A. Pendahuluan
Sejak tahun 2005, isu mengenai profesionalisme guru gencar dibicarakan di Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga faktor tersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut ukuran Indonesia. Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi. Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian.
Persoalan yang muncul kemudian, bahwa guru yang diasumsikan telah memiliki kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka telah tersertifikasi, tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru adalah kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah sertifikasi. Oleh karena sertifikasi erat kaitannya dengan proses belajar, maka sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan kompetensi yang unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya merupakan tonggak awal bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang hayat. Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, diperlukan manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan profesionalisme guru itu sendiri.
B. Pembahasan
Manajemen pengembangan kompetensi guru dapat diartikan sebagai usaha yang dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan guru demi kesempurnaan tugas pekerjaannya. Pengembangan kompetensi guru didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arus globalisasi dan informasi, (2) menutupi kelemahan-kelemahan yang tak tampak pada waktu seleksi, (3) mengembangkan sikap profesional, (4) mengembangkan kompetensi profesional, dan (5) menumbuhkan ikatan batin antara guru dan kepala sekolah. Secara teknis, kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi professional guru adalah (1) bimbingan dan tugas, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) kursus-kursus, (4) studi lanjut, (5) promosi, (6) latihan jabatan, (7) rotasi jabatan, (8) konferensi, (9) penataran, (10) lokakarya, (11) seminar, dan (12) pembinaan profesional guru (supervisi pengajaran).
Manajemen peningkatan kompetensi guru bermuara pada pertumbuhan manusiawi dan profesionalisme guru (Mantja, 2002). Dalam hal ini, hubungan antara kepala sekolah dan guru bersifat proaktif mengupayakan perbaikan, pengembangan, peningkatan keefektifan dan didasarkan atas kekuatan persepsi, bakat/potensi, dan minat individu. Artinya, kepala sekolah hendaknya memiliki kepedulian terhadap kebutuhan manusiawi dan profesionalisasi guru dalam tiga perspektif. Pertama, keterlibatan guru dengan segala keunikan kepribadiannya, bakatnya, mengupayakan promosi yang wajar berdasarkan kemampuan kerja guru. Kedua, kepedulian kepala sekolah terhadap pengembangan guru. Ketiga, program peningkatan profesionalisme guru dilakukan secara kolaboratif antara kepala sekolah dan guru dalam rangka meningkatkan keefektifan sekolah. Ketiga perspektif tersebut dalam proses manajemen bersifat interdependensi dinamis.
Walaupun guru telah tersertifikasi, yang dapat diasumsikan mereka telah memiliki kecakapan kognitif, afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pembangunan pendidikan kekinian, maka guru dituntut untuk terus menerus berupaya meningkatkan kompetensinya secara dinamis. Mantja (2002) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi tersebut tidak hanya ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, namun yang lebih penting adalah kemamuan diri untuk terus menerus melakukan peningkatan kelayakan kompetensi. Sergiovanni (dalam mantja, 2002) menegaskan bahwa asumsi profesionalisme guru pasca sertifikasi seyognya menjadi spring board bagi guru untuk terus menerus menata komitmen melakukan perbaikan diri dalam rangka meningkatkan kompetensinya.
Peningkatan kompetensi atas dorongan komitmen diri diharapkan akan mampu meningkatkan keefektifan kinerjanya di sekolah. Komitmen untuk meningkatkan kefektifan kinerja sangat berkaitan dengan pencapaian tujuan program, yaitu program pembelajaran yang diharapkan mampu menghasilkan output dan outcome yang mencapai standar. Jika guru memiliki komitmen untuk mengembangkan kompetensi diri secara terus menerus, maka proses-proses perencanaan, pengembangan, penerapan, pengelolaan, dan penilaian program pembelajaran diyakini akan dapat dilakukan sesuai dengan tuntutan kekinian.
