau kelompok tertentu, hal ini karena hukum syara’ diterapkan untuk seluruh umat manusia. Dari sini, tidak sah penerapan kemaslahatan yang hanya berlaku bagi pemimpin, keluaga dan orang dekatnya saja.
Sebagai contoh, tidak boleh membunuh seorang muslim yang dijadikan perisai oleh orang kafir ketika bertempur dalam benteng, karena masih mungkin untuk mengepung orang kafir tersebut, dan tindakan orang kafir tersebut tak akan sampai membuat negeri muslim tertaklukkan.
D. Penutup
Perbedaan pendapat ulama terhadap kehujjahan al-mashalih al-mursalah ini paling tidak sudah sedikit menunjukkan kekayaan fiqih Islam, yang jika terus digali tentu kita akan tercengang dengan luasnya samudra kajian fiqih Islam tersebut. Dari tulisan singkat saya ini, kita juga bisa melihat bahwa masing-masing pihak telah mengajukan berbagai argumentasi untuk menguatkan pendapat masing-masing, yang bagi orang awam tentu sulit untuk memilih dan menentukan argumentasi mana yang terkuat. Di sini, saya tidak mencoba men-tarjih pendapat mana yang terkuat dan pendapat mana yang lemah, karena untuk melakukan hal tersebut perlu keilmuan yang mencukupi dan energi yang luar biasa dikuras untuk mengkaji satu persatu argumentasi masing-masing pihak. Semoga tulisan ini bermanfaat dan semakin menambah semangat kita untuk mengkaji fiqih Islam, baik ushul maupun furu’-nya.
Dikutip dari kerenz-abiz