ILMU PENDIDIKAN DAN PERPUSTAKAAN
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN GERAKAN INTELEKTUAL MASA ABBASIYAH
A. Pendahuluan
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari dinasti Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M) (Khaled Abou El Fadl 2000, hlm. 537).
Seiring dengan stabilnya kondisi sosial politik terutama terutama pada masa pertengahan pemerintahan Abbasiyah, aktivitas pendidikan dan ilmu pengetahuan berkembang dengan begitu mengagumkan. Beberapa prestasi umat Islam pada masa ini mampu menempatkan umat Islam pada puncak kejayaannya. Peradaban Islam menapaki zaman keemasan ( The Golden Age)
The Golden Age atau zaman kemasan Islam berlangsung pada zaman dinasti Abbasiyah merupakan fakta sejarah. Perbandingan kemajuan yang pernah diperoleh antara masa Nabi, Khilafah Rasyidah, kekuasaan Bani Umayyah dengan kekuasaan Dinasti Abbasiyah juga sangat signifikan. Kalau kemajuan Islam pada masa Nabi dapat disebut sebagai kemajuan di bidang agama dan politik, pada masa khalifah Rasyidah sebagai kemajuan politik dan meliter, pada masa Bani Umayyah sebagai kemajuan politik, ekonomi dan militer, maka kemajuan Dinasti Abbasiyah menambah panjang pencapaian kemajuan itu yakni politik, militer, ekonomi, sains dan peradaban.
Pada bidang pendidikan pemerintahan Abbasiyah memberikan torehan sejarah yang sangat istimewa. Produk pendidikan Islam pada babak ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kebangkitan peradaban Erofa. Perkembangan intelektual dimulai denga diterjemahkannya khasanah intelektual Yunani klasik seperti filsafat Aristoteles, Khalifah sendiri mengalokasikan anggaran khusus untuk menggaji para penterjemah. Untuk melengkapi kehausan terhadap ilmu pengetahuan, harun al- Rasyid mendirikan perpustakaan yang diberi nama Bait al- Hikmah. Lembaga ini selain berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penerjemahan juga berfungsi sebagai akademi. Cabang-cabang ilmu yang diutamakan dalam Bait al-Hikmah adalah filsafat, ilmu kedokteran, matematika, optic, fisika, geografi, astronomi dan sejarah. Penerjemahan buku-buku Yunani merupakan salah satu factor dalam gerakan intelektual yang dibangkitkan dalam dunia Islam abad ke -9 dan terus berlanjut sampai abad ke- 12.
Menurut W. Montgomery Watt (1990, hlm. 100), sebelum munculnya penerjemahan buku-buku Yunani telah terjadi kegiatan inteletual yang gencar dikalangan orang-orang islam terutama mengenai masalah-masalah fiqih. Sedangkan menurut Mehdi Nakosten ( 1964, hlm. 33 ), gerakan penerjemahan yang berlangsung di Baghdad tidak dapat dilepaskan dari gerakan penerjemahan yang sebelumnya dilakukan pada masa kerajaan Sassaniah, yakni yang berpusat di sebuah akdemi Jundishapur. Akademi ini merupakan pusat penerjemahan karya-karya ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani serta Hindu ke dalam bahasa Pahlevi. Dari sekolah ini pula muncul beberapa terjemahan penting dari bahasa Sansekerta, Pahlevi, dan Syiria ke dalam bahasa Arab.
B. Pembahasan
1. Pengaruh Filsafat Yunani, Hellenisasi Pengetahuan Atau Islamisasi Ilmu
Sumbangan utama Bani Abbas dalam sejarah peradaban Islam, berbeda dengan Bani Umayyah yang lebih mengedepankan aspek politik, adalah dukungannya yang besar terhadap perkembangan keilmuan, filsafat dan sains. Secara umum, kebanyakan khalifah Bani Abbas adalah orang yang gandrung ilmu dan hikmah, dan memberikan dukungan besar pada bidang ini. Al-Makmun (813-833 M)( George A Makdisi dkk 2005, hlm. 30) adalah khalifah yang mempelopori proses penterjemahan filsafat Yunani ke dalam Islam, yang kemudian didukung oleh penggantinya, Harun al-Rasyid, dengan didirikannya Bait al-Hikmah, perpustakaan besar dan pusat penelitian.
Hasil terjemahan-terjemahan filsafat dan pemikiran Yunani kemudian memberikan kontribusi besar bagi perkembangan filsafat, pemikiran dan sains Islam (W. Montgomery Watt 1990, hlm. 68). Meski demikian, dalam masalah ini, harus segera dikatakan bahwa hal itu bukan berarti pemikiran dan filsafat Islam berasal dari Yunani, atau bahwa Islam tidak mempunyai pemikiran filosofis dan rasional sendiri yang orisinal seperti dituduhkan Renan dan Duhem.
Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru semata. Suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles, misalnya, jelas merupakan murid Plato (427-348 SM) ( Emmanuel Gerrit Singgih 2004, hlm. 237), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Barush Spinoza (1632-1777 M) walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M) tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri.
Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filosof muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M) ( M. Hadi Masruri dan Fuad Mustafid 2005, hlm. 26). Walau sebagai murid Aristoteles, tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan gurunya. Para filosof muslim secara umum hidup dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof lainnya, sehingga adalah suatu kesalahan jika kita mengabaikan pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori mereka.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa (1) apa yang disebut transmisi filsafat Yunani ke Arab merupakan suatu proses kompleks dimana ia sering banyak dipengaruhi oleh interpretasi-interpretasi yang diberikan melalui suatu tradisi skolastik sebelumnya, dan kadang kala dalam istilah-istilah yang sudah digunakan secara teknis dalam disiplin baru yang berkaitan dengan bahasa Arab atau Islam.
Konsekuensinya, tugas rekonstruksi sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu diharapkan berbentuk suatu terjemahan yang jelas kedalam sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks, dan karena itu harus direkonstruksi secara terlepas dari teks. (2) Perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al-Kindi (801-878 M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya bisa diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut. (3) karena itu pula, presentasi karya-karya muslim secara terpisah dari faktor-faktor cultural akan menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika batas-batas kultural sudah terlewati (Sabra 1992, hlm. 90).
Sedemikian, sehingga tidak bisa dibantah bahwa karya-karya filsafat Islam disusun berdasarkan nilai-nilai pokok agamanya dan kondisi sosial yang melingkupinya. Artinya, peradaban Islam adalah sesuatu yang berdiri sendiri, mempunyai arah, gaya, dan persoalan sendiri, tidak sekedar peralihan dari pemikiran dan peradaban Yunani. Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Tercatat dalam sejarah, terjemahan buku-buku filsafat Yunani yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan pemikiran dan filsafat Islam baru di mulai pada masa al-Makmun oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq (Philip Khuri Hitti 2005, hlm. 363).
Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M).
Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbâth) dengan istilah-istilah seperti istihsân, istishlâh, qiyâs dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinbâth dengan menggunakan rasio seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam (Muhsin Mahdi 1992, hlm. 56).
2. Faktor Pendukung Perkembangan Pendidikan dan Gerakan Intelektual
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :
1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fiqh dan bahasa.
2. Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana (Hasan Ibrahim Hasan 1989, hlm. 129).
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi (Badri Yatim 2008, hlm. 55). Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-149.html).
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut (Badri Yatim 2008, hlm. 56).
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi (Harun Nasution 2005, hlm. 14). Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi’i (767-820 M) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam (W. Montgomery Watt1987, hlm. 54-113).
Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849 M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835 M). Asy’ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy’ari sebelumnya adalah pengikut Mu’tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadis, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas (http://www.com/index.php?pustaka-149.html).
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis (Harun Nasution 1985, hlm. 71).
Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak (A. Razaq Naufal 1987, hlm. 47).
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah ( Badri Yatim 2008, hlm. 58).
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata “aljabar” berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah (A. Razaq Naufal 1987, hlm. 88). Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma’aadzin al-Jawahir (Badri Yatim 2008, hlm. 58 ).
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme (Badri Yatim 2000, hlm. 53-54).
3. Gerakan Mihna dalam Pemikiran Islam
Mihnah adalah suatu kebijaksanaan yang dilakukan oleh khalifah al-Makmun tentang diberlakukannya pemeriksaan atau lebih tepatnya dikatakan pemaksaan kepada rakyatnya terhadap penerimaan doktrin al-Qur’an itu makhluk. Peristiwa ini dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan politik, bahkan dengan kekerasan .
Mihnah (inkuisisi) merupakan instusi resmi dalam melancarkan gerakannya. Diceritakan dalam literatur-literatur sejarah bahwa yang menjadi korban kekerasan pada masa Mihnah adalah golongan ahli hadis. Mereka memaksa orang yang berpegang teguh pada pendapat ahli hadis yang menyatakan bahwa al-Qur’an itu qadim.
Sebagian besar tokoh ahli hadis akhirnya terpaksa menyatakan sependapat dengan mereka, hanya satu tokoh yang bersikeras dengan pendapatnya, ia adalah Ahmad Ibn Hanbal (720 – 855 M) yang tetap bertahan pada pendiriannya meski ia menderita hukuman cambuk di punggungnya hingga terkelupas.