Penjelasan di atas mengindikasikan, bahwa komitmen diri dan strategi-strategi manajemen sangat dibutuhkan dalam rangka memfasilitasi guru meningkatkan profesionalismenya. Sinergi antara komitmen guru dan strategi manajemen akan melahirkan proses kolaborasi yang efektif untuk meningkatkan kompetensi. Kajian ini menyajikan empat dimensi teori preskripsi sebagai alternatif landasan bagi guru dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Lima dimensi teoretis tersebut, adalah
1) Dukungan kompetensi manajemen
2) Strategi pemberdayaan
3) Supervisi pengembangan, dan
4) Penelitian tindakan kelas.
1. Dukungan Kompetensi Manajemen
Kompetensi manajemen yang dibutuhkan untuk peningkatan profesionalisme guru dibedakan atas tiga jenis (Surya Dharma, 2003), (1) manajemen pada tingkatan kepala dinas pendidikan, (2) manajemen pada tingkatan kepala sekolah, dan (3) manajemen pada tingkatan guru.
Pada tingkatan kepala dinas dibutuhkan kompetensi tentang (1) strategic thinking, (2) change leadership, dan (3) relationship management. Strategic thinking merupakan kompetensi untuk memahami kecenderungan perubahan sistem pendidikan yang begitu cepat, peka terhadap kondisi eksternal berupa peluang dan tantangan, memberdayakan potensi internal berbasis kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan yang diterapkan, sehingga mampu mengidentifikasikan strategic response secara optimal. Aspek change leadership berurusan dengan kompetensi untuk mengomunikasikan visi dan strategi dinas pendidikan yang dapat ditransformasikan kepada para guru. Pemahaman atas visi dinas pendidikan oleh para guru akan
menumbuhkan motivasi dan komitmen guru, sehingga mereka dapat bergerak sebagai sponsor inovasi, terutama dalam mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya sebaik mungkin untuk menuju kepada proses perubahan. Kompetensi relationship management merupakan kemampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan instansi lain yang terkait, misalnya dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, sehingga inovasi-inovasi yang berkembang dapat dicandra secara cepat untuk kemudian disosialisasikan kepada para kepala sekolah dan para guru. Kompetensi-kompetensi tersebut dapat mendorong peningkatan profesionalisme kepala sekolah dan guru.
Pada tingkatan kepala sekolah dibutuhkan kompetensi-kompetensi 1). fleksibility, 2). change impelementation, 3). interpersonal understanding, 4). empowering, 5). team facilitation, dan 6). portability. Aspek fleksibility adalah kemampuan melakukan perubahan pada struktur dan proses manajerial sekolah. Aspek change impelementation merujuk pada kemampuan untuk melakukan perubahan strategi implementasi kebijakan demi tercapainya keefektifan pelaksanaan tugas-tugas sekolah. Dimensi interpersonal undrstanding berurusan dengan kemampuan untuk memahami nilai berbagai tipe guru layaknya sebagai seorang manusia. Aspek empowering merupakan kemampuan berbagi informasi, akomodatif terhadap gagasan para guru dan pegawai di sekolah, mengakomodasi kebutuhan guru dan pegawai dalam peningkatan profesionalisme, mendelegasikan tanggung jawab secara proporsional, menyiapkan saran dan umpan balik yang efektif, menyatakan harapan-harapan yang positif kepada guru dan menyediakan penghargaan bagi peningkatan kinerja guru dan pegawai. Dimensi team facilitation lebih mengarah pada kemampuan untuk menyatukan para guru untuk bekerja sama secara efektif dalam mencapai tujuan bersama, temasuk memberi kesempatan kepada para guru untuk berpartisipasi mengatasi konflik. Dimensi portability merupakan kemampuan beradaptasi dan berfungsi secara efektif dengan lingkungan luar sekolah. Kompetensi-kompetensi tersebut sangat potensial untuk mendorong timbulnya motivasi intriksik para guru dan rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam meningkatkan profesionalismenya.
