Pemahaman Gramatika Bahasa Arab
Bahasa Arab adalah salah satu bahasa yang diakui oleh dunia internasional sebagai salah satu alat komunikasi dunia. Penyebaran bahasa Arab di seluruh dunia hingga kini mempunyai signifikansi tersendiri bagi perkembangan ilmu kebahasaan. Kuantitas umat Islam yang tersebar di seluruh dunia juga turut mempengaruhi pola penyebaran bahasa Arab di berbagai belahan masyarakat, utamanya di Eropa dan negara-negara dunia ketiga sekitar Asia.
Bila dilihat dari perspektif gramatika, bahasa Arab mempunyai dua sisi gramatika yang unik. Seseorang tidak akan memahami bahasa ini dengan baik, manakala tidak menguasai keduanya.
Pertama, kaidah ilmu nahwu. Ilmu ini mempelajari kaidah bahasa Arab yang terkait dengan perubahan setiap huruf dan harakat pengucapan. Dalam konteks ini, terdapat perbedaan signifikan antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tidak ada perubahan huruf dalam kalimat, sementara dalam bahasa arab terjadi manakala ada huruf lain yang mempengaruhi perubahan tersebut. Di pihak lain, dalam nominal, Bahasa Arab mempunyai tiga kategori pengelompokan, sementara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia hanya mempunyai dua kategori pengelompokan. Dalam bahasa arab terdapat mufrad (bentuk tunggal) tastniyah (bentuk kedua-an) dan jam’i (bentuk jamak). Sementara bahasa inggris hanya mempunyai singular (bentuk tunggal) dan plural (bentuk jamak). Perbedaan-perbedaan ini inilah yang secara prinsipil menjadi dasar perubahan huruf dalam kalimat yang menjadi kajian dalam gramatika ilmu nahwu.
Kedua, kaidah ilmu sharaf. Kaidah ini berhubungan dengan perubahan di dalam kalimat itu sendiri, utamanya berhubungan dengan dengan kata kerja dan bentuk waktu (tenses). Dalam bahasa Arab tidak ada penggolongan tenses sebanyak bahasa Inggris. Bahasa arab hanya mengenal tiga bentuk waktu, yaitu: al mustaqbal (waktu di masa depan/future), al hal (waktu kini/present), dan al madhi (waktu lampau/past). Meskipun demikian, kerumitan dalam bahasa arab justru terletak dari perubahan di dalam kalimat, untuk menandai waktu dan makna yang dimaksudkan. Karena berkisar pada perubahan, baik dalam huruf,.harakat maupun kalimat, maka sesungguhnya bahasa Arab mempunyai khazanah perbendaharaan kata yang sangat kaya.
Orientasi Mempelajari Bahasa Arab
Indonesia merupakan negara yang mempunyai tingkat kepeminatan sangat tinggi dalam mendalami bahasa Arab. Di berbagai jalur pendidikan, khususnya pendidikan agama, pelajaran bahasa Arab adalah suatu kewajiban. Bahkan tidak jarang pelajaran ini dijadikan sebagai pelajaran unggulan untuk menarik kepeminatan peserta didik (baik siswa maupun santri) masuk ke sebuah institusi pendidikan tertentu.
Dalam konteks yang lain, pengembangan kurikulum bahasa Arab, tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan orientasi dan motivasi pembelajarannya. Artinya bahwa kurikulum bahasa yang digunakan sangat mempengaruhi karakter penguasaan fokus kebahasaan. Selama ini ada dua bentuk penguasaan bahasa yang masing-masing bersumber dari bentuk kurikulum berbeda. Di satu pihak, kajian bahasa Arab mempunyai fokus penguasaan di domain mafhum qira’ah (pemahaman membaca teks). Di pihak lain kajian lebih banyak mengarah penguasaan di domain mahfum kalam (conversation).
Sebenarnya pembelajaran bahasa Arab mempunyai empat fokus penting yaitu: mahfum kitabah (penguasaan menulis), mafhum sima’ah (penguasaan mndengar), mafhum qira’ah (penguasaan membaca) dan mafhum kalam (penguasaan berbicara). Namun pada kenyataannya, jarang sekali ditemui institusi pendidikan yang mampu mencetak lulusan dengan kecakapan yang memenuhi standarisasi keempat standarisasi tersebut.
Kurikulum Pendidikan Bahasa Arab
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya, kelemahan yang diderita oleh pendidikan bahasa arab saat ini tidak dapat dipisahkan dengan desain kurikulum yang terdapat di masing-masing institusi pendidikan. Untuk itu, dalam sub bab ini akan dijelaskan lebihd etail tentang bentuk-bentuk kurikulum bahasa arab, sebagai cara untuk mengetahui sejauh mana capaian pendidikan bahasa Arab dalam mengimplementasi empat standarisasi kemampuan kebahasaan.
Selama ini, pendidikan bahasa Arab lebih banyak diberlakukan di pendidikan Islam, khususnya di dalam pendidikan pesantren Jika diidentifikasi lebih jauh, pada dasarnya kurikulum pendidikan bahasa Arab di masing-masing pesantren tidak dapat dilepaskan dari sistem pendidikan pesantren secara keseluruhan.
