A. Latar Belakang
Bioteknologi modern memanfaatkan keterampilan manusia dalam melakukan manipulasi makhluk hidup agar dapat digunakan untuk menghasilkan suatu barang yang diinginkan. Bioteknologi modern menggunakan organisme hasil rekayasa genetika melalui perlakuan yang mengubah landasan penentu kemampuan hidup, yaitu mengubah tatanan gen yang menentukan sifat spesifik suatu organisme, sehingga proses pengubahan dapat berlangsung secara lebih efisien dan efektif.
Kemajuan bioteknologi, tak terlepas dari peran mikroba. Karena materi genetika mikroba sederhana, sehingga mudah dimanipulasi untuk disisipkan ke gen yang lain. Disamping itu karena materi genetik mikroba dapat berperan sebagai vektor (plasmid) yang dapat memindahkan suatu gen dari kromosom oganisme ke gen organisme lainnya, misalnya terapi gen (Anonim b, 2007).
Bioteknologi bak mesin ajaib, yang mampu melakukan berbagai proses penting dalam dunia industri di beberapa bidang antara lain bidang kesehatan, pangan, pertanian, industri lainnya serta lingkungan. Di bidang kesehatan, penerapan bioteknologi atau kegiatan rekayasa genetika menghasilkan produk-produk penting berupa senyawa-senyawa yang mempunyai fungsi terapeutik seperti antibiotik, vaksin, hormon, kit diagnostika atau memperbaiki gen rusak/ tidak fungsional (terapi gen), produk farmasi lainnya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai terapi gen sebagai salah satu produk bioteknologi modern di bidang kesehatan.
A. Pengertian terapi gen
Jika rekayasa genetika sudah banyak diterapkan dan berhasil, maka terapi gen baru boleh dilakukan dalam skala penelitian dan para pakar memperkirakan masih sekitar tujuh sampai lima belas tahun lagi terapi gen baru dapat terealisasi (Pray, 2004:Wang, et al., 2004 dalam Duwi, 2010). Namun demikian terapi gen cukup menjanjikan harapan bagi para penderita penyakit, terutama penyakit keturunan (Duwi, 2010).
Menurut Farida (2007), terapi gen adalah teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang bertanggung jawab terhadap suatu penyakit. Pendekatan terapi gen yang berkembang adalah :
1. Menambahkan gen-gen normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan.
2. Melenyapkan gen abnormal dengan gen normal dengan melakukan rekombinasi homolog.
3. Mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif, sedemikian rupa sehingga akan mengembalikan fungsi normal gen tersebut.
4. Mengendalikan regulasi ekspresi gen abnormal tersebut, lebih kea rah gagasan mencegah diekspresikannya gen-gen yang jelek atau abnormal, dikenal dengan istilah gene silencing. Gene silencing adalah satu proses membungkam ekspresi gen yang pada mulanya diketahui melibatkan mekanisme pertahanan alami pada tanaman untuk melawan virus.
Terapi gen atau gen therapy merupakan modifikasi materi genetik (DNA) dari sel untuk tujuan pengobatan. Berbeda dengan pengobatan umumnya saat ini, pengobatan ini dilakukan dengan cara mengubah struktur gen yang kemudian disisipkan ke DNA target (Anonima. 2010).
Dengan menggunakan sistem tersebut, klinik percobaan terapi gen menunjukan bahwa terapi gen mampu mengobati beberapa jenis penyakit diantaranya : penyakit kanker, peredaran darah, monogenik dan beberapa jenis penyakit lainnya. Terapi gen merupakan pendekatan baru dalam pengobatan kanker, yang saat ini masih bersifat eksperimental. Sejak mengetahui bahwa kanker merupakan penyakit akibat mutasi gen, para ahli mulai berpikir bahwa terapi gen tentu efektif untuk mengobatinya. Apalagi kanker jauh lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan penyakit keturunan akibat kelainan genetis yang selama ini diobati dengan terapi gen (Anonima. 2010).
