A. Pendahuluan
Menghadap kiblat itu termasuk salah satu syarat sahnya salat[3]. Apabila tidak menghadap kiblat, salatnya tidak sah. Beberapa waktu yang lalu umat Islam digemparkan isu bergesernya arah masjid-masjid di Negara kita akibat sering terkena gempa bumi. Kemudian isu tersebut diperparah dengan adanya tawaran dari pihak tertentu yang menawarkan alat ke masjid-masjid untuk dibeli. Pihak tersebut mengklaim bahwa pengukuran arah kiblat masjid-masjid yang dilakukan selama ini tidak akurat. Yang akurat hanyalah pengukuran yang menggunakan alat tersebut. Akibatnya, umat Islam menjadi resah karena khawatir salatnya tidak sah akibat arah kiblatnya menjadi tidak akurat.
Kemudian umat bertanya kepada MUI. MUI harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia tidak boleh membiarkan umat dalam keadaan tidak tahu terus-menerus atau dalam kebingungan karena hal itu akan membahayakan umat sebagai fihak mustafti baik secara i’tiqadi maupun syar’i[4]. Meskipun demikian, mufti harus hati-hati dan bijak dalam memberikan jawabannya. Ia tidak boleh tergesa-gesa memberikan jawaban sebelum mengetahui hakekat persoalan yang ditanyakan umat. Di samping itu, ia juga harus melakukan kajian yang mendalam menggunakan dalil-dalil syara’ mengerahkan segenap kemampuan intelektualnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut (ijtihad). Apabila tidak menggunakan dalil-dalil syara’ maka itu termasuk tahakkum yaitu “membuat-buat hukum”[5][i] yang harus dijauhi oleh seorang mufti sebagaimana telah diperingatkan oleh Allah dalam surat An-Nahl [16] : 116.
Itulah yang melatarbelakangi MUI menyampaikan fatwa tentang kiblat. Fatwa tersebut diharapkan dapat menghilangkan keresahan umat Islam berkaitan dengan kiblat. Ternyata, fatwa tersebut belum berhasil menghilangkan keresahan karena salah satu butir fatwanya yaitu butir ketiga menimbulkan masalah baru. Untuk mengatasi hal tersebut MUI kemudian melakukan reveiuw terhadap fatwa yang telah dikeluarkannya. Makalah yang sederhana ini mencoba membahas hal tersebut sehingga jelas duduk permasalahannya.
B. Perintah Menghadap Kiblat
Oleh karena menghadap kiblat itu berkaitan dengan ritual ibadah yakni salat, maka ia baru boleh dilakukan setelah ada dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat itu wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: “al-ashl fî al-‘ibâdah al-buthlân hattâ yaqûma al-dalîl ‘alâ al-amr[6], “hukum pokok dalam lapangan ibadah itu adalah bathal sampai ada dalil yang memerintahkannya”. Ini berarti bahwa dalam lapangan ibadah, pada hakekatnya segala perbuatan harus menunggu adanya perintah yang datangnya dari Allah dan rasul-Nya baik melalui al-Qur’an maupun hadis Nabi saw.
Ada beberapa nash yang memerintahkan kita untuk menghadap kiblat dalam salat baik nash al-Qur’an maupun Hadis. Adapun nash-nash al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Al-Baqarah [2] : 144 :
قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره وإن الذين أوتوا الكتاب ليعلمون أنه الحق من ربهم وما الله بغافل عما يعملون
Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.
2. Al-Baqarah [2] : 149 dan 150.
ومن حيث خرجت فول وجهك شطر المسجد الحرام وإنه للحق من ربك وما الله بغافل عما تعملون ومن حيث خرجت فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره لئلا يكون للناس عليكم حجة إلا الذين ظلموا منهم فلا تخشوهم واخشوني ولأتم نعمتي عليكم ولعلكم تهتدون
Artinya : “Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu, takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan ni`mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”.