Pada masa kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), Mu’tazilah (aliran yang mendasarkan agama Islam pada al-Qur’an dan akal) dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Al-Ma’mun memaksa semua pejabat negara dan tokoh-tokoh agama mengikuti paham ini, terutama yang berkaitan dengan anggapan bahwa al-Qur’an adalah mahluk. Pemaksaan terhadap paham tersebut lebih dikenal dengan sebutan Mihnah (inquisition), yaitu “ujian aqidah” terhadap pejabat dan para ulama (Ensiklopedi Islam Indonesia 1992, hal. 298).
Sementara itu, materi pokok yang diajarkan kepada aqidah mereka, adalah tentang al-Qur’an. Bagi Mu’tazilah, al-Qur’an adalah mahluk yang merupakan ciptaan Allah, tidak qadim sebab tidak ada sesuatu pun yang qadim selain eksistensi Allah SWT. Selanjutnya, Mu’tazilah mengklaim orang-orang yang berpendapat al-Qur’an adalah qadim berarti telah berbuat syirik, yang merupakan tindakan dosa besar, tidak dapat diampuni. Untuk menghilangkan syirik, maka Khalifah al-Ma’mun (sepaham dengan Mu’tazilah) mengadakan tindakan Mihnah.
Masa Khalifah al-Ma’mun kajian-kajian tentang masalah ilmiah, filsafat dan teologi menjadi tidak berkembang karena dia lebih tertarik pada bidang militer (meskipun hal-hal di atas merupakan wasiat yang harus dijalankan). Namun, kebijakan Mihnah tetap dilaksanakan. Mihnah pada masa al-Ma’mun berlangsung sangat ketat, bahkan sampai khalifah al-Watsiq (227-232 H / 842-847 M). Terdapat kejadian yang sangat kejam pada masa pemerintahan al-Watsiq yang menimpa Ahmad ibn Nashar ibn Malik ibn al-Haitsam al-Kuzdi (salah satu moyangnya pendiri dari Daulah Abbasiyah). Ia menolak untuk meyakini al-Qur’an adalah mahluk, akhirnya beliau dihukum pancung, dan kepalanya dipancangkan silih berganti pada penjuru ibukota . Demikian, ilustrasi kecil betapa ketatnya Mihnah itu diterapkan. Namun, kebijakan Mihnah bergeser pada paham Ahlussunnah wal Jamaah saat masa Khalifah al-Mutawahil (232-247 H / 847-861 M) (H.M. Joesoef Sou’yb 1997, hlm. 244-246).
Selain itu, kondisi yang perlu dilihat di masa ‘Abbasiyah pada akhir periode pertama adalah satu kondisi yang diakibatkan dari kebijakan Mihnah di masa al-Mu’tashim yang tidak begitu ketat dalam penegakannya. Mungkin dikarenakan ia seorang ahli militer yang tidak begitu memperhatikan kegiatan keilmuan. Naluri kemiliterannya lebih tertarik dengan keberanian dan keteguhan Ahmad Ibn Hanbal dalam mempertahankan prinsipnya sehingga akhirnya Ahmad Ibn Hanbal tidak dibunuh. Berita keberanian Ahmad Ibn Hanbal tersebar luas di kalangan Ahlussunnah. Hal ini menumbuhkan rasa heroik di tengah-tengah masyarakat sehingga lambat laun dukungan terhadap Ahmad Ibn Hanbal dan Ahlussunnah bertambah besar (Harun Nasution 1986, 63). Dengan kata lain, kebijakan Mihnah bukan memperkecil militansi dukungan terhadap kalangan Ahlussunnah, tetapi justru semakin banyak pendukungnya (Joesoef Sou’yb, hlm. 181.), terlihat dari betapa besarnya simpatisan Ahmad Ibn Hanbal.
Kondisi politik yang sedikit rentan dan keberpihakan masyarakat terhadap kaum ortodoks semakin banyak, kemudian dipahami secara jeli oleh al-Mutawakkil ketika baru menjabat sebagai kepala pemerintahan, lalu ia mengakhiri kebijakan Mihnah dan mendukung pendapat kalangan Ahlussunnah. Agaknya di balik kebijakan itu ia mempunyai hasrat untuk mempertahankan keutuhan kekuasaannya dengan bahasa memulihkan suasana masyarakat yang damai.( Joesoef Sou’yb, hlm. 181).
