Manajemen Keuangan adalah untuk memahami tentang apa yang terjadi disekeliling kita untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis dan juga menjelaskan berbagai fakta dan informasi. Untuk lebih jelas mengenai manajemen keuangan silakan anda simak makalah di bawah
Pelaksanaan pengelolaan keuangan negara pasca Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah yang diikuti lahirnya UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah berjalan hampir satu setengah tahun. Sebagaimana dipahami UU Keuangan Negara No.17 tahun 2003 dan UU Perbendaharaan Negara nomor 1 tahun 2004 adalah untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan keuangan negara yang sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi dan teknologi moderen.
UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara telah merubah sistem dan pola pengelolaan keuangan negara. Sistem yang diusung dalam UU tersebut adalah sistem penganggaran berbasis kinerja (performance budgeting system) yang menjadikan kinerja sebagai fokus sehingga seluruh potensi harus diarahkan untuk mendukung agar kinerja yang diinginkan dapat tercapai. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa kinerja yang dicanangkan tercapai dengan pendanaan yang dialokasikan secara efisien dan efektif. Sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.17 tahun 2003, Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah RI sedangkan setiap Menteri/Pimpinan Lembaga adalah Chief Operacional Officer (COO) untuk statu bidang tugas pemerintahan. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya saling uji (check and balance) dalam proses pelaksanaan anggaran, perlu dilakukan pemisahan secara tegas antara pemegang kewenangan administratif yang diserahkan kepada kementrian/lembaga dan pemegang kewenangan kebendaharaan yang diserahkan kepada kementrian keuangan.
Dari pengamatan APBN tahun 2005 sampai dengan triwulan I tahun 2006 menunjukkan pengalihan kewenangan administratif yang dulunya dilaksanakan oleh kementrian keuangan kepada kementrian/lembaga menunjukkan sebagian besar mind set KPA masih berprinsip tolok ukur keberhasilan diukur dari tingkat capaian disbursement (penyerapan) tanpa terlalu jauh memperhatikan kualitas kinerjanya. Berdasarkan permasalahan di atas maka pada RADIN tingkat regional Kanwil DJPBN wilayah Sumatera di Medan, Kanwil III DJPBN Padang merasa perlu mengangkat permasalahan pengalihan kewenangan administratif pada Kementrian/Lembaga khususnya dalam hal pelaksanaan pembayaran yang efisien dan efektif .
2. Tujuan
Dalam rangka mengemban misi reformasi dalam bidang keuangan negara yakni mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean governance) maka Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dan pejabat lainnya yang ditunjuk selaku Kuasa BUN bukanlah sekadar kasir yang hanya melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, tetapi Menteri Keuangan selaku pengelola keuangan dalam arti yang seutuhnya yaitu berfungsi sekaligus kasir,pengawas keuangan dan manajer keuangan. Dikarenakan pelaksanaan tahun 2005 sampai dengan triwulan I tahun 2006 menunjukkan belum berubahnya mind set KPA dan KPPN dalam mekanisme pelaksanaan pembayaran APBN perlu dilakukan langkah-langkah konkrit mengendalikan pengelolaan keuangan negara sesuai fungsi kementrian keuangan dalam arti seutuhnya : kasir, pengawas keuangan dan manajer keuangan agar tercipta efisiensi biaya dan efektifitas dalam pelaksanaan anggaran (cost effektiveness and operational efficiency) sehingga ada benang merah dalam siklus anggaran (budget cycle) antara input, output dan outcome.
Rumusan Masalah
Cakupan permasalahan dalam pelaksanaan pemisahan kewenangan administrasi dan kewenangan kebendaharaan adalah :
- Menyoroti sampai dimana tingkat kesiapan kementrian/lembaga dalam menjalankan fungsinya selaku pemegang kewenangan administratif (what and how the manager manage);
- Pelaksanaan kewenangan kebendaharaan (comptable) di kementrian keuangan (d.h.i KPPN);
- Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemisahan kedua kewenangan pada KPA dan KPPN;
- Usul penyempurnaan aturan atau prosedur kerja untuk menciptakan efisiensi biaya dan efektifitas kinerja dalam mekanisme pelaksanaan pembayaran sebagai bentuk pengendalian keuangan negara .
Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas tentang
- Menyoroti sampai dimana tingkat kesiapan kementrian/lembaga dalam menjalankan fungsinya
- Pelaksanaan kewenangan kebendaharaan
- Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemisahan kedua kewenangan pada KPA dan KPPN
LANDASAN TEORI
Sistem penganggaran moderen (Public Expenditure Management) menekankan pentingnya tiga prinsip penting (best practice) dalam pengelolaan keuangan negara yaitu :
Aggegate Fiscal Dicipline disiplin anggaran pada tingkat nasional agar besarnya belanja negara disesuaikan dengan kemampuan menghimpun pendapatan negara
Allocative Efficiency, efisiensi alokasi anggaran melalui distribusi yang tepat sumber-sumber daya keuangan untuk berbagai fungsi pemerintahan sesuai dengan outcome (manfaat atau hasil) yang diharapkan dari penyelenggaraan tugas kementrian/lembaga
Operational Efficiency, efisiensi pelaksanaan kegiatan instansi pemerintahan untuk menghasilkan output sesuai tugas dan fungsi instansi pemerintahan bersangkutan
Reformasi di bidang perbendaharaan dilakukan sejalan dengan prinsip operational efficiency dengan mengubah fokus dari kontrol pengeluaran pada input menjadi output dan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada manajer untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya (Let’s the manager manage). Pemberian kewenangan yang lebih besar pada manajer dilakukan untuk melaksanakan kegiatan berorientasi pada hasil (output) dan manfaat (outcome)
1. Dasar Hukum Pembayaran
- UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negar
- UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
- UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
- UU No.13 tahun 2005 tentang APBN TA.2006
- PP No.21 tahun 2004 tentang Penyusunan RKAKL
- Keppres No.42 tahun 2002 jtentang Pedoman Pelaksanaan APBN
- PMK No.134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Pembayaran APBN
- Peraturan Dirjen Perbendaharaan No.PER-66/PB/2005 tanggal 28-12-2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas beban APBN
2. Pembagian Kewenangan
Pasal 19 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ayat (1) menyebutkan bahwa Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBN dilakukan oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara. Dalam pelaksanaannya pembayaran APBN tersebut dilakukan oleh KPPN. Selanjutnya pada ayat (2) bahwa dalam rangka pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban untuk :
- Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
- Menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBN yang tercantum dalam perintah pembayaran;
- Menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
- Memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran negara;
- Menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Kewajiban dalam rangka pelaksanaan pembayaran ini dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Dirjen Perbendaharaan No.PER-66/PB/2005 pada pasal 11 sebagai berikut :
- Pengujian SPM dilaksanakan oleh KPPN mencakup pengujian yang bersifat substansif dan formal.
- Pengujian substantif dilakukan untuk:
- Menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
- Menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang ditunjuk dalam SPM tersebut;
- Menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat Keputusan, Daftar Nominatif Perjalanan Dinas);
- Menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala kantor/satker atau pejabat lain yang ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran;
- Menguji faktur pajak beserta SSP-nya;
Pengujian formal dilakukan untuk:
- Mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan spesimen tandatangan;
- Memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf; memeriksa kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.
Pada Pasal 7 ayat (2.c.) UU No.1/2004 bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran negara. Sedangkan pada penjelasan UU tersebut Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan, dan manajer keuangan.
Fungsi pengawasan keuangan di sini terbatas pada aspek rechmatigheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional. Dengan demikian, dapat dijalankan salah satu prinsip pengendalian intern yang sangat penting dalam proses pelaksanaan anggaran, yaitu adanya pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dan pemegang kewenangan kebendaharaan (comptable).
