Pengajaran bahasa mempunyai metode yang bermacam-macam berdasarkan hasil penelitian dan pencarian efektifitas belajar mengajar. Salahsatu metode pengajaran bahasa yang dianggap mempunyai keefektifan tinggi dalam pengajaran bahasa asing adalah teknik pengajaran bahasa komunikatif. Bagaimana sejarah, prosedur, dan metode pengajaran tersebut? Berikut ulasakan kafeilmu tentang pengajaran bahasa komunikatif.
Memahami Konsep Pengajaran Bahasa Komunikatif (Communicative Language Teaching).
Sejarah Pengajaran Bahasa Komunikatif
Asal communicative language teaching (CLT) dapat ditemukan pada perubahan dalam pengajaran bahasa Inggris mulai dari akhir tahun 60-an. Sampai saat itu pengajaran bahasa situasional menggambarkan sebagian besar teknik pengajaran bahasa Inggris dinegara Inggris sebagai bahasa asing. Dalam pengajaran bahasa situasional bahasa diajarkan dengan mempraktekkan struktur dasar dalam aktivitas yang berdasarkan situasi. Tetapi karena teori linguistik yang menggaris bawahi aliran audio-lingual ditolak di Amerika Serikat dipertengahan 1960-an, Inggris menghimbau pakar linguistik untuk mulai menyelidiki pertanyaan dugaan-dugaan teoritis pada pengajaran bahasa nasional. Termasuk memberikan tanggapan pada kritik pakar linguistik Amerika Noam Chomsky yang telah menurunkan teori linguistik struktural dalam buku klasiknya Syntactic Structures (1957).
Chomsky telah menunjukkan bahwa teori struktur bahasa standar sekarang tidak dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi dasar karakter bahasa yang mendasar – kreativitas dan keunikan dan kalimat individu. Inggris menerapkan ahli bahasa yang menekankan pada dimensi bahasa dasar, bahwa penyampaian yang tidak cukup dalam pendekatan sekarang pada pengajaran bahasa pada waktu itu fungsional dan potensi bahasa komunikatif. Mereka melihat kebutuhan untuk fokus pada pengajaran bahasa dalam kelancaran komunikasi daripada hanya menguasai struktur. Para ahli yang mendukung pandangan bahasa ini seperti Cristopher Candlin dan Henry Widdowson, menggambarkan karya ahli bahasa fungsional Inggris (John Firth, M.A.K. Halliday), karya Amerika dalam sosiolinguistik (Dell Hymes, John Gumferz dan William Labov), dan juga karya dalam filosofi (John Austin dan John Searle).
Pada tahun 1971 beberapa ahli memulai investigasi kemungkinan pengajaran bahasa dalam bentuk unit kredit, sebuah sistem dimana tugas siswa dibagi dalam beberapa unit-unit, unit-unit tersebut berhubungan dengan keinginan-keinginan siswa yang secara langsung berkesinambungan dengan pola dan tujuan pembelajaran yang lain.
Para ahli tersebut menggunakan penelitiannya mengenai keinginan-keinginan siswa Eropa, dan sebagian dokumen terdahulu yang telah ditunjukkan para linguist Inggris. D.A Wilkins mengajukan pengertian mengenai fungsional komunikatif bahasa, karena dengan pengertian fungsional inilah, dasar-dasar pembentukan silabi pengajaran bahasa komunikatif (CLT) dapat dibentuk.
Kontribusi Wilkins adalah analisanya mengenai makna-makna komunikatif, dimana siswa butuh dan berekspresi, daripada mendeskripsikan proses pengajaran bahasa yang sulit, sebagaimana konsep pengajaran tradisional yang lebih mengacu pada grammar dan kosa kata. Wilkins menunjukkan bahwa sistem makna yang mendasari bahasa sebagai alat komunikasi, dia mendeskripsikan mengenai dua jenis makna; kategori nasional meliputi konsep-konsep seperti; waktu, jarak, jumlah, lokasi, dan frekswensi. Dan kategori fungsi komunikasi seperti; meminta, menolak, menyuruh, tidak terima dll. Setelah direfisi, konsep tersebut akhirnya menjadi sebuah buku yakni National Syllabus. Buku inilah yang mendasari proses pembentukan metode CLT.
Apa itu Pengajaran Bahasa Komunikatif?
CLT lebih dikenal sebagai sebuah pendekatan bukan sebagai metode. Oleh karena itu sebuah kesatuan tetapi meluas yang berdasarkan posisi teoritis tentang sifat-sifat bahasa dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa.
