Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengumandangkan azan sebelum salat. Imam Malik berpendapat bahwa azan wajib dikumandangkan di mesjid ketika salat jamaah akan dilaksanakan, dengan maksud agar umat Islam berkumpul. Pendapat ini diperkuat oleh Abu ‘Umar yang mengatakan bahwa azan adalah sebuah identitas yang menjadi perbedaan antara negara Islam dengan negara non-Islam.
Berbeda dengan al-Thabariy dan Abu Hanifah, ia mengatakan bahwa status hukum azan sebelum salat hanya sunat, bukan wajib. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Imam al-Syafi’iy, ia mengatakan bahwa azan bukan wajib dan bukan pula salah satu dari beberapa fardhusalat.
Para pengikut mazhab Malikiy belakangan, demikian pula pengikut mazhab Syafi’iy, memiliki pendapat yang berbeda dengan imam mazhab mereka. Sebagian di antaranya menganggap azan itu sebagai sunnah muakkad dan sebagian lainnya menganggap fardhu kifayah.
Khusus dalam perjalanan, Ibn al-Munzdir mengatakan bahwa azan dan iqamah wajib, baik dalam keadaan bermukim atau dalam keadaan musafir. Sedangkan Ibn Qudamah mengatakan bahwa azan itu fardhu kifayah, baik dalam keadaan bermukim atau musafir. Adapun al-Syafi’iy, Abu Hanifah, al-Tsauriy, dan A¥mad, mereka bersepakat bahwa orang yang meninggalkan azan dalam perjalanan, baik dalam keadaan sengaja atau lupa, salatnya tetap diterima.
Bagi wanita, mengumandangkan azan hukumnya mubah untuk kalangan mereka. Demikian pendapat al-Syafi’iy dan Ahmad. Artinya, jika mereka melakukannya, hukumnya boleh. Sebaliknya, jika mereka tidak melakukannya, juga tidak ada masalah.
Referensi
- Abiy ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshariy al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthuby, tp.tt
- Cyril Glasse, The Concise Encyclopaedia of Islam, diterjemahkan oleh Gufron A. Mas’adi dengan judul Ensiklopedi Islam (Cet. I; Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1996)
- Muhammad ‘Aliy al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Bagian IV (T.tp., tp., t.th.)