Pada tingkatan guru dibutuhkan kompetensi-kompetensi 1). fleksibilitas; 2). mencari dan menggunakan informasi, motivasi dan kemampuan untuk belajar, 3). motivasi berprestasi, 4). motivasi kerja di bawah tekanan waktu; 5). kolaborasi dan orientasi pelayanan kepada siswa. Dimensi fleksibilitas adalah kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang menggembirakan ketimbang sebagai ancaman. Aspek mencari informasi, motivasi, dan kemampuan belajar adalah kompetensi tentang antusiasme untuk mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan interpersonal. Dimensi motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk mendorong inovasi, perbaikan berkelanjutan baik kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan sesuai dengan tantangan kompetensi. Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan kombinasi antara fleksibilitas, motivasi berprestasi, menahan stress, dan komitmen untuk meningkatan profesionalisme. Dimensi kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam kelompok yang multidisiplin, menaruh harapan positif kepada kolega lain, pemahaman interpersonal dan komitmen pendidikan. Dimensi keinginan yang besar melayani siswa dengan baik adalah kompetensi yang dibutuhkan oleh guru sebagai konsekuensi berlakunya paradigma custumisation. Paradigma ini lebih meletakkan landasan yang kuat, bahwa kehadiran guru di sekolah lebih sebagai fasilitator dan meninggalkan perannya yang kurang tepat selama ini, yaitu sebagai transmiter ilmu.
2. Strategi Pemberdayaan
Sekarang ini, guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari sebelumnya lebih bersifat physical asset menuju paradigma knowledge based competition. Perubahan paradigma tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan, sehingga mereka mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Pemantapan sumber daya guru sebagai intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah perubahan yang terjadi.
Strategi pemberdayaan merupakan salah satu cara pengembangan guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran Wahibur Rokhman (2002), dapat dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk meberikan wewenang dan tanggung jawab yang proporasional, menciptakan kondisi saling percaya, dan pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan. Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai agen perubahan. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Cara ini, di satu sisi merupakan proses kaderisasi, di sisi lain adalah untuk mengakomodasi proses peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan.
Untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan guru, dapat digunakan model pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003) dengan paradigma-paradigma desire, trust, confident, credibility, accountability, communication.
Paradigma desire merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) member kesempatan kepada guru untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang, (b) memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru, (c) mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi untuk meningkatkan kinerja, dan (d) menggambarkan keahlian team dan melatih guru untuk melakukan self-control.
Paradigma trust mencakup upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan kepada guru untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu dan sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja, (c) menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d) menghargai perbedaan pandangan dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e) menyediakan akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja.
Paradigma Confident merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) mendelegasikan tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan mengakomodasi gagasan dan saran guru, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan dengan sekolah dan instansi lain, dan (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong munculnya win-win solution.
Beberapa upaya kepala sekolah terkait dengan paradigma credibility, adalah (a) memandang guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peningkat standar tinggi di semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada guru lain untuk melakukan perubahan secara partisipatif, dan (d) menggagas win-win solution dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan tujuan dan penetapan prioritas.
Paradigma accountability merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas yang terdefinisikan secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran kinerja, (d) memberikan bantuan dan saran kepada guru dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e) menyediakan periode dan waktu pemberian feedback.
Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a) menetapkan kebijakan open door communication, (b) menyediakan waktu untuk memperoleh informasi dan mendiskusikan permasalah secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk cross-training.
Di samping enam paradigma pemberdayaan guru tersebut, faktor lingkungan sekolah juga sangat menentukan pelaksanaan program pemberdayaan. Caudron (dalam Wahibur Rokhman, 2003) menganjurkan enam hal penting untuk membangun lingkungan sekolah yang kondusif bagi pelaksanaan program pemberdayaan. Enam hal tersebut, adalah (1) work teams and information sharing, (2) training and resources, (3) measurement and feedback, (4) reinforcement, (5) responsibility, dan (6) flexibility procedure.