Berdasarkan sel target yang digunakan, terapi gen dibedakan dalam dua tipe utama, yaitu Somatik dan Germ-line. Modifikasi gen yang tidak melewati keturunan disebut dengan terapi gen somatik sedangkan modifikasi gen yang mencakup sel reproduksi adalah terapi gen Germ-line. Sel target dari terapi gen somatik adalah sel stem, fibroblas dan sel stem lainnya. Target dari terapi gen germ-line adalah sperma atau sel telur (Anonima. 2010).
B. Mekanisme kerja terapi gen
1. Terapi gen secara ex vivo dan in vivo
Transfer gen merupakan langkah penting dalam proses terapi gen. Gen yang akan digunakan mula-mula diisolasi dan kemudian di transformasikan ke sel target dengan cara di kloning (Mohammad, 2008).
Strategi utama dalam transfer gen somatik manusia dibedakan dalam dua kelompok, yaitu : Ex vivo dan in vivo. Pada ex vivo, gen dibungkus vektor kemudian dikenalkan ke sel yang diambil dari pasien (sel target) dan dikembangkan secara invitro dan kemudian di transformasi ke sel yang diinjeksi kembali. Pada invivo pengiriman gen dilakukan secara langsung ke sel pasien tanpa dikembangkan dulu secara invitro (Mohammad, 2008).
Pada ex-vivo terdapat juga cara transfer gen nonviral yaitu pengiriman gen tanpa menggunakan bakteri atau virus. Pengiriman gen dilakukan dengan cara injeksi langsung, gen gun dan liposom. Injeksi secara langsung dilakukan dengan mengirimkan DNA ke tempat ekstra seluler yang memiliki perbedaan hipertonik solution salinitas dan sukrosa. Gen gun digunakan dengan cara memanfaatkan ledakan kecil helium yang membawa potongan DNA patogen yang berukuran sangat kecil sehingga mampu masuk ke nukleus kulit dan sel otot. Teknik liposom dilakukan dengan cara memanfaatkan virus yang mampu menginjeksi DNA nya ke dalam nukleus sel target. Viral vektor yang digunakan dalam teknik ini adalah Adenovirus, Adeno-associated Virus, Lentivirus dan Retrovirus. Tipe virus tersebut digunakan dengan alasan mampu menginfeksi banyak varietas tipe sel, mudah dimanipulasi, dan sebagainya (Mohammad, 2008).
Salah satu vektor dalam terapi gen adalah Sleeping beauty (SB). Sleeping beauty (SB) merupakan gen yang dapat meloncat yang diisolasi dari ikan. Loncatan dari gen ini dimanfaatkan dalam terapi gen karena mampu melakukan mutasi pada transpos penerjemahan gen. Gen SB ini akan terpotong jika bertemu dengan enzim transposase, kedua ujungnya selanjutnya akan berikatan dengan enzim tersebut dan bersama-sama berpindah ke rantai DNA yang lain. Transposase akan memotong rantai DNA tersebut dan menyambungnya dengan gen SB. Apabila dalam gen SB ini ditambahkan gen yang kita inginkan, gen tersebut juga akan ikut melompat bersama dengan gen SB ke rantai DNA pasien, sehingga gen tersebut dapat diekspresikanm dan mengembalikan fungsi tubuh pasien (Mohammad, 2008).
2. Mekanisme terapi gen berdasarkan sel target
Berdasarkan sel target yang digunakan, terapi gen dibedakan dalam dua tipe utama, yaitu Somatik dan Germ-line. Modifikasi gen yang tidak melewati keturunan disebut dengan terapi gen somatik sedangkan modifikasi gen yang mencakup sel reproduksi adalah terapi gen Germ-line. Sel target dari terapi gen somatik adalah sel stem, fibroblas dan sel stem lainnya. Target dari terapi gen germ-line adalah sperma atau sel telur (Anonima. 2010).