4 ciri-ciri yang saling berkaitan sebagai definisi pengajaran komunikatif:
- Tujuan-tujuan kelas difokuskan pada komponen kompetensi komunikasi dan tidak terbatas pada kompetensi gramatikal dan ilmu bahasa.
- Teknik-teknik bahasa di desain untuk mengkomunikasikan pembelajar dengan penggunaan bahasa yang pragmatis, otentik, fungsional, untuk tujuan yang berarti. Penyusunan bentuk-bentuk bahasa bukanlah inti dari fokus tetapi lebih pada aspek-aspek bahasa yang dapat membuat pembelajar untuk menyempurnakan tujuan-tujuan tertentu.
- Kemampuan dan keakuratan dilihat sebagai prinsip-prinsip yang saling mendasari teknik-teknik komunikasi. Pada saat ini kemampuan mungkin harus mengambil lebih banyak kepentingan (lebih di prioritaskan) daripada keakuratan untuk membuat para pembelajar tetap berikutserta di dalam penggunaan bahasa.
- Dalam komunikasi di kelas, para pelajar harus menggunakan bahasa secara produktif dan dapat diterima, dalam konteks-konteks yang mendadak. Brown (1980:266-267)
Keempat ciri-ciri tersebut mewakili beberapa permulaan dari pendekatan-pendekatan awal. Dengan kata lain permulaan-permulaan itu adalah sebuah produk yang bertahap dari pengembangan banyak metode-metode yang memberi ciri sebuah jejak panjang dalam sejarah.
CLT menyarankan bahwa struktur gramatikal mungkin lebih baik digolongkan dalam bermacam-macam kategori fungsional. Chambers (1997) dalam Brown (1980:226) menyatakan bahwa CLT sangat mengurangi perhatian pada presentasi dan diskusi terbuka dalam aturan-aturan gramatika daripada yang dilakukan oleh pakar tradisional. Sebagian besar penggunaan bahasa otentik dinyatakan oleh CLT, karena mencoba meningkatkan kemampuan (Chambers 1997). Hal ini penting, karena kemampuan sebaiknya dikembangkan dalam komunikasi yang jelas, tidak ambigu, dan langsung. Pada akhirnya spontanitas tercipta dalam komunikasi di kelas. Murid-murid didukung untuk menghadapi situasi-situasi mendadak atau diluar rencana dengan arahan-arahan para guru.
Keempat ciri-ciri CLT sering membuat guru-guru yang bukan penutur asli yang kurang mahir dalam bahasa asing dapat mengajar secara efektif.
Keempat ciri-ciri CLT sering membuat guru-guru yang bukan penutur asli yang kurang mahir dalam bahasa asing dapat mengajar secara efektif. Guru-guru tersebut lebih mudah menghadapi dialog-dialog, latihan-latihan, dan diskusi-diskusi dalam bahasa pertama. Kelemahan ini seharusnya tidak menghalangi pencapaian tujuan-tujuan komunikasi di kelas. Teknologi (video, TV, audio tape, internet, perangkat komputer) bisa membantu para guru. Apalagi dalam beberapa dekade terakhir kita telah melihat peningkatan tingkat kemahiran para guru Bahasa Inggris di seluruh dunia. Karena institusi-institusi pendidikan dan politik di berbagai negara menjadi lebih sensitive pada kebutuhan pengajaran bahasa asing dengan tujuan komunikasi maka kita seharusnya mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan pengajaran komunikasi berbahasa.
Pendekatan Komunikatif (Communicative Approach)
Pendekatan Komunikatif dalam pengajaran bahasa didasarkan atas apa yang dinamakan Kompetensi Komunikatif (Communicative Competence). Berhasil tidaknya suatu metode pengajaran bahasa asing sangat tergantung pada segudang faktor, apalagi kalau diterapkan secara nasional; lebih lagi nasional dalam arti Indonesia, yang sangat berbeda dari Jepang atau Korea, yang lebih homogen situasi kependidikannya. Faktor-faktor yang menyebabkan sukses tidaknya metode pengajaran bahasa asing adalah faktor linguistik dan non-linguistik. Metode pengajaran yang berhasil diterapkan pada kelompok-kelompok kecil dalam situasi dan kondisi tertentu, belum tentu dapat berhasil bila diterapkan pada kelompok-kelompok besar dalam situasi dan kondisi yang berbeda pula.
