1. Latar Belakang Masalah
Dalam berbagai ayatnya, Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah SWT, adalah tuhan yang menganugerahkan hidup dan menentukan mati. Diantaranya: Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu, dan diantara kamu ada yagn dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun) supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha kuasa (Q.S. Al-Nhal, 16: 70).
Dari ayat ini kita mengetahui bahwa kematian “suatu saat” pasti datang entah itu dimasa kanak-kanak, muda, atau lanjut usia. Ayat ini menyinggung tentang ketidak berdayaan dimasa tua yang dialami oelh sebagian manusia ketika mereka dianugerahi umur panjang.1 Demikian halnya bila sebelum ajal tiba, seseorang dalam rentang waktu yang panjang tertimpa berbagai penyakit yang menyebabkan dia harus mendapatkan peraatan dan perhatian medis. Di dalam Al-Qur’an surat Al-Mulk ayat 2, di ingatkan bahwa hidup dan mati adalah ditangan Allah yang ia ciptakan untukmenguji iman, amalah, dan ketaatan manusia terhadap tuhan, penciptanya. Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan hidup manusia itu, Islam menetapkan norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksi hukumannya, baik di dunia berupa hukuman haddar qisas termasuk hukuman mati, diyat (denda) atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulul amr atau lembaga peradilan, maupun hukuman diakhirat berupa siksaan Tuhan dineraka kelak.
BUNUH DIRI DAN EUTANASIA
A. Bunuh diri
Orang yang nekad bunuh diri, biasanya karena putus asa diantara penyebabnya adalah penderitaan hidup. Ada orang yang menderita fisiknya (jasmaninya), karena memikirkan sesuap nasi untuk diri dan keluarganya. Keperluan pokok dalam kehidupan sehari-hari tidak terpenuhi, apalagi pada jaman sekarang ini, pengeluaran lebih besar dari pemasukan.
Adapula orang yang menderita batinnya yang bertakibat patah hati, hidup tiodak bergairah, masa depannya keliatan siuram, tidak bercahaya. Batinnya kosong dari cahaya iman dan berganti dengan kegelapan yang menakutkan. Penderitaan kelompok kedua ini, belum tentu karena tidak punya uang, tidak punya kedudukan, dan tidak punya nama, karena semua itu belum tentu dan ada kalanya tidak dapat membahagiakan seseorang, pada media masa kita baca ada jutawan, artis dan ada tokoh yang memilih mati untuk mengakhiri penderitaanya itu, apakah penderitaan jasmani atau penderitaan batin.
Kalau kita perhatikan, mak tampak jelas, baik kelompok pertama maupun kedua, sama-sama tidak mampu menghadapi kenyataan dalam hidup ini. Mereka tidak mampu menghayati dalam memahami, bahwa dunia ini dengan segala isinya adalah pemberian Allah dan pinjaman yang akan dikembalikan, dan suka dukapun silih berganti dalam menghadapinya. Hidup dan mati itu ada ditangan Allah SWT dan merupakan karunia dan wewenang Allah SWT, maka Islam melarang orang melakuakn pembunuhan, baik terhadap orang lain (kecuali, dengan alasan yang dibenarkan oleh agama) maupun terhadap dirinya sendiri (bunuh diri) dengan alasan apapun.2
Dalil-dalil syar’i yang melarang bunuh diri dengan alasan apapun, ialah:
1. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 29-30
Artinya: dan janganlah kamu membunuh diri mu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepada kamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka kami kelak akan memasukannya kedalam neraka yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
2. Hadits Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari jundub bin Abdullah r.a:
Artinya: telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah bersabda, ”Hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan.” aku mengharamkan surga untuknya. Ayat Al-Qur’an dan Hadist tersebut di atas dengan jelas menunjukkan, bahwa bunuh diri itu di dilarang keras oleh Islam dengan alasan apapun. Dengan demikian keliru sekali, kalau ada anggapan, bahwa dengan jalan bunuh diri, segala persoalan telah selesai dan berakhir. Padahal azab penderitaan yang lebih berat, telah menyongsong di akhirat kelak.