Dalam ayat-ayat tersebut Allah mengulang فول وجهك شطر المسجد الحرام dalam firman-Nya sampai tiga kali. Menurut Ibn Abbas, pengulangan tersebut berfungsi sebagai penegasan pentingnya menghadap kilbat (ta’kîd). Sementara itu, menurut Fakhruddin ar-Razi, pengulangan tersebut menujukkan fungsi yang berbeda-beda. Pada ayat yang pertama (al-Baqarah : 144) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang dapat melihat ka’bah, sedangkan pada ayat yang kedua (al-Baqarah : 149) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang berada di luar masjidil Haram. Sementara itu, pada ayat yang ketiga (al-Baqarah : 150) ungkapan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang berada di negeri-negeri yang jauh[7]. Berdasarkan kedua pendapat tersebut jelaslah bahwa perintah menghadap kiblat itu tidak hanya ditujukan pada mereka yang berada di Makkah dan sekitarnya, tetapi juga bagi semua umat Islam di manapun mereka berada.
Adapun hadis-hadis Nabi saw. yang secara tegas menyebutkan kewajiban menghadap kiblat pada saat salat adalah :
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :
عن ابى هريرة ر.ع . قال : قال النبى ص.م. : اذا قمت الى الصلاة فاسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة وكبر
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a. Nabi saw bersabda: bila hendak salat maka sempurnakanlah wudu, lalu menghadaplah ke kiblat kemudian bertakbirlah”[8].
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
عن ا نس بن مالك رع قال : ان رسو ل الله ص م كان يصلى نحو بيت المقدس فنزلت : قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام. فمر رجل من بنى سلمة وهم ركوع فى صلاة الفجر وقد صلوا ركعة ، فنادى الا ان القبلة قد حولت فمالوا كما هم نحو القبلة[9]
Artinya : “ Dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah SAW (pada suatu hari) sedang salat menghadap ke Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat “ Sungguh kami melihat mukamu menengadah ke langit (sering melihat ke langit berdo’a agar turun wahyu yang memerintahkan berpaling ke Baitullah). Sungguh kami palingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”. Kemudian ada orang dari Bani Salamah sedang melakukan ruku’pada salat fajar pada raka’at kedua. Lalu Nabi menyeru “Ingatlah bahwa kiblat telah diubah”. Lalu, mereka berpaling ke arah kiblat (Baitullah).
Hadis yang pertama memperkuat perintah menghadap kiblat yang terdapat dalam al-Qur’an sehingga hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang semakna berfungsi sebagai bayan ta’kid. Lebih dari itu, hadis yang kedua lebih mengokohkan fungsinya sebagai bayan ta’kid karena adanya perintah Nabi saw untuk membetulkan arah kiblat yang keliru[10].
C. Pendapat Ulama
Bila pada masa Nabi Muhammad saw. kewajiban menghadap kiblat yakni Ka’bah itu tidak banyak menimbulkan masalah karena umat Islam masih relatif sedikit dan kebanyakan tinggal di seputar Mekkah sehingga mereka bisa melihat wujud Ka’bah. Berbeda halnya dengan keadaan pasca Nabi saw. Saat itu, umat Islam sudah banyak jumlahnya dan tinggal tersebar di berbagai belahan dunia yang jauh dari Mekkah. Apakah kewajiban menghadap kiblat itu harus pada fisik ka’bah (‘ain al-ka’bah) atau cukup dengan arahnya saja ( jihah).
Para ulama sepakat bahwa bagi orang-orang yang dapat melihat ka’bah wajib menghadap bangunan ka’bah (‘ain al-ka’bah) dengan penuh keyakinan. Sementara itu, bagi mereka yang tidak dapat melihat ka’bah maka para ulama berbeda pendapat. Pertama, Jumhur ulama selain Syafi’iyah berpendapat cukup dengan menghadap arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Adapun dalil yang dikemukakan oleh Jumhur adalah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ[11]
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullahsaw bersabda, Apa yang berada di antara Timur dan Barat adalah Kiblat”.
