A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk istimewa yang diciptakan Allah SWT. Keistimewaan manusia terletak pada potensi-potensi yang Allah berikan kepadanya. Baik itu potensi yang berupa fisik ataupun non-fisik. Semua potensi fisik manusia memiliki fungsi yang sangat luar biasa kegunaannya bagi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, begitupun dengan potensi non-fisik yang terdiri atas: jiwa (psyche), akal (ratio) dan rasa (sense).
Dengan potensi akalnya, manusia mampu menjadi mahluk yang lebih mulia kedudukannya daripada mahluk lain. Allah telah mengaruniai manusia sebuah anugerah yang mampu menjadikan manusia mahluk yang berbudaya. Berbeda dengan hewan yang tidak mampu berbudaya dikarenakan hewan tidak memiliki akal. Dengan akalnya ini pula manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta lingkungannya, berefleksi tentang bagaimana ia sebagai seorang manusia memandang dunianya dan bagaimana ia menata kehidupannya.
Karena kemampuan dalam menggunakan nalarnya, manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia-rahasia kekuasaan-Nya. Contohnya para ilmuwan muslim seperti Al-khawarizmi (825M) yang mampu menyusun buku matematika aljabar dan arimetika yang kemudian di Eropa menjadi jalan pembuka untuk menggunakan angka desimal yang menggantikan cara penulisan dengan angka romawi. Ibnu Sina (980-1037) adalah bapak kedokteran modern, ia menulis buku Al-Qonuun fi Ath-Thib (The Canon of Medicine) dan Kitab Asy-Syifa’ (The Book of Healing) yang telah dijadikan bahan rujukan ahli-ahli kedokteran modern. Ibnu al-Haitam (965-1040) seorang cendikiawan multidisiplin ilmu yang menghasilkan karya besar Al-Manadhir (The Optic). Ibnu Ismail Al-Jaziri (1136-1206), tokoh besar bidang mekanik dan industri ini berhasil mengembangkan prinsip hidrolik untuk menggerakkan mesin yang dikenal sebagai mesin robot.
Di dunia baratpun dikenal tokoh-tokoh ilmuwan yang telah menorehkan sejarah emasnya bagi generasi penerus mereka. Sebut saja Newton (1643-1727) yang berhasil menciptakan teori gravitasi, teorinya memberikan penjelasan yang luas sekali tentang peristiwa-peristiwa fisika mulai dari ukuran molekuler sampai ukuran astronomis. Selain itu, Newton juga berhasil menyusun perhitungan kalkulus yang disebut diferensial integral. Alexander Abraham Bell (1847), sang penemu telepon. Wilhelm Konrad Roentgen (1895) yang telah menemukan sinar X. Thomas Alva Edison (1827-1931), penemu lampu pijar dan 3000 penemuan lainnya yang sampai sekarang kegunaannya dapat kita rasakan. Dan masih banyak tokoh-tokoh yang lainnya.
Lantas, bagaimana mereka mampu melakukan hal besar itu semua? Itu semua tentunya mampu mereka capai karena mereka dapat mengoptimalkan potensi akal yang Allah SWT berikan kepada mereka dan tentunya kepada kita juga. Dan salah satu bidang keilmuan yang membelajarkan manusia untuk dapat mengoptimalkan akalnya adalah Ilmu Filsafat. Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang membutuhkan refleksi dan pemikiran sistematis-metodis dengan secara aktif menggunakan intelek dan rasio kita. Oleh karena itu, melalui makalah ini akan coba dipaparkan sebuah pengantar filsafat sebagai bekal dalam menuju dan mengungkap rahasia terbesar yang tersimpan dalam akal kita.