3. Kewenangan Administratif (Ordonateur)
Penyelenggaraan kewenangan administratif diserahkan kepada kementerian negara/lembaga. Kewenangan administratif tersebut meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.
Satu hal penting yang mendasar dalam penyempurnaan manajemen keuangan alah adanya kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar bagi kementerian negara/lembaga dalam mengelola program dan kegiatan yang ada dalam lingkup kerjanya dimana penganggaran berdasarkan kinerja akan sangat membantu dalam penerapannya.
Penganggaran berdasarkan kinerja adalah penyusunan anggaran yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Indikator kinerja (performance indicators) dan sasaran (targets) merupakan bagian dari pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja dalam rangka mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya.
Penganggaran berdasarkan kinerja pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan anggaran dengan menghubungkan antara beban kerja dan kegiatan terhadap biaya. Secara lebih dalam, penerapan penganggaran berdasarkan kinerja akan mendukung alokasi anggaran terhadap prioritas program dan kegiatan. Sistem ini terutama berusaha untuk menghubungkan antara keluaran (outputs) dengan hasil (outcomes) yang disertai dengan penekanan terhadap efektifitas dan efisiensi terhadap anggaran yang dialokasikan.
A. Pelaksanaan Reformasi di Bidang Perbendaharaan
Sebagaimana diketahui reformasi di bidang perbendaharaan mempunyai konsekuensi pada pemisahan kewenangan administratif (ordonateur) dan kewenangan kebendaharaan (comptable). Kewenangan administratif yang selama hampir 58 tahun berada di Kementrian Keuangan beralih pada Kementrian/Lembaga sementara Kementrian Keuangan mempunyai kewenangan kebendaharaan. Dari pengamatan terhadap pelaksanaan APBN tahun 2005 dan triwulan pertama tahun anggaran 2006 memberikan gambaran masih terdapat berbagai hambatan dalam pelaksanaan anggaran yang efisien (operational efficeincy).
Permasalahan aktual dan krusial yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan fungsi pelayanan yang diemban KPPN sebagai ujung tombak dalam rangka pembayaran dana APBN adalah : Aspek check and balance (saling uji) belum dapat dijalankan dengan baik sebagai konsekuensi pemisahan fungsi orodonateur dan fungsi comptable dikarenakan faktor SDM yang masih belum siap menjalankan amanat UU No.1/2004
Cara berpikir (mindset) jajaran Dit.Jen.Perbendaharaan (Kanwil DJPBN dan KPPN) yang sebagian besar belum memahami bahwa telah terjadi perubahan dalam sistim pembayaran sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17/2003 dan UU No.1/2004 yakni diterapkannya sistem Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)
Masih adanya perasaan berat hati melepaskan kewenangan administratif yang telah bertahun-tahun melekat dan seolah menjadi ”bench mark” pegawai KPPN bahwa dalam pelaksanaan pembayaran harus melakukan pengujian substantif yang kadang terjebak kepada pengujian formal yakni aspek tujuan pembayaran (doelmatigheid). Contoh : Dikarenakan penulisan resume kontrak yang kurang lengkap KPPN minta kontrak sebagai bahan pemeriksaan;
Adanya perbedaan penafsiran dalam menterjemahkan peraturan pelaksanaan yang mengakibatkan ketidakjelasan atau grey area bahkan menjadi blank area dan mendorong pada satu tindakan yang mengarah pada pelayanan yang berbelit-belit. Contoh : Dalam hal pembayaran Belanja Barang Non Operasional Lainnya (BKPK 5212) ternyata dalam SPTB tercantum Pemeliharaan AC yang seharusnya masuk dalam BKPK 5231 dan ternyata dalam RKAKL memang alokasi dana untuk pemeliharaan AC tersebut masuk dalam MAK 521219
Adanya pertentangan pemahaman satu produk aturan dan produk aturan lainnya menimbulkan dilematika dalam pelaksanaan pengujian substantif atas perintah pembayaran contoh : pada pasal 19 ayat 2c UU No.1 tahun 2004 tentang pengendalian anggaran negara dan pasal 19 ayat 2 mengenai kewajiban bendahara umum negara serta penjelasan UU dimana fungsi komptabel tidak sekedar sebagai kasir tapi termasuk sebagai pengawas keuangan. Dilain pihak pada Peraturan Menteri Keuangan 96/2005 disebutkan bahwa Satker selaku Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan pendukung program sesuai dengan bagian anggarannya masing-masing yang juga dituangkan pada halaman pengesahan DIPA. Hal ini berpengaruh pada kualitas pelayanan antar KPPN karena masing-masing mempunyai standar pelayanan berdasarkan penafsiran dan pemahaman aturan-aturan tersebut
KPPN wajib membuat Kartu Pengawasan Belanja Pegawai Perorangan yang seharusnya merupakan kewenangan administratif dan berada di Satker/KPA. Hal ini merupakan inkonsistensi dalam penerapan pemisahan ordonateur dan comptable.