Untuk itu, penulis akan mengidentifikasi terlebih dahulu bagaimana model dan pola pendidikan pesantren yang selama ini ada. Setidaknya ada dua kecenderungan model pendidikan dalam pesantren yang dapat dijadikan pedoman rujukan. Pertama pesantren bermodel salafiyah (tradisional); dan kedua, pesantren bermodel modern.
Keduanya, baik salafiyah maupun modern, pada dasarnya mewarisi metode yang sama, dengan pembagian metode individu dan metode kelompok.
Skema Pengajaran Bahasa Arab Pesantren
Model kurikulum bahasa Arab dari masing-masing system pesantren.
Kurikulum Bahasa Arab Model salaf (Tradisional)
Tidak berlebihan jika pesantren salaf merupakan genue bagi berkembangnya pesantren di Indonesia. Hal ini dikarenakan pesantren salaf merupakan manifestasi dunia pesantren yang berusaha untuk tetap berada dalam rel tujuan awal pendirianya, yakni sebagai lembaga syi’ar (dakwah) dan pendidikan agama Islam. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren salaf di awal perkembangannya hanya mengajarkan agama dengan sumber mata pelajaran berupa kitab-kitab berbahasa Arab yang masuk dalam kategori mu’tabarah. Pelajaran yang biasanya dikaji meliputi: Al Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya; hadits dengan musthalahnya, bahasa Arab dengan nahwu, sharf, balaghah, arudl, dan mantiqnya; fiqih dengan hukum-hukum dan ushul fiqihnya; serta akhlaq dengan warna tasawufnya. Kitab-kitab yang dipakai, pada umumnya juga terbatas pad hasil karya ulama abad pertengahan (antra abad 12 – 15) yang kemudian lebih dikenal dengan istilah kitab kuning.
Selain ilmu agama, bahasa Arab merupakan pelajaran pokok yang harus diikuti dan dikuasai oleh para santri. Sebab, tingkat penguasaan terhadap tata bahasa Arab seringkali dijadikan tolok ukur kualitas seorang santri untuk mendapatkan predikat Kiai. Maka, tidak heran jika kitab-kitab nahwu, (Jurumiyah, Mutamimah, Imrithi, serta Al fiyah), kitab-kitab sharah (al Amstilah at Tashrifiyah, Qawa’id al I’lal, Kaelani), serta kitab-kitab ilmu bahasa lainnya menjadi santapan keseharian di pesantren salaf.
Selain sebagai standar kualitas determinasi tinggi dalam mempelajari ilmu bahasa (nahwu dan sharaf) di kaangan santri salaf juga disebabkan oleh berkembangnya jargon “As Sharfu Umm al Ulum wa al nahwu abuuhu” (sharaf adalah ibunya ilmu dan nahwu adalah bapaknya).
Dalam tradisi salaf, penguasaan bahasa Arab tidak diikutinya kesungguhan dalam mempelajari ilmu tata bahasa Arab dengan usaha aplikatif untuk mempraktekkan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berakibat pada minimnya tingkat penguasaan santri terhadap mufradat bahasa Arab, sehingga tingkat keilmuan bahasanya adalah penguasaan bahasa pasif, bukan bahasa aktif. Maksudnya adalah bahwa pesantren salaf lebih mengutamakan penguasaan teks daripada penguasaan praktek.
Singkatnya, ciri-ciri kurikulum bahasa Arab tradisional dapat ditabulasi sebagai berikut:
- Lebih memfokuskan pada penguasaan gramatika bahasa (nahwu dan sharf) yang diimplemetasikan ke dalam bentuk pemahaman teks kitab-kitab kuning.
- Tidak mementingkan perkembangan perubahan kosakata baru (al mufrodaat al muta’akhirah)
- Tidak adanya praktek berbahasa (al muhadatsah) dalam percapakan sehari-hari.
- Mengandalkan kosakata dari perbendaharaan kitab-kitab klasik.
- Memfokuskan pada kedisiplinan makna teks, ketimbang pemahaman komunikasi (percakapan).
Dari penjabaran ciri-ciri tersebut, diketahui mengapa metode salaf mempunyai penguasaan pasif. Namun kelebihan ciri metode ini adalah pada kemampuan penerjemahan teks-teks Arab. Pemahaman keagamaan yang lebih mendalam dari hasil karena proses analisis kebahasaan yang komprehensif.