BAB II SEBUAH PENGANTAR FILSAFAT
A. Definisi dan Rumusan Filsafat
Hatta mengemukakan bahwasanya pengertian filsafat itu sebaiknya tidak dibicarakan lebih dahulu Nanti, bila orang telah banyak membaca atau mempelajari filsafat, orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu menurut konotasi filsafat yang ditangkapnya. Begitu juga dengan Langeveld ia berpendapat: “setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu; dan semakin dalam ia berfilsafat ia akan semakin mengerti apa filsafat itu” (Tafsir, 2002:9). Meskipun pendapat keduanya adalah benar, akan tetapi dalam makalah ini perlu kiranya dibahas pengertian filsafat secara singkat menurut beberapa tokoh filsafat sebagai berikut:
- Pythagoras (572-497 SM); Menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, Pyhtagoras adalah orang yang pertama-tama memperkenalkan istilah philosophia, kata yang berasal dari bahasa Yunani yang kelak dikenal dengan istilah filsafat. Ia memberikan definisi filsafat sebagai the love of wisdom. Menurut Pythagoras, manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta kebijakan (lover of wisdom), sedangkan yang dimaksud dengan wisdom adalah kegiatan melakukan perenungan tentang Tuhan. Pythagoras sendiri menganggap dirinya seorang pylosophos (pecinta kebijakan), baginya kebijakan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
- Socrates (469-399 SM); Ia adalah seorang filsuf dalam bidang moral yang terkemuka setelah Thales pada jaman Yunani Kuno. Socrates memahami bahwa filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia (principles of the just and happy life).
- Plato (427-347 SM); Seorang sahabat dan murid socrates ini telah mengubah pengertian kearifan (sophia) yang semula bertalian dengan soal-soal praktis dalam kehidupan menjadi pemahaman intelektual. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencari kebenaran asli. Dalam karya tulisnya Republic Plato ia menegaskan bahwa para filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of truth). Dalam pencarian terhadap kebenaran tersebut, hanya filsuf yang dapat menemukan dan menangkap pengetahuan mengenai ide yang abadi dan tak berubah. Dalam konsepsi Plato, filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran. Filsafat Plato tersebut kemudian dikenal dengan filsafat spekulatif.
- Aristoteles (384-322 SM); Aristoteles adalah salah seorang murid Plato yang terkemuka. Menurut pendapatnya, sophia (kearifan) merupakan kebajikan intelektual tertinggi, sedangkan philosophia merupakan padanan kata dari episteme dalam arti suatu kumpulan teratur pengetahuan rasional mengenai sesuatu objek yang sesuai. Menurutnya juga, filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang didalamnya tergabung metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika.
Aliran Stoicisme; Aliran filsafat ini berkembang setelah lahirnya kerajaan Romawi Kuno. Pada dasarnya filsafat adalah suatu sistem etika untuk mencapai kebahagiaan dalam diri masing-masing orang dengan mengusahakan keselarasan antara manusia dengan alam semesta. Keselarasan itu dapat tercapai dengan hidup sesuai alam dengan mengikuti petunjuk akal sebagai asas tertinggi sifat manusiawi. Bagi para filsuf Stoic, filsafat adalah suatu pencarian terhadap asas-asas rasional yang mempertalikan alam semesta dan kehidupan manusia dalam suatu kebulatan tunggal yang logis.
Al-Kindi (801-873 M); Ia adalah seorang filosof muslim pertama. Menurutnya filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori adalah mencari kebenaran, maka dalam berprakteknya pun harus menyesuaikan dengan kebenaran pula.
Al-Farabi (870-950 M); Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan tentang bagaimana hakikat alam wujud yang sebenarnya.
Francis Bacon (1561-1626 M); Seorang filsuf Inggris ini mengemukakan metode induksi yang berdasarkan pengamatan dan percobaan menemukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Ia menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (The great mother of the sciences).
Henry Sidgwick (1839-1900 M); Dalam bukunya Philosophy, Its Scope and Relations: An Introductory Course of Lectures Henry Sidgwick menyebutkan bahwa filsafat sebagai scientia scientarium (ilmu tentang ilmu), karena filsafat memeriksa pengertian-pengertian khusus, asas-asas pokok, metode khas, dan kesimpulan-kesimpulan utama dalam suatu ilmu apapun dengan maksud untuk mengkoordinasiakan semuanya dengan ha-hal yang serupa dari ilmu-ilmu lainnya.