Membentuk work teams and information sharing sangat penting bagi sekolah, karena di dalam tim terdapat peluang yang besar terjadinya sharing knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala sekolah. Setiap individu diharapkan mampu menyajikan unjuk kerja dan mempengaruhi secara positif kepada yang lain dalam meningkatkan kompetensi. Sharing knowledge di antara para guru, pegawai, dan kepala sekolah terjadi melalui proses-proses komunikasi terbuka tentang kekuatan dan kelemahan kinerja mereka serta mencermati tantangan dan peluang yang mereka hadapi seiring dengan perkembangan pendidikan.
Pemberdayaan training and resources sangat penting untuk menunjang peningkatan profesionalisme guru. Training team memiliki peran penting untuk menjaga kekompakan dalam penyelesaian berbagai masalah di sekolah. Hal ini penting, karena pemberdayaan bagi guru tidak hanya untuk tujuan-tujuan independent empowering, tetapi juga interdependent empowering. Namun, training sangat membutuhkan penyediaan fasilitas da sumber daya lain yang dibutuhkan guru dalam meningkatkan kompetensinya.
Measurement (pengukuran) sangat dibutuhkan untuk memperoleh data ada atau tidaknya peningkatan dan kemajuan yang dialami guru. Konsep pengukuran tidak bisa dilepaskan dari konsep standar. Hasil pengukuran yang dibandingkan dengan standar akan berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kinerja yang dilakukan oleh guru. Namun pasca pengukuran memerlukan adanya feedback secara cepat. Hal ini penting, karena feedback akan memberi peluang bagi guru untuk menampilkan kinerja yang lebih baik.
Dukungan manajemen dengan pemberian reinforcement secara terus menerus akan mendukung dan memotivasi guru. Pada hakikatnya, semua manusia (termasuk guru) merasa respektif terhadap penghargaan yang diterima atas prestasi yang dicapainya. Kepala sekolah atau pengawas perlu memberikan penilaian yang baik atas prestasi kerja yang bisa dicapai oleh guru. Kepala sekolah wajib melakukan sosialiasi atas prestasi yang dicapai guru di sekolah.
Memberikan kepercayaan kepada para guru untuk melakukan pekerjaan yang sesuai akan membangun responsibility guru terhadap tugas yang menjadi kewajibannya. Kepercayaan tersebut akan membangkitkan kreativitas dan inovasi mereka yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja dan produktivitasnya. Pemberian wewenang memiliki nilai strategis bagi guru dalam hal meningkatkan rasa percaya diri mereka sebagai akibat dirinya merasa dihargai, penting, dan dibutuhkan keberadaanya di sekolah. Dengan demikian, guru akan mengerahkan seluruh pengetahuan dan keahliannya untuk melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.
Flexibility procedure sangat dibutuhkan di sekolah, karena sangat memudahkan dalam pengambilan keputusan. Prosedur yang fleksibel akan mendukung sekolah dalam melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan zaman seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Di samping itu, akan member peluang pula bagi guru untuk mampu beradaptasi dan meningkatkan kompetensi, sehingga lebih siap dalam berkompetisi.
3. Supervisi Pengembangan
Pada umumnya, kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor pengajaran di sekolah. Dia bertanggung jawab mengkoordinasikan semua program pengajaran. Para guru mengharapkan agar kepala sekolah menggunakan sebagian besar waktunya untuk perbaikan dan peningkatan pengajaran. Oleh sebab itu, kepala sekolah hendaknya memiliki kompetensi kepemimpinan pengajaran dalam melaksanakan tugasnya sebagai supervisor. Dia hendaknya memiliki pemahaman tentang cara yang tepat dalam melaksanakan supervisi.