Kompetensi adalah penguasaan atas system dari aturan-aturan bahasa yang benar-benar dihayati, yang memungkinkan kita untuk mengenal struktur batin dan struktur lahir, untuk dapat membedakan antara kalimat yang benar dan kalimat yang salah, dan untuk mengerti kalimat-kalimat yang belum pernah kita dengar atau kita katakana sebelumnya. Kompetensi Komunikatif menurut Kridalaksana (1981) dalam Sadtono adalah kemampuan bahasawan untuk mempergunakan bahasa yang secara sosial dapat diterima dan memadai. Paulson (1979) dalam Sadtono menafsirkan bahwa Kompetensi Komunikasi adalah interaksi linguistik dalam bahasa sasaran yaitu kemampuan untuk berfungsi dalam setting yang betul-betul komunikatif; yaitu dalam suatu transaksi spontan yang melibatkan lebih dari satu orang. Sedangkan Hymes (1972) menafsirkan bahwa Kompetensi Komunikasi tidak hanya memasukkan bentuk-bentuk linguistik tetapi juga aturan-aturan sosial, yaitu pengetahuan tentang kapan, bagaimana, dan kepada siapa bentuk-bentuk tersebut patut dipakai.
Tafsiran pertama memusatkan pada pengajaran arti referensial dari bahasa melalui pendekatan bentuk formal (formal approach). Sedangkan tafsiran kedua memasukkan arti sosial bahasa lewat pendekatan fungsional. Disamping itu juga dimasukkan aturan sosio-kultural bagi penggunaan bahasa, bukan sebagai komponen kultural tambahan yang cuma dilekatkan, tetapi juga sebagai bagian yang integral dari pengajaran bahasa.
Dalam Kompetensi Komunikatif pemakaian ragam bahasa informal, formal dan netral merupakan suatu keharusan (John Blundell dalam Sadtono 1997:58). Ada beberapa faktor yang menyebabkan pemakaian ragam-ragam tersebut, antara lain setting (di mana dan kapan), topik, hubungan sosial antara para penutur, dan sikap psikologis penutur, yaitu perasaan penutur tentang topik maupun tentang lawan bicaranya. Keempat faktor tersebut harus diperhitungkan jika saat kita berkomunikasi secara komunikatif.
Komunikasi antar manusia selalu terpengaruh lingkungan, maka variasinya sangat banyak, demikian juga faktor penyebabnya. Faktor penyebab dominan antara lain Fungsi Bahasa dalam penggunaan sehari-hari; Variasi Bahasa; dan Senggolan-senggolan Sosiokultural yang dimiliki oleh para bahasawan.
1. Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa dibagi menjadi lima fungsi yang besar (Finocchiaro dalam Sadtono 1997:59-60), yaitu:
a. Fungsi Personal
Fungsi personal adalah kemampuan pembicara atau penulis untuk menyatakan pikiran atau perasannya, misalnya cinta, kesenangan, kekecewaan, kemarahan, dsb.
b. Fungsi Interpersonal
Fungsi interpersonal adalah kemampuan untuk membina dan menjalin hubungan kerja dan hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan ini membuat hidup dengan orang lain baik dan menyenangkan. Termasuk dalam kategori ini misalnya rasa simpati , rasa senang atas keberhasilan orang lain, kekhawatiran, dsb. Yang dinyatakan dalam bahasa.
c. Fungsi Direktif
Fungsi direktif memungkinkan kita untuk dapat mengajukan permintaan, saran, membujuk, meyakinkan, dsb.
d. Fungsi Referensial
Fungsi referensial adalah yang berhubungan dengan kemampuan untuk menulis atau berbicara tentang lingkungan terdekat dan juga mengenai bahasa itu sendiri.
e. Fungsi Imajinatif
Fungsi imajinatif adalah kemampuan untuk dapat menyusun irama, sajak, cerita tertulis maupun lisan. Fungsi ini sulit diajarkan, kecuali kalau siswanya memang berbakat untuk hal-hal semacam itu.
2. Variasi Bahasa
Variasi bahasa ini biasanya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor geografis, yang menimbulkan dialek geografis, faktor sosial, yang berhubungan dengan kelas sosial, status, dan latar belakang pendidikan – yang kemudian menimbulkan dialek sosial; dan ‘registers’ yang menggambarkan ragam bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan formal atau tidak formalnya sesuatu situasi, profesi, dan sarana bahasa tulis atau lisan.
