Definisi Puasa
Secara etimologi, puasa berarti menahan, baik menahan makan, minum, bicara dan perbuatan. Seperti yang ditunjukkan oleh firman Allah, surat Maryam ayat 26 :
“Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa demi Tuhan yang Maha Pemurah, bahwasanya aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini”. (Q.S. Maryam : 26)
Sedangkan secara terminologi, puasa adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan disertai niat berpuasa. Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya matahari dengan memakai niat tertentu. Puasa Ramadhan wajib dilakukan, adakalanya karena telah melihat hitungan Sya’ban telah sempurna 30 hari penuh atau dengan melihat bulan pada malam tanggal 30 Sya’ban. Sesuai dengan hadits Nabi SAW.
“Berpuasalah dengan karena kamu telah melihat bulan (ru’yat), dan berbukalah dengan berdasar ru’yat pula. Jika bulan tertutup mendung, maka genapkanlah Sya’ban menjadi 30 hari”.
Pengertian Puasa
Puasa secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan secara terminologi, adalah menahan diri pada siang hari dari berbuka dengan disertai niat berpuasa bagi orang yang telah diwajibkan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Detailnya, puasa adalah menjaga dari pekerjaan-pekerjaan yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, dan bersenggama pada sepanjang hari tersebut (sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa diwajibkan atas seorang muslim yang baligh, berakal, bersih dari haid dan nifas, disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah ta’aala.
Adapun rukunnya adalah menahan diri dari makan dan minum, menjaga kemaluannya (tidak bersenggama), menahan untuk tidak berbuka, sejak terbitnya ufuk kemerah-merahan (fajar subuh) di sebelah timur hingga tenggelamnya matahari. Firman Allah SWT :
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (Q.S. Al-Baqarah : 187)
Ibn’ Abdul Bar dalam hadits Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Bilal biasa azan pada malam hari, maka makan dan minumlah kamu sampai terdengarnya azan Ibn Ummi Maktum”, menyatakan bahwa benang putih adalah waktu subuh dan sahur hanya dikerjakan sebelum waktu fajar.
Bentuk Puasa
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah SWT telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad SAW. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu.
Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu :
- Puasanya orang-orang sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah pahala. Misalnya puasanya para pendeta.
- Puasa bicara, yakni praktek puasa kaum Yahudi. Sebagaimana yang telah dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Maryam ayat 26 : “Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku bernadzar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”.(Q.S. Maryam : 26)
- Puasa dari seluruh atau sebagian perbuatan (bertapa), seperti puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Budha dan sebagian Yahudi.
- Dan puasa-puasa lainnya yang mempunyai cara dan kriteria yang telah ditentukan oleh masing-masing kaum tersebut.
Sedang kewajiban puasa dalam Islam, orang akan tahu bahwa ia mempunyai aturan yang tengah-tengah yang berbeda dari puasa kaum sebelumnya baik dalam tata cara dan waktu pelaksanaan. Tidak terlalu ketat sehingga memberatkan kaum muslimin, juga tidak terlalu longgar sehingga mengabaikan aspek kejiwaan. Hal mana telah menunjukkan keluwesan Islam.
Hikmah Puasa
Diwajibkannya puasa atas umat Islam mempunyai hikmah yang dalam. Yakni merealisasikan ketaqwaan kepada Allah SWT. sebagaimana yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 183 :
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa”.
Kadar taqwa tersebut terefleksi dalam tingkah laku, yakni melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Al-Baqarah ayat 185 :
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) bulan tersebut, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.
Ayat ini menjelaskan alasan yang melatarbelakangi mengapa puasa diwajibkan di bulan Ramadhan, tidak di bulan yang lain. Allah mengisyaratkan hikmah puasa bulan Ramadhan, yaitu karena Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan yang diistimewakan Allah dengan menurunkan kenikmatan terbesar di dalamnya, yaitu Al-Qur’an al-Karim yang akan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus. Ramadhan juga merupakan pengobat hati, rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan sebagai pembersih hati serta penenang jiwa raga. Inilah nikmat terbesar dan teragung. Maka wajib bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat tiap pagi dan sore.