3. Gene Transfer Agents (Agen Pembawa Gen)
Tanggal 24 Juni 2010, Eurekanetwork mempublikasikan penemuan senyawa organik baru yang dapat menjadi agen pembawa gen dalam proses terapi untuk penyembuhan penyakit genetik. Proyek penelitian yang dinamakan EUREKA project E! 3371 Gene Transfer Agents telah berhasil mengembangkan senyawa turunan dari kation amfifilik 1,4-dihidropiridin atau 1,4-DHP (cationic amphiphilic 1,4-dihydropyridine) untuk menjadi pengantar gen normal ke dalam inti sel dan mengganti gen sebelumnya yang rusak (Anonimb. 2010).
Kelebihan derivat 1,4-DHP sebagai pembawa gen ini adalah kesiapan untuk diproduksi dalam skala besar, lebih efektif dibanding senyawa organik lain, dan karena bukan virus maka resistensi kekebalan tubuh penerimanya dapat dihindari. Saat ini agen pembawa yang dianggap paling efektif dalam terapi gen adalah virus yang telah dilemahkan (Anonimb. 2010).
Peneliti yang terlibat dalam proyek ini antara lain Professor Arto Urtti dari Helsinki University, Finlandia; dan Dr. Aiva Plotniece, Dr. Arkadijs Sobolevs serta kolega-koleganya dari Latvian Institute, Latvia. Selain itu terlibat juga Bapeks, salah satu produsen di bidang industri kimia dari Latvia. EUREKAnetwork didirikan tahun 1985, bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing bisnis anggota-anggotanya melalui pengembangan teknologi. Anggota-anggotanya berasal dari negara-negara Eropa dan Turki (Anonimb. 2010).
Untuk memahami arti penting penemuan ini, terlebih dahulu harus mengetahui permasalahan yang dihadapi metode terapi gen dalam penyembuhan penyakit-penyakit genetik seperti hemofilia, diabetes, dan berbagai jenis kanker (Anonimb. 2010).
Beberapa metode pengobatan penyakit genetik lainnya yaitu dengan injeksi makromolekul organik. Contohnya adalah pemberian hormon insulin untuk penderita diabetes atau pemberian faktor pembekuan darah bagi pengidap hemofilia. Kelemahan cara ini yaitu, substansi tersebut mudah terurai dalam darah dan adanya ketergantungan penderita terhadap pasokan zat tersebut dari luar tubuhnya (Anonimb. 2010).
Pengidap kanker dan penyakit kronis lain memperoleh pemberian obat beropium untuk meredakan rasa sakit yang hebat. Efek samping obat beropium adalah rasa kantuk berlebihan, gangguan mental, dan halusinasi (Anonimb. 2010).
Aspek revolusioner dari terapi gen adalah terbukanya kemungkinan bahwa penderita kelainan genetik dapat memproduksi senyawa-senyawa terapeutik yang diperlukannya secara endogen (diproduksi tubuh sendiri). Hal ini tentu lebih murah dibandingkan penyuntikkan senyawa terapeutik secara berkala yang mahal biayanya. Selain itu penderita juga terlepas dari ketergantungan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Anonimb. 2010).
Sayang sekali riset terapi gen ini bukanlah riset yang murah dan mudah. Pada era sebelum tahun 1995 saja Amerika Serikat mengeluarkan dana 200 juta dollar tiap tahun untuk riset terapi gen. Sementara itu hasil yang diperoleh masih jauh dari kategori memuaskan (Anonimb. 2010).
4. Masalah Gene Transfer Agents (Agen Pembawa Gen)
Pemetaan dan pengamatan genome manusia secara lengkap memberi banyak manfaat dalam penelusuran penyakit genetik. Lokasi gen yang mengalami kelainan dapat dilacak kaitannya dengan penyakit atau gangguan yang ditimbulkannya (Anonimb. 2010).