B. Pelaksanaan Kewenangan Administratif (Ordonateur) di KPA
Permasalahan yang dihadapi KPA dalam pelaksanaan fungsi administratif :
Permasalahan dalam DIPA misalnya : tidak tersedia MAK 511119 (Pembulatan) MAK 511124 (tunjangan fungsional), MAK 511125 (PPh Ps.21) menimbulkan dilematika pada KPPN untuk melakukan pembayaran;
Adanya euforia (Let’s the manager manage) untuk melakukan pengeluaran sesuai keinginan dengan berdalih pada Petunjuk Operasional Kegiatan yang pada dasarnya adalah untuk menghabiskan dana yang tersedia dalam DIPA sehingga mengakibatkan penafsiran yang menyimpang dari bagan perkiraan standar
Adanya kecenderungan melakukan pengadaan barang dan jasa dengan pembayaran Uang Persediaan/ Tambahan UP khususnya untuk pekerjaan swakelola misalnya pada Dinas Kimpraswil. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya permintaan izin TU dengan beraneka alasan yang pada hakikatnya adalah keengganan KPA untuk melakukan pembayaran langsung;
Adanya kecenderungan melakukan perubahan/penambahan volume kegiatan yang pada hakikatnya adalah untuk penyerapan dana, dengan mengalihkan dari kegiatan yang dirasa sulit untuk melakukan pencairan dana. Indikator ini dapat dibuktikan banyaknya pengajuan revisi kepada Kanwil DJPBN;
Belum adanya kesadaran para pengelola keuangan untuk menjadikan dan memiliki peraturan tentang pengelolaan keuangan sebagai pegangan dan acuan kerja, dan lebih mengandalkan pada konsultasi ke KPPN dimana kemampuan dan penguasaan peraturan teknis pegawai yang melayani juga masih terbatas;
Belum adanya kemandirian para penanggung jawab fungsional (Bendahara, Penguji Tagihan dan Penandatangan SPM) yang pada umumnya secara struktural merupakan pegawai bawahan pembuat komitmen (Kabag Umum / Kasubag Umum/ Kasubag TU) yang dalam pelaksanaan pekerjaannya berada dalam kendali dan atas perintah atau lebih extrim berada dalam “tekanan” sesuai keinginan atasannya sehingga ada rasa enggan atau takut terjadinya conflict of interest;
Masih lemahnya kemampuan pejabat penerbit SPM dalam menterjemahkan DIPA serta RKA-KL dan akibatnya pengujian tagihan dan pembebanan MAK/MAP tidak sesuai dengan substansi pembayaran,
Contoh :
Dalam hal pembayaran Belanja Barang Non Operasional Lainnya (BKPK 5212) ternyata dalam SPTB tercantum Pemeliharaan AC yang seharusnya masuk dalam BKPK 5231 dan ternyata dalam RKAKL memang alokasi dana untuk pemeliharaan AC tersebut masuk dalam MAK 521219
C. Faktor-faktor yang mempegaruhi pelaksanaan tugas
a. Faktor yang mendukung pelaksanaan tugas
Proses pengolahan data pelaksanaan APBN dilakukan secara elektronik didukung dengan aplikasi program secara integrasi;
Adanya payung hukum yang mandiri dan mempunyai legimitasi yakni UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta peraturan lainnya.