Secara lahiriah hadis itu menunjukkan bahwa semua arah yang berada di antara keduanya yaitu utara dan selatan termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan menghadap fisik ka’bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang berada dalam shaff yang sangat panjang yang jauh dari ka’bah karena tidak bisa memastikan salatnya menghadap fisik ka’bah[12]. Padahal umat Islam sudah sepakat bahwa salatnya orang-orang tersebut adalah sah karena yang diwajibkan bagi mereka yang tidak dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke arah ka’bah[13].
Kedua, Syafi’iyah berpendapat bahwa diwajibkan bagi yang jauh dari Makkah untuk menghadap ‘ain al-ka’bah karena menurut Syafi’I, orang yang mewajibkan menghadap kiblat berarti mewajibkan pula untuk menghadap bangunan ka’bah seperti penduduk Makkah[14]. Hal ini berdasarkan surat al-Baqarah : 150. Ayat tersebut mewajibkan kita untuk menghadap ka’bah yang berarti wajib menghadap fisik ka’bah sebagaimana orang yang dapat melihat ka’bah secara langsung[15]. Di samping itu, mereka juga menggunakan hadis Ibn Abbas[16] yang berbunyi :
لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ الْكَعْبَةِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam Ka'bah, beliau berdo'a di seluruh sisinya dan tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian shalat dua rakaat dengan memandang Ka'bah lalu bersabda: "Inilah kiblat."(HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila pendapat Syafi’iyah ini diikuti, maka umat akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan salat yang merupakan induk segala peribadatan dalam Islam (ummul ‘ibadah). Sebab, umat akan mengalami kesulitan dalam memastikan akurasi arah kiblatnya karena berbagai keterbatasan terutama ilmu pengetahuan. Padahal hal yang demikian itu tidak dikehendaki oleh Allah swt sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya :
Artinya : “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (al-Hajj : 78)
Akibat lebih lanjut, umat Islam tidak dapat melaksanakan ibadah salat sesuai ketentuan tersebut karena tidak dapat memenuhi salah satu syarat sahnya salat yaitu menghadap kilbat. Ini berarti, Syari’ dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya telah memberikan taklif yang tidak mampu dilakukan oleh mukallaf (taklîf mâlâ yuthâq). Hal ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, pendapat Jumhurlah yang lebih kuat (rajih)[17] dan dapat diamalkan.
Lalu, bagaimana kita mengetahui arah kiblat yang akurat sebagaimana dikehendaki oleh nash-nash tersebut ? Ilmu pengetahuan dapat membantu untuk mengetahui apa yang dikehendaki oleh nash itu dengan metode melihat fenomena alam dalam hal ini adalah keadaan bumi yang bulat. Maka, sebagai implikasinya adalah ke manapun muka kita dihadapkan akan bertemu juga dengan Ka’bah. Oleh karena itu, persoalannya apakah yang dimaksudkan dengan arah itu (jihah) ?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “arah” itu mempunyai dua arti, yaitu “menuju” dan “menghadap ke”[18]. Apabila arti arah tersebut digunakan dalam konteks ini, maka menjadi relatiflah menghadap ke arah ka’bah itu karena dapat dilakukan dengan menghadap kedua arah yang berlawanan. Oleh karena itu, para ahli astronomi menggunakan arah dalam pengertian jarak terdekat dari suatu tempat ke Mekah[19] yang dapat diukur melalui lingkaran besar.
Dengan bekal ilmu pengetahuan tersebut, umat Islam dapat mengetahui arah kiblatnya secara lebih akurat. Sebab, menurut Malikiyah dan Syafi’iyah apabila terjadi kekeliruan dalam arah kiblat yang diketahui pada saat sedang salat maka salatnya harus dibatalkan dan diulangi lagi dengan menghadap ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya. Demikian juga apabila kekeliruan itu baru diketahui setelah salat selesai dikerjakan[20]. Salat tersebut harus diulangi kembali (I’âdah). Mereka menganggap orang tersebut seperti seorang hakim yang telah memutus perkara yang ternyata bertentangan dengan nash. Maka, hakim tersebut harus meralat putusannya karena bertentangan dengan nash[21].