Setelah lokasi gen pemicu masalah diketahui, langkah selanjutnya adalah membawa gen normal pengganti gen rusak di dalam inti sel. Untuk melaksanakan tugas ini diperlukan suatu agen pembawa atau pengantar gen (gene transfer agents) yang dapat melakukannya secara efektif, tepat sasaran, dan tanpa efek samping. Dewasa ini cara untuk melakukan penggantian gen rusak yaitu dengan memanfaatkan agen virus yang telah dilemahkan, senyawa kimia organik, atau dengan cara penyuntikkan (Anonimb. 2010).
Penggunaan virus sebagai agen pembawa gen disebut metode viral. Metode ini memiliki keuntungan efektivitas yang tinggi. Metode ini dapat memanfaatkan sifat serangan virus pada jaringan tertentu yang khas. Sebagai contoh, retrovirus penyerang sel-sel yang membelah cepat, mungkin cocok sebagai agen pembawa gen terapeutik untuk penyakit tumor. Adenovirus penyerang sel dinding paru-paru mungkin cocok untuk mengirim duplikat gen cystic fibrosis yang dibutuhkan dalam sistem pernapasan (Anonimb. 2010).
Metode viral cukup dapat diandalkan dari segi efektivitas. Kelemahannya adalah pembiakkanya dalam skala besar memiliki potensi bahaya yang serius. Bagaimanapun juga virus tetaplah virus yang mempunyai kemampuan mutagenik dan karakteristik yang sukar diramalkan. Selain itu, tubuh manusia juga memiliki sistem kekebalan terhadap virus sehingga dapat mengganggu proses terapi (Anonimb. 2010).
Penggunaan senyawa kimia organik sebagai agen pengantar gen dapat mengatasi masalah resistensi dari sistem kekebalan tubuh penerima. Senyawa kimia juga memiliki kemudahan dalam produksi, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Hanya saja efektivitas metode ini sangat rendah apabila dibandingkan dengan metode viral. Saat ini agen senyawa kimia standar yang digunakan secara luas yaitu DOTAP (dioleoyl trimethylammonium propane) dan PEI 25 (polyethylenimine) (Anonimb. 2010).
Penemuan derivat 1,4-DHP sebagai senyawa organik pembawa gen memiliki keunggulan gabungan metode viral dan metode kimiawi. Derivat-derivat 1,4-DHP saat ini masih dalam tahap pengembangan, namun efektivitasnya lebih tinggi dibanding senyawa organik lain yaitu DOTAP dan PEI 25. Sebagai senyawa kimia organik tentu saja 1,4-DHP akan lebih siap dan mudah diproduksi dalam berbagai skala (Anonimb. 2010).
C. Prinsip-prinsip terapi gen
Prinsip-prinsip terapi gen adalah gen yang akan dipindahkan itu harus diletakkan ke dalam sel yang akan berfungsi normal dan efektif. Untuk hemofilia gen harus diletakkan ke dalam sel yang akan menghantarkan protein faktor VIII atau faktor IX ke dalam peredaran darah. Saat ditransfer, gen tersebut harus berfungsi dalam sel dalam jangka waktu yang lama, demikian pula sel baru yang disebut transduced cell, harus pula bertahan lama. Program terapi gen terbagi dalam dua jenis. Pertama, pemindahan gen dilakukan di dalam tubuh pasien (in vivo transfer). Kedua, pemindahan gen dilakukan di luar tubuh pasien (ex vivo transfer). Terapi gen in vivo transfer bersandarkan pada kemampuan sel-sel untuk menyerap DNA. Peneliti berharap dapat memetakan gen yang berfungsi normal sehingga memungkinkan sel-sel menerimanya sesegera mungkin, misalnya melalui penyuntikan. Sedangkan ex vivo transfer, gen yang berfungsi normal disisipkan ke dalam sel di dalam laboratorium. Kemudian sel yang telah ditransferkan ke gen baru tadi di letakkan ke dalam tubuh pasien. Sel penderita dapat digunakan untuk pemindahan gen ini. Tentu kedua cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan in vivo transfer adalah sangat sedikit membutuhkan manipulasi laboratorium dan dapat digunakan dalam skala besar. Sedangkan ex vivo lebih sarat dengan operasi pembedahan, seperti bagaimana mengangkat dan meletakkan kembali sel, karena meletakkan gen baru ke tubuh pasien tidaklah segampang menelan pil atau semudah menyuntikkannya ke dalam darah (Farida, 2007).