Bila puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu, maka adakah puasa yang diwajibkan atas umat Islam sebelum Ramadhan?
Jumhur ulama dan sebagian pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada puasa yang pernah diwajibkan atas umat Islam sebelum bulan Ramadhan. Pendapat ini dilandaskan pada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah :
“Hari ini adalah hari Asyura’, dan Allah tidak mewajibkannya atas kalian. Siapa yang mau silahkan berpuasa, yang tidak juga boleh meninggalkannya”.
Sedangkan madzhab Hanafi mempunyai pendapat lain : bahwa puasa yang diwajibkan pertama kali atas umat Islam adalah puasa Asyura’. Setelah datang Ramadhan Asyura’ dirombak (mansukh). Madzhab ini mengambil dalil haditsnya Ibn Umar dan Aisyah ra. : “Diriwayatkan dari Ibn ‘Amr ra. bahwa Nabi SAW. telah berpuasa hari Asyura’ dan memerintahkannya (kepada umatnya) untuk berpuasa pada hari itu. Dan ketika datang Ramadhan maka lantas puasa Asyura’ beliau tinggalkan, Abdullah (Ibnu ‘Amr) juga tidak berpuasa”. (H.R. Bukhari)
“Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa Asyura’ pada masa jahiliyah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa hari Asyura’ sampai diwajibkannya puasa Ramadhan. Dan Rasul berkata, barang siapa ingin berpuasa Asyura’ silahkan berpuasa, jika tidak juga tidak apa-apa”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Pada masa-masa sebelumnya, Rasulullah biasa melakukan puasa Asyura’ sejak sebelum hijrah dan terus berlanjut sampai usai hijrah. Ketika hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa (Asyura’), beliau pun ikut berpuasa seperti mereka dan menyerukan ke umatnya untuk melakukan puasa itu.
Hal ini sesuai dengan wahyu secara mutawattir (berkesinambungan) dan ijtihad yang tidak hanya berdasar hadits Ahaad (hadits yang diriwayatkan oleh tidak lebih dari satu orang).
Ibn Abbas ra. meriwayatkan : “Ketika Nabi SAW sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang melakukan puasa Asyura’, lalu beliau bertanya : (puasa) apa ini? Mereka menjawab : ini adalah hari Nabi Saleh as., hari dimana Allah SWT memenangkan Bani Israel atas musuh-musuhnya, maka lantas Musa as. melakukan puasa pada hari itu. Lalu Nabi SAW berkata : aku lebih berhak atas Musa dari pada kalian. Lantas beliau melaksanakan puasa tersebut dan memerintahkan (kepada sahabat-sahabatnya) berpuasa”. (H.R. Bukhari)
Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, maka lantas, sebagaimana madzhab Abi Hanifah, kewajiban puasa Asyura’ terombak (mansukh). Sedang menurut madzhab lainnya, kewajiban puasa Ramadhan itu hanya merombak kesunatan puasa Asyura’.
Kewajiban puasa Ramadhan berlandaskan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma.
“Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar, bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : Islam berdiri atas lima pilar, kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, haji ke Baitullah (Makkah) dan berpuasa di bulan Ramadhan”.
Kata ‘al-haj’ (haji) didahulukan sebelum kata ‘al-shaum’ (puasa), itu menunjukkan pelaksanaan haji lebih banyak menuntut pengorbanan waktu dan harta. Sedang dalam riwayat lain, kata ‘al-shaum’ didahulukan, karena kewajiban puasa lebih merata (bisa dilaksanakan oleh mayoritas umat Islam) dari pada haji.
Kewajiban puasa Ramadhan sangat terang. Barang siapa yang mengingkari atau mengabaikan keberadaannya dia termasuk orang kafir, kecuali mereka yang hidup pada zaman Islam masih baru atau orang yang hidup jauh dari ulama.