Sementara itu, menurut Hanafiyah dan Hanabilah, orang yang mengetahui kekeliruan arah kiblat di dalam salatnya tidak perlu membatalkan salatnya. Cukup baginya membetulkan arah kiblat dengan metode memutar badannya ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya serta melanjutkan salatnya sampai selesai. Begitu juga bagi orang yang mengetahui kekeliruan arah kiblatnya setelah selesai salat. Ia tidak perlu mengulang kembali salatnya. Sebab, orang tersebut posisinya sama seperti mujtahid yang berijtihad dalam menentukan arah kiblat[22].
Oleh karena itu, dalam menentukan arah kiblat harus dilakukan dengan metode mengerahkan segala kemampuan (ilmu pengetahuan) semaksimal mungkin sebagaimana layaknya sebuah ijtihad. Atas dasar itu, Imam Syafi’I dalam kitabnya “al-Risâlah” memberikan contoh aktifitas ijtihad adalah menentukan arah kiblat. Akibatnya, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus oleh ahlinya sehingga menghasilkan arah kiblat yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
D. Penetapan Fatwa MUI
Terdapat tiga pendekatan yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa dalam memberikan fatwa yaitu pendekatan nash qath’î, qaulî, dan manhâjî. Pertama, pendekatan nash qath’î. Inilah pendekatan yang pertama kali dipergunakan baik dengan cara merujuk kepada nash al-Qur’an maupun as-Sunnah. Akan tetapi, pendekatan ini memiliki keterbatasan karena tidak semua persoalan dapat dirujuk kepada nash. Sebab, jumlah nash itu tetap, sedangkan jumlah dan jenis persoalan yang dihadapi terus bertambah dan berkembang[23]. Pendekatan ini menghasilkan hukum-hukum yang qath’î yang oleh MUI disebut al-ahkâm al-qath’iyyât[24], sedangkan oleh Ibrahim Hosen disebut ahkâm manshûshah dalam arti hukum-hukum Islam yang telah ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur’an atau al-Sunnah yang tidak mengandung pentakwilan. Di samping itu, ia juga disebut ”syari’ah” atau ”mâ ’ulima min al-dîn bi al-dlarûrah”. Hukum-hukum jenis ini kebenarannya bersifat pasti dan absolut. Oleh karena itu, wajib diikuti apa adanya, tidak boleh ditambah atau dikurangi, dan berlaku sepanjang zaman untuk seluruh umat manusia[25].
Kedua, pendekatan qaulî yang dilakukan dengan cara merujuk kepada aqwâl ulama yang terdapat dalam kitab-kitab yang muktabar (al-kutub al-mu’tabarah). Para ulama terdahulu memang telah merespon persoalan-persoalan dengan aqwâl, af’âl, dan tasharruf mereka. Pendekatan ini juga memilki keterbatasan karena terdapat kesenjangan antara kitab-kitab yang muktabar yang ditulis oleh para ulama beberapa abad yang lalu dengan persoalan-persoalan baru yang timbul dan terus berkembang[26]. Ketiga, pendekatan manhâjî dilakukan dengan cara berijtihad mengikuti metodologi ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ulama terdahulu apabila kedua pendekatan tersebut tidak dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi[27].
Pendekatan pertama dilakukan apabila dalam masalah yang dihadapi itu sudah terdapat ketentuan hukum yang jelas baik dalam nash al-Qur’an atau as-Sunnah atau dalam kedua-duanya. Apabila terdapat ketentuan hukumnya, maka hukum tersebut disampaikan apa adanya karena masalah tersebut tidak termasuk lapangan ijtihad sehingga Komisi Fatwa tidak perlu berijtihad dalam menetapkan status hukumnya[28]. Pendekatan tersebut belumlah lengkap karena di samping nash yang qath’î juga terdapat nash yang zhannî baik dalam nash al-Qur’an maupun al-Sunnah. Yang terakhir ini kebalikan dari yang pertama yaitu menghasilkan hukum yang zhannî dan menjadi lapangan ijtihad sehingga oleh Ibrahim Hosen disebut ”ijtihâdî”[29]. Oleh karena itu, semestinya pendekatan pertama tersebut adalah ”pendekatan nash” sehingga mencakup kedua nash baik yang qath’î maupun yang zhannî[30].