b. Faktor yang menghambat pelaksanaan tugas
Kemampuan SDM menjadi faktor utama terhambatnya pelaksanaan tugas dikarenakan di era Teknologi Informasi maka pelaksanaan tugas menuntut adanya kemampuan di bidang pengolahan data (komputer) disamping pengetahuan kewenangan kebendaharaan dan pengetahuan kewenangan administratif yang standar;
Pembinaan terhadap KPA masih dilakukan parsial dan seharusnya pembinaan dan bimbingan teknis dilakukan secara komprehensf meliputi aspek otoriasasi, orodonansering, comptable, akuntansi dan pengolahan data;
Kurangnya sosialisasi dalam bentuk GKM kepada lingkup internal (jajaran DJPBN);
Belum adanya payung hukum bagi Bendahara Umum Negara/Kuasa BUN untuk melakukan pengawasan kepada satker pengguna atas pengelolaan keuangan negara khususnya ada temuan kejanggalan atau indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh KPA;
Tidak adanya penghargaan (reward) dan sanksi (punishmen) atas kinerja pegawai;
Sarana dan prasarana berupa piranti komputer dan jaringan website untuk mendukung sistem pembayaran yang belum memadai mengingat sarana yang ada sementara ini sudah tergolong kuno dan tidak branded.
D. Usul Penyempurnaan Aturan Pelaksanaan Kewenangan Kebendaharaan
Dari pengamatan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan masih terdapat kelemahan khususnya efficiency operational yang dikhawatirkan justru akan menghambat pencapaian tujuan dan sasaran program. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah perbaikan sebagai berikut :
Perlu adanya aturan sebagai bentuk pembinaan sekaligus pengawasan atas pengelolaan keuangan negara (post audit) oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa BUN. Artinya apabila ada kejanggalan atau ditemukan indikasi penyimpangan dalam perintah pembayaran maka BUN/Kuasa BUN tetap menerbitkan SP2D, namun perlu dilakukan pembinaan secara tertulis atas kesalahan/penyimpangan tersebut dengan tembusan kepada aparat pengawas fungsional. Produk aturan yang diusulkan adalah dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan;
Diperlukan penyuluhan secara kontinyu kepada KPA agar mind set selaku pemegang kewenangan administratif dapat dipahami dan diresapi. Untuk itu fungsi pembinaan pada Bidang PPKN dan Bidang AKLAP perlu dirumuskan ulang agar pola pembinaan yang dilakukan benar-benar komprehensif dan tepat guna sesuai reformasi manajemen keuangan pemerintah;
Perlu aturan tentang standar mutu layanan Kanwil DJPBN dan KPPN agar proses pengalihan kewenangan administratif kepada KPA dapat berjalan dengan baik;
Dengan diberlakukan standar mutu layanan maka perlu adanya bentuk kompensasi yakni berupa rangsangan (insentif) sebagai reward dan sebaliknya akan diberikan sanksi apabila ada pelanggaran dalam pelayanan kepada mitra kerja;
KPPN tidak perlu lagi membuat Kartu Pengawasan Belanja Pegawai Perorangan (lampiran 14-3 PER-66/PB/2005) dikarenakan hal tersebut merupakan kewenangan administratif pada KPA;
Perlunya Bank Data Pegawai Negeri Sipil seluruh Indonesia agar file data jati diri PNS dapat secara mudah diakses oleh seluruh unit pemakai mengingat di era IT semua data diproses secara elektronik;
Diterapkan standar kompetensi dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja Dit.Jen.Perbendaharaan termasuk lingkup Kanwil DJPBN dan KPPN dikarenakan perubahan dalam sistem penganggaran di era reformasi manajemen pemerintah menghendaki adanya profesionalisme dan kompeten di bidang tugasnya;