B. Eutanasia
1. Pengertian Eutanasia
Eutanasia berasal dari kata Yunani ”Euthanatos,” yang terbentuk dari kata eu dan thanatos yang masing-masing berarti ”baik” dan ”mati”3. Jadi, eutanasia artinya membiarkan seorang mati dengan mudah dan baik. Kata ini juga didefinisi sebagai ”pembunuhan dengan belas kasih”. Terhadap orang sakit, luka-luka, atau lumpuh yang tidak memiliki harapan sembuh dan didefinisikan pula seabagai pencabutan nyawa dengan sebisa mungkin tidak menimbulkan rasa sakit seorang pasien yang menderita penyakit parah dan mengalami kesakitan yang sangat menyiksa. Dengan demikian, eutanasia mencakup:
- Kematian dengan cara memasukkan obat dengan atau tanpa permintaan eksplisit dari sipasien.
- Keputusan untuk menghentikan perawatan yang dapat memperpanjang hidup pasien dengan tujuan mempercepat kematiannya.
- Penanggulangan rasa sakit dengan cara memasukkan obat bius dalam dosis besar, dengan mempertimbangkan timbulnya resiko kematian, tetapi tanpa ada niatan eksplisit untuk menimbulkan kematian pada pasien.
- Pemberian obat bius dalam jumlah yang overdosis atau penyuntikan cairan yang mematikan dengan tujuan mengakhiri hidup pasien.
Eutanasia pada hakekatnya adalah pencabutan nyawa seseorang yang menderita penyakit parah atas dasar permintaan atau kepentingan orang itu sendiri. Eutanasia masih menimbulkan problem keagamaan, hukum, dan moral disemua budaya dan tradisi agama. Sebelum membahas isu tentang eutanasia menurut tinjauan syariat ada baiknya untuk menguraikan sikap Islam tentang hak hidup.
Hak Hidup
Sepertinya halnya agama-agama yang lain, Islam menjunjung tinggi hak hidup seseorang sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (Al-Maidah, 5:32). Bagaimanapun, perlu dicatat bahwa peraturan pidana Islam menetapkan hukuman mati bagi orang yang melakukan tindak kejahatan berat tertentu. Dengan tujuan mencegah terjadinya kejahatan dan memelihara kedamaian, keamanan, dan ketentraman, Islam menetapkan aturan-aturan preventif dan hukuman yang adil bagi tindakan-tindakan yang cenderung mengancam hidup orang lain tanpa ada yang adil bagi tindakan-tindakan yang cenderung mengancam hidup orang lain tanpa ada alasan yang sah.4 Al-Qur’an menetapkan hukuman mati untuk tindak pembunuhan yang disengaja.
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu pembelasan yang adil (Qishas) berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh .... (Q.S. Al-Baqarah 2:178).
Hukuman bagi pelaku pidana pembunuhan dalam bahasa Arab disebut (pembalasan yang adil). Aturan ini memastikan bahwa ketika hukuman mati dilaksanakan maka hanya orang bersalahlah yang akan kehilangan nyawanya. Namun, perlu dikemukakan disini bahwa keluarga si terbunuh juga memiliki dua pilihan lain yaitu memaafkan sipelaku, atau menerima uang tebusan.5
Menurut hukum pidana Islam, orang yang menganjurkan/menyetujui/membunuh seseorang yang membunuh diri adalah berdosa dan dapat dikenakan hukuman tasir. Demikian pula apabila orang gagal melakukan bunuh diri, sekalipun dibantu orang lain, maka semuanya dapat dikenakan hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir, ialah hukuman terhadap suatu tindakan pidana yang ditentukan macam hukumnya oleh Al-Qur’an dan hadits. Buat/ riwayat hukum ta’zir itu diserahkan sepenunya kepada hakim yang mengadili perkara untuk menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan tindakan pidananya, pelakunya, dan situasi dan kondisinya dimana tindak pidana itu terjadi.