Maka, pertama kali yang dilakukan oleh Komisi Fatwa dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan mencari ketentuan hukumnya dalam nash al-Qur’an. Apabila terdapat ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an baik secara langsung berkaitan dengan masalah tersebut atau secara umum, maka nash tersebut diambil sebagai dalil. Langkah selanjutnya adalah mencari ketentuan hukumnya di dalam hadis-hadis Nabi SAW. Hal ini dilakukan apabila tidak menemukan ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an. Di samping itu, langkah ini juga dilakukan manakala sudah ditemukan ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, langkah yang terakhir ini menghasilkan dua macam dalil yaitu dari nash al-Qur’an dan dari hadis-hadis Nabi SAW. Kedua dalil tersebut dipergunakan karena keduanya merupakan sumber utama hukum Syara’[31].
Dalam kenyataannya, ternyata tidak semua fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI disertai dengan dalil-dalil baik dari al-Qur’an maupun hadis-hadis nabi SAW[32]. Hal ini terjadi karena dalam menyampaikan fatwa yang diutamakan adalah ketentuan hukumnya, sedangkan penyertaan dalil-dalilnya dalam fatwa tersebut tidak menjadi suatu keharusan. Meskipun demikian, hal tersebut tidak dapat difahami bahwa fatwa-fatwa tersebut tidak merujuk pada al-Qur’an dan hadis. Sebab, sebelum fatwa-fatwa tersebut diputuskan terlebih dahulu dilakukan pembahasan secara mendalam oleh para anggota Komisi Fatwa dalam suatu rapat yang sengaja diagendakan untuk itu. Bila dipandang perlu, dalam rapat tersebut dilakukan pembahasan terhadap makalah yang dibuat oleh salah seorang anggota Komisi Fatwa atau pakar lain yang sengaja dimintakan makalahnya[33].
Apabila tidak terdapat ketentuan hukumnya di dalam kedua nash tersebut, maka ditempuhlah pendekatan yang kedua, yaitu pendekatan qaulî. Pendekatan ini dilakukan dengan cara merujuk kepada aqwâl para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab yang muktabar meskipun sampai saat ini Komisi Fatwa belum menetapkan kitab-kitab mana saja yang dinilai muktabar atau paling tidak kriteria-kriterianya saja[34].
Apabila dalam kitab-kitab tersebut terdapat satu pendapat atau beberapa pendapat yang sama, maka diambillah pendapat tersebut untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tentu saja hal itu baru dilakukan setelah dilakukan kajian yang seksama dan memadai terhadap pendapat-pendapat tersebut berikut dalil-dalilnya[35]. Hal ini terjadi karena mereka telah mengikatkan diri dengan madzhab-madzhab tersebut. Oleh karena itu, mereka dipersyaratkan juga untuk meyakini pendapat madzhabnya itu sebagai pendapat yang paling kuat (arjah)[36]. Langkah seperti ini mencerminkan bahwa Komisi Fatwa dalam aktifitas ijtihadnya membatasi diri pada pendapat di lingkungan madzhab yang sudah ada (bermadzhab secara qaulî) sehingga dimasukkan dalam ketegori ijtihâd fî al-madzhab[37].
Akan tetapi, apabila terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama (ikhtilâf al-‘ulamâ’), maka dicarilah titik temu di antara pendapat-pendapat tersebut (al-jam’u wa al-taufîq). Untuk itu, diperlukan kajian sosial-historis dari para ulama tersebut guna memahami latar belakang pendapat-pendapat mereka sehingga dapat menemukan ”benang merah” dari pendapat-pendapat tersebut[38]. Apabila cara tersebut tidak berhasil, maka ditempuhlah metode tarjîh yaitu menetapkan mana di antara pendapat-pendapat tersebut yang paling kuat dalilnya (râjih).