D. Penanggulangan penyakit melalui beberapa gen
1. Penghasil Enzim ADA
Wacana terapi gen mencuat tahun 1990 ketika untuk pertama kalinya gen normal adenosine deaminase (ADA) dimasukkan ke dalam sel darah putih seorang penderita defisiensi kekebalan kombinasi akut. Metode ini dilakukan oleh National Health Institute, Amerika Serikat pada Ashanti De Silva, berusia 4 tahun (Anonimb. 2010).
Aplikasi terapi gen pertama kali dilakukan pada anak penderita defisiensi ADA pada September 1990. Terapi ini dilakukan terhadap anak perempuan berumur 4 tahun. Ashanthi De Silva di Clnical Center of the US national Institutes of Health di Behtesda Washington D.C. USA. Usulan untuk terapi gen yang diprakarsai oleh Anderson dan Blaese ini diajukan 3 tahun sebelumnya. ADA merupakan enzim untuk metabolisme purin. Defisiensi ADA merupakan penyakit Immunodeficiency, karena tubuh kekurangan enzim tersebut limfosit-T dan limfosit-B yang mutlak dibutuhkan untuk pembentukan sistem kekebalan tidak dapat berkembang dengan semestinya. Enzim ADA diperlukan untuk perkembangan sel T, gen ADA terletak pada kromosom X. pada penderita defisiensi ADA, gen untuk menyandi enzim tersebut tidak ada, akibatnya tidak dapat memproduksi enzim tersebut tidak ada, akibatnya tidak dapat memproduksi enzim tersebut. Dengan tidak adanya enzim ini sel T dan sel B tidak terbentuk dengan sempurna,dan menjadikan tidak berfungsinya sistem kekebalan. Jika bayi penderita defisiensi ADA ini tidak berada dalam lingkungan bebas mikroba (steril) maka tidak dapat mempertahankan hidup. Bayi ini terkenal dengan nama baby balloon karena bayi tersebut harus dimasukkan dala bola plastik yang steril, baik mainan atau makanan yang akan disentuhnya harus disterilkan terlebih dahulu. Meskipun begitu bayi tersebut hanya berumur sampai 4 tahun. Injeksi langsung enzim ADA dalam darah tidak dapat menolong karena akan rusak dalam beberapa menit. Dengan cara pemindahan sumsum tulangpun memiliki kelemahan, yaitu perlu pendonor yang cocok.
Telah pula diusahakan dan disepakati penggunaan “PEG-ADA” (polyethylene glycol-conyugated ADA). Senyawa ini dapat bertahan dalam darah selama beberapa hari. Namun injeksi yang dilakukan tiap minggu akan memakan biaya US $ 60,000 pertahunnya. Dengan rekayasa genetik yang diusulkan oleh Anderson dan Blaese melalui terapi gen, gangguan ini telah dapat diatasi. Sel T diisolasi dari penderita, kemudian ditumbuhkan di dalam kultur diatasi. Sel T diisolasi dari penderita, kemudian ditumbuhkan di dalam kultur medium yang dibuat khusus untuk dapat menstimulasi aktivasi dan pertumbuhan sel T. Setelah sel T berkembang biak, retrovirus (yang bertindak sebagai vektor) yang sudah mengandung DNA penyandi ADA ditambahkan dan kemudian ditumbuhkan beberapa hari sebelum diberikan kepada penderita. Disini retrovirus yang telah membawa gen ADA akan menginfeksi sel, kemudian bergabung ke dalam DNA sel T. akhirnya larutan yang mengandung berjuta-juta sel-T yang telah membawa gen ADA dimasukkan pada vena penderita. Dengan demikian gen penyandi ADA di dalam sel T akan diekspresikan, sehingga tubuh penderita akan mampu menghasilkan enzim tersebut. Sementara enzim tersebut belum diproduksi oleh tubuh, penderita tetap diberi PEG-ADA. Salinan-salinan gen terklon untuk enzim ADA disisipkan ke dalam retrovirus lemah (sebagai vector). Retrovirus ini dicampurkan dengan sel T Ashanti, retrovirus kemudian mengjankiti sel T dan menyisipkan gen ADA ke dalam DNA sel T. setelah dilakukan penyaringan, sel T rekombinan tersebut diklonkan, sebagan lagi disimpan dalam penyimpanan gen (sebagai simpanan). Ashanti disuntik berulang kali, dan ternyata setelah lima tahun didapati sel T Ashanti menunjukkan kehadiran gen ADA, diprediksikan satu milyar sel telah diberikan pada Ashanti (Farida, 2007).