2. Macam-macam Eutanasia
a. Eutanasia aktif dan / atau diluar kehendak
Eutanasia aktif adalah tindakan sengaja yang dilakukan oleh ahli medis untuk mengakhiri hidup pasiennya dengan menggunakan instrumen (alat)6. Beberapa contoh diantaranya:
- Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggalkan dunia. Kemudiaan dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
- Orang yang mengalami keadaa koma yang sangat lama, misal karena bagian otaknya, terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia mungkin dapat hidup hanya dengan memperjuangkan alat pernapasan. Sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara kedalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis jika alat itu dihentikan maka sipenderita tidak mungkin melanjutkan pernapasannya. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya. Sedangkan eutanasia diluar kehendak adalah mengakhiri hidup pasien tanpa ada permintaan eksplisit dari si pasien. Euntanasia yang terbaik bagi penderita penyakit parah perlu dikemukakan disini bahwa Al-Qur’an memperingatkan: Dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan suatu (alasan) yang benar (Q.S Al-Isra, 17:33).
Dari ayat di atas, jelaslah bahwa nyawa manusia adalah suci dan, karenanya, tidak boleh dilenyapkan kecuali atas dasar alasan yang dibenarkan, yaitu dalam ekseksusi hukuman mati, dalam perang suci, atau dalam pembelaan diri yang sah. Dari ayat di atas, jelaslah bahwa nyawa manusia adalah suci dan, karenanya, tidak boleh dilenyapkan kecuali atas dasar alasan yang dibenarkan, yaitu dalam eksekusi hukuman mati, dalam perang suci, atau dalam pembelaan diri yang sah.
Pencabutan nyawa seorang penderita penyakit parah tidak termasuk dalam kelompok ”alasan yang dibenarkan” karenanya, jika seorang ahli medis secara sengaja mengakhiri hidup pasiennya, maka dia akan dianggap melakukan pembunuhan. Hidup dan mati adalah hak prerogatif Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dengan tugas dalam Al-Qur’an:
”Allah yang menghidupkan dan yang mematikan, dan Allah mengetahui segala apa yang kalian lakukan.” (Q.S. Al-Imran, 3:156).
Dari ayat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kendati ahli medis tersebut hanya bermaksud mempertinggi dosis obat yang diberikan, sementara ia sadar sepenuhnya bahwa tindakan tersebut dapat mengakibatkan kematian, maka menurut syariat, ia akan diminta pertanggungjawaban karena telah mengakhiri hidup pasiennya yang sama saja dengan tindakan pembunuhan. Memang benar bahwa niat seorang ahli medis berada diluar yurisdiksi hakim atau pengadilan, tetapi niatnya, itu tidak akan luput dari pengawasan Allah yang maha melihat. Dalam hal ini, Al-Qur’an menyatakan:
”Dia (Allah) mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan dalam hati (Q.S. Al-Mu’min, 40:19).
Dengan demikian, walaupun ahli medis tersebut tidak diadili dipengadilan dunia, ia tetap akan diminta pertanggung jawaban dihadapan Allah SWT. Atas peranannya dalam mengakhiri hidup seseorang yang sakit parah.
b. Eutanasia Pasif
Eutanasia pasif adalah ketidaan penanganan yang seharusnya diberikan oleh petugas medis, pada eutanasia pasif tidak mempergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.7 Contohnya, ketiadaan penanganan oleh petugas medis untuk, misalnya, memasang alat bantu pernapasan pada pasien yang sakit parah seperti penderita kanker yang sudah keritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematian. Dalam konteks ini, petugas medis tersebut tidak dikenai tanggung.
Jawab atas tindakannya yang menyebabkan kematian sipasien berdasarkan pada kaidah hukum Islam la dharar wa la dirar (tidak ada kerusakan dan tidak ada pengrusakan). Prinsip ini membenarkan seseorang untuk membiarkan kematian tidak ada pengrusakan) prinsipini membenarkan seseorang untuk membiarkan kematian terjadi secara alamiah. Lebih lanjutnya, perlu dikemukakan pelayanan medis sepanjang waktu, tetapi penanganan medis itu boleh dihentikan jika menurut pendapatnya, sebagai seorang ahli Al-Khibrah (ahli pengobatan), tipis atau nihil harapan bagi sipasien untuk sembuh. Argumen yang sama juga membenarkan dihentikannya penyaluran zat makanan dari tabung (infus) jika menurut pendapat ahli-ahli medis, pemberian zat-zat makanan buatan itu tidak berguna lagi bagi si pasien. Begitu pula, dibolehkan bagi petugas medis untuk mematikan alat bantu hidup begitu pasiennya di diagnosis mati otak dan si pasien tersebut tidak dapat dipulihkan lagi.