Bertrand Russel (1872-1970 M); Seorang filsuf inggris lainnya yang bernama lengkap Bertrand Arthur William Russel ini menganggap filsafat sebagai kritik terhadap pengetahuan, karena filsafat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam ilmu dan dalam kehidupan sehari-hari, dan mencari suatu ketakselarasan yang dapat terkandung dalam asas-asas itu.
J. A. Leighton; Ia menegaskan bahwa filasafat mencari suatu kebulatan dan keselarasan pemahaman yang beralasan tentang sifat alami dan makna dari semua segi pokok kenyataan. Suatu filsafat yang lengkap meliputi sebuah pandangan dunia atau konsepsi yang beralasan tentang seluruh alam semesta dan sebuah pandangan hidup atau ajaran tentang berbagai nilai, makna, dan tujuan kehidupan manusia.
John Dewey (1858-1952) ; Dalam karangannya Role of Philosophy in The History of Civilizations (Proceedings of The Sixht International Congress of Phylosophy) ia menganggap filsafat sebagai suatu sarana untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian antara hal-hal yang lama dengan yang baru dalam penyesuaian suatu kebudayaan. Filsafat merupakan suatu pengungkapan dari perjuangan-perjuangan manusia dalam usaha yang terus menerus untuk menyesuaikan kumpulan tradisi yang lama dengan berbagai kecenderungan ilmiah dan cita-cita politik yang baru.
Poedjawijatna (1974); Ia menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya adalah ialah philosophia. Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan sophia. Philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu selalu berusaha untuk mencapai yang diinginkannya itu. Sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi menurutnya, filsafat bisa diartikan ingin mencapai kepandaian, cinta pada kebijakan. Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua; Mereka mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentang bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking about thinking.
Seringkali kita mendengar orang yang berkata: “Apa itu filsafat?”. Pertanyaan tersebut memang sulit dijawab secara singkat, namun menurut Sonny dan Mikhael, dengan mengajukan pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa kita sedang berfilsafat. Dengan jawaban sederhana tersebut bisa difahami bahwa filsafat itu adalah sebuah sikap mempertanyakan tentang segala sesuatu. Memang pada akhirnya pertanyaan itu akan menemukan jawabannya, tetapi jawaban ini selalu dipertanyakan lagi. Karena itulah filsafat sering dianggap sebagai sesuatu yang bermula dari sebuah pertanyaan dan diakhiri dengan pertanyaan pula. Dengan kata lain, filsafat adalah sebuah sistem pemikiran yang terbuka untuk dipertanyakan dan dipersoalkan kembali. Filsafat adalah sebuah tanda tanya dan bukan sebuah tanda seru. Filsafat adalah pertanyaan bukan pernyataan.
Sebenarnya masih banyak definisi, konsepsi, dan interpretasi mengenai filsafat dari berbagai ahli yang merumuskan bahwa filsafat berhubungan dengan bentuk kalimat yang logis dari bahasa keilmuan, dengan penilaian, dengan perbincangan kritis, praanggapan ilmu, atau dengan ukuran baku tindakan. Setiap filsuf dan suatu aliran filsafat membuat perumusannya masing-masing agar cocok dengan kesimpulannya sendiri.
Berbagai perumusan itu tidak dapat dikatakan bahwa yang satu salah dan yang lainnya benar. Nampaknya semua perumusan itu sama benarnya karena masing-masing melihat dari salah satu pokok persoalan, permasalahan, titik berat, segi, tujuan atau metode yang dianut oleh seorang filsuf atau suatu aliran filsafat.
Oleh karena itu, Abu Bakar Atjeh (Tafsir, 2002: 11) menyatakan bahwa perbedaan definisi dan rumusan tentang filsafat itu disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu sendiri karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat.
B Hal-hal yang Mendorong Timbulnya Filsafat
Dalam bukunya “Alam Pikiran Yunani” Hatta (Tafsir, 2002: 13) menjelaskan bahwa hal yang mendorong timbulnya filsafat adalah dua hal. Pertama, dongeng dan takhayul yang dimiliki suatu masyarakat atau suatu bangsa. Di antara masyarakat tersebut ada saja orang-orang yang tidak percaya begitu saja. Kemudian ia kritis dan ingin mengetahui kebenaran dongeng tersebut lalu dari situ muncullah filsafat. Kedua, keindahan alam yang besar, terutama ketika malam hari. Hal tersebut menyebabkan keingin tahuan orang-orang Yunani untuk mengetahui rahasia alam tersebut. Keinginan untuk mengetahui rahasia alam berupa pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya menimbulkan filsafat juga.