3. Sosiokultural
Kalau bahasa dan variasi bahasa dapat diajarkan, maka faktor sosiokultural ini sangat sulit diajarkan. Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa pelajar bahasa asing susah sekali untuk dapat menguasai pengetahuan secara cukup tentang sejarah, geografi dan kebudayaan bahasa yang dipelajarinya sehingga ia dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam percakapan.
Kalau kita mau benar-benar menerapkan pendekatan kompetensi komunikatif dalam pengajaran bahasa, maka kita harus mengajarkan kepada siswa bermacam-macam variabel yang dapat dipakainya dalam bermacam-macam situasi, agar ia dapat berkomunikasi dengan baik dan benar.
Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa asing, timbul karena para ahli pengajaran bahasa asing berpendapat bahwa pengajaran bahasa asing dengan pendekatan sintetik gramatikal kurang berhasil. Yang dimaksud dengan kurang berhasil adalah setelah siswa menyelasaikan studi bahasa asing, ia tetap tidak memakai bahasa itu dalam situasi yang sebenarnya. Siswa sudah mempelajari aturan-aturan bahasa (language usage), tetapi ia tetap tidak bisa mempraktekkan untuk berkomunikasi (language use). Oleh karena itu para ahli pengajaran bahasa asing lalu mencari jalan keluar dan menghasilkan pendekatan komunikatif.
Dalam pendekatan komunikatif yang menjadi acuan adalah kebutuhan siswa san fungsi bahasa, dan bertujuan agar siswa dapat berkomunikasi dalam situasi sebenarnya. Struktur tatabahasa yang dianggap sulit dalam pendekatan gramatikal dapat diajarkan pada tingkat permulaan jika struktur tersebut memang diperlukan untuk berkomunikasi dalam situasi yang sesungguhnya. Acuan setiap unit pelajaran adalah fungsi bahasa, bukan struktur tatabahasa. Silabus-silabus yang berdasarkan pendekatan komunikatif yang perbedaannya terletak pada soal tekanan saja.
Pendekatan kompetensi komunikatif sebenarnya berarti pendekatan pada desain silabus, bukan metode pengajaran bahasa. Dalam pendekatan ini materi pelajaran disusun kembali dengan memperhatikan fungsi-fungsi bahasa atau pemakaian bahasa, misalnya tentang “meminta keterangan”, “menyatakan pendapat”, dan “memberitahukan arah” dsb.
Dalam pendekatan komunikatif peranan guru minim. Jika siswa ingin berkomunikasi, maka guru harus melepaskan peranan sebagai orang yang “memberi ilmu” dan bertindak sebagai penerima informasi. Siswa dilatih untuk memberanikan diri untuk tidak takut berbuat kesalahan dan kesalahan harus diterima sebagai hal yang wajar dan tak dapat dielakkan. Guru akhirnya berfungsi sebagai pengelola kelas dan pembimbing untuk menolong siswa menyampaikan apa yang datang dari dalam dirinya, bukan datang dari guru. Dengan demikian, murid dapat membuat kriteria sendiri tentang bentuk-bentuk bahasa mana yang sesuai untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dalam bahasa asing yang sedang dipelajarinya.
Strategi belajar mengajar dalam pendekatan komunikatif ini didasarkan atas teknik-teknik keaktifan siswa sendiri untuk menemukan apa yang hendak dipelajarinya lewat pengalaman-pengalaman belajarnya, bukan atas penyajian guru. Dengan kata lain, pendekatan komunikatif ini lebih terpusat pada siswa sendiri, dan bukan pada guru.
Pendekatan komunikatif mengajarkan ungkapan-ungkapan stereotip yang rutin, tetapi hal ini tidak sama dengan mengajarkan strategi untuk menghubungkan bentuk-bentuk bahasa dengan fungsi-fungsi komunikatif. Pendekatan ini juga memberikan bahan-bahan bahasa yang umum dijumpai. Tetapi pada tingkat lanjutan, siswa harus disadarkan akan adanya hubungan yang kompleks antara bentuk-bentuk bahasa dan fungsi. Dalam pendekatan ini guru-guru bukan penutur asli menghadapi beban yang sangat berat, karena mereka praktis harus menguasai bahasa asing secara “sempurna”. Ia harus mengetahui macam-macam ragam bahasa, kapan, di mana dan kepada ragam bahasa-ragam itu dipakai. Bagi mereka yang belum pernah tinggal di luar negeri di negara bahasa asing tersebut digunakan akan mengalami banyak kesulitan memahami teksnya dan kemungkinan salah menafsirkan. Untuk mampu membedakan ragam-ragam bahasa itu mereka harus tinggal di negara itu cukup lama dan benar-benar memperhatikan ragam-ragam tersebut.