3. Motivasi Eutanasia
Para pendukung eutanasia menjastifikasi pendirian mereka berdasarkan hal-hal berikut:
- Faktor ekonomi
- Pertimbangan ruangan, tempat tidur, petugas, dan peralatan medis dirumah sakit yang justru dapat dimanfaatkan oleh pasien-pasien yang lain.
- Mati yang layak
Konsep mati dengan layak telah melahirkan gerakan perumahsakitan di Inggris, pasien-pasien berpenyakit parah yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia diberi kesempatan untuk memilih hidup dengan layak atau mati dengan layak. Artinya, para pasien yang sekarat itu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menikmati apa yang mereka inginkan dari pada berbaring ditempat tidur.8
4. Konsep tentang rasa sakit dan penderitaan
Menurut falsafah hidup Islam, ada dimensi transental dalam rasa sakit dan penderitaan. Al-Qur’an memberitahu kita bahwa orang-orang yang mengklaim dirinya beriman kepada Allah swt. Tidak akan dibiarkan begitu saja sesudah memproklamasikan keimanannya itu: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan sesudah mengatakan, ”kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji lagi? (Q.S. Al-An-Kabut, 29:2).
Al-Qur’an lebih lanjut mengatakan bahwa orang-orang yang beriman itu akan diuji dengan beragam cara:
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan dan berilah berita gembira kepada orang-orang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan: ”sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadanyalah akmi kembali.” mereka itulah orang-orang yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Allah, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. Al-Baqarah 2:155).
Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa umat Islam, secara umum, memandang penderitaan akibat penyakit yang mematikan maupun yang ringan sebagai ujian atas keimanan dan kepasrahan mereka pada sang pencipta. Bahkan, penderitaan semacam itu dianggap dapat menghapus dosa-dosa kecil yang telah mereka perbuat. Hal ini diterangkan dalam hadis berikut:
Ketika seorang muslim diuji dengan suatu penyakit, maka dikatakan kepada malaikat: Tulislah baginya segala amal baik yang pernah ia lakukan. Jika Dia (Allah) menyembuhkannya, Dia memafkannya (dari segala dosa) dan jika ia mengambil hidupnya (sebagai akibat dari penyakti yang ia derita) maka dia mengampuninya dan membiarkan kasih sayang padanya.9 Jadi, tidak ada justifikasi sama sekali untuk mengakhiri hidup seseorang dengan tujuan melepaskannya dari penderitaan. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan:
Allah tidak membebani seseorang melainkan untuk mengakhiri hidup seseorang dengan tujuan melepaskannya dari penderitaan. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (Q.S. Al-Baqqarah, 2:286).
Umat Islam mengimani keberadaan hari akhir, yaitu kehidupan yang sejati dan abadi dan keamanan inilah yang membuat mereka mau menahan rasa sakit dan penderitaan dengan penuh kesabaran.
DAFTAR PUSTAKA
1 H. Mas J. Fuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. 2007. hal. 161
2 Ibid.
3 Abul Fadl Mohsin Ebraham. Kloning, Eutanasia; transfusi Darah; Transplantasi Organ; dan Eksperimen Pada Hewan. Jakarta PT. Serambi Ilmu Semesta: 2001) hal. 13
4 Ibid. hal. 149
5 Ibid. hal. 150
6 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press. 1995. hal. 150
7 Ibid. hal 152
8 Loc. Cit. Hal. 155
9 Ibid. 156
10 M. Ali Hasan. Masail Fiqhiyah Al-Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1998. hal. 164