Tarjîh dilakukan dengan pendekatan lintas madzhab (muqâranah al-madzâhib) dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushûl al-Fiqh al-Muqâran[39]. Mereka bebas memilih dan melakukan tarjîh terhadap pendapat-pendapat imam madzhab yang ada tanpa terikat pada salah satu di antara mereka. Dengan demikian, Komisi Fatwa menempatkan diri dalam posisi yang netral dengan cara tidak mengikatkan diri pada madzhab-madzhab yang sudah ada sehingga langkah seperti ini dapat diketegorikan sebagai ijtihad tarjîh.
Berdasarkan tiga pendekatan tersebut, fatwa tentang kiblat dirumuskan. Pendekatan nash dilakukan yang menghasilkan nash-nash al-Qur’an dan hadis Nabi saw sebagaimana telah disebutkan di atas. Selanjutnya, dilakukan pendekatan qauli karena sebagian dari nash-nash tersebut masih bersifat zhanni terutama yang menunjukkan posisi menghadap kiblat itu mengadung ihtimal fisik ka’bah (’ain al-ka’bah) dan arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Oleh karena, perlu dilakukan pendekatan qauli untuk mendapatkan ketegasan di antara dua ihtimal kandungan nash tersebut. Ternyata, qaul ulama terpolarisasi ke dalam dua ihtimal tersebut. Maka, perlu dilakukan tarjih untk mendapatkan pendapat yang rajih.
Berdasarkan tarjih yang dilakukan ternyata pendapat yang rajih adalah pendapat Jumhur ulama yang menyatakan bagi umat Islam yang tidak melihat ka’bah kiblat salatnya adalah arah ka’bah (jihah al-ka’bah). Atas dasar itu, maka sudah tepat bunyi fatwa MUI pada butir satu dan dua berikut ini :
1. Kiblat bagi orang yang salat dan dapat melihat ka’bah adalah bangunan Ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (’ain al-ka’bah).
2. Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihah al-ka’bah)[40].
Kedua diktum tersebut berkaitan dengan ijtihad istimbathi. Butir pertama sudah disepakati oleh para ulama (ijma’) sehingga harus diikuti karena tidak termasuk lapangan ijtihad. Sementara itu, butir kedua merupakan hasil tarjih karena terdapat perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-’ulama’). Sebagai hasilnya, ada pendapat yang rajih dan ada yang marjuh. Dalam hal ini yang dipandang rajih adalah pendapat Jumhur ulama sehingga pendapat inilah yang diikuti.
Sementara itu butir ketiga yang berbunyi : ”Letak Geografis Indonesia yang berada di baian Timur ka’bah/Makkah maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat”[41]. Diktum keputusan ini menimbulkan masalah baru meskipun masih berada dalam semangat ”jihah al-ka’bah” karena diktum ini merupakan ijtihad tathbiqi yang berisi aplikasi hasil ijtihad pada dua diktum sebelumnya. Ternyata, arah Barat sebagai kiblat umat Islam Indonesia tidak tepat karena arah tersebut akan menuju Afrika seperti Somalia Selatan, Kenya dan Tanzania[42].
Ada dua pertimbangan yang menjadi dasar diktum ketiga ini. Pertama, hadis riwayat Tirmidzi dan Ibn Majah tersebut di atas. Lafazh ”ma” mencakup semua arah antara Timur dan Barat yaitu Selatan termasuk kiblat bagi penduduk Madinah. Begitu juga dengan Indonesia yang berada di sebelah Timur Ka’bah yang berarti kiblatnya menghadap ke Barat[43]. Padahal dalam ”al-Muwaththa’” Imam Malik, matan hadis tersebut ada kelanjutannya yaitu selama menghadap arah Ka’bah[44]. Oleh karena itu, hadis tersebut mestinya difahami secara utuh, tidak parsial. Kedua, para ulama telah sepakat bahwa salat dalam barisan yang panjang yang berada jauh dari ka’bah hukumnya tetap sah walaupun barisannya tetap lurus, tidak melengkung[45]. Memang ini bisa dibenarkan karena barisan yang di belakang mengikuti barisan di depannya yang menghadap arah kiblat sehingga salatnya tetap sah.