Perlu percepatan peningkatan kompetensi pegawai di bidang otorisasi, ordonateur, akuntansi, analisa pelaporan dan pengolahan data dengan indikator sasaran prosentase pegawai yang mempunyai keahlian pada bidang tersebut dengan melaksanakan kegiatan on the job training (pelatihan di tempat kerja) dan GKM dengan sisitim mentoring;
Perlu dirumuskan ulang prosedur kerja Kanwil DJPBN dan KPPN dalam hal :
• Pola pembinaan sistem akuntansi pemerintah yang komprehensif dan pengolahan data yang integrasi dengan membetuk think thank dan DUKTEK di Kanwil DJPBN
Standardisasi kinerja KPPN :
a. Diterapkan pengamanan prosedur tetap pengamanan database
b. Ditentukan proses cut off
c. Dibentuk work shop untuk menanggulangi permasalahan aplikasi
d. Standar rekonsiliasi dalam rangka mutu pelayanan terhadap mitra kerja
e. Prosedur perbaikan data
E. Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah
Indikasi penyimpangan anggaran negara sebagaimana ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran pada sebagian kalangan politisi dan masyarakat bahwa reformasi manajemen keuangan pemerintah tampaknya masih dalam batas verbalisme politis. Sistem manajemen keuangan pemerintah dan aparat pelaksananya masih belum mampu menggunakan uang rakyat secara bertanggung jawab. Sungguh ironis di tengah pengangguran dan kemiskinan yang semakin meluas serta hutang negara yang semakin membengkak, oknum aparat pemerintah masih melakukan tindakan tidak terpuji dengan menyalahgunakan uang rakyat. Perilaku koruptif masa Orde Baru masih melekat kuat pada sebagian aparat pemerintah.
Hasil temuan BPK tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: Apa yang salah dengan sistem manajemen keuangan pemerintah kita? Apabila ternyata sistem manajemen keuangan pemerintah kita terbukti memiliki kelemahan, apakah ada sistem manajemen keuangan pemerintah alternatif yang mampu menekan penyimpangan dan pemborosan keuangan dan sumber daya negara? Sistem manajemen keuangan pemerintah
Apa yang dikemukakan oleh Sondang P. Siagian (1995) dalam menggambarkan keadaan manajemen keuangan pemerintah semasa Orde Baru tampaknya masih belum berubah secara signifikan pada masa Orde Reformasi sekarang ini. Ia mengatakan bahwa manajemen keuangan pemerintah sudah tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan. Sebagai contoh, sistem pelaporan keuangan, katanya "....sering hanya menunjukkan legalitas penggunaan biaya dan kurang menunjukkan efisiensi penggunaan biaya tersebut". Sistem pelaporan keuangan yang memungkinkan terjadinya distorsi informasi demikian tentunya sangat buruk bagi proses pembuatan keputusan dan kebijakan pemerintah yang efektif di bidang manajemen aset dan kewajiban (liabilities).
Dalam praktik manajemen keuangan pemerintah yang masih berlangsung sekarang ini, ada kecenderungan dari oknum pejabat untuk menghabiskan sisa anggaran, baik anggaran rutin maupun anggaran pembangunan (proyek), yang dikelolanya. Pejabat tersebut termotivasi oleh insentif untuk menghabiskan sisa anggaran karena kalau sisa anggaran tersebut tidak dihabiskan maka jumlah anggaran yang disetujui Departemen Keuangan untuk tahun berikutnya, baik yang diusulkan dalam Daftar Usulan Kegiatan (DUK) maupun Daftar Usulan Proyek (DUP), akan lebih kecil dari jumlah anggaran tahun sebelumnya.