Sementara itu menurut Beerling (Tafsir, 2002: 13) orang-orang Yunani mula-mula berfilsafat dikarenakan ketakjuban. Ketakjuban mereka dalam menyaksikan keindahan alam ini menyebabkan mereka ingin mengetahui rahasia rahasia alam semesta ini. Plato mengatakan bahwa filsafat itu dimulai dari ketakjuban. Sikap heran atau takjub tersebut melahirkan sikap bertanya, dan pertanyaan itu membutuhkan jawaban. Bila seorang pemikir menemukan jawaban, jawaban itu akan dipertanyakan kembali karena ia selalu sangsi pada kebenaran yang ditemukannya itu.
Namun perlu dicatat bahwa pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat bukanlah pertanyaan sembarang. Pertanyaan-pertanyaan sedehana seperti “apa warna bungan mawar?”, tidak akan menimbulkan filsafat, hal itu cukup dijawab oleh mata kita. Begitupun pertanyaan seperti “kapan padi ini akan mulai dipanen?”, pertanyaan tersebut pun tidak akan menimbulkan filsafat, cukup dijawab dengan melakukan riset saja. Pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat adalah pertanyaan yang mendalam, yang bobotnya berat dan tidak terjawab oleh indera kita. Coba saja anda jawab pertanyaan dari Thales, “Apa sebenarnya bahan alam semesta ini?”. Pertanyaan seperti inilah yang membuat indera kita tidak mampu menjawab bahkan sains pun terdiam. Dan jawaban terhadap pertanyaan Thales inipun memerlukan pemikiran yang mendalam.
Sementara itu, pada jaman modern seperti sekarang ini yang menjadi penyebab timbulnya filsafat adalah karena adanya kesangsian. Apa yang dimaksud dengan sangsi? Sangsi itu setingkat di bawah percaya dan setingkat di atas tidak percaya. Apabila manusia menghadapi suatu pernyataan, mungkin ia akan percaya atau tidak percaya. Atau barangkali tidak kedua-duanya. Pada sikap percaya dan tidak percaya, pikiran tidak bekerja dan tidak ada problem. Akan tetapi, ketika percaya tidak dan tidak percayapun tidak, maka pikirannya akan bekerja sampai pada percaya atau tidak percaya. Selama ada tanda tanya di dalam pikiran, jalan pikiran itu membentur-bentur. Dalam bahasa Yunani pertanyaan yang membentur-bentur dalam pikiran itu disebut problema yang menunjukkan sesuatu yang ditaruh didepan, merintangi perjalanan kita dan harus disingkirkan agar tidak membentur kaki. Dengan demikian, sangsi menimbulkan pertanyaan dan pertanyaan menyebabkan pikiran bekerja. Pikiran bekerja menimbulkan filsafat.
C. Objek Studi Filsafat
Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh filosof adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Objek yang diselidiki oleh filsafat ini disebut objek materia, yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Tentang objek materia filsafat ini banyak yang sama dengan objek materia sains, namun bedanya adalah dalam dua hal. Pertama, sains menyelidiki objek materia yang empiris, sementara filsafat menyelidiki bagian objek yang abstraknya. Kedua, ada objek materia filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek materia yang selamanya tidak empiris.
Selain objek materia ada juga objek forma, yaitu sifat penelitian. Objek forma filsafat adalah penyelidikan yang mendalam. Kata mendalam berati ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Penyelidikan sains tidak mendalam karena ia hanya ingin tahu sampai batas objek itu dapat diteliti secara empiris. Objek penelitian sains adalah pada batas dapat diriset. Sedangkan objek penelitian filsafat ada pada daerah tidak dapat diriset, tetapi dapat dipikirkan secara logis.