2. Pengobatan Hemofilia
Penderita hemofilia adalah manusia yang faktor VIII dalam darahnya jumlahnya sedikit. Jika orang normal memiliki jumlah factor VIII dalam darahnya sebanyak 100 unit, maka penderita hemofili ringan hanya memiliki sekitar 30 unit saja (6-30 persen), sedangkan penderita hemofili berat hanya memiliki factor VIII dalam darahnya kurang dari 5 unit atau 1 persen saja. Akibatnya penderita tidak memiliki kemampuan dalam pemkuan darah. Terapi gen merupakan salah satu cara penyembuhan penyakit hemofili dengan memperbaiki kerusakan genetis, yaitu melalui penggantian gen yang tidak rusak dan berfungsi normal. Penyembuhan melalui terapi gen ini tidak dapat secara permanen dan masih harus dilakukan secara berkala (Duwi, 2010).
Menurut Moeslichan (2005) dalam Duwi (2010), hingga saat ini terapi gen belum diterapkan pada penderita hemofili Indonesia. Ditambahkannya bahwa di luar negeri studi terapi gen terus dikembangkan. Bahkan percobaan kepada binatangpun telah dilakukan. Sebuah kasus terapi gen yang dilakukan pada seekor anjing yang mengidap hemofilia dapat sembuh dalam waktu 30 hari. Namun, serangan hemofilia kembali terjadi setelah itu. Pada manusia penderita hemofili, masa penyembuhan setelah terapi gen, memakan waktu dari satu hingga dua tahun.
Risiko terapi gen adalah kemungkinan terjadinya viral vector yang akan beraksi layaknya virus dan akan menyebabkan infeksi. Namun demikian sejauh ini viral vector yang telah dilakukan investigasi tidak menyebabkan penyakit pada manusia. Penyembuhan penyakit hemofilia melalui terapi gen saat ini masih terus dilakukan. Percobaan terhadap anjing telah berhasil, demikian juga dengan manusia, percobaan terhadap dua penderita hemofilia pun telah dilakukan (Duwi, 2010).
3. Pengobatan Thallasemia
Thallasemia merupakan suatu penyakit darah bawaan yang menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), sel darah merah penderita mengandung sedikit hemoglobin dan sel darah putihnya meningkat jumlahnya (Supriyadi, dkk, 1992 dalam Duwi, 2010)). Thallasemia merupakan penyakit keturunan yang paling banyak dijumpai di Indonesia dan Italia. 6 sampai 10% dari 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini. Jika dua orang yang sama-sama membawa gen ini menikah maka satu dari empat anak mereka akan menderita thallasemia berat (Duwi, 2010).
Kelainan gen ini akan mengakibatkan kekurangan salah satu unsur pembentuk hemoglobin (Hb), sehingga produksi Hb berkurang. Terdapat tiga jenis thallasemia yaitu : mayor, intermediate dan karier. Pada thallasemia mayor, Hb sama sekali tidak diproduksi. Akibatnya penderita akan mengalami anemia berat. Dalam hal ini jika penderita tidak diobati, maka bentuk tulang wajahnya akan berubah dan wama kulitnya menjadi hitam. Selama hidupnya penderta akan tergantung pada transfusi darah. Hal ini dapat berakibat fatal, karena efek samping dari transfuse darah yang terus menerus akan mengakibatkan kelebihan zat besi (Duwi, 2010).