Akibatnya, oknum pejabat tersebut merekayasa kegiatan untuk menghabiskan sisa anggaran dan membuat laporan keuangan "yang seolah-olah benar" untuk menjustifikasi kegiatan tersebut. Dalam sistem manajemen keuangan demikian tidak ada insentif bagi pengelola anggaran untuk menghemat maupun mengelola anggaran tersebut secara efektif dan efisien.
Lemahnya manajemen pemerintahan khususnya manajemen keuangan, pemerintah yang menstimulasi perbuatan koruptif demikian telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga pemerintah terutama pada lembaga pengawasan.
Apabila dilihat dari praktik pengelolaan keuangan negara, tampak jelas pemerintah menggunakan "Cash Accounting System" (Sistem Akutansi Tunai-SAT). Penggunaan sistem ini dipertegas lagi dalam Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1994 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 217/KMK.03/1990.
SAT hanya mencatat pos-pos penerimaan dan pengeluaran tunai. Dalam SK Menteri tersebut ditegaskan bahwa mulai 1 April 1990 berlaku sistem baru untuk semua pembayaran atas beban kepanjangan (APBN) yang disebut Sistem Pembayaran dengan Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan (UYHD). Dalam sistem UYHD tampak jelas pencatatan hanya dilakukan pada pembayaran tunai kegiatan jangka pendek, tidak memperhitungkan kewajiban jangka panjang.
Seperti yang sudah lazim dalam praktik pembukuan dan akutansi pemerintah selama ini, SAT yang digunakan pemerintah tidak mencatat aset dan kewajiban terutang baik dalam bentuk akun yang terutang (account payable) maupun akun piutang (account receivable). Oleh karena itu, tidak jelas dan sulit dilacak berapa nilai semua aset dan kewajiban yang dimiliki pemerintah.
Akibatnya, sistem pelaporan keuangan yang dihasilkan cenderung memberikan informasi yang tidak lengkap dan menyesatkan. Keadaan demikian seringkali membuat keputusan dan kebijakan publik yang berkaitan dengan aset dan kewajiban pemerintah, termasuk manajemen hutang salah dan tidak efektif (policy defect). Kelemahan lain dari manajemen keuangan pemerintah selama ini adalah adanya nonbujeter, yaitu dana di luar APBN yang berasal dari pendapatan bukan pajak. Adanya pengalokasian dana yang bersifat nonbujeter yang penggunaannya tidak transparan dan lemah mekanisme akuntabilitas publiknya jelas bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik (good governance).
Berbeda dengan SAT, Sistem "Accrual Accounting" (SAA) bukan hanya mencatat nilai penerimaan dan pembayaran tunai tetapi juga mencatat semua nilai aset dan kewajiban jangka panjang. Oleh karena itu, dengan SAA semua aset dan kewajiban pemerintah akan terlihat dan terdeteksi. Melalui pencatatan account payable dan account receivable, SAA secara sistematis membukukan, dalam bentuk double entries, semua aset dan kewajiban pemerintah.SAA mengutamakan pemenuhan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntablitas publik dalam manajemen keuangan dan sumber daya negara.
Penerapan SAA adalah wujud pelaksaan good governance dalam manajemen keuangan dan sumber daya (aset) negara. Namun demikian, efektivitas implementasi SAA tersebut tidak bisa lepas dari apa yang kemudian dikenal dalam manajemen sektor publik moderen New Public Management (NPM) sebagai korporasi manajemen pemerintahan (corporate government). Sebagaimana layaknya dikenal dalam dunia bisnis swasta, dalam NPM pun diaplikasikan konsep ownership (pemilikan), purchase (pembeli), shareholder (pemegang saham), dan custtomer (pelanggan). NPM mengonstruksi organisasi pemerintah sebagai suatu korporasi. Masyarakat, sebagai pembayar pajak (tax payer), adalah shareholder dari organisasi tersebut.