Jadi, dapat diasumsikan bahwa yang melatarbelakangi khalifah al-Mutawakkil mengubah kebijakan itu adalah karena kondisi di atas. Tetapi, kita perlu melihat latar-belakang yang lain kenapa ia berbuat seperti itu. Al-Mutawakkil adalah putra dari khalifah al-Mu’tashim dengan istri budak dari Khawarizmi yang bernama Syuja’. Ia memerintah di usia 26 tahun, dan menjabat khalifah selama lima tahun (232-247 H / 847-861 M). Ia berbeda dengan pamannya dan bapaknya serta saudaranya. Ia seorang ortodoks dan bersikap bermusuhan terhadap aliran I’tizal. Pada masanya, ia mengeluarkan dekrit tentang sekte Syi’ah yang berisikan penghancuran bangunan-bangunan suci Syi’ah, termasuk makam al-Husain Ibn Ali, Kaum Syi’ah dilarang berziarah ke tempat tersebut. Kemudian di masanya pula ia banyak membangun bangunan fisik akibat banyaknya bencana (E.J. Brill 1987, hlm. 786).
Ketika ia naik tahta maka tindakannya yang pertama-tama ialah membebaskan Imam Ahmad Ibn Hanbal dari tahanannya, yang sebelumnya ia ditahan kembali oleh khalifah al-Watsiq karena kritik-kritiknya yang tajam terhadap khalifah (H.M. Joesoef Sou’yb 1997, hlm. 162). Tindakan khalifah al-Mutawakkil itu disambut hangat oleh kalangan Sunni, terutama kalangan ahli hadis yang ingin memurnikan tauhid dan kembali kepada bentuk kesederhanaan berpikir tanpa pembahasan-pembahasan yang logis dan rasional (mantiqi). Sejalan dengan pola pikir khalifah al-Mutawakkil yang ortodoks, ia memulihkan kembali kedudukan aliran Sunni dan mengumumkan larangan terhadap aliran Mu’tazilah. Di ibukota berlangsung demonstrasi-demonstrasi mendukung tindakan tersebut, di bawah pimpinan pemukanya, Ahmad Ibn Hanbal (H.M. Joesoef Sou’yb 1997, hlm. 102).
Masih dalam kaitannya dengan dukungan al-Mutawakkil terhadap kalangan Ahlussunnah, ia menganjurkan untuk mengembangkan al-Hadis, terutama hadis-hadis mengenai sifat-sifat Allah dan hadis-hadis tentang rukyat atau penyaksian terhadap Allah (Ahmad Amin, hlm. 198 ).
Kepada para muhadditsin ia memerintahkan supaya memperbanyak jumlah hadis sehingga pada masa itu aliran ahlussunnah sangat menonjol. Al-Mas’udi, seorang penulis sejarah muslim pertama yang menggunakan metode topik dalam menulis sejarah, menggambarkan suasana pada masa khalifah al-Mutawakkil dalam karyanya Muruju al-Zahaby jilid II hal. 288, ia menceritakan bahwa setelah kekhalifahan berpindah kepada al-Mutawakkil, maka ia pun memerintahkan supaya menghentikan segala macam diskusi dan dialog, dan menghentikan segala macam kegiatan yang berlangsung pada masa al-Mu’tashim dan al-Watsiq, dan memerintahkan kdpada seluruh orang untuk ber-taslim dan ber-taqlid.
REFERENSI
- Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz III (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah, TT).
- Antony Black, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, (Jakarta : Serambi, 2006).
- A. Razaq Naufal, Umat Islam dan Sains Modern, (Bandung : Husaini, 1987).
- Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2000).
- E.J. Brill, First Encyclopedia of Islam, (Leiden & New York: Kobenhaven, V.VI, Koln, 1987).
- Emmanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III, ( Yogyakarta, Kanisius, 2004)
- George A Makdisi, dkk, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya Terhadap Renaisans Barat, ( Jakarta : Serambi, 2005)
- H.M. Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah ‘Abbasiyah II. (Jakarta : Bulan Bintang 1997).
- H.M. Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah I (Jakarta: Bulan Bintang 1997)
- Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI Press, 2005).
- Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986).
- Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1989)
- Joesoef Sou’yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam (Jakarta: Bulan Bintang, TT)
- Khaled Abou El Fadl, Musyawarah Buku : Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, (Jakarta : Serambi, 2000).
- M. Hadi Masruri dan Fuad Mustafid, Hbn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, ( Yogyakarta, Lkis, 2005)
- Mehdi Nakosten, History of Islamic Origins of Western Education AD 800-1350. Terj. Joko S. kahar ( Colorado : Universuty of Colorodo Press, 1964)
- Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, (edisi 4, Februari 1992).
- Philip Khuri Hitti, History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Serambi, 2005).
- Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-Hikmah, (edisi 6, Oktober 1992).
- Tim Penyusun Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992)
- W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Tinjauan Kritis, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990).
- _______________, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta : P3M, 1987).
- ______________, The Majesty That Was Islam. Terj. Hartono Hadikumoro, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990)