Terapi gen merupakan harapan baru bagi penderita thallasemia di masa mendatang. Terapi dilakukan dengan menggantikan sel tunas yang rusak pada sumsum tulang penderita dengan sel tunas dari donor yang sehat. Hal ini sudah diujicobakan pada mencit (Duwi, 2010).
4. Memperpanjang usia sel/ penanggulangan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan keuzuran
The Sunday Times (15 Januari 1998) mengabarkan, seorang ilmuwan AS telah berhasil menyingkap rahasia penuaan. Dari “main-main dengan materi genetik, mereka menemukan “sumber zat awet muda” untuk membuat sel manusia hidup lebih lama. Usaha memperpanjang usia sel manusia dpandang akan sangat bermanfaat bagi penanggulangan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan keuzuran. Tim Dr. Woodring Wright, professor biologi sel di niversity of Texas, Dallas, menggunakan enzim telomerase. Enzim ini dihasilkan oleh sel kecambah, seperti sel telur dan sperma, dan mempengaruhi telomerase (ujung kromosom). Sebagian kecil telomer ternyata hilang setiap kali sel biasa pada tubuh manusia membelah diri. Namun karena sel normal tidak menghasilkan enzim telomer, telomere tidak tumbuh lagi. Tim Dr. Wright berhasil menemukan cara untuk menumbuhkan kembali telomer ini dengan menggunakan enzim telomerase. Hilangnya telomer berkaitan dengan keuzuran. Dengan telomerase, telomer bisa diregenerasi sehingga penuaan (setidaknya ditingkat sel) dapat dihentikan ini tidak berarti manusia dapat hidup selamanya, karena matinya sel hanya salah satu saja dari sekian banyak proses yang membuat seseorang menjadi tua. Penuaan ini dapat membantu memperpanjang usia sel dengan cukup berarti. Kebutuhan akan sel yang jauh lebih panjang umur dari yang sampai kini ada, memang amat dibutuhkan oleh para terapis gendalam usahanya menyembuhkan pasien berpenyakit menurun, misalnya cystic fibrosis. Dalam terapi ini yang biasa dilakukan adalah mengambil sel-sel si pasien, memasukkan gen sehat ke dalam sel-sel itu, lalu mengembalikan ke tubuh pasien. Diharapkan sel yang telah dimanipulasi itu akan mengambil alih peran sel-sel yang membawa kelainan penyakit tadi. Sayangnya, seringkali sel-sel sehatnya keburu “menua” di saat terapis selesai menanganinya, sehingga mati sebelum bisa berbuat banyak. Dengan mencegah kematian sel, proses telomerase diharapkan juga akan merangsang sel-sel bekerja lebih baik (Farida, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
- Ali, Mochammad Iqbal. 2008. Peran Mikroorganisme dalam Kehidupan.
- http://mochammadiqbal.wordpress.com/2008/02/18/peran-
- mikroorganisme-dlm-kehidupan/ Diakses tanggal 11 Juni 2011
- Anonima. 2010. Terapi Gen. http://science-query.com/tag/patogen/.
- Diakses tanggal 11 Juni 2011.
- Anonimb. 2010. Terapi Gen Harapan Yang Kian Dekat.
- http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/07/23/terapi-gen/
- Diakses tanggal 3 Juni 2011.
- Arsal, A. Farida. 2007. Bioteknologi Modern. Universitas Negeri Makassar.
- Makassar.
- Duwi. 2010. Rekayasa Genetika.
- http://duwiszone.blogspot.com/2010/12/rekayasa-genetika.html.
- Diakses tanggal 11 Juni 2011
- http://arifahnoviaarifin.blogspot.com/2011/06/terapi-gen.html