Masyarakat berhak tahu atas segala urusan dan manajemen organisasi pemerintah, termasuk manajemen aset dan kewajiban. Pengurus organisasi tersebut wajib memberitahukan secara transparan kepada masyarakat sebagai shareholder semua hal mengenai aset dan kewajiban organisasi, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Menteri, sebagai pimpinan tertinggi dari organisasi tersebut, harus bertanggung jawab dan akuntabel kepada masyarakat mengenai semua hal menyangkut kemajuan dan manajemen organisasi.
Peran dan partisipasi masyarakat dalam korporasi manajemen pemerintahan demikian adalah dengan mengawasi penggunaan dan pengelolaan aset dan kewajiban organisasi. Apabila pengurus gagal mengelola aset dan kewajiban organisasi maka masyarakat bisa mengusulkan untuk mengganti pengurus atau menteri yang memimpin organisasi tersebut. Dalam NPM hubungan antara Menteri dan Direktur Jenderal sebagai CEO (Chief Executive Officer) diwujudkan dalam bentuk Performance Contract (kontrak kinerja) yang biasanya berlaku selama lima tahun. Dalam kontrak demikian, menteri sebagai wakil dari owner (pemerintah), dapat memecat CEO sebelum habis masa kontrak kerjanya apabila ia gagal dalam mengelola aset dan sumber daya organisasi yang dipimpinnya. Oleh karena itu, CEO akan termotivasi untuk mengelola aset organisasi tersebut secara lebih afektif, efisien, dan bertanggung jawab.
Namun, SAA bukannya tanpa kekurangan. Kelemahannya adalah relatif tingginya biaya admisitrasi dan transaksi (transaction cost). Dalam sistem ini setiap organisasi pemerintah diwajibkan mempublikasikan laporan keuangannya kepada publik. Artinya, dibutuhkan banyak tenaga pemeriksa keuangan (auditor) profesional untuk menyiapkan dan mengaudit laporan keuangan tersebut. Selain itu, efektivitas SAA dalam manajemen aset dan keuangan negara sangat bergantung pada integritas moral dan keprofesionalan para operatornya.
Di sinilah profesi pemeriksa keuangan, baik ia sebagai pemeriksa keuangan internal maupun eksternal (internal and external auditor) maupun pengelola keuangan pemerintah, memegang peranan penting. Efektivitas SAA dalam manajemen aset dan keuangan pemerintah telah dibuktikan oleh Pemerintah Selandia Baru. Hasilnya, posisi anggaran belanja Pemerintah Selandia Baru berubah, dari defisit sebesar $ 2.254 miliar tahun 1990-1991 menjadi surplus $755 juta pada 1994 dan $ 3.314 juta pada 1996. SAA telah memberikan kontribusi yang nyata dalam menekan pemborosan anggaran sekaligus meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran tersebut.
SAA merupakan sistem manajemen keuangan alternatif yang dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk mereformasi manajemen keuangannya. Sistem ini telah terbukti mampu mengelola kekayaan negara secara efektif, efisien, dan bertanggung jawab. Namun, hal yang paling mendasar agar sistem tersebut bekerja dengan efektif adalah adanya kemauan politik pemerintah untuk secara sungguh-sungguh menerapkan sistem tersebut guna mewujudkan good governance dalam manajemen keuangan pemerintah
DAFTAR PUSTAKA
- James K. Van Fleet, 1973, 22 Manajemen Keuangan, Jakarta:Mitra Usaha
- http://artikelrande.blogspot.com/2010/07/manajemen-keuangan.html
- Purwanto, Yadi, 2001, Manajemen Keuangan Pemerintah PT. Cendekia Informatika, Jakarta
- W. Brown steven, 1998, manajemen kepemipinan, Jakarta: Profesional Books
- http://www.sarjanaku.com/2011/01/makalah-manajemen-keuangan.html