Kurikulum Bahasa Arab Model Pesantren modern
Pesantren modern muncul sebagai usaha dunia pesantren untuk mengakomodasi perubahan zaman dan arus modernisasi. Dengan kata lain, pesantren moden muncul sebagai bentuk kekecewaan terhadap ortodoksi paradigma pesantren salaf dalam menyikapi perubahan-perubahan yang ada, termnasuk respons terhadap penguasaan bahasa Arab yang pasif.. Tetapi, sama halnya dengan pesantren salaf, pesantren modern juga merupakan lembaga pendidikan yang memiliki materi dan metode tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dalam perkembangannya, pesantren modern lebih identik dengan pesantren bahasa (dalam pengertian bahasa aktif). Dalam dunia pesantren modern penguasaan bahasa (Arab dan Inggris) seringkali dijadikan tujuan pendidikan dan standard kecerdasan dan keberhasilan seorang santri. Bagi mereka, bahasa merupakan alat komunikasi yang harus dikuasai untuk dapat bersaing dalam kehidupan modern. Sehingga bahasa harus dipakai, dikomunikasikan, tanpa harus takut menyalahi kaidah-kaidahnya yang baku. Hal ini didasarkan pada kaidah “al Lughah ma yuqaal wa laisa ma yanbaghi an yuqaal” (Bahasa adalah apa yang diucapkan, bukan apa yang seharusnya diucapkan).
Selain materi keagamaan, pesantren modern juga sudah mengajarkan materi pelajaran umum dan kegiatan ekstra kurikuler. Dalam hal ini, para santri memiliki kegiatan di luar jam pelajaran,s eperti olah raga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Arab, Inggris, Indonesia). Pramuka dan organisasi pelajar. Disinilah pesaren modern berusaha mencari identitas, dengan merombak tatanan yang telah dianut secara konservatif oleh sistem pesantren salaf.
Kemudian, dalam proses pembelajarannya, dengan alasan efisiensi pengajaran, metode wetonan, sorogan yang dikenal di pesantren salaf, oleh pesantren modern dimodernisasi dengan sistem klasikal (penjenjangan) yang terpimpin secara terorganisasi, dengan waktu yang ditetapkan dalam penyelenggaraan pendidikannya. Melalui sistem penjenjangan kelas ini, ustadz/kiai diharapkan dapat berimprovisasi menentukan metode yang paling cocok dalam mendidik santri, apakah itu ceramah, dialog, diskusi, muhadzarah, ataukah lainnya. Fleksibilitas dalam penerapan metode ini diharapkan dapat menghasilkan produk santri dalam jumlah besar, berkesinambungan dan bermutu, dengan biaya dan waktu yang relatif singkat.
Dengan demikian, agaknya pesantren modern berusaha menerapkan asas evaluasi secara jelas dan tegas dalam penyelenggaraan pendidikan. Melalui sistem penjenjangan kelas ini, kualitas santri pada tiap jenjangnya dapat dikontrol dengan baik. Selain itu, pesantren modern juga sudah mulai mempertimbangkan waktu, strategi dan materi yang sejalan dengan perkembangan zaman. Selain itu, pola hubungan antara kiai, santri dan ustadz menjadi jelas batas-batas hak dan kewajibannya, sehingga pola interaksi subordinatif semakin kabur.
Dari model pembelajaran pesantren modern ini, dapat ditabulasi ciri-ciri kurikulum bahasa Arabnya, antara lain:
- Lebih memfokuskan pada penguasaan kosakata (mufrodat) yang diimplemetasikan ke dalam bentuk percakapan.
- Memfokuskan pada perkembangan perubahan kosakata baru (al mufrodaat al muta’akhirah)
- Mewajibkan adanya praktek berbahasa (al muhadatsah) dalam percapakan sehari-hari.
- Memfokuskan pada pemahaman komunikasi (percakapan), ketimbang kedisiplinan makna teks.
- Tidak terlalu mementingkan gramatika bahasa (nahwu dan sharf)
Dari ciri diatas, tampaklah bahwa kurikulum bahasa Arab modern berbentuk penguasaan kebahasaan aktif, namun memiliki kelemahan besar pada pemahaman teks (penerjemahan).
Simpulan
Dari uraian dinamika pembelajaran bahasa Arab dan perbandingan model bahasa arab antara system tradisional dan modern dapat disimpulkan bahwa:
Kurikulum bahasa Arab tradisonal mempunyai kelebihan memahami teks dan penguasaan penerjemahan. Hal ini dipengaruhi oleh kedisiplinan untuk memegang gramatika (nahwu dan sharf) yang diimplementasi ke dalam penerjemahan kitab-kitab klasik.
Bahasa Arab dalam metode tradisional mempunyai kelemahan pada sisi praktek kebahasaan (komunikasi), atau dengan kata lain model ini membentuk pola kebahasaan pasif.
Kurikulum bahasa Arab modern mempunyai kelebihan dalam hal percakapan, namun mempunyai kelemahan dalam memahami teks (penerjemahan).
Referensi
- Muhammad Ali Ridho, Perkembangan Bahasa Arab di Negara-Negara Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 4
- M. Khairon Bafadhil, Al Muqaddimah fi Ma’rifati Ilm Al Lughah, (Pati: Cv. Rahmat, 1987), hal. 19
- M. Ali Mudhafir, Al Mabadi’ fi ‘Ilm Al Lughah, (Rembang: Al Hikmah, 1987), hal. 77
- Raihani, Curriculum Construction In The Indonesian Pesantren: A comparative case study of curriculum development in two pesantrens in South Kalimantan. Karya ilmiah disampaikan di Jakarta, 20 Februari 2003.