D. Cara Mempelajari Filsafat
Ada tiga macam metode yang digunakan untuk mempelajari filsafat, yaitu; metode sistematis, metode historis dan metode kritis. Dengan menggunakan metode sistematis, para pelajar akan menghadapi karya-karya filsafat. Misalnya, mula-mula pelajar akan mempelajari teori-teori pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang ilmu lainnya.kemudian ia akan mempelajari teori nilai atau filsafat nilai. Tatkala pelajar membahas setiap cabang atau sub cabang filsafat, maka aliran-aliran filsafat pun akan terbahas. Dengan mempelajari filsafat melalui metode sistematis ini perhatian kita akan terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun pada periodenya.
Adapun metode historis digunakan bila para pelajar mempelajari filsafat dengan mengikuti sejarahnya. Ini dapat dilakukan dengan cara membicarakan tokoh demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah. Misalnya ketika kita mulai membicarakan Thales, berari kita membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat maupun dalam teori nilai. Kemudian dilanjutkan dengan membicarakan Naximandros, lalu Socrates, Rousseau, lantas Kant dan seterusnya sampai tokoh-tokoh kontemporer. Mengenalkan tokoh memang perlu karena ajarannya biasanya berkaitan erat dengan lingkungan, pendidikan dan kepentingannya.
Cara lain untuk mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis ini adalah dengan cara membagi babakan filsafat sejarah. Misalnya mula-mula dipelajari filsafat kuno, kemudian filsafat pertengahan dan selanjutnya adalah filsafat abad modern. Variasi cara mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis ini cukup banyak. Yang penting, mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis berarti mempelajari filsafat secara kronologis. Dan metode ini sangat cocok bagi pelajar pemula.
Adapun metode kritis digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Pelajar haruslah telah memiliki bekal pengetahuan tentang filsafat. Dalam metode ini pengajaran filsafat dapat menggunakan metode sistematis atau historis. Langkah pertama adalah memahami isi ajaran, kemudian pelajar mencoba mengajukan kritiknya. Kritik itu mungkin dalam bentuk menentang dapat juga berupa dukungan terhadap ajaran filsafat yang sedang dipelajari. Dalam mengritik mungkin ia menggunakan pendapatnya sendiri atau dengan menggunakan pendapat filosof lainnya.
E. Manfaat Mempelajari Filsafat
Setidaknya ada empat manfaat dalam mempelajari ilmu filsafat, yaitu; agar terlatih berpikir serius, agar mampu mempelajari filsafat, agar mungkin menjadi filosof, dan agar menjadi warga negara yang baik. Berfilsafat adalah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan menggunakan pemikiran secara serius. Kemampuan berpikir serius diperlukan oleh orang biasa, penting bagi orang-orang yang memegang posisi penting dalam membangun dunia. Kemampuan berpikir serius itu, mendalam adalah satu cirinya, tidak akan dimiliki tanpa melalui latihan. Belajar filsafat merupakan salah satu bentuk latihan untuk memperoleh kemampuan berfikir serius. Kemampuan ini akan memberikan kemampuan memecahkan masalah secara serius, menemukan akar persoalan yang terdalam, dan menemukan sebab terakhir suatu penampakan.
Setiap orang tidak perlu mengetahui isi filsafat. Akan tetapi, orang-orang yang ingin berpartisipasi dalam membangun dunia perlu mengetahui ajaran-ajaran filsafat. Mengapa? Hal itu dikarenakan dunia dibentuk oleh dua kekuatan; agama dan atau filsafat. Barang siapa yang ingin memahami dunia maka ia harus memahami dunia atau filsafat yang mewarnai dunia tersebut. Dengan memiliki kemampuan berfikir serius, seseorang mungkin saja akan mampu menemukan rumusan baru dalam menyelesaikan masalah-masalah dunia. Mungkin itu berupa kritik, mungkin juga berupa usul. Apabila argumentasinya kuat, maka kritik dan usul tersebut bisa menjadi suatu sistem pemikiran.
Orang yang telah mempelajari filsafat, apalagi bila telah mampu berfikir serius, ia akan mudah menjadi warga negara yang baik. Hal ini dikarenakan rahasia negara yang terletak pada filsafat negara itu sendiri. Filsafat negara ditaksonomi ke dalam undang-undang negara, undang-undang negara itulah yang dapat mengatur warga negeranya. Memahami isi filsafat negara dapat dilakukan dengan mudah oleh orang-orang yang telah biasa belajar filsafat.
