Dalam kehidupan manusia Allah telah menentapkan jalan yang harus ditempuh oleh manusia sesuai dengan syaria’t yang telah ditetapkan, sehingga seseorang senantiasa istiqomah dan tegak diatas syaria’t-Nya, selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagai seorang hamba Allah Swt. Yang mempunyai kaitannya antara hablu minallah dan hablu minannas. Dalam kaitannya dengan sang maha pencipta, seorang harus taat menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Begitu juga dengan hubungannya dengan hablu minannas manusia sebagai seorang hamba diharapkan istiqomah dalam menjalankan hal-hal yang bagus seperti beramal, menjaga tali silaturrahim, menjaga kelestarian alam, dan lain sebagianya.
Disamping itu dalam istiqomah itu sendiri diperlukan keikhlasan dalam menjalankan segala amal-amalnya. Karena ikhlas merupakan amalan hati, yang paling penting, paling tinggi dan paling pokok. Ikhlas merupakan hakikat agama dan kunci dakwah para Rasul a’laihimus salam sejak dulu. Ikhlas adalah inti ibadah dan jiwanya. Fungsi ikhlas dalam amal perbuatan sama dengan kedudukan “Ruh” pada jasadnya. Oleh karena itu, mustahil suatu amal iabadah dapat diterima bila tanpa ikhlas, sebab kedudukannya sama dengan tubuh yang sudah tidak bernyawa.
PEMBAHASAN
Istiqomah dan Ikhlas dalam beramal
Istiqomah itu sendiri mempunyai pengertian terus menerus melakukan amal shalih dan komitmen dengannya serta tidak merusak satupun diantara amal-amal tersebut. Imam Nawawi mengatakan bahwa makna istiqomah adalah senantiasa berada dalam ketaatan kepada Allah. Istiqomah merupakan satu kata yang ringkas, namun sarat makna dan dialah rambu-rambu semua urusan.
Hal ini sesuai dengan janji Allah Swt. Dalam surat Al-Ahqaf: 13-14
“sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Rabb kami ialah Allah. Kemudian mereka tetap istiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita mereka itulah penghuni surga, mereka kekal didalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”.
Berdasarkan ayat diatas, Allah menjanjikan surga yang kekal bagi hamba-hamba Allah yang menjalan segala amal ibadahnya dengan istiqomah dan ikhlas dijalan-Nya. Menurut pengarang Manazilus-Sa’ri’in, ada tiga derajat istiqomah, yaitu: ( Ibnu Qayyim al-Jauziyah, madarijus salikin buku kedua hal. 186-187 Pustaka Kautsar Jakarta.)
1. Istiqomah dalam usaha untu melalui jaln tengah tidak melampaui rancangan ilmu, tidak melanggar batasan ikhlas dan tiadak meyalahi manhaj As-Sunnah. Derajat ini meliputi lima perkara:
Ø Amal dan usaha yang dimungkinkan
Ø Jalan tengah, yaitu perilaku antara sisi berlebih-lebihan atau kesewenang-wenangan dan pengabaian atau penyia-nyiaan.
Ø Berada pada rancangan dan gambaran ilmu, tidak berada pada tuntutan keadaan.
Ø Kehendak untuk mengesahkan sesembahan, yaitu ikhlas.
Ø Menempatkan amal pada perintah, atau mengikuti As-sunnah.
Lima perkara inilah yang menyempurnakan istiqomahnya orang-orang yang berada pada derajat ini. Selagi keluar dari salah satu diantaranya, berarti keluar dari istiqomah , entah keluar secara keseluruhan ataukah sebagiannya saja. Biasanya orang-orang salaf menyebutkan dua sendi ini, yaitu jalan tengah amal dan berpegang kepada As-Sunnah. Sesungguhnya syetan itu bisa mencium hati hamba dan mengintainya. Jika dia melihat suatu indikasi kebid’ah didalamnya dan berpaling dari kesempurnaan ketundukan kepada As-Sunnah, maka ia akan mengeluarkannya agar tiadak berpegang kepada As-Sunnah. Jika Syetan melihat hasrat yang kuat terhadap As-Sunnah, maka ia tidak akan mamapu mempengaruhinya untuk mengeluarkannya dari As-Sunnah. Maka ia memerintahkannya untuk terus berusaha, lalu bersikap sewenwng-wenang terhadap diri sendiri dan keluar dari jalan tengah, seraya berkata kepadanya, “ ini merupakan kebaikan dan ketaatan. Semakin semangat berusaha, semakin menyempurnakan ketaatan itu.” Begitulah yang terus dibisikkan syetan hingga dia keluar dari jalan tengah dan batasannya. Inilah keadaan golongan khawarij yang melecehkan orang-orang yang istiqomah, dengan membandingkan sholat, puasa dan bacaan Al-Qru’an diantara mereka. Kedua golongan ini sama-sama keluar dari As-Sunnah ke bid’ah. Yang pertama keluar ke bid’ah pengabaian dan yang kedua keluar ke bid’ah kelewat batas.
Istiqomah keadaan, yaitu mempersaksikan hakikat dan bukan keberuntungan, menolak bualan dan bukan ilmu, berada pada cahaya kesadaran dan mewaspadainya. Dengan kata lain, istiqomah keadaan dilakukan dengan tiga cara ini. Kaitannya dengan kesaksian hakikat, maka hakikat itu ada dua macam:hakikat alam dan hakikat agama, yang dipadukan hakikat ketiga, yaitu sumber, pembentuk dan sekaligus tujuan keduanya.