Dalam evaluasi kemampuan berkomunikasi, konsep kesahihan (validity) dan keandalan (reliability) tes tak dapat dipakai. Kemampuan berkomunikasi melibatkan “empan-papan” bahasa (language appropriateness), dan keempan-papanan bahasa harus diukur dalam konteks penggunaan bahasa yang sesungguhnya. Komunikasi seperti ini sukar untuk diramalkan dan sukar untuk dinilai dalam tes objektif, karena jawaban siswa bisa berbeda-beda. Di samping itu komunikasi pun dapat berlangsung dengan ‘baik’ yaitu para pembacanya saling mengerti, meskipun mungkin banyak terdapat kesalahan gramatikal (Sadtono 1997:71)
Desain Pengajaran Bahasa Komunikatif
Tujuan Pengajaran Bahasa Komunikatif
- Pipheo (1981) menunjukkan beberapa tingkatan tujuan dalam pola pendekatan CLT tingkat integratif dan isi (bahasa sebagai cara berekspresi)
- level linguistik dan instrumental (bahasa sebagai sistem semiotik dan menjadi tujuan belajar)
- level afeksi, yakni hubungan-hubungan interpersonal dan kedekatan (bahasa sebagai cara mengutarakan nilai dan penilaian seseorang kepada yang lain)
- level kebutuhan indifidu (pembelajaran ulang yang didasarkan pada analisis kesalahan)
- level umum dari keseluruhan tingkatan yang ada dan berupa pemberian pembelajaran bahasa tambahan (pembelajaran bahasa dengan menggunakan kurikulum sekolah) (Richard, 1986:73)
Kesimpulan
Pengajaran Bahasa Komunikatif lebih tepat disebut sebagai sebuah pendekatan (approach) daripada sebuah metode. walaupun begitu tingkat kelayakan dari sebuah teori dapat di bedakan dari teori pembelajaran dan teori bahasa. Masih banyak ruang interpretasi yang memungkinkan lebih berkembangnya CLT, lebih-lebih pada bagian desain dan prosedur. Bahkan berbagai bentuk silabus, model, serta jenis-jenis latihan serta aktivitas dalam kelas, akan dapat semakin berkembang sesuai dengan karakteristik masing-masing pengguna CLT sebagai cara pendekatan.
Pengajaran Bahasa Komunikatif lebih mendasarkan diri pada fungsi dan kekuatan bahasa itu sendiri sebagai medium komunikasi. Karena sifatnya yang demikian, CLT tidak melulu berkonsentrasi pada struktur dan unsur-unsur gramatikal dalam pengajaran bahasa, meskipun hal itu juga penting, CLT mempunyai metode-metode yang mampu membawa peserta didik secara tidak langsung memahami struktur bahasa yang dipelajarinya, karena pembiasaan-pembiasaan mengekspresikan bahasa.
Meski begitu, CLT juga mempunyai beberapa permasalahan yang tentunya membutuhkan pembenahan-pembenahan. CLT sebagaimana karakteristiknya yang lebih mengutamakan sentuhan indifidual, tentunya membutuhkan kelas yang lebih banyak. Karena membutuhkan alat-alat pembantu, seperti permainan dan lingkungan yang sesuai, CLT banyak membutuhkan alat peraga, taman atau ruang-ruang non-kelas, sehingga pembiayaannya pun bertambah.
Pada tingkat lanjutan, siswa harus disadarkan akan adanya hubungan yang kompleks antara bentuk-bentuk bahasa dan fungsi. Dalam pendekatan ini guru-guru bukan penutur asli menghadapi beban yang sangat berat, karena mereka praktis harus menguasai bahasa asing secara “sempurna”. Sehingga kebanyakan tenaga pengajar masih merasa kesulitan, sebagaimana kemampuan guru-guru bahasa yang ada sekarang, yang kebanyakan mereka tidak secara langsung bersentuhan dengan penutur asli maupun kulturnya.
Referensi
- Sadtono, 1987. Antologi Pengajaran Bahasa Asing Khususnya Bahasa Inggris. Jakarta: PPLPTK Depdikbud.
- Richard, Jack C. & Theodore S. Rodgers, 1986. Approaches and Method in Language Teaching: A Description and Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
- Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Languages Learning and Teaching, Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
- http://kafeilmu.com/2012/05/pengajaran-bahasa-komunikatif.html