F. Bidang Kajian Filsafat
Secara garis besar, filsafat memiliki tiga bidang kajian filsafat, yaitu:
1. Ontologi
Ontologi seringkali disebut sebagai teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri. Sementara Langeveld menamai ontologi ini dengan teori tentang keadaan. Hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu dan bukan keadaan yang berubah. Bidang kajian filsafat ontologi ini terbagi menjadi beberapa aliran; materialisme, idealisme, dualisme, skeptisime, dan agnostisme.
2. Epistemologi
Epistemologi membicarakan sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut. Epistemologi juga disebut sebagai teori pengetahuan, itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah epistemologi ini pertama kali muncul dan digunakan oleh J. F. Ferrier pada tahun 1854 M.
Pengetahuan manusia itu ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan itu diperoleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Epistemologi ini terbagi atas beberapa aliran; empirisme, rasionalisme, positivisme, dan intuisionisme.
3. Aksiologi
Nama lain dari teori nilai ini membahas mengenai guna atau manfaat pengetahuan. Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat melihatnya dari tiga hal; pertama filsafat sebagai kumpulan teori, kedua filsafat sebagai pandangan hidup, ketiga filsafat sebagai metode pemecahan masalah.
Sebagai kumpulan teori, filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Sedangkan sebagai pandangan hidup, filsafat digunakan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Dan yang amat terpenting adalah fungsi filsafat sebagai metodologi memecahkan masalah. Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian masalah secara mendalam artinya ia memecahkan masalah dengan cara mencari penyebab munculnya masalah terlebih dahulu. Universal artinya melihat masalah dalam hubungan yang seluas-luasnya, yakni memandang setiap permasalahan dari banyak sudut pandang. Dengan demikian, kegunaan filsafat itu amat luas sekali, di manapun dan kapan pun filsafat diterapkan di sana ada gunanya.
BAB III KESIMPULAN
Sebagai manusia sudah seharusnya kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah membekali kita akal. Karena akal kita mampu bernalar sehingga kita menjadi mahluk berbudaya yang lebih mulia dibandingkan mahluk lainnya. Sekiranya hewan yang diberi akal oleh Allah maka kita harus khawatir, karena yang akan dilestarikan agar tidak punah bukanlah harimau jawa melainkan manusia jawa. Salah satu bentuk syukur kita terhadap anugerah besar tersebut adalah mendaya gunakan segala potensi yang dimiliki oleh akal tersebut. Pendaya gunaan akal dapat dilakukan melalui pembelajaran filsafat. Karena dengan filsafat tersebut kita sebagai manusia mampu berfikir, bernalar dan memahami diri serta lingkungannya, dan berefleksi tentang bagaimana kita sebagai seorang manusia memandang dunia dan menata kehidupan.
Persoalannya adalah banyak orang yang enggan untuk belajar filsafat. Penyebabnya adalah karena adanya anggapan bahwa filsafat adalah salah satu ilmu yang sulit dipelajari dan difahami. Ahmad Tafsir (2002: 46) mengemukakan permasalahan tersebut muncul dikarenakan adanya kesalahan dalam memulai mempelajari ilmu tersebut. Beliau menyarankan, mulailah terlebih dahulu mempelajari pengantar filsafat, lalu ketahuilah sistematikanya, setelah itu barulah anda membaca buku-buku filsafat. Filsafat tidak sulit karena filsafat adalah pemikiran. Dan setiap orang memiliki alat untuk berfikir. Selamat berfilsafat.
DAFTAR PUSTAKA
- Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat. [Online]. Tersedia: http://eputobi.net/eputobi/konrad/temp/ filsafatdanberfilsafat.htm [4 September 2008]
- Liang Gee, T. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
- M. Syarif, M. (1996). Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
- R. Semiawan, C. Dkk. (1991). Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
- S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
- Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
- Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
- Tim Dosen PAI UPI. (2006). Islam, Doktrin dan Dinamika Umat. Bandung: Value Press.