Beberapa Faedah Puasa
Puasa mempunyai banyak faedah bagi rohani dan jasmani kita, antara lain :
Puasa adalah ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan kepada Allah SWT, maka tiada balasan bagi orang yang mengerjakannya kecuali pahala yang berlimpah ruah dan baginya hak masuk surga melalui pintu khusus bernama ‘Ar-Rayyan’. Orang yang berpuasa juga dijauhkan dari azab pedih serta dihapuskan seluruh dosa-dosanya yang terdahulu. Patuh kepada Allah SWT berarti meyakini dimudahkan dari segala urusannya karena dengan puasa secara tidak langsung kita dituntun untuk bertaqwa, yaitu mengerjakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Sebagaimana yang terdapat pada surat Al-Baqarah : 183, yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu untuk berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa”.
Berpuasa juga merupakan sarana untuk melatih diri dalam berbagai masalah seperti jihad nafsi, melawan gangguan setan, bersabar atas malapetaka yang menimpa. Bila mencium aroma masakan yang mengundang nafsu atau melihat air segar yang menggiurkan kita harus menahan diri sampai waktu berbuka. Kita juga diajarkan untuk memegang teguh amanah Allah SWT, lahir dan batin, karena tiada seorang pun yang sanggup mengawasi kita kecuali Ilahi Rabbi.
Adapun puasa melatih menahan dari berbagai gemerlapnya surga duniawi, mengajarkan sifat sabar dalam menghadapi segala sesuatu, mengarahkan cara berfikir sehat serta menajamkan pikiran (cerdas) karena secara otomatis mengistirahatkan roda perjalanan anggota tubuh. Lukman berwasiat kepada anaknya :
“Wahai anakku, apabila lambung penuh, otak akan diam maka seluruh anggota badan akan malas beribadah”.
Dengan puasa kita diajarkan untuk hidup teratur, karena menuntun kapan waktu buat menghidangkan sahur dan berbuka. Bahwa berpuasa hanya dirasakan oleh umat Islam dari munculnya warna kemerah-merahan di ufuk timur hingga lenyapnya di sebelah barat. Seluruh umat muslim sahur dan berbuka pada waktu yang telah ditentukan karena agama dan Tuhan yang satu.
Begitupun juga menumbuhkan bagi setiap individu rasa persaudaraan serta menimbulkan perasaan untuk saling menolong antar sesama. Saling membahu dalam menghadapi rasa lapar, dahaga dan sakit. Disamping itu mengistirahatkan lambung agar terlepas dari bahaya penyakit menular misalnya. Rasulullah SAW bersabda, “Berpuasalah kamu supaya sehat”. Seorang tabib Arab yang terkenal pada zamannya yaitu Harist bin Kalda mengatakan bahwa lambung merupakan sumber timbulnya penyakit dan sumber obat penyembuh.
Tiada diragukan kita dapati jihad nafsi, menyelamatkan kita dari segala aroma keduniaan dalam menahan hawa nafsu. Seperti yang dikatakan Rasulullah SAW :
“Wahai pemuda/i, barang siapa yang telah memenuhi bekal, bersegeralah kawin, sesungguhnya itu dapat menahan dari penglihatan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum memenuhi maka berpuasalah, sesungguhnya itu adalah penangkalnya”.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa puasa mempunyai manfaat-manfaat yang tidak bisa kita ukur. Karenanya bersyukurlah orang-orang yang dapat mengerjakan puasa. Sebagaimana Kamal bin Hamman berkata, “Puasa adalah rukun Islam yang ketiga setelah syahadat dan salat, disyariatkan Allah SWT karena keistimewaan dan manfaatnya seperti : ketenangan jiwa dari menahan hawa nafsu, menolong dan menimbulkan sifat menyayangi orang miskin, persamaan derajat baik itu fakir atau kaya”.