3. Istiqomah dengan tidak melihat istiqomah, tidak lengah untuk mencari istiqomah dan keberadaannya. Sedangkan tidak lengah mencari istiqomah artinya tidak lengah mencari kesaksian penegakan kebenaran. Jika seorang hamba mempersaksikan bahwa Allah lah yang menegakkan segala urusan dan istiqomanya berasal dari Allah, bukan berasal dari dirinya dan juga bukan karena pencariannya, maka dia akan merasa bahwa bukan dirinyalah yang mendatangkan istiqomah itu. Ini merupakan kosekuensi terhadap asma Allah Al-Qoyyum. Artinya keyakinan bahwa Allah sendirilah yang menangani segala urusan dan Dia tidak membutuhkan selain Nya, tapi semua selain Nya tentu membutuhkan-Nya.
Sedangkan makna Ikhlas itu sendiri yaitu “Kholaso”, akar katanya adalah Khuluuson/khulaason artinya jernih, bersih dari pencemaran. Lafazh ikhlas menunjukkan jernih, bersih dan suci dari campuran dan pencemaran.
Ungkapan ulam Salam sehubungan dengan pengertian ikhlas beragam, seperti penjelasan berikut:
- Melakukan amal karena Allah semata, tiada bagian bagi selain Allah.
- Mengesakan Allah yang hak dalam berniat melakukan ketaatan.
- Membersihkan amal dari perhatian mahluk.
- Membersihkan amal dari setiap pencemaran yang dapat mengeruhkan kemurniannya.
Orang yang ikhlas adalah seseorang yang tidak peduli meskipun semua penghargaan yang ada dalam kalbu orang lain lenyap kalau memang harus demikian jalannya demi meraih kebaikan hubungan kalbunya dengan Allah Swt. Sedangkan dia tidak mengingikan sama sekali ada orang lain yang mengetahui amal kebaikannya.
Allah Swt. Berfiman:
Artinya: “ Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kalian siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya. (QS: Al-Mulk: 2)
Dari ayat diatas yang dimaksud dengan yang paling baik amalanya ialah yang paling ikhlas dan paling benar. Hal ini disebabkan bahwa amal perbuatan itu meskipun benar tetapi tidak ikhlas, maka tidak akan diterima. Begitu juga halnya jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima pula. Jadi amal perbuatan harus dilakukan dengan ikhlas dan benar.
Ikhlas dalam beramal dalam riwayat amirul mukminin, Umar bin Khatab RA. Berkata : “aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda”:
Artinya:” sesungguhnya segala amal perbuatan itu bergantung pada niat. Dan setiap orang mendapatkanm balasan sesuai apa ynag diniatkan. Barang siapa yang menghijrakan kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu adlah pada Allah dan Rasul-Nya, tetapi barang siapa yang berhijrah untuk meraih keduniaan atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu adalah sesuai dengan apa yang ditujunya. (HR. Bukhori dan Muslim)
Segala perbuatan itu memang bergantung pada niat, jika niatnya benar maka benar pula amal tersebut. Jika niat itu rusak maka rusak pula amal itu dan segala tenaga yang dicurahkan untuk melakukannya menjadi sia-sia belaka. Niat adalah memaksudkan sesuatu dan disertai mengerjakannya. Seseorang dapat saja melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan oleh orang lain, namun hanya niatnya saja yang menjadikannya sebagai perbuatan yang destuktif.
Allah Swt.Allah Swt. Berfirman :
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnyadan menyakiti (perasaan si penerima). Seperti orang yang menafkahkanhartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu lilin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpah hujan lebat, lalu menjadikan dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (QS. Al-Baqoroh: 264)
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa amalan yang dilakukan seoarng hamba akan hilang jika menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan si penerima. Hal ini disebut dengan riya’. Dalam sebuah hadits dijelaskan: Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Jundab bin Abdullah RA. Ia berkata Nabi SAW bersabda : “barang siapa berbuat baik dengan niat supaya didengar oarang lain, niscaya Allah akan membuat orang lain mendengarkannya (hanya itulah balasannya). Barang siapa berbuat kebaikan dengan niat supaya dilihat orang lain, niscaya Allah membuat orang lain melihatnya (dan hanya itulah balasannya)
Dari hadits diatas dijelaskan yang intinya amal perbuatan yang dilakukan tidak akan mendapat pahala jika niatnya hanya ingin didengar, atau ingin dilihat oleh orang lain maka hanya sebatas itu saja dan tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT. Hal inilah yang menjadi bahaya yang jelas, yang menggangu ikhlas yaitu riya’. Bahaya yang mengganggu ikhlas itu sebagian jelas, sebagian tersembunyi dan sebagian itu lemah dari jelas, dan sebagian itu kuat beserta tersembunyi dan tidak dapat difahami. Perbedaan derajat-derajat dalam hal tersembunyidan jelas. Sebagai contoh: maka kami berkata : “Syetan memasukkan bahaya atas orang yang mengerjakan sholat manakala ia ikhlas dalam shalatnya, kemudian suatu jama’ah memandang kepadanya. Lalu Syetan membisikkan kepada orang yang sedang beribadah: “baguskanlah sholatmu, sekarang orang yang hadir memandang kepadamu dengan pandangan kewibawaan dan kebaikan, maka anggota badannya khusu’, sendi-sendinya tenang dan shalatnya baik. Dan inilah riya yang tampak.
Daftar Pustaka
- Qayim ibnu al-Jauziah, Madarijus Salikin, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Jilid 3.
- Al-Ghazali Imam, Ihya’ Ulumuddin, CV. Asy-Syifa: Semarang. Jilid 9.
- Muhammad Mustafa Ath-Thahhan, Pribadi Muslim Tangguh, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, 2001.
- Bin Shalih Muhammad al-Mujahid, Silsilah Amalan Hati, Irsyad Baitus Salam: Bandung, 2006.
- Nawawi Imam. Ringkasan Riyadhus Shalihin, Irsyad Baitus Salam: Bandung, 2006.