Glickman (dalam Mantja 2002) memperkenalkan pendekatan supervise pengembangan (developmental supervision). Pendekatan tersebut bertolak dari kenyataan, bahwa pada dasarnya proses supervisi adalah proses belajar. Dalam proses supervisi, hubungan antara kepala sekolah analog dengan hubungan antara guru dan siswa. Guru dalam melayani siswa memiliki kewajiban untuk memhamami semua karakteristik siswa. Demikian pula, kepala sekolah dalam melakukan supervisi pada para guru, hendaknya guru diperhatikan sebagai individu, karena adanya perbedaan-perbedaan individual guru dalam perkembangan manusiawinya. Perlakuan seperti itu
sangat diperlukan, lebih-lebih guru dituntut untuk terlibat secara langsung dalam peningkatan kualitas pendidikan. Pendekatan supervisi perlu didasarkan atas perkembangan, kebutuhan, dan karakteristik guru. Pendekatan tersebut erat kaitannya dengan dua unsur penting keefektifan guru dalam menjalankan tugas keprofesionalan, yaitu komitmen dan kemampuan berpikir abstraks.
Komitmen guru merupakan banyaknya waktu dan tenaga yang mampu dicurahkan oleh guru tersebut bagi siswa dan menunjang profesinya. Komitmen diistilahkan sebagai kepedulian, yang dapat diklasifikasi atas tiga kategori, kepedulian terhadap diri sendiri, terhadap siswa, dan terhadap profesionalisasi. Kemampuan berpikir abstraks, adalah kemampuan kognitif berbasis pengalaman konkrit, mampu mengidentifikasi tindakan kekinian untuk membantu siswa belajar secara efektif, dan mampu mengidentifikasi tindakan yang akan datang yang lebih memberikan kesuksesan pelayanan bagi siswa. Kemampuan abstraks diistilahkan sebagai kompleksitas kognitif. Perpaduan antara kepedulian dan kompleksitas kognitif melahirkan tiga tahapan perkembangan profesional, yaitu perkembangan tingkat rendah, sedang, dan tinggi. Tahapan perkembangan tersebut membutuhkan fasilitas supervisi pengembangan, yang dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu (1) supervisi direktif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian pada diri sendiri dengan kompleksitas kognitif rendah, (2) supervis kolaboratif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian kepada siswa dan kompleksitas kognitif menengah, dan (3) supervisi nondirektif diperuntukkan bagi guru yang memiliki kepedulian profesional dengan kompleksitas kognitif tinggi.
Pola-pola tindakan supervisor yang berorientasi pada supervisi direktif adalah clarifying, presenting, demonstrating, directing, standardizing, reinforcing. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk mengarahkan kegiatan dalam perbaikan pembelajaran, menetapkan prangkat standar untuk perbaikan pembelajaran, menggunakan sarana dan berbagai dorongan untuk meningkatkan pembelajaran. Tampak, bahwa dalam supervis direktif, tanggung jawab cenderung lebih banyak pada kepala sekolah dibandingkan dengan tanggung jawab guru.
Dalam supervisi kolaboratif, pola-pola tindakan supervisor adalah listening, clarifying, pressenting, problem solving, negotiating, initiating. Pola-pola tindakan tersebut mengindikasikan bahwa antara kepala sekolah dan guru berbagi tanggung jawab. Kepala sekolah berupaya mendengarkan persepsi guru tentang masalah pembelajaran yang dihadapinya. Atas dasar persepsi guru, kepala sekolah menawarkan gagasan pemecahan masalah. Proses tersebut melahirkan alternatif pemecahan masalah yang kemudian disepakati untuk diterapkan dalam pembelajaran.
Beranjak dari pemahaman kepala sekolah, bahwa guru adalah mampu berkembang dan mengembangkan dirinya ke arah yang lebih profesional, maka pola tindakan yang dapat dilakukan dalam supervisi nondirektif, adalah listening, clarifying, encouraging, pressenting, negotiating, accomodating teacher-initiated. Tindakantindakan tersebut bertolak dari premis, bahwa proses belajar bagi guru diwarnai oleh pengalaman pribadinya, sehingga pada akhirnya guru tersebut akan mampu memecahkan masalahnya sendiri. Bagi guru, pemecahan masalah yang dimaksud adalah upaya memperbaiki dan meningkatkan pengalaman belajar siswa di kelas.
Peranan kepala sekolah adalah mendengarkan, tidak memberi pertimbangan, membangkitkan
kesadaran sendiri, dan mengklarifikasi pengalaman-pengalaman guru. Kepala sekolah lebih menekankan refleksi atau bertanya untuk memperoleh informasi dengan tujuan membuka komunikasi dalam pertemuan supervisi mereka. Peranan kepala sekolah dalam menjalankan supervisi seperti itu akan membuat persepsi guru menjadi positif.
4. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research/CAR)
Dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervise pengembangan, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, merupakan wujud perhatian dan kepedulian kepala dinas dan utamanya kepala sekolah kepada para guru di sekolah. Pada dasarnya, perhatian tersebut bermuara pada upaya membantu guru untuk meningkatkan profesionalisme. Guru profesional secara teoretis akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Kualitas pembelajaran yang baik merupakan cerminan pelayanan guru kepada siswa untuk belajar secara interaktif, inspiratif, memotivasi, menantang, dan menyenangkan. Pembelajaran seperti itu akan dapat diwujudkan oleh guru, apabila guru secara kontinu melakukan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research/CAR).
Secara konseptual, CAR merupakan langkah reflekstif bagi guru terhadap praktik kesehariannya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas praktiknya yang akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan secara umum. CAR adalah suatu bentuk penyelidikan yang bersifat reflektif mandiri. CAR banyak digunakan dalam proses pengembangan kurikulum sekolah, perbaikan sekolah, dan perbaikan kualitas pengajaran di kelas.
Menurut Kemmis dan Carr (dalam McNiff, 1992), CAR merupakan bentuk penelitian refleksi diri yang dilakukan oleh guru, siswa, atau kepala sekolah dalam pendidikan untuk memperbaiki dan memahami praktik-praktik pendidikan. Fokus utama CAR adalah mendorong guru terlibat melakukan kegiatan-kegiatan dengan sikap ilmiah, situasional, praktis, empiris, fleksibel, adaptif, partisipatoris, dan self-evaluation.
Secara rasional, CAR memiliki landasan sosial dan landasan kependidikan. Landasan sosial CAR adalah keterlibatan, sedangkan landasan kependidikannya adalah perbaikan. Operasionalisasi CAR menuntut adanya perubahan. CAR mengandung makna tindakan baik terhadap sistem maupun terhadap orang yang ada dalam system tersebut.
CAR memiliki prosedur partisipatoris. Prosedur tersebut efektif digunakan memecahkan masalah peningkatan hubungan interpersonal, kolaboratif, partisipatif, pengakomodasian, dan demokratis. Tantangan bagi guru, bahwa ia harus selalu membangkitkan kesadaran terhadap praktik-praktik pengajarannya di kelas. CAR merupakan wahana dan sarana untuk meningkatkan strategi belajar mengajar; mewajibkan guru untuk selalu sadar, kritis, dan terbuka melakukan perbaikan. Cara demikian dapat mendorong guru selalu berpikir kritis dan logis terhadap pengetahuan profesionalnya. CAR bersifat sistematis dan fleksibel. CAR menyertakan perencanaan yang bersifat reflektif diri secara terus-meneurs, tindakan, pengamatan dan evaluasi, refleksi, dan perencanaan ulang. Proses ini merupakan episode-episode yang siklustif.
CAR sangat bermanfaat dalam membangun hubungan interpersonal, tipe pengajaran yang bervariasi, pengukuran bentuk-bentuk wacana kelas, penyelidikan terhadap manusia dengan melakukan komunikasi interpersonal selektif dan langsung. Kesahihan CAR bersifat personal, dan tidak semata-mata menekankan kesahihan metodologis. CAR memberikan kontribusi dalam pemecahan masalah secara empiric dan faktual. CAR dapat digunakan oleh peneliti yang berupaya ingin mengetahui secara sistematis dan terkendali praktik-praktik pengajarannya sendiri. Dengan mengadaptasi pandangan yang humanis dalam penelitian pendidikan, maka peneliti mengubah perilakunya ke dalam suatu penelitian manusiawi. CAR memberi bekal kepada guru untuk berpikir secara rasional dan memilih dasar filosofis yang tepat serta metodologis. CAR lebih banyak menekankan partisipasi demokratis.
CAR terbuka terhadap pengalaman, proses baru, dan bersifat mendidik. Melalui CAR, guru dapat mengembangkan profesionalismenya. Dalam hal ini, komitmen personal sangat menentukan. Filosofinya adalah, bahwa dalam rangka menerima tanggung jawab profesional sebagai pendidik, guru hendaknya terlebih dahulu mendidik dirinya sendiri. Secara empiris, CAR lebih menekankan validitas dan reliabilitas data. Paham ini lebih menekankan etic approach, sehingga guru tidak diberitahukan mengenai metode, tujuan, dan alasan penelitian. Penelitian tidak menekankan pengumpulan dan analisis data secara statistik. Isu yang diteliti tidak terfokus pada perkembangan personal. Secara interpretatif, CAR bersifat sosiologis yang lebih menekankan kesamaan interpretasi antara guru sebagai aktor dan peneliti sebagai pengamat. Tradisi ini menggunakan emic approach yang lebih bersifat kualitatif. Pencetusnya adalah Glaser dan Straus (dalam McNeiff, 1992).
Ditinjau dari tradisi pendidikan, CAR cenderung mengikuti definisi yang dikemukakan oleh Stephen Corey (dalam McNiff, 1992) dalam bukunya yang berjudul action research to improve school practice, bahwa ada dua sumber tentang istilah dan pelaksanaan CAR. Pertama, berasal dari Collier yang menggunakan istilah pendekatan bersama antara masyarakat dan administrator dalam melakukan penelitian. Kedua, berasal dari Kurt Lewin yang sangat tertarik pada hubungan manusia dan menelitinya secara ilmiah dengan tujuan meningkatkan hubungan antar anggota masyarakat melalui inquiry mandiri. Lewin (dalam McNeiff, 1992a) merumuskan suatu skema yang memungkinkan orang melakukan inquiry mandiri secara sistematis. Mekanisme CAR Kurt Lewin kemudian disempurnakan oleh Stephen Kemmis, Elliot dan Ebbutt.
Di Amerika, J.J Schwab (dalam McNiff, 1992) menganjurkan agar guru berperan sebagai peneliti utama dalam CAR. Anjuran ini merupakan momentum yang tepat untuk mengembalikan CAR sebagai satu metodologi yang lebih menitikberatkan kepentingan dan menghargai individu. Di Inggris (1960-an hingga 1970-an) berkembang pemikiran serupa yang dipelopori oleh Lawrence Stenhouse (dalam McNiff, 1992), bahwa dengan guru sebagai pelaksana utama, maka dia otomatis merefleksi secara kritis dan sistematis tentang pengajarannya sendiri, guru menjadi diberdayakan mengembangkan keilmuannya, sehingga dia dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Car dan Kemmis (dalam McNeiff, 1992a) menyebut CAR sebagai penelitian tindakan pendidikan yang mengharuskan guru tidak hanya melakukan, mencatat, dan mencandra praktik pengajarannya, tetapi juga memperluas wawasan dan melakukan investigasi mandiri. Tugas ini bersifat mendidik guru itu sendiri. Guru diwajibkan memiliki komitmen dalam upaya memperbaiki mutu input-process-output pembelajarannya dan selalu melakukan refleksi terhadap konsekuensi tindakannya di kelas.
