PENDAHULUAN
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu orang yang pertama kali beriman dengan Rasulullah SAW meskipun dia saat itu masih kecil. Dia adalah putera Ali bin Abi Thalib paman Rasulullah SAW dan dikawinkan dengan puterinya yang bernama Fatimah yang dari pihak inilah Rasulullah memperoleh keturunan. Ali semanjak kecilnya sudah dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, dia termasuk orang yang sangat fasih berbicara dan pengetahuannya juga tentang Islam sangat luas sehingga tidak heran dia adalah salah satu periwayat yang terbanyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.
Ali menggantikan kekhalifahan Usman bin Affan yang telah meninggal sebelum jabatannya berakhir selama kurang lebih sekitar lima tahun, setelah sebelumnya dilakukan bai’at, dia banyak melakukan perubahan hukum ketatanegaraan seperti kebijakan tentang hak pertanahan, pembagian harta warisan perang. Juga timbul bermacam-macam masalah yang dapat mempengaruhi kemajuan dan kemunduran negara Islam.
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Ali Bin Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Rasulullah SAW masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Rasulullah SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Rasulullah SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Rasulullah SAWkarena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Rasulullah SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad. Ketika Rasulullah SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada saat itu Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Rasulullah SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri Beliau yang bernama Fatimah. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari Rasulullah SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih dalam berbicara, dan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.
B. Pembaiatan Ali Bin Abi Thalib Sebagai Khalifah Dan Kemajuan
Yang Dicapai
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.
Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi pada saat pemilihan khalifah Usman bin Affan, tetapi saat itu dia masih dianggap sangat muda. Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan Usman bin Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Usman mulai beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi kesenangan mereka apalagi untuk memperoleh kekayaan yang dapat mereka lakukan sebelumnya.
Ali Terpilih menjadi khalifah sebenarnya menimbulkan pertentangan dari pihak yang ingin menjadi khalifah dan dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara pemerintahan Umar yang keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam kesenangan dan kenikmatan hidup dimasa pemerintahan Usman bin Affan yang mudah dan lunak menjadi keadaan yang serba teliti, dan serba diperhitungkan, hingga banyak yang tidak menyukai Ali. bagi kaum Umaiyah sebagai kaum elit dan kelas atas dan khawatir atas kekayaan dan kesenangan mereka akan lenyap karena keadilan yang akan dijalankan Ali.
C. Pemberontakan Terhadap Ali Bin Abi Thalib
Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat Ali karena ia adalah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali memang tidak diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya, sehingga sebagai lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi murni yang juga sebagai gubenur Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah dan sebagai politisi ia dapat mencari cara apa saja untuk menduduki khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat ambisius dan terlebih lagi pernah diangkat oleh pendahulunya (Usman) yang mana kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai khalifah Ali bin Abi Thalib mempunyai wewenang yang penuh untuk menentukan bawahannya dan mencari yang loyal dengan kepemimpinannya. Oleh karena itu dia memecat Muawiyah yang pada saat itu telah berhasil membangun syiria menjadi kota menjadi kota yang sangat strategis dan memiliki tentara yang cukup loyal kepada Muawiyah . hal ini membuat tidak tinggal diam dan ingin melakukan pemberontakan.
Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah orang yang patut disalahkan dalam hal kematian khalifah Usman bin Affan dan tidaklah mencari para pelakunya dan menghukum mereka. Padahal Muawiyah sebenarnya tidak sebenarnya berminat menuntuk kematian Usman bin Affan kecuali sebagai pemicu untuk memberontak terhadap Ali. Kejadian pembunuhan Usman hanyalah permulaan salah satu fitnah yang besar pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut ahli sejarah Islam pembunuh itu atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai khalifah.
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.Terhadap berbagai tindakan Ali setelah menjadi khalifah, para sahabat senior sebenarnya pernah memberikan masukan dan pandangan kepada Ali. Tetapi Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam masalah pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas, dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka tidak usah dipecat selama menunjukan kesetiaan padanya. Pemecatan ini akan membawa implikasi yang besar bagi resistensi mereka terhadap Ali.
Marshall GS. Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun setelah wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung selama lima tahun). Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”, suatu masa perang saudara untuk menguasai komunitas muslim dan teritori-teritori taklukannya yang luas”. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas dari berbagai macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk perlawanan dan pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya terlibat para sahabat senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam dan menjadi suatu kemunduran pergerakan Islam
F. Akhir Pemerintahan Ali
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan kemarahan kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil membunuh Ali yang akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H./661M, oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi membunuh tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada Mu’awiyah dan Amr bin Ash, mereka berdua luput dari pembunuhan tersebut.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (’am jama’ah). Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
DAFTAR PUSTAKA
- A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1982.
- Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
- Budhi Munawwar Rachman, Ensiklopedi Nur Cholish Majid, Mizan, Jakarta, 2006
- Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Antasari Press, Banjarmasin, 2008.
- Hasan, As’ari, Menguak Sejarah Mencari Ibrah, Citapustaka Media, Bandung, 2006
- Marshall GS Hudgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999,
- Sou’yb Jousouf, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta, Bulan Bintang, 1979
- Syeikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Islam Sepanjang Sejarah, Terj. Khoiril Amru Harahap, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007