Meskipun demikian, tetap saja butir tersebut menimbulkan kesan bahwa fatwa tersebut kurang ”menghargai” ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu Astronomi dan ilmu Falak. Padahal kedua ilmu tersebut bersumber dari ayat Allah juga yang terdapat dalam alam semesta (ayat kauniyah) yang hasilnya tidak perlu dipertentangkan dengan ilmu Fiqh yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis Nabi saw (ayat Qur’aniyah). Baik ayat kauniyah maupun ayat Qur’aniyah sumbernya sama yaitu Allah. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila mempertentangkan antara keduanya atau mengabaikan salah satunya.
Yang ideal adalah menggunakan kedua ayat tersebut secara proporsional. Untuk ijtihad istimbathi ayat Qur’aniyah yang digunakan dengan pendekatan Ushul Fiqh, sedangkan untuk ijtihad tathbiqi tidaklah cukup apabila hanya menggunakan ayat Qur’aniyah. Akan lebih akurat hasilnya apabila dibantu dengan ayat kauniyah yaitu menggunakan ilmu Falak dan Astronomi.
Oleh karena itu, beberapa anggota Komisi fatwa menghendaki agar fatwa tersebut direvieuw dan disempurnakan yang kemudian disetujui dalam rapat pleno. Sebab, secara teoritis hal itu dimungkinkan. Bukankah hukum-hukum yang dirumuskan melalui ijtihad itu memberi peluang untuk berubah. Hal ini sudah terbukti dalam sejarah hukum Islam (tarikh at-tasyri’ al-islami) kita menyaksikan terjadinya perubahan hasil ijtihad Imam Syafi’I sebagai “Bapak Ushul al-Fiqih” dari pendapat lamanya yang di rumuskan di Irak (qaul qadim / madzhab qadim) berubah menjadi qaul jadid / madzhab jadid yang dirumuskannya ketika tinggal di Mesir sampai akhir hayatnya[46]. Ia mengubah pendapat yang pernah dicetuskannya di Irak (qaul qadim) sebanyak 100 masalah (qaul jadid)[47].
Pendekatan yang digunakanpun tidak semata-mata murni ilmu Fiqh, tetapi juga melibatkan sains dalam hal ini ilmu Falak dan Astronomi. Ternyata, hasilnya berbeda. Butir kesatu dan kedua tetap dipertahankan karena tidak menimbulkan masalah, sedangkan butir ketiga direvisi menjadi : ”kiblat umat Islam Indonesia menghadap ke Barat Laut dengan tingkat kemiringan yang bervariasi sesuai dengan letak geografisnya”[48].
Jelas diktum ini sesuai dengan hasil perhitungan ilmu Falak dan Astronomi karena memang Indonesia tidak persis berada di sebelah Timur ka’bah. Oleh karena itu, arah kiblatnya ke arah Barat Laut dengan tingkat kemiringan 20 derajat lebih sesuai dengan letak geografisnya masing-masing. Dengan demikian, diktum ini masih bearada dalam ketentuan arah ka’bah, hanya saja penentuan arahnya lebih akurat karena dibantu ilmu Falak dan Astronomi.
Atas dasar itu, maka bunyi rekomendasi fatwa-pun berubah menjadi : masjid dan mushalla yang arah kiblatnya tidak sesuai harus disesuaikan melalui shafnya tanpa merubah bangunan fisiknya[49]. Inipun harus dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana sebagaimana yang dilakukan oleh K.Arsyad Al-Banjari di masjid Luar Batang Jakarta. Sebab, perubahan ini sangat sensitif. Bila pendekatan yang dilakukan tidak pas akan menimbulkan resistensi seperti yang dialami oleh KH.Ahmad Dahlan di Yogyakarta[50].