Berdasarkan uraian tentang pentingnya CAR bagi guru, maka seyogyanya guru dapat melakukan CAR secara berkesinambungan. Praktik pembelajaran melalui CAR dapat meningkatkan profesionalisme guru (Jones & Song, 2005; Kirkey, 2005; McIntosh, 2005; McNeiff, 1992). Hal ini, karena CAR dapat membantu (1) pengembangan kompetensi guru dalam menyelesaikan masalah pembelajaran mencakup kualitas isi, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran, proses, dan hasil belajar siswa, (2) peningkatan kemampuan pembelajaran akan berdampak pada peningkatan kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional guru (Prendergast, 2002). Lewin (dalam Prendergast, 2002) secara tegas menyatakan, bahwa CAR merupakan cara guru untuk mengorganisasikan pembelajaran berdasarkan pengalamannya sendiri atau pengalamannya berkolaborasi dengan guru lain. Sementara itu, Calhoun dan Glanz (dalam Prendergast, 2002) menyatakan, bahwa CAR merupakan suatu metode untuk memberdayakan guru yang mampu mendukung kinerja kreatif sekolah. Di samping itu, Prendergast (2002) juga menyatakan, bahwa CAR merupakan wahana bagi guru untuk melakukan refleksi dan tindakan secara sistematis dalam pengajarannya untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa. Cole dan Knowles (Prendergast (2002) menyatakan bahwa, CAR dapat mengarahkan para guru untuk melakukan kolaborasi, refleksi, dan bertanya satu dengan yang lain dengan tujuan tidak hanya tentang program dan metode mengajar, tetapi juga membantu para guru mengembangkan hubungan-hubungan personal. Whitehead (1993) menyatakan, bahwa CAR dapat memfasilitasi guru untuk mengembangkan pemahaman tentang pedagogi dalam rangka memperbaiki pemberlajarannya. D’Oria (2004) menyatakan bahwa penerapan CAR dalam pembelajaran dapat meningkatkan profesionalisme guru.
Hubungannya dengan perolehan belajar siswa, penelitian dengan metode CAR telah pula dilaporkan. D’Oria (2004) menyatakan bahwa CAR dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan perolehan belajar konseptual dan praktikal, memperbaiki prilaku-prilaku siswa, menumbuhkan kepedulian siswa terhadap pemeliharaan peralatan pembelajaran. Webster (2003) menyatakan bahwa CAR dapat meningkatkan keterampilan berpikir reflektif dan kritis. Wideman et al (2003) menyatakan bahwa CAR dapat meningkatkan keterampilan-keterampilan siswa dalam pemecahan masalah, komunikasi, menulis, pemahaman, dan mengorganisasikan gagasan.
C. Kesimpulan
Program sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah untuk mengidentifikasi guru-guru berkualitas. Guru berkualitas yang terbukti dari hasil sertifikasi dijadikan dasar untuk memberikan tunjangan profesi. Guru yang memperoleh tunjangan profesi dikategorikan sebagai guru yang profesional. Untuk menjamin konsistensi profesionalisme guru seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, diperlukan upaya-upaya peningkatan
profesionalisme secara berkesinambungan. Secara preskriptif, dukungan kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, supervisi pengembangan, dan penelitian tindakan kelas merupakan dimensi-dimensi teoretis alternatif untuk meningkatkan profesionalisme guru.
Dukungan kompetensi manajemen diperankan oleh kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah. Strategi pemberdayaan dan supervisi pengembangan merupakan peran sentral kepala sekolah. Ketiga dimensi teoretis tersebut berlandaskan pada filosofi humanistik, bahwa guru yang harus berkembang secara profesional, pada dasarnya dapat meningkatkan profesionalismenya secara mandiri. Oleh sebab itu, peran kompetensi manajemen, strategi pemberdayaan, dan supervisi pengembangan tidak lebih dari sekadar fasilitas dan pijakan bagi guru untuk meningkatkan komitmen. Sedangkan pelaksanaan penelitian tindakan kelas merupakan wujud kesadaran guru berbasis refleksi diri untuk meningkatkan profesionalisme. Namun, dukungan kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah sangat dibutuhkan dalam meningkatkan keefektifan pelaksanaan penelitian tindakan kelas.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijinkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Profesionalisme Guru, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |