Kontruksi masyarakat sejak petama kali manusia lahir ke dunia adalah pembagian identitas jender secara biologis. Jika dia memiliki penis maka dia adalah berjenis kelamin laki-laki, sedangkan yang memiliki vagina maka secara otomatis dia beridentitas jender perempuan. Jika pembagian status sudah tersandang, dalam waktu yang sama pula dia mendapatkan tugas dan beban jender (jender assignment) yang berbeda dari lingkungan budaya masyarakat yang akan membentuknya.
Ada dua kategori perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Yang pertama bersifat mutlak atau biasa disebut dengan perbedaan kodrati. Perbedaan ini mengacu kepada hal-hal yang bersifat biologis. Secara kodrati laki-laki dan perempuan berbeda jenis kelaminya beserta alat-alat reproduksinya. Seperti perempuan memiliki rahim, payudara, ovarium yang itu tidak dimiliki oleh laki-laki. Sedangkan laki-laki memiliki alat reproduksi yang tidak tidak dimiliki perempuan, seperti Penis, sperma, dan kalamenjing. Perbedaan itu secara alamiah melekat selamanya pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, artinya secara biologis bersifat permanen dan tidak bisa dipertukarkan, dan inilah yang disebut dengan kodrat Tuhan (nature). Kodrat secara biologis diberikan dengan dua pengertian yakni secara khusus diberikan kepada perempuan saja atau laki-laki saja.
Perbedaan kedua bersifat relatif yakni perbedaan yang dihasilkan dari interpretasi sosial budaya atau biasa disebut dengan konstruksi sosial. Karena itu perbedaan ini bersifat nonkodrati, dan sangat besar kemungkinannya untuk berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Dan ada kemungkinan saling bertukar peran jender antara laki-laki dan perempuan, inilah yang kemudian disebut dengan nurture, sebuah karakter yang diciptakan manusia melalui perjalanan panjang proses sejarah.
Yang menjadi perdebatan panjang dan sangat kontroversial adalah Pembahasan mengenai karakteristik alamiah (nature) dan karakeristik hasil konstruksi sosial (nurture) laki-laki dan perempuan. Pengklasifikasian karakteristik-karakteristik yang melekat pada jenis kelamin tertentu yang kemudian dijustifikasi menjadi sifat mutlak dari jenis kelamin tersebut. Lantas kemudian dipahami sebagai kodrat atau sifat alamiah dari jenis kelamin tersebut. Seperti sifat perempuan yang cenderung emosional dan laki-laki yang lebih rasional. Inilah yang menyebabkan pengaburan pemahaman terhadap karakter yang bersifat kodrat dan non kodrat yang berimbas pada ketimpangan jender. Banyak kalangan mempersepsikan berbeda-beda antara yang nature dan nurture.
Yang pertama kali menyatakan perbedaan jenis kelamin secara ilmiah adalah Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man, bahwa “laki-laki dan perempuan berbeda dalam hal ukuran tubuh, kekuatan dan seterusnya, juga dalam hal pemikiran.”
Lain lagi yang dipaparkan oleh Dr. Hj. Zaitunah Subhan dalam bukunya Tafsir Kebencian, dia menyebutkan bahwa hanya tiga hal yang menjadi kodrat perempuan, yakni haid atau menstruasi, mangandung, menyusui dan melahirkan. selain dari tiga hal tersebut peran bisa dipertukarkan. (Diambil dari UPW. Kator Menteri, Peningkatan Peranan Wanita dalam pembangunan Bangsa. Berwawasan Kemitrasejajaran yang Harmonis antara Pria dan wanita dengan Pendekatan Jender)
Namun dalam perjalananya untuk menepis ketidakadilan jender atau ketimpangan jender para feminis terutama banyak melakukan pengudaran untuk memperjelas antara kodrat dan konstruksi sosial. Karena begitu mengakarnya pemahaman yang rancu antara yang nature (kodrat) dan nurture (konstruksi budaya) yang disebabkan oleh rancunya pemahaman terhadap sex dan jender.
Banyak hal yang sifatnya konstruktif kemudian dipahami sebagai kodrat Tuhan karena pembentukanya yang melalui proses panjang, kemudian disosialisasikan, diperkuat dan dikukuhkan secara sosial, kultur dan juga keyakinan agama dan cara pandang masyarakat tertentu (ideologi). Apalagi ketika pemahaman tersebut ditransfer melalui ruang pendidikan yang notabene sebagai alat untuk mengukuhkan sebuah tradisi.
Jadi tidak heran jika yang terjadi adalah bias pemaknaan terhadap perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan yang kemudian dikukuhkan melalui doktrin keagamaan. sehingga seringkali orang memahaminya sebagai kodrat dan itu wajib untuk ditaati, sebuah pelanggaran berarti menentang takdir Tuhan dan dicap sebagai abnormal.
Dari perdebatan itulah mengapa diskusi tentang jender masih hangat sampai sekarang. Karena dari analisis jender, pembedaan berdasar konstruksi sosial yang bersifat nurture adalah tidak fair, karena itu hanyalah common sense. Mengatakan bahwa perempuan identik dengan hal-hal lemah adalah konstruksi sosial, bukan bawaan secara biologis.
Referensi
- Ratna Megawangi, Membiarkan berbeda, cet I (Bandung : Mizan, 1999), 93
- Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, cet I, ( Yogyakarta : LKiS, 1999), 24
- http://kafeilmu.com/2012/08/memahami-nature-dan-nurture